Sunday, December 30, 2012

Cewek


Oleh: Halimah Sa'diyah

Saya rogoh saku celana, dengan diam-diam berdoa semoga ada sisa uang untuk menggandakan sebuah tulisan teman berjudul “Min adz-Dhulumât ilâ an-Nûr”. Gambar Tuanku Imam Bonjol muncul bersahaja pada lembar terakhir uang yang saya punya. Mata saya memayar angka di sudut kiri bagian atas ‘5000’. Tiba-tiba saja saya teringat pada seorang teman yang sekitar setahun silam meminta ditraktir secangkir kopi sebagai imbalan karena saya paksa untuk memberi bocoran pengetahuan lanjutan akibat ketidakpuasan ceramah dosen di kelas. Dengan sisa uang bergambar Tuanku Imam Bonjol itulah, dia, dengan senyum kemenangan menyeret saya ke salah-satu warung kopi di kota ini. Tak apalah dia pesan kopasus dan saya es teh saja. Kasir itu bilang, “lima ribu”. Pas. Masih sempat saya pandangi Tuanku Imam Bonjol saat sudah beralih ke tangan kasir itu. Saya bayangkan beliau melambaikan tangan pada saya. Dengan agak lesu saya cari di meja mana teman saya tadi berada.

Teman perempuan saya yang brai sekali dengan kopi ini membuat saya hanya bisa manggut-manggut di atas gelas es teh. Dia bercerita, bahwa pengetahuan yang digunakannya di kelas tadi, sebagai alat menangkis argumen teman-teman lelaki dan dosen lelaki itu baru diketahuinya semalam saat mengikuti acara bedah bukunya Pak Hersri Setiawan (salah-seorang tapol di pulau buruh) yang berjudul “Awan Theklek Mbengi Lemek”. Katanya, maksud kalimat bahasa Jawa ini adalah perempuan itu kalau siang hari jadi alas kaki dan malam hari jadi alas tidur.  Dari mimik mukanya, saya menangkap ketidaksenangan teman saya ini dengan apa yang baru saja diucapkannya.

Thursday, December 20, 2012

Aku Bukan dan Tak Ingin Menjadi Kartini!


Oleh: Halimah Sa'diyah*

Namaku Kartini, tapi aku tidak ingin menjadi Kartini, Mak!

Tak ada cahaya dalam kehidupanku, semuanya terselubung kegelapan. Sejak kecil sampai  dewasa aku tidak pernah boleh melakukan apa yang sebenarnya ingin sekali aku lakukan, memilih yang sebenarnya ingin sekali aku pilih. Selalu saja aku melakukan yang tak kusuka. Sepertinya aku lahir bukan untuk bertemu pilihan-pilihan tapi sebaliknya,  yang dipilihkan!

Setelah puas menangis sesenggukan di kamar, dari jendela kamar ini aku seolah melihat diriku kembali di masa silam. Kartini kecil di bawah pohon jambu bersama dua kakak lelakinya yang girang berlarian memainkan pistol-pistolan yang sengaja dibuatkan bapak dari batang pohon pisang untuk bang Ali dan bang Haji. Kedua abangku ini berlarian begitu gembira memainkan pistol mainan itu. Bersembunyi di balik pohon-pohon mangga, pohon jati, pohon bambu, dan kadang menyembulkan kepala, mengangkat pistolnya seolah tentara atau polisi yang menemukan orang jahat dan akan meringkusnya. Keren sekali. Aku juga ingin seperti bang Ali dan Bang Haji bermain polisi-polisian dan menangkap orang jahat. Siapa tahu ketika besar nanti aku juga bisa berbuat baik seperti itu. Seperti kata ustaz Ansori sewaktu mengaji di langgar, bahwa menjadi orang baik itu disayang Allah dan akan bersama-Nya nanti di Surga. Tapi bapak dan mamak selalu saja melarangku untuk ikut bermain bersama bang Ali dan bang Haji.  Bapak selalu saja mendelikkan matanya saat aku juga minta dibuatkan pistol mainan dari batang pohon pisang itu, seperti pistol yang telah dibuatkan bapak pada bang Ali dan bang Haji.

Sunday, December 16, 2012

Muhammad ibn Abdulwahhab; Pendiri Golongan Muwahhidin

[credit: here]
Oleh: Muhammad Mahrus*

Abstraksi
Dalam khazanah filsafat Islam, Ilmu Kalam disebut-sebut sebagai varian pertama yang banyak diminati oleh para pemikir muslim. Meskipun nuansa filsafat sudah mulai dirasakan dan dipakai oleh sebagian besar pemikir muslim pada waktu itu. Hal ini tampak pada hasil daripada pemikiran-pemikiran mereka yang cenderung rasional mengikuti jejak pemikiran Aristoteles. Terutama semenjak masa kepemimpinan khalifah al-Makmun dimana pemikir seperti al-Kindi sedang dalam masa produktifnya.[1]

Rasionalisasi atas agama (baca: Ilmu Kalam) yang dilakukan terhadap para pemikir muslim generasi awal tersebut menuai perdebatan panjang yang kemudian melahirkan pemikir-pemikir baru dengan varian pemikiran masing-masing. Belakangan kita menyebutnya dengan Filsafat Islam, Tasawuf, dan Hikmah. Rupanya empat tipoligi pemikiran inilah yang kemudian disepakati sebagai fase perkembangan pemikiran Islam tepat ketika Filsafat Barat sedang dalam masa kegelapan.

Dalam penelitian ini, obyek akan difokuskan pada varian pemikiran Islam pertama; Ilmu Kalam. Dengan mengambil seorang tokoh pemikir Islam generasi pertengahan yang corak pemikirannya dikenal dengan aliran Wahabiah; Muhammad Ibnu Abdul Wahab.[2] Wahabiah ternyata memiliki nama asli sebagai Golongan Muwahhidin (Unitarians). Meskipun demikian Wahabiah kemudian lebih dikenal karena istilah tersebut lebih banyak dipakai oleh para penulis-penulis Eropa. Sebagai sebuah sekte pemikiran Islam di bidang Ilmu Kalam, Wahabiah menganggap paham kelompoknya sebagai ahlussunnah dengan mengikuti jejak Nabi Muhammad Saw., dengan merujuk pada pemikiran Imam Ahmad Ibnu Hanbal setelah melalui penafsiran Ibnu Taimiah.[3]

Dalam sebuah artikel pendek yang ditulis oleh David Servetus, disebutkan bahwa Muhammad bin Abdul Wahab gemar berpindah-pindah tempat antar Negara karena dia memang seorang pedagang. Lalu pada tahun 1125 H., ia mulai terpengaruh dengan pemikiran Mr. Hempher.[4] Perkenalannya dengan orientalis Inggris tersebut menjadikan Muhammad bin Abdul Wahab keluar dari garis sunni Imam Ahmad bin Hanbal sebagaimana mestinya. Bahkan, ia juga menentang terhadap ajaran sunni Ahmad bin Hanbal yang dianut secara baik oleh keluarga besarnya. Hingga pada suatu kesempatan, kakaknya sendiri[5] menulis sebuah kitab yangberjudul As-Sawâ’iq al-Ilâhiyah fi al-Radd ‘alâ al-Wahâbiah sebagai bantahan terhadap ajaran adiknya tersebut. Kemudian diceritakan pula bahwa gurunya yang di Madinah, Syekh Muhammad Sulaiman al-Kurdi as-Syafi’i, menulis surat teguran dan nasehat kepadanya. Berikut adalah isi dari surat tersebut yang dikutip oleh David Servetus:[6]

"Wahai Ibn Abdul Wahab, aku menasehatimu karena Allah. Tahanlah lisanmu dari mengkafirkan kaum muslimin. Jika kau dengar seseorang meyakini bahwa orang yang ditawassuli bisa memberi manfaat tanpa kehendak Allah, maka ajarilah dia kebenaran dan terangkan dalilnya bahwa selain Allah tidak bisa memberi manfaat maupun madharrat. Kalau dia menentang bolehlah dia kau anggap kafir. Tapi tidak mungkin kau mengkafirkan as-sawâd al-A‘dham (kelompok mayoritas) di antara kaum muslimin, karena engkau menjauh dari kelompok terbesar. Orang yang menjauh dari kelompok terbesar lebih dekat dengan kekafiran. Sebab dia tidak mengikuti jalan muslimin."

Riwayat Hidup Muhammad bin Abdul Wahab
Muhammad bin Abdul Wahab hidup pada 1115 H/1703 M. Lahir di sebuah daerah sebelah Timur Kota Riyadh Saudi Arabia dengan nama lengkap Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad al-Masyaarif at-Tamimi al-Hambali an-Najdi. Dari nama lengkapnya itu pula diketahui silsilah keluarganya dan dengan gelarnya an-Najdi, menunjukkan desa kelahirannya yang dikenal dengan Nadjed.

Muhammad bin Abdul Wahab lahir dalam tradisi sunni pengikut Imam Ahmad bin Hanbal. Ayahnya seorang muslim sunni yang taat begitu juga keluarga besarnya yang lain. Seperti ditunjukkan oleh kakaknya, Sulaiman bin Abdul Wahab yang menjadi seorang ulama sunni terkemuka pengikut Imam Ahmad bin Hanbal.

Muhammad bin Abdul Wahab menempuh masa belajarnya di Madinah pada ulama-ulama besar seperti Syaikh Sulaiman al-Kurdi dan Syaikh Muhammad al-Khayyat as-Sindi. Setelah selesai, sambil berdagang ia pindah ke kota Bashrah dan menetap di sana selama empat tahun. Lalu, dalam masa lima tahun ia memilih tinggal di Baghdad. Pada tahun berikutnya ia tinggal di Kurdestan dan pindah lagi ke Hamzan selama dua tahun. Setelah itu ia memilih pergi ke Isfahan. Dalam bukunya, Pengantar Teologi Islam, A. Hanafi tidak menyebutkan berapa tahun Muhammad bin Abdul Wahab menetap di Isfahan. Tetapi setelah itu dia pindah lagi ke kota Qumm dan Kairo dengan membawa ajaran Imam Ahmad bin Hanbal.[7] Perlawatan panjang yang dilakukan Muhammad bin Abdul Wahab rupanya mempertemukan dirinya dengan tafsir-tafsir Ibnu Taimiyah atas ajaran Imam Ahmad bin Hanbal yang dianggap menyimpang. Selain itu, Muhammad bin Abdul Wahab juga terispirasi dengan gerakan Mr. Hempher yang tengah bertugas menjadi mata-mata Inggris dalam kepentingan kolonialisme. Hempher sendiri, dengan baju orientalisnya melihat potensi besar terhadap ajaran Islam yang dikembangkan dan diajarkan Muhammad bin Abdul Wahab.

Dalam catatan A. Hanafi yang merujuk pada Shorter enc[yclopedia]. of Islam : 618, Muhammad bin Abdul Wahab pulang ke ‘Ujainah. Di kampung halamannya, ia melakukan banyak perenungan dan orientasi, lalu mulai mengajarkan paham-pahamnya yang dituangkan dalam salah satu karyanya yang berjudul Kitabu al-Tauhid. Sebuah kitab yang tebalnya 88 halaman cetakan Makkah. Dengan gerakannya tesebut, meski tidak sedikit orang-orang yang menentangnya, ternyata ajarannya juga banyak yang mengikuti. Perlawanan datang dari banyak kelompok seperti yang ditunjukkan oleh kakaknya sendiri, Sulaiman bin Abdul Wahab. Seorang tokoh terkemuka pengikut ajaran sunni Imam Ahmad bin Hanbal.

Ketika situasi semakin memanas, akhirnya Muhammad bin Abdul Wahab diusir dari ‘Ujainah. Penolakan atas dirinya mengantarkan dia dan keluarganya pindah ke Dar’iah. Di sana dia diterima oleh Muhammad bin Sa’ud yang belakangan menjadi raja Saudi Arabia. Muhammad bin Sa’ud begitu tertarik dengan paham yang dibawa Muhammad bin Abdul Wahab. Bersama Muhammad bin Sa’ud, mereka kemudian menyebarkan ajaran-ajaran Wahabiah.[8]

Propaganda ajaran Wahabi ini mengusung gagasan yang cukup menarik. Karenanya dengan mudah banyak masyarakat Arab yang kemudian tertarik dengan ajaran-ajaran Muhammad bin Abdul Wahab. Gagasan yang paling sederhana tetapi berbobot adalah upaya memerangi syirik, penyembahan berhala, pengkultusan kubur dan membersihkan bid’ad – khurafat.[9]

Merujuk pada catatan kaki Syaikh Idahram dalam bukunya Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, tentang upaya purifikasi yang dilakukan golongan Muwahhidîn ini salah kaprah dan dapat dibilang keluar dari ajaran Islam sendiri. Bahwa:[10]

“Persis seperti ungkapan Sayyidina Ali yang terkenal ketika menumpas kaum Khawarij, ‘Qaul al-haqq yurâdu bihi al-bâthil (kalimat yang benar tapi digunakan untuk kebathilan).’ Para Sahabat Rasulullah Saw., imam – imam madzahab, ulama – ulama Salaf, dan umat Islam yang tidak sejalan dengan mereka dikafirkan, bahkan tak segan mereka musnahkan…”

Pandangan Muhammad bin Abdul Wahab tentang Ahlussunnah wal Jama’ah
Mengawali diskursus ini, kita perlu sedikit mengulas tentang gerakan aliran Wahabi. Sebagaimana telah disinggung pada bagian sebelumnya, propaganda yang dilakukan Muhammad bin Abdul Wahab adalah klaim atas ajaran Rasulullah yang murni. Paham ini yang disebut dengan ahlussunnah. Muhammad bin Abdul Wahab mengusung gerakan Muwahhidin atau Wahabi yang banyak diserap dari pemikiran kontroversial Ibnu Taimiyah. Bahkan, menurut A. Hanafi, ketertarikan Muhammad bin Abdul Wahab terhadap pemikiran Ibnu Taimiyah tidak berhenti di pemikiran, sebagaimana diketahui bahwa dengan gerakan Muwahhidin ajaran Wahabi direalisasikan dalam tindakan praktis.

Sementara, merujuk pada pendapat Syaikh Idahram, gerakan Wahabi belakangan menemui jalan buntu. Hal ini disadari para pengikutnya lantaran nama aliran Wahabi yang dinisbatkan pada nama pendirinya mendapat pertentangan keras dari banyak kelompok. Karenanya belakangan nama aliran ini menggunakan istilah Salafi dengan maksud mengadopsi istilah bagi generasi umat pilihan menurut Rasulullah Saw.[11]

Bahkan terkadang mereka juga mengatasnamakan kelompok ahlussunnah meski tanpa menggunakan kelanjutannya; wal jama’ah. Dikatakan pula bahwa mereka risih dengan istilah di belakang ahlussunnah tersebut. Karenanya, masih menurut Syaikh Idahram, beberapa ulama’ menambahkan sitilah ­as-Shalih di belakang istilah Salaf untuk membedakan antara kelompok Salaf yang sebenarnya dengan kelompok Salaf yang muncul dalam bentuk gerakan Wahabi. Karenanya pula, kini kini kita dapat mengenalinya kembali tanpa harus ada kerancuan antar dua kelompok yang berbeda itu. Dimana kelompok pertama disebut dengan as-Salafu al-Shalih dan yang kedua dicukupkan sebagai Salafi Wahabi.

Konsep Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab

Prinsip dari aliran ini adalah pemurnian aqidah. Sementara, pokok-pokok aqidah yang diajarkan Muhammad nin Abdul Wahab tidak jauh berbeda dengan aqidah yang diajarkan Ibnu Taimiyah. Menurut A. Hanafi, yang membedakan Muhammad bin Abdul Wahab dengan Ibnu Taimiyah ada pada pelaksanaan ajaran yang dilakukan Muhammad bin Abdul Wahab. sementara Ibnu Taimiyah lebih mengedepankan dialektika dan penulisan atas pemikiran-pemikirannya yang kontroversial itu.[12]

Secara umum, bangunan aqidah yang ditawarkan Muhammad bin Abdul Wahab terbagi menjadi dua bidang. Yakni bidang tauhid (pemurnian/purifikasi) dan bidang bid’ah. Dalam Kitab at-Tauhid yang ditulisnya, Muhammad bin Abdul Wahab mendokumentasikan buah pemikirannya dengan cara yang amat sederhana. Syaikh Idahram menyebutnya sebagai karya yang lebih mirip buku saku dan jauh ketika dibandingkan dengan karya-karya ulama lain di luar golongan Wahabi. Akan tetapi, terlepas dari pedebatan tersebut, Muhammad bin Abdil Wahab telah merumuskan konsep pemikiran Wahabi di bidang aqidah dengan poin-poin sebagai berikut:

1.  Penyembahan kepada selain Tuhan adalah salah, dan siapa yang berbuat demikian ia dibunuh.
2. Orang yang mencari ampunan Tuhan dengan mengunjungi kuburan orang-orang saleh, termasuk golongan orang musyrikin.
3. Termasuk dalam perbuatan musyrik memberikan pengantar kata dalam shalat terhadap nama nabi-nabi atau wali atau malaikat (seperti sayyidina Muhammad).
4. Termasuk kufur memberikan suatu ilmu yang tidak didasarkan atas Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau ilmu yang bersumber pada akal pikiran semata-mata.
5. Termasuk kufur dan ilhad juga mengingkari qadar dalam semua penafsiran Al-Qur’an dengan jalan ta’wil.
6. Dilarang memaki buah tasbih dan dalam mengucapkan nama-nama Tuhan dan do’a-do’a (wirid) cukup dengan menghitung keratin jari.
7. Sumber syari’at Islam dalam soal halal dan haram hanya Al-Qur’an semata-mata dan sumber lain sesudahnya ialah As-Sunnah Rasulullah. Perkataan ulama mutakallimin dan fuqaha tentang haram dan halal tidak menjadi pegangan selama tidak didasarkan atas kedua sumber tersebut.
8. Pintu ijtihad tetap terbuka dan siapapun juga boleh melakukan ijtihad, asal sudah memenuhi syarat-syaratnya.[13]

Sementara poin-poin bid’ah dalam konsep Wahabi Muhammad bin Abdil Wahab antara lain:

1.       Berkumpul bersama-sama dalam mau’idan.
2.       Orang wanita mengiringi jenazah.
3.       Mengadakan halaqah (pertemuan) zikir.

Dalam pelaksanaan ajaran-ajarannya, kelompok Wahabi melakukan perampasan pada buku-buku yang berisi tawassulat seperti Dalaailu Khairat dan semacamnya. Termasuk dalam bid’ah, menurut konsep Muhammda bin Abdul Wahab adalah perbuatan keseharian seperti merokok, minum kopi, memakai pakaian sutera bagi orang laki-laki, mengambil gambar (foto), mewarnai kuku jempol, memakai cincin dan sejumlah aktifitas keseharian lain yang disebut A. Hanafi dengan sesuatu yang tidak mengandung atau menghasilkan paham keberhasilan.[14]

Wahabi dalam Sejarah Pemikiran Islam
Paham Wahabi belakangan mulai menyebut dirinya dengan aliran Salafi. Sebagaimana pembahasan sebelumnya, aliran ini perlu dibedakan dengan as-Salafu as-Shalih yang murni merupakan generasi pendahulu yang meneruskan ajaran Rasulullah Saw. Sementara pemurnian yang dilakukan kelompok Salafi Wahabi merupakan kedok semata karena mereka mulai tersudutkan dengan nama Wahabi yang sudah melekat erat dengan nama pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahab. selain itu, hamppir semua gerakan propagandanya muali terpatahkan dalam banyak hal.

Sebanarnya pula, nama baru yang mereka pakai tersebut, meski dengan dalih tetap memegang haluan ahlussunnah, baru digunakan ketika paham tersebut diekspor ke luar Saudi Arabia. Rupanya mereka sadar bahwa nama Wahabi sudah tidak banyak membawa keberuntungan. Karenanya mereka perlu merancang strategi baru ketika ingin mendakwahkan pahamnya ke luar Jazirah Arab.

Sambutan baik didapatkan Wahabi dari Muhammad Nashiruddin al-Albani.[15] Dengan strategi barunya, kelompok Salafi palsu ini,[16] benar-benar merasa perlu mengganti nama aliran mereka karena telah mengalami banyak kegagalan. Hal ini seperti yang diungkapkan Prof. Dr. Sa’id Ramadhan al-Buthi dalam bukunya, As-Salâfiyah Marhalah Zamâniyah Mubârakah Lâ Madzhab Islâmî.[17]

Padahal, istilah Salafi sendiri baru muncul pertama kali di Mesir dalam gerakan Pan Islamisme pada akhir abad ke-19 yang digawangi Jamaluddin al-Afgani dan muridnya, Muhammad Abduh. Gerakan pembaruan Islam (al-Ishlah ad-Dini) tersebut dilakukan dalam rangkan membendung pengaruh sekularisme, penjajahan, dan hegemoni Barat atas dunia Islam. Dalam konteks menumbuhkan patriotism itulah Muhammad Abduh mengenalkan Salafi.

Sebelumnya, istilah Salafi bahkan tidak pernah dipakai oleh para pendahulu yang sesungguhnya. Disebutkan bahwa para ulama’ Salaf dan Mujtahid (Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Tsauri, dan sebagainya) tidak pernah menyebut dirinya sebagai kelompok Salafi. Termasuk para Imam ahli hadits, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi, dan seterusnya juga tidak ada yang menyebut dirinya sebagai Salafi.

Bahwa Nabi memang pernah bersabda tentang tata cara salam kepada ahli kubur dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Thabrani:

“Assalâmu’alaikum yâ ahla al-qubûr yaghfirullâhu lanâ wa lakum antum salafunâ wa nahnu bi al-atsar.” (HR. Tirmidzi dan Thabrani).
Kata salafunâ dipakai untuk menyebut para pendahulu.

Penyebaran Aliran Wahabi
Sepertinya, representasi dari penyebaran aliran Wahabi ini ada di trilogi Salafi Wahabi karya Syaikh Idahram. Dengan tuntas rekam jejak gerakan dan penyebaran aliran Wahabi didedah secara ilmiah. Hingga pola masuknya sekte sempalan ini ke Indonesia juga dikupas habis. Akan tetapi untuk penyebaran ke bumi Nusantara ini akan diuraikan pada sub bab berikutnya.

Dalam bukunya yang pertama, Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, Syaikh Idahram mengisi lembaran-lembaran tulisannya dengan bukti-bukti otentik genap dengan referensinya. Kemudian pada buku kedua, Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya Ulama Klasik, disusul buku ketiga dengan judul Ulama Sejagad Menggugat Salafi Wahabi.

Merujuk pada buku tersebut, metode dakwah aliran ini tergolong kasar. Bahwa, demi kepentingan dakwah mereka menempuh cara-cara yang bahkan tidak ilmiah dan manusiawi. Pada awal kemunculannya, dengan paham-paham aqidah yang ditawarkan Muhammad bin Abdul Wahab, mereka melakukan pembantaian terhadap orang-orang Islam Makkah yang tidak mau mengikuti paham ini. Hal ini ditunjukkan dengan maklumat langsung dari sang pendiri dalam sebuah karyanya, Ad-Durar as-Saniyah, Muhammad bin Abdul Wahab menulis:[18]

“Wa mâ ahsana mâ qâlahu wâhid min al-bawâdiy, lamma qadam ‘alainâ wa sami’a syai’ min al-Islâm, qâla: Asyhadu annanâ kuffâr – ya’nî huwa wa jamî‘ al-bawâdiy –, wa asyhadu anna al-muthawwi‘ al-ladzî yusammînî Islâm annahû kâfirun.”
[Betapa indahnya apa yang diucapkan oleh salah seorang Badui ketika dating kepada kami dan mendengar sedikit tentang Islam. Si Badui itu berkata,’aku bersaksi bahwa kami adalah orang-orang kafir – yakni dirinya dan semua orang-orang Badui –, dan aku bersaksi bahwa guru yang berkata bahwa kamia dalah orang Islam, juga kafir.’”]

Demikian adalah satu bentuk pola menyebaran aqidah Wahabi. Yakni dengan mewajibkan pengikutnya agas bersaksi atas kekafiran Umat Islam. Kedua, paham ini mengharuskan pengikutnya melakukan hijrah ke desa kelahiran Muhammad bin Abdul Wahab, Najd. Kemudian para pangikut Wahabi haram bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw. Lalu, Wahabi juga melakukan penafsiran-penafsiran terhadap Al-Qur’an dan melakukan ijtihad. Termasuk, hasil dari penafsiran-penafsirannya tersebut, pengikut Wahabi menyamakan orang-orang Muslim Arab lainnya dengan orang-orang kafir.[19]

Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya pada bab kedua, bahwa jika Ibnu Taimiyah lebih cenderung pada teori dan dinamika pemikiran, Muhammad bin Abdul Wahab merelaisasikannya dalam bentuk tindakan. Karenanya pula, belakangan pengikut aliran ini terpecah menjadi dua kelompok besar. Yakni Salafi Yamani dan Salafi Harakah. Akan tetapi pembahasan ini juga akan dijelaskan pada sub bab berikutnya.

Adapun pola pertama penyebaran aqidah Wahabi ini dapat dikategorika ke dalam upaya penafsiran terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tentu dengan metode dan tujuan-kepentingan mereka sendiri. Pola berikutnya, masih merujuk pada Syaikh Idahram, adalah dengan melakukan pemalsuan terhadap kitab-kitab karya ulama klasik. Beberapa bentuk pemalsuan ini antara lain adalah dengan mengotak-atik naskah asli pengarang dengan merubah atau menghapus gagasan-gagasan yang tidak sejalan dengan pemikiran mereka. Semisal karya Syaikh Imam Nawawi ad-Damaskusi, al-Adzkar, tentang anjuran ziarah ke makam Rasulullah bagi para jama’ah haji. Dalam karya besar itu, para pengikut wahabi merubah redaksi fi qabri Rasuulillah shallallahu alaihi wa wasallama wa adzkaarihaa menjadi masjidi Rasulillahi shallallahu alaihi wa sallama. Berikut adalah redaksi lengkap yang dikutip Syaikh Idahram:[20]

“Fashl fî ziyârah qabr Rasûlilllâh shallallâh ‘alaihi wa sallama wa adzkârihâ: I’lam annahû yanbaghî likuli hâjj an yatawajjaha ilâ ziyârah Rasûlillâh shallallâh ‘alaihi wa sallama sawâ’ kâna dzâlika thariqahû aw lam yakun fa inna ziyâratah shallallâh ‘alaih wa sallama min ahammi al-qurabât wa arbâh al-masâ’î wa afdhal ath-thalabât, fa idzâ tawajjaha li az-ziyârah aktsir min al-shalâh wa as-salâm ‘alaihi shallallâhu ‘alaihi wa sallama fî tharîqih. Fa idzaa waqa‘ basharahû ‘alâ asyjâri al-Madînah…”
[Pasal tentang ziarah ke makam Rasulullah Saw. dan dzikir-dzikirnya: ketahuilah bahwa sudah seyogianya bagi setiap orang yang menunaikan ibadah haji untuk menziarahi (makam) Rasulullah Saw., baik kota Madinah itu sebagai jalan yang dilaluinya untuk (menuju kota/negerinya) atau bukan. Karena, menziarahi beliau Saw. termasuk ibadah taqarrub yang paling penting, usaha yang paling menguntungkan (bagi setiap hamba untuk kebaikannya) dan perintah yang paling afdhal. Jika ia sedang menuju (Madinah) untuk berziarah, hendaklah ia memperbanyak membaca shalawat dan salam untuk beliau Saw. di perjalanannya. Dan apabila ia telah menyaksikan pohon-pohon kota suci Madinah…]

Demikian karena ziarah merupakan sesuatu yang diharamkan dalam ajaran Wahabi, terkait dengan kepentingan tersebut maka tangan-tangan kreatif pengikut Wahabi ini merubah redaksi Imam Nawawi ini menjadi sebagai berikut:

“Fashl fii ziyaarati masjidi Rasûlilllâh shallallâh ‘alaih wa sallam: I‘lam annahû yastajîbu man arâda ziyârah masjid Rasûlillâh shallâllah ‘alaihi wa sallam an yuktsir min ash-shalâh ‘alaihi shallallâhu ‘alaihi wa sallama fî tharîqih. Fa idzaa waqa’a basharahu ‘alâ asyjâri al-Madînah…”
[Pasal tentang ziarah ke masjid Rasulullah Saw.: ketahuilah bahwa, sudah seyogiyanya bagi orang yang ingin menziarahi masjid Rasulillah Saw. untuk memperbanyak shalawat kepada beliau Saw. di perjalanannya. Dan apabila telah menyaksikan pohon-pohoan kota suci Madinah…]

Pola kedua gerakan penyebaran aliran ini tentu tidak berhenti sampai di sini. Perihal pemalsuan kitab-kitab dilakukan terhadap sejumlah ulama lain seperi as-Syaikh al-Muhaddits Abdullah al-Harari al-Habasyi dengan menebar fitnah bahwa Syaikh Abdullah adalah penyebar aliran baru, al-Ahbasy. Senyatanya, yang difitnah jelas-jelas adalah pengikut Asy’ari yang taat. Atau intimidasi dalam bentuk paling ekstrem dengan melakukan penculikan terhadap penulis Târikh ‘Alî Sa‘ûd, Nashir as-Sa’id dari Lebanon.[21]

Masuknya Wahabisme ke Indonesia
Setelah berdirinya kerajaan Saudi, ditandai dengan pengukuhan Ibnu Saud sebagai emir dan Muhammad bin Abdul Wahab bebagai imam urusan agama pada 1744 M., secara resmi paham Wahabiah dipakai oleh kerajaan Saudi. Sementara keberadaan baitulllah di kota Makkah ternyata cukup menguntungkan dalam penyebaran paham ini ke seluruh dunia. Lewat jama’ah-jama’ah haji yang dating dari berbagai pelosok negeri, dengan cepat paham ini tersebar.

Di daratan Nusantara, ulama-ulama dari daerah Sumatera Barat disebut-sebut sebagai pembawa paham ini. Pada awal abad ke-19, paham ini mulai tumbuh dan berkembang lewat gerakan pembaruan yang dikomandoi oleh Tuanku Imam Bonjol. Hampir bersamaan dengan gerakan Pan Islamisme yang terjadi di Mesir oleh Jamluddin al-Afghani dan mudridnya, Muhammad Abduh. Masing-masing membawahi gerakan pembaruan Islam. Di satu sisi, Wahabi mulai menyebut dirinya dengan istilah Salafi. Sekali lagi, menurut A. Hanafi dan Syaikh Idahram, perubahan nama yang mereka lakukan adalah dalam rangka strategi dakwah baru. Setidaknya, dari dua tokoh ini dapat diketahui bahwa perubahan Wahabi ke Salafi seiring dengan ekspansi ke luar Jazirah Arab.

Pada kurun waktu 1803 – 1832 M., di Nusantara sedang bergejolak peristiwa perang Padri dengan semangat purifikasi ajaran agama. Meskipun pada satu sisi gerakan kaum Paderi ini adalah bentuk perlawanan terhadap kolonialisme, akan tetapi spirit perjuangan mereka kemudian menjadi perpanjangan tangan kelompok Wahabi dengan nama Salafi di Nusantara. Melanjutkan semangat gerakan kaum Padri di Sumatera, spirit serupa mulai bercokolan di tanah air. Organisasi-organisasi pembaruan seperti al-Irsyad, Persis, dan Muhammadiyah juga tampil dengan semangat serupa.

Di satu sisi, problem yang dihadapi di Nusantara adalah menghadapi kelompok masyarakat yang menjadi generasi penganut Hindu-Budha yang telah memeluk agama Islam. Mereka khawatir adanya percampuran antara kebudayaan Hindu-Buddha dengan ajaran Islam. Karenanya dengan semangat purifikasi itulah organisasi-organisasi pembaharu Islam hadir di tengah-tengah masyarakat. Akan tetapi, gerakan kaum Salafi di Nusantara (sampai kemudian merdeka) tidak seekstrem yang dilakukan kelompok Salafi di Jazirah Arab. Terutama ketika masih masa hidupnya Muhammad bin Abdul Wahab. Salafi di Indonesia hanya memiliki kesamaan spirit dalam memurnikan ajaran Islam.

Baru ketika di Indonesia sedang terjadi internasionalisasi besar-besaran, sekitar tahun 1970-an, banyak bercokolan organisasi-organisasi Islam. Memasuki tahun 80-an, organisasi-organisasi dari luar negeri semisal Tarbiyah (Ikhwanul Muslimin), Jama’ah Tabligh, Hizbut Tahrir, Jama’ah Islamiyah mulai berkembang. Pun masing-masing mulai mendapatkan simpati. Pada puncaknya, tahun 1995 seiring dengan terbitnya Majalah Salafi Ja’far Umar Thalib secara resmi membawa gerakan Salafi ke Indonesia.[22]

Sebagaimana dijelaskan sedikit di sub bab sebelumnya, bahwa aliran Salafi yang berkembang secara umum terbagi menjadi dua. Salafi Yamani[23] dan Salafi Harakah. Salafi Yamani di bawah panji Ja’far Umar Thalib sebagai panglima Laskar Jihad. Meskipun awalnya dia adalah pengikut kelompok Salafi Harakah, belakangan ia pindah dan tampil sebagai ujung tombak Salafi Yamani. Salah satu bentuk gerakannya di Indonesia adalah monopoli gerakan Salafi. Karenanya tidak hanya organisasi-organisasi senior Salafi di Indonesia saja yang diserang. Bahkan sesama organisasi Salafi di luar paham Yamani tidak luput dari gerakannya.

Kesimpulan
Jika dipetakan secara sederhana, secara umum keseluruhan aliran dalam Islam adalah upaya menerjemahkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Paling tidak kesemuanya juga mengatasnamakan dirinya sebagai ahlussunnah. Berkiblat pada ajaran-ajaran ulama Salaf (as-Salafu as-Shalih) yang memiliki legalitas intelektual secara tidak langsung dari Rasulullah Saw. Kemudian melakukan pengajaran dan propaganda pada masyarakatnya masing-masing. Sampai pada fase ini pula, perbedaan bermunculan mengakibatkan perpecahan-perpecahan dalam memahami dua sumber agama tersebut.

Barangkali, di satu sisi, ikhtilâfu ummatî rahmah yang pernah disabdakan Rasulullah Saw. itu bakal menemukan tujuannya. Akan tetapi fase perdebatan yang sudah berlangsung lebih dari 10 abad yang lalu itu benar-benar harus dilalui. Entah sampai kapan pula perdebatan ini akan berlangsung. Barangkali pula, ketika sampai pada waktunya, Islam benar-benar akan menunjukkan kejayaannya tanpa adanya perbedaan apapun antar masing-masing pemeluknya. Atau justru inilah rahmat yang dimaksudkan Rasulullah Saw. Yakni ketika umatnya benar-benar berlomba menjadi yang paling benar di atas yang lain.

Dengan adanya aliran Wahabi atau Salafi ini, setidaknya generasi hari ini dapat belajar sesuatu dari banyaknya aliran pemikiran dalam Islam. Setidaknya juga, adanya fenomena gerakan-gerakan Salafi hari ini dapat dibaca sebagai bahan pengayaan ilmu pengetahuan. Bagi kalangan non pengikut aliran Salafi, tidak kemudian memandangnya dengan sebelah mata. Pun bagi penganutnya, tidak kemudian menganggap kelompoknyalah yang paling berhak atas kebenaran agama. Barangkali ini yang paling penting di antara kemungkinan manfaat yang tersebut di atas. Wallâhu A‘lam bi ash-Shawâbi.

Kritik atas Aliran Wahabi
Ketika A. Hanafi secara halus mengkritik Wahabi dengan menggambarkan perasaan sebagian besar kaum muslimin,[24] Syaikh Idahram sebaliknya. Dengan mengutarakan pendapat-pendapat para cendekiawan muslim sejagad di antara pitutur-pututurnya sendiri, dalam buku ketiganya Syaikh Idahram membongkar kesalahan-kesalahan atau penyimpangan yang dilakukan kelompok Salafi Wahabi ini.

Pada kesempatan ini, penyusun hanya akan memaparkan beberapa realitas parsial saja. Pertama, dalam perubahan redaksi karangan Imam Nawawi ad-Dimasqi, Al-Adzkâr, kelompok paham Wahabi tampak tidak begitu konsisten dengan ajarannya sendiri. Menurut penyusun, di dalam serangkaian kalimat tersebut terdapat kalimat aktsir min ash-shalâh wa as-salâm ‘alaihi. Dalam bentuk yang sudah dirubah, kata min as-shalâh masih ditetapkan. Padahal dalam salah satu ajaran Muhammad bin Abdul Wahab, para pengikut Wahabi diharamkam membaca shalawat kepada Rasulullah Saw.[25]

Kedua, merujuk pada pengantar dari KH. Mundzir Tamam, M.A. (Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Prov. DKI Jakarta) dalam buku ketiga trilogi Salafi Wahabi, kesalahan paling fatal yang dilakukan kelompok Salafi Wahabi antara lain: cara memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah yang tekstual dan literal. Sehingga membuat dua sumber hukum Islam tersebut menjadi jumûd. Mereka tidak tau (atau  bahkan tidak mau tau) bahwa Al-Qur’an banyak mengandung makna majâzî. Dengan mengesampingkan makna majâzî Al-Qur’an, secara tidak langsung menreka menunjukkan kebebalannya dalam berfikir, karena dengan sesuatu yang metaforis akal akan bekerja sesuai dengan kondratnya.

Kesalahan berikutnya, masih menurut KH. Mundzir Tamam, M.A., mereka melupakan 3 pilar penting dalam ajaran agama. Iman, Islam, dan Ihsan. Di mana tasawuf, ejawantah dari konsep ihsan, dipahami secara tidak akurat. Sekali lagi karena mereka terlalu tekstual dalam membaca dan belajar sesuatu. Sehingga mereka tak ubahnya robot yang tidak dapat berfikir selain apa yang sudah diprogramkan sebelumnya. Dan tentunya masih banyak lagi persoalan-persoalan yang dapat diuraikan dalam kesempatan lain.

Penutup
Satu hal yang paling tidak disukai oleh penyusun adalah mengakhiri tulisan. Begitu pula ketika penyusunan penelitian ini sampai pada bagian ini. Penutup. Karenanya susah sekali menyusunan kalimat-kalimat penutup. Terutama tentang tema yang begitu manarik ini. Meskipun tema tentang Wahabisme merupakan satu tema yang seringkali hanya menjadi pergunjingan sepihak dari kelompok-kelompok anti Wahabi. Lebih spesifik lagi, Wahabi atau Salafi yang berkembang di Indonesia.

Karena juga, barangkali, Wahabi yang berkembang di Indonesia semakin tidak jelas epistemologi keilmuannya. Justru, jika memang benar adanya, ketidakjelasan epistemologi keilmuan seperti itu hari ini lahir dalam produk-produk pengetahuan instan. Di lapangan, tradisi intelektual dan iklim ilmiah semakin tergusur dari rumahnya. Tergantikan dengan tradisi-tradisi baru yang kompatibel dengan keilmuan-keilmuan instan. Lantas apa jadinya ketika dua realitas itu bertemu selain penyatuan pengetahuan yang tidak ilmiah?

Sungguh penyusunan penelitian ini tidak dimaksudkan untuk justifikasi serta monopoli kebenaran dari sebuah ideologi. Bagaimanapun, sebuah paham keaagamaan butuh apresiasi dan kritik. Karenanya inilah yang harus diketahui oleh kalangan intelektual dan akademisi sebagai sebuah fakta keilmuan modern, sehingga dapat disikapi secara professional, proporsional, dan bijaksana. Tidak dengan pemaksaan kebenaran atas paham tertentu dalam bentuk tindakan ekstrem irasional.

Akhirnya, semoga penyusunan penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca pada umumnya. Akan tetapi, penyusun juga berharap dapat mengambil hikmah dari penggarapan penelitian ini. Tidak lupa, penyusun juga menghaturkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat-Nya dari secercah pengetahuan-Nya yang agung.

Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.[]

Yogyakarta, 12-12-12
*Muhammad Mahrus adalah mahasiswa jurusan Aqidan dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sekarang sedang berjuang menyelesaikan skripsinya.



[1] Amroeni Drajat, Suhrawardi, Kritik Falsafah Peripatetik, (Yogyakarta: LKiS, 2006), hal. 111.

[2] Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad al-Masyaarif at-Tamimi al-Hanbali an-Najdi (1115-1201 H/1703-1787 M) lahir di sebuah daerah sebelah Timur Saudi Arabia bernama ‘Ujainah. Tepatnya di sebuah desa bernama Nadjed. Abdil Wahab dikenal sebagai pelajar yang suka melawat antar Negara. Setelah belajar pada Sulaiman al-Kurdi dan Muhammad al-Khayyat as-Sindi di Madinah ia pindah ke Bashrah selama empat tahun. Kemudian lima tahun di Baghdad, satu tahun di Kurdestan, dua tahun di Hamzan, lalu pindah ke Isfahan. Ketika pindah lagi ke kota Qumm dan Kairo, ia sudah menjadi seorang penyebar aliran Ahmad bin Hanbal.
[3] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Jakarta: PT. Pustaka Al-Husna Baru), 2003, hlm. 189.
[4] Seorang orientalis Inggris yang bekerja sebagai mata-mata di Timur Tengah. Ketika itu Inggris memang sedang gencar-gencarnya mendirikan paham-paham baru dalam Islam demi kepentingan kolonialisme. Termasuk ketika Muhammad bin Abdil Wahab datang, paham baru tersebut juga dijadikan sebagai alat pemecah dalam Islam.
[5]  Sulaiman bin Abdul Wahab. Seorang ulama besar pengikut Imam Hanbali.
[6] Anonim, http://www.akhirzaman.info/islam/saudi-dan-wahhabi/1780-sejarah-wahhabi.html diakses pada 19 November 2012.
[7] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru), 2003, hlm. 189.
[8] Ibid. hlm. 190.
[9] Syaikh Idahram,  Sejarah Berdarah Sekte Salafi-Wahabi, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren), 2011, Cet. II, hlm. 28.
[10] Ibid. hlm.28.
[11] Perubahan nama dari Wahabi ke Salafi merupakan strategi dakwah yang sengaja dilakukan karena Wahabi sudah mulai tercium sebagai gerakan pemecah persatuan umat Islam. Dengan nama barunya, mereka merujuk pada tiga generasi yang menurut Rasulullah Saw, melalui haditsnya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim; “Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di masaku, kemudian yang mengikuti mereka (tabi’in), kemudian yang mengikuti mereka (tabi’it tabi’in). (HR. Bukhari dan Muslim). Lihat Syaikh Idahram, Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren), Cet. II., hlm. 23-25.
[12] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru), 2003, hlm. 190.
[13] Data ini sepenuhnya diambil dari buku A. Hanafi yang mengutip pada Shorter Enc. of Islam : 69 dan Islam Bilaa Madzaahib. Lihat A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Jakarta: Pustaka Al-husna Baru), 2003, hal. 191.
[14] Ibid. hlm. 191-192.
[15] Muhammad Nasiruddin al-Albani, seorang yang  dipandang kelompok Wahabi senagai seorang ahli hadits.
[16] Dalam catatan kaki Syaikh Idahram, kelompok Salafi Palsu atau Mutamaslif itu dijelaskan oleh Hasan Ibnu Ali as-Segaf, at-Tauhid bi Man ‘Addad at-Tauhid, Dar Iman an-Nawawi, cet. ke-2, Amman, Yordania 1413 H., hlm. 27.
[17] Lihat Syaikh Idahram, Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren), cet. ke-2, 2011, hlm. 27. Penulis juga menambahkan catatan penting kaitannya dengan perubahan strategi dakwah Salafi Wahabi ini. Bahwa apa yang dilakukan Salafi Wahabi dengan merubah nama alirannya adalah termasuk kedok yang menyimpan borok dan kebobrokan Wahabi. Disebutkan pula beberapa nama ulama’ yang berhasil menbongkar penyimpangan tersebut, antara lain: al-‘Allamah al-Kautsari, al-‘Allamah al-Qusyairi, Mufti Mesir: Syaikh Prof. Dr. Ali Jum’ah, al-Muhaddits Sayyid Muhammad al-‘Alawi al-Maliki, Syaikh Hasan Ibnu Ali Assegaf, Syaikh Ahmad al-Ghimari, Syaikh Abdullah al-Harari, dan lain-lain.
[18] Catatan tersebut diawali dengan pengakuan Syaikh Ahmad Zaini Dahlan yang dituangkan dalam kutabnya, Khulashah al-Kalam fi Bayan Umara al-Balad al-Haram, yang mengatakan “Jika orang yang masuk Islam itu setuju dengan kesaksian seperti itu, Syaikh menerima keislamannya. Namun jika tidak, Syaikh memerintahakn (para pengkutnya) untuk membunuhnya. Mereka yang secara terang-terangan telah mengkafirkan umat Islam. Lihat: Syaikh Idahram, Ulama’ Sejagad Menggugat Salafi Wahabi, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren), Cet. ke-6, 2011, hlm. 104-106.
[19] Ibid, hlm. 98-109.
[20] Lihat: Syaikh Idahram, Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya Ulama Klasik, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren), cet. ke-7, 2011, hlm. 51-54
[21] Ibid, hlm. 47.
[22] Ibid, hlm. 39-46
[23] Salafi Yamani adalah kelompok Wahabi yang berkembang di Yaman dan bergerak di luar jalur politik. Di Indonesia, Salafi Yamani inilah yang dibawa oleh Ja’far Umar Thalib.
[24] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru), 2003, hlm. 194-195.
[25] Syaikh Idahram, Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya Ulama Klasik, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren), cet. ke-7, 2011, hlm. 53-54. Lihat pula pada buku ketiga, Ulama Sejagad Menggugat Salafi Wahabi, Bagian Pertama tentang Kerancuan dan Penyimpangan Muhammad bin Abdul Wahab (Pendiri Salafi Wahabi) poin kedua; Mengharamkan Shalawat Kepada Nabi Saw. Pada bagian ini Syaikh Idahram mengutip secara langsung pendapat dari seorang Mufti di Mesir yang memaparkan pendapat Muhammad bin Abdul Wahab mengenai larangan bershalawat kepada Rasulullah Saw. dalan ajarannya.
Powered by Blogger.

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top