Tuesday, July 31, 2012

Islamic Boarding School (Pesantren)

Oleh: Muhammad Dhofir*

Islamic boarding school, or it is often called the cottage or Ponpes (Pondok Pesantren), is the school of Islam in Indonesia. An education of Islamic boarding school has a purpose to deepen about knowledge of Al-Qur’an and Sunnah Rasul, with learning Arabic language and theory of Arabic language. The students of traditional Muslim (Santri) learn in this school, all at once they stay in dormitory that has been prepared by school of Qur’anic (pesantren).

An Islamic boarding school is begun from a kiai (teacher of Islam) in that place, coming the students who want to learn religion. Those traditional Muslim students come to the Islamic boarding school  to learn together with the kiai.

Islamic boarding school is the center of value development and broadcasting of Islam religion, but in its development, this institution is wider not only applying  the religious lessons in the vertical mobility, but also in the horizontal mobility (social awareness). At the present, Islamic boarding school also attends to the society problem (society-based curriculum). Thereby, Islamic boarding school is not only missionized as the religious institution, but also it should become a social institution that responds in around of its social problem.

Saturday, July 28, 2012

Akidah Islam; Sejarah, Perbedaan Dan Alur Mayoritas

Oleh: Ahmad Biyadi*


Faktor Munculnya Perbedaan
Seperti dalam ramalan bahwa Islam akan terpecah dalam begitu banyak aliran, perbedaan keyakinan terjadi tidak lama setelah ramalan diucapkan. Pada abad pertama, di masa pemerintahan ‘Alî ibn Abî Thâlib mulai muncul benih golongan pemberontak yang kemudian dikenal dengan Khawârij.[1]

Faktor politik menjadi alasan utama mereka memberontak. Tapi itu berujung pada perdebatan pemikiran, utamanya tentang status pelaku dosa besar, apakah masih dianggap muslim ataukah kafir. Seiring waktu, golongan ini menyinggung ranah teologi tentang bagaimana status pelaku dosa besar. Apakah mereka muslim ataukah telah kafir. Perdebatan pun muncul. Khawârij yang mengkafirkan pelaku dosa besar diimbangi oleh golongan Murji’ah yang ‘kebablasan’ dengan berpendapat perbuatan dosa sama sekali tak berpengaruh pada status kafir atau muslim.[2]

Perdebatan itu merembet pada tema-tema tentang takdir, kekuatan manusia, dan sifat Tuhan, yang membawa para tokoh pada akhir abad pertama hijriah dalam perbedaan pendapat. Sejak saat itu, banyak di antara mereka memunculkan pemikiran-pemikiran baru tentang tema-tema tersebut. Hingga muncullah pendapat-pendapat yang kerap kali ada kemiripan dengan keyakinan di luar Islam. Misalnya di Persia, ada keyakinan bahwa manusia adalah penguasa terhadap dirinya dan Tuhan sama sekali tidak berhak menentukan perbuatan manusia. Keyakinan ini menyusup dan berbuah menjadi paham Qadariyah. Kemudian lawan dari paham ini muncul dan dikenal dengan paham Jabariyah atau Jahmiyah.[3] 

Friday, July 27, 2012

Islam dan Wacana Pembangunan di Indonesia

Oleh: Ahmad Atho' Lukman Hakim*

Sebelumnya kita jernihkan dulu istilah pembangunan sebelum melihat peran Islam. Kata pembangunan bukanlah kata yang steril dari nilai (value free). Kata pembangunan adalah kata yang sarat akan nilai (value loaded) dan juga sarat akan kepentingan. Diskursus tentang pembangunan sering kita dengar sebagai jargon dari pemerintahan rezim Orde Baru. Menurut Mansour Fakih (1996) pembangunan telah menjadi ideologi baru bagi Dunia Ketiga paska perang Dunia Kedua. Pembangunan dalam prakteknya dianggap sebagai satu-satunya tujuan bagi kebanyakan masyarakat Dunia Ketiga dan dijadikan alternatif yang harus dilakukan demi terwujudnya kehidupan masyarakat yang lebih sejahtera secara ekonomis. Dengan mitos-mitos yang demikian pembangunan akhirnya diterima secara massif oleh Dunia Ketiga tanpa reserve.

Pembangunan adalah anak kandung dari modernisme yang berbasis pada revolusi ekonomi, politik dan filosofis. Revolusi filosofis didasarkan pada dua landasan ideologi; (i) sekularisasi atau pembebasan agama dari Negara, (ii) fisika sebagai paradigma humaniora (Abdul Munir Mulkhan :1997).

Modernisme yang mendasari pembangunan juga berakar pada paham  individualisme, sebuah pandangan yang menekankan eksistensi dari manusia (agensi manusia). Berangkat dari paham inilah kemudian muncul teori ekonomi Adam Smith yang kemudian menjadi dasar pembangunan disektor ekonomi.

Melacak Term Korupsi Dalam Alquran

(Upaya Merumuskan Fikih Anti Korupsi)

Oleh: Taufik Umar*


Abstrak
Problematika korupsi merupakan wacana yang tiada henti, terus mengalami dinamika. Hal itu pun lantas memicu pembacaan korupsi yang lebih komperhensif, tak terkecuali dalam hal ini Alquran. Secara konkret Alquran memang tidak menyebutkan term korupsi sebagai kesatuan hukum yang eksplisit, melainkan term-term tertentu seperti ghulûl, al-suht, al-dawl, hirâbah yang mengarah pada subtansi korupsi tersebut. Berangkat dari term-term tersebut pula, sebuah kerangka rumusan fikih anti korupsi mulai diperbincangkan sebagai bentuk epistemologi pencegahan dan juga pemberantasannya.
Keyword: Korupsi, Alquran, Fikih Anti Korupsi.

Latar Belakang Masalah
Problem sosial yang terus diperbincangkan tiada henti saat ini adalah kasus korupsi yang kian memprihatikan. Perbincangan problematika korupsi hampir menemui jalan buntu karena apa yang dijadikan langkah pemberantasan korupsi di negeri ini berbanding terbalik dengan terus meningkatnya indeks peringkat korupsi di Indonesia. Oleh karenanya, banyak masyarakat yang lebih bersifat pesimis terhadap langkah pemberantasan korupsi di Indonesia, bahkan di antaranya sudah ada yang bersifat permisif. Selain itu, Korupsi juga merupakan kejahatan yang tergolong extra-ordinary crimes (kejahatan sangat berat), karena apa yang dihasilkan dari korupsi telah membawa akibat langsung, yaitu memperparah kemelaratan rakyat.

Berangkat dari problematika di atas, sebagian cendekiawan mulai melacak penegasan Alquran mengenai korupsi. Hal itu dilakukan sebagai upaya menemukan epistemologi pemberantasan kasus korupsi mengingat bahwa Alquran adalah kitab suci yang memberikan petunjuk. Sementara itu, Alquran, yang masih bersifat global dan universal, menyisakan permasalahan yang harus dicermati dan dikaji secara komperhensif. Wacana korupsi, misalnya, masih berupa konsep yang implisit yang tidak diuraikan oleh Alquran secara tegas (baca: eksplisit). Term-term semisal  ghulûl, al-suht, hirabah, dan al-sarq merupakan term yang selama ini digunakan sebagai sebuah landasan perbincangan Alquran mengenai korupsi.

Tuesday, July 24, 2012

Islam Antara Kesalehan Spiritual Dan Sosial


Oleh: Ghufron AM*

Mula-mula, tulisan ini berawal dari perbincangan ringan bersama teman-teman, sambil menikmati secangkir kopi di sela-sela aktivitasnya masing-masing. Kebetulan, yang kami perbincangkan pada waktu itu adalah seputar sosial keagamaan. Singkat kata, di tengah-tengah perbincangan ada statement menarik yang keluar dari salah satu di antara kami. Kurang lebihnya seperti ini: “pada hakikatnya manusia adalah makhluk otonom yang bebas, tidak bisa diintervensi siapapun, kecuali intervensi Tuhan itu sendiri”. Melihat statement demikian, penulis sendiri tertarik untuk lebih terbuka diperbincangkan, dan mencoba diketengahkan dalam bentuk tulisan.

Walaupun pada dasarnya manusia makhluk otonom, makhluk bebas berkarya dan berkarsa dari apa yang ia ketahui, bukan berarti ia dapat mengintrepetasikan sebebas-bebasnya tanpa memandang adanya nilai-nilai atau moral etik yang berlaku di dalam agama. Dan juga bukan berarti dengan sendirinya ia bisa bebas dan lepas dari intervensi dalam selera berfikir dan bersikap. Karena bagaimana pun juga, tolak ukur selera berfikir dapat diketahui sejauh ia dapat menerima dan memahami adanya teks dan konteks dalam agama. Dan bagaimana dapat memaknai ketika budaya berbenturan dengan teks agama? Dan sebaliknya, budaya include didalamnya, sehingga seakan-akan itu bagian dari pesan agama itu sendiri.

Islam merupakan agama yang rahmatul lil ‘alamin. Agama yang secara tegas bahwa dengan kehadirannya membawa kedamaian bagi seluruh alam. Dengan artian Islam membawa cita-cita yang luhur, dengan sumber nilai-nilai yang termenifestasikan dalam bentuk kedamaian, keadilan, kesejahteraan dan kemakmuran bagi umat manusia, tanpa harus memandang agama, etnis, suku dan asal muasal bangsanya. Islam juga memosisikan sebagai agama yang toleran, aspiratif, serta membuka pintu lebar-lebar (inklusifisme) bagi siapa pun yang berkeinginan mengenal Islam yang rahmah ini. Dalam kontek HAM (human right), misalnya, Islam adalah agama yang  menjamin keselamatan pemeluknya, bahkan pemeluk agama lain dari tindakan badani yang di luar koridor hukum. Hal ini merupakan salah satu manifestasi dari tujuan syariah (Maqosid Al-Syariah)  dalam memandang kompleksitas, pluralisme agama yang universal dan kosmopolit.

Adapun kesalamatan yang dimaksud disini adalah: pertama, hifdz ad-din, keselamatan umat dan warga Negara untuk bebas memeluk dan beribadah sesuai agama yang diyakininya, tanpa ada intimidasi, apalagi paksaan untuk berpindah agama. Kedua, hifdz an-nafs, keselamatan jiwa, fisik atau individu dari perbuatan di luar hukum, yang merenggut haknya sebagai manusia. Ketiga, hifz an-nasl, keselamatan keluarga dan keturunan, tanpa adanya diskriminasi dari pihak lain demi menjaga kehormatan dan keberlangsungan hidup. Keempat, hifz al-mal, keselamatan harta benda, serta hak milik tanpa adanya manipulasi, jarahan, dan penipuan dari pihak lain yang bukan haknya. Kelima, hifz al-‘aql, keselamatan akal dari upaya pencekalan dan pembatasan kreatifitas berfikir, maupun profesi umat dan warga Negara secara keseluruhan, dengan batasan norma-norma yang ada. Dari lima komponen inilah yang kita kenal dengan sebutan “Tujuan Syariah” (Maqasid as-Syari’ah), yang telah dikenalkan oleh Imam al-Ghazali di dalam kitabnya al-Mustasyfa.

Terdapat suatu indikasi kekhawatiran ketika Islam bersifat inklusif. Sikap demikian adalah yang kerap kali ditampakkan oleh para oksidentalis dewasa ini, sikap bahwa Islam dinilai memberikan  celah bagi non-muslim untuk menjatuhkan Islam dari dalam. Hal semacam itu tidaklah benar, jika Islam kita yakini agama yang rahmah. Lagi pula anggapan-anggapan semacam itu, menurut penulis, sangatlah menunjukkan sikap pesimistis yang berlebihan, over protective. Oleh karena itu, perlu adanya pemahaman wahyu secara realitas, agar pemahaman antara teks dan konteks yang terdapat dalam wahyu benar-benar menyentuh sebuah realitas, dan pemahaman yang membumi. Jika dalam  pemahaman teks atau wahyu yang bersifat global ini dipahami dengan kontekstual, artinya menyentuh realitas sosial dalam masyarakat, maka tidak menutup kemungkinan inklusifisme umat muslim dewasa ini akan tumbuh dan berkembang dalam kehidupan yang pluralis ini. 

Tuhan menciptakan manusia dimuka bumi tidak lain untuk menjadikan khalifah fil al-ard, “wakil Tuhan di bumi”. Tanggung jawab inilah yang diemban manusia untuk menyampaikan visi-misi agama. Oleh karena itu posisi manusia di sisi Tuhan (transendent) adalah hamba, akan tetapi  manusia dan sesama (horizontal) adalah khalifah. Sebelum melebar lebih jauh, patut kita pahami bersama makna khalifah itu sendiri, agar kita tidak terjebak memaknai hanya selintas harfiahnya saja. Menurut hemat penulis sendiri, khalifah merupakan bentuk dari aktualisasi diri yang dicanangkan terhadap manusia sebagai makhluk otonom untuk menghambakan diri kepada Tuhan. Adapun bentuk pengabdian atau penghambaan dapat diinterpretasikan berbagai hal, bisa dalam konteks sosial, budaya, politik, ekonomi dan lain sebagainya, asalkan mampu mempertanggung jawabkannya secara sikap (responsibility-accountibility).

Islam mengajarkan tentang nilai-nilai tangung jawab (akuntabilitas), mulai tanggungjawab secara individul hingga tanggung jawab secara kolektif. Sebagaimana hadis Nabi, “masing-masing individu adalah pemimpin, dan akan dipertanggungjawabkan atas kepemimpinannya.” sedangkan kepemimpinan yang bersifat kolektif, seperti jabatan tertentu, itu merupakan sebuah mobilisasi vertikal setiap orang, dalam bahasa fikihnya disebut fardlu kifayah.

Secara garis besar dapat dikatakan bahwa Muslim religius adalah Muslim yang berani bertanggung jawab dan menjawab dengan solutif dari sekian persoalan masyarakat yang ada, tidak sebatas hanya bisa menakut-nakuti dengan ayat-ayat adanya siksa api neraka belaka. Pada dewasa ini sifat dari relijiusitas Islam hanya dimaknai sebatas simbol-simbol dan formalitas agama, lebih tepatnya tata letak di permukaan saja. dan jauh menyentuh pada realitas masyarakat di dalamnya. Kalau kita berani mengatakan lebih jauh lagi tentang persoalan sosial masyarakat yang benar-benar tanggung jawab kita adalah persoalan bagaimana pengentasan kemiskinan. Meniadakan diskriminasi dalam masyarakat tanpa memandang status sosialnya apalagi agamanya. dan juga bagaimana menjaga keseimbangan alam dan ekosistemnya secara global. Bukankah itu tanggung jawab kita bersama sebagai khalifah di muka bumi ini?

Berbicara mengenai simbolisme dan formalitas agama, penulis mempunyai pengalaman ketika penulis masih nyantri doloe. Pada suatu hari, tepatnya pada hari raya kurban (idul adha) semua orang sibuk bagaimana agar bisa berkurban, atau orang yang mapan dalam sektor ekonominya justru berfikir bagaimana supaya bisa naik haji dengan cepat, untuk melengkapi rukun Islam yang kelima. Tegasnya, orang rela merogoh kocek dalam-dalam untuk bisa membeli hewan kuban agar bisa dijadikan kendaraan besok di padang mahsyar (akhirat). Padahal di sekitarnya, terutama masyarakat fakir-miskin dan kaum “mustadafin” berpontang-panting mencari sesuap nasi dan memerlukan uluran tangan bagi para dermawan. Dan hal semacam itulah yang menurut penulis harus diprioritaskan agar tidak terjebak simbolisme agama. Dan saya yakin Allah akan lebih senang jika kita memendulikan sesama tanpa adanya dikriminasi dan memandang status sosialnya. Di dalam Al-Quran telah disebutkan: “orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang bertakwa”. Dan orang yang bertakwa, menurut penulis, adalah orang yang menjalankan amanah dan tanggung jawabnya sesuai dengan porsi dan kedudukannya masing-masing. 

*Ghufron AM adalah alumni Raudlatul Ulum I. Sekarang sedang melanjutkan studi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pernah aktif di Jurnal Amanah RU I

sumber gambar

Malam Untuk Istriku

Oleh: Muhammad Mahrus*

Seorang kakek, yang menumpang menginap di rumahku semalam, kutemukan dalam keadaan tak bernyawa, tergantung. Awalnya aku curiga, kenapa hari sudah siang, tapi ia belum juga keluar dari kamar tamu. Waktu kuketuk kamar itu dengan pelan, tak ada jawaban dari dalam. Berulang kali kuketuk, berulang kali pula hanya burung kutilangku dalam sangkar yang menjawab dengan uhu-uhunya. Dengan perasaan gelisah, kuberanikan diri untuk mengetuk daun pintu itu lebih keras. Namun tetap tak ada jawaban dari dalam kamar.

Karena tak ada jawaban, aku pun mulai mempertanyakan kejanggalan tersebut. “Pergi tanpa pamit, sangat tidak mungkin, KTP-nya masih ada padaku,” pikirku. Lagi pula, katanya semalam, ia hanya dalam perjalanan ke desa sebelah. Karena kemalaman, ia menghampiriku yang kebetulan sedang duduk di teras rumah. Masih sangat jelas dalam ingatanku, “hanya semalam saja,“ katanya meyakinkanku.

Sunday, July 22, 2012

Awan Yang Menutupi Matahari



Oleh: Abd Rohim*

Malam itu tiba-tiba Arman terbangun dari tidurnya.

“Ya Allah, inikah petunjuk-Mu?” Ia bergumam dalam hati. Tak lama kemudian ia turun dari ranjangnya menuju kamar mandi, ia mengambil wudu untuk melaksanakan salat malam.

Tiga malam berturut-turut Arman mengalami mimpi yang aneh. Dalam mimpinya ia seolah-olah melihat matahari yang tertutupi oleh awan. “Apakah kamu sudah yakin dengan keputusanmu anakku?” Kata ayah Arman beberapa hari yang lalu.

“Iya, Abah. Aku yakin dia adalah bidadari yang selalu kusebut dalam do'aku”.

“Sudahkah kamu diberi petunjuk oleh-Nya, Anakku?”

“Maksud abah?”

“Ingat, Anakku, mencari jodoh jangan hanya mengandalkan cinta saja. Cinta pada makhluk itu kosong. Cinta itu sejatinya hanya milik Dia. Semua yang ada di dunia ini ujungnya adalah Dia.”

Saturday, July 21, 2012

Istilah-istilah Komplementer Ilmu Hadis

Oleh: Taufik Umar*

Pembahasan mengenai hadis adalah salah satu kegiatan para Muhadditsin yang dilakukan sampai sekarang. Dedikasi yang dilakukan secara totalitas merupakan perjuangan yang sangat berharga dalam bidang ilmu hadis. Mengenai pembahasan antara hadis shahih, hasan dan dha’if merupakan fokus Ulama Muhadditsin yang dilakukan tiada henti.

Mengenai pembahasan hadis shahih, hasan dan dha’if tidak terlepas dari beberapa pembahasan yang komplementer dengan hadis tersebut. Istilah-istilah terminologis hadis yang begitu banyak tidak terlepas juga dari kualitas dan kuantitas hadis antara yang mardud dan maqbul. 

Pembahasan yang melibatkan beberapa hadis yang komplementer dengan shahih, hasan dan dha’if telah dilakukan oleh seorang Fadhilah Asy-Syekh Muhammad Jamaluddin al-Qasimi yang terkumpul di dalam bukunya “Qawa’id at-Tahdits” yang dilanjutkan oleh Dr. Muhammad ‘Ajaj al-Khatib dengan menyajikan sistem yang berbeda dari sebelumnya.

Tulisan ini akan menyajikan pembahasan yang diuraikan oleh Al-Khatib di dalam bukunya “Ulum al-Hadits” dengan disertai beberapa referensi lainnya yang relevan dengan pembahasan ini. Namun tiadalah hal yang sempurna terkecuali adanya kritik dan saran yang membangun.
Powered by Blogger.

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top