Friday, December 27, 2013

Kemana Kau, Perempuan?

Alamanda. credit: blog
Oleh: Halimah Garnasih

Kamu berubah semenjak mengenalnya. Tapi kamu bilang kamu yang sekaranglah kamu yang sebenarnya. Sebelum perubahanmu ini, kamu adalah perempuan periang, lincah, dan spontanitas. Tapi sekarang, kamu jadi pendiam, gerakmu lebih halus, dan terkesan malu-malu.

Kami sebagai temanmu khususnya aku, sangat merasa aneh dengan perubahanmu ini. Sudah sangat sulit sekali kamu bisa keluar malam seperti biasanya. Nongkrong di warung kopi sambil membincangkan artikel, puisi ataupun cerpen teman-teman kita yang hari ini termuat di media. Mengamati dan mendiskusikan perkembangan atau lebih tepatnya kemerosotan bebera aspek negara kita.

Monday, December 23, 2013

Bung Hes dan Penjaranya


Oleh: Muhammad Hilal

Berjumpa kembali dengan Bung Hes adalah kesempatan langka. Beberapa waktu lalu tiba-tiba dia kirim sandek, meminta saya bergabung dengannya di warung kopi. Tentu saya langsung mengiyakan, sebab sudah terhitung lama saya tidak mengobrol dengannya secara luring, apalagi di sebuah warung kopi.


Lelaki asal Banyuwangi ini adalah kawan satu angkatan di kampus, tapi beda fakultas. Saya mengenalnya cukup akrab sebab kami bergiat dalam organisasi mahasiswa yang sama. Bersama-sama dengan yang lain, kami menjalani proses itu: berlama-lama di warung kopi diselingi diskusi atau bicara serabutan, terlibat kepanitiaan acara-acara tertentu, bersentuhan dengan politik kampus, menimbun modal pengetahuan untuk hari depan, dan seterusnya, dan seterusnya.


Ada yang unik dari Bung Hes semasa kami masih kuliah: dia punya kemampuan bahasa Inggris lebih baik ketimbang yang lain. Kecuali bung Hes, kami adalah sekumpulan mahasiswa yang payah dalam bahasa Inggris. Ini sebetulnya tidak ada masalah, hanya saja dia seringkali menunjukkan gejala keminggris yang menggelikan, sok-sokan beraksen asli daratan anglosaxon sana. Kalau mau bilang what is that? dia membunyikannya menjadi “wo’ is da’?”, atau kalau mau bicara what’s a matter, guys? bunyinya menjadi “wo’ a mata, gais?” Sontak gaya keminggris ini menjadi bahan pergunjingan di antara teman-temannya, ya saya termasuk. Kami suka menirukan gaya keminggris ganjil ini untuk lucu-lucuan.

Selain itu, bung Hes adalah pembaca buku yang tak kenal rasa capek. Ini juga terhitung unik di kalangan teman-teman sefakultasnya. Saya tahu betul, rata-rata teman-teman sefakultasnya lebih gemar berkesibukan dalam hal-hal praktis dan cenderung enggan menelusuri buku-buku. Bung Hes lain. Meski dia juga bergelut dengan hal-hal praktis, namun dia selalu menyisihkan waktu untuk tenggelam dalam lembar-lembar buku. Oleh karena itu, dalam setiap kesempatan menjadi pengurus panitia acara tertentu, dia dipercaya oleh teman-temannya untuk menduduki posisi yang berurusan dengan konsep-konsep dan perumusan “isi” acara. Saat sudah menjadi senior pun, dia kerap diminta jadi konsultan konsep-konsep oleh para juniornya, berbeda dengan teman lain yang biasanya jadi konsultan untuk kerja praktis atau kerja jaringan.


Saya ingat kadang berkunjung ke kamar kontrakannya untuk satu urusan atau lain hal. Di situ dia menumpuk koran-koran yang menurutnya memuat bahan-bahan penting. Untuk diklip, katanya. Saya suka mengajaknya berdiskusi mengenai banyak hal. Menurut saya, dia punya sudut pandang yang kerap bengal dan tak mudah ditebak.


Sering pula kami berbincang-bincang soal novel. Bagi Bung Hes, satu-satunya pengarang novel dalam negeri yang mampu menggerakkan pikiran dan tubuhnya hanyalah Pram—Pramoedya Ananta Toer. Tetralogi Buru, Arok-Dedes dan Arus Balik, demikian Bung Hes, membangkitkan kegelisahan intelektual yang tidak ecek-ecek dan murahan. Dia selalu melihat novel lain dalam sudut pandang novel-novel Pram, sehingga dia beranggapan bahwa membaca novel selain novel-novel Pram tak ubahnya seperti liburan akhir pekan, hanyalah selingan


Melalui Pram, Bung Hes mengarifi bahwa problem bangsa Indonesia adalah mentalitasnya. Mental inlander sudah sedemikian parah di kedalaman jiwa bangsa ini, bahkan sudah menjadi berakar kuat di dasar alam bawah sadar. Sehingga ada anggapan bahwa penjajahan bisa bertahan sedemikian lama itu tak lain karena orang-orang bermental inlander inilah yang mengundangnya, bangsa kita sendiri yang meminta kita dijajah. Mental rendahan ini bercokol di benak para petinggi bangsa ini. Pram tidak sekadar menyibak kenyataan ini, Bung Hes merasa bahwa melalui novel-novelnya Pram mengajak pembacanya untuk mencampakkan keras-keras mental bobrok semacam ini. Hal inilah yang tak bisa Bung Hes temukan di novel-novel lain.


Menurutku, pandangannya tentang Pram dan novelnya agak berlebihan, meski ada benarnya juga.


Bung Hes lulus 3 atau 4 semester lebih cepat ketimbang saya. Setelah lulus dia hijrah dari Jogja ke Jakarta. Saya membayangkan di sana dia akan terlalu sibuk dengan pekerjaan dan tak lagi punya waktu untuk menyelami buku-buku.

***

Reuni di warung kopi kemarin ternyata mematahkan bayangan saya di atas. Dia mengajak saya mengobrol masih tentang buku-buku, juga tentang pengetahuan-pengetahuan baru. Orang ini ndak ada habis-habisnya ya, gumam saya.


Rupa-rupanya, tahun pertama di Jakarta dia bekerja sebagai redaktur dan kontributor di sebuah jurnal ilmiah. Pantas, pikir saya, pekerjaannya masih menuntutnya untuk tetap bergelut dengan buku dan untuk selalu memperbaharui pengetahuannya. Di situ dia juga mempertajam sudut pandangnya dengan sinau analisis kebijakan, analisis anggaran, strategi komunikasi dan lain-lain hal yang terbilang baru ketimbang saat dia masih mahasiswa. Dia berbicara dengan sangat bergairah saat itu.


Bung Hes juga berbincang soal novel. Owalah, orang ini juga masih baca novel! Tapi bagaimana pandangannya tentang novel kali ini?


Kali ini dia sadar bahwa dulu pandangannya tentang novel memang berlebihan. Tak ada yang salah dengan Pram, katanya. Masalahnya hanya pikirannya terpenjara dalam bayang-bayang Pram. Dulu dia tak bisa keluar dari balik besi-besi sel Pram karena selalu menghakimi dunia luar dari sudut pandang sel itu. Dia malah menikmatinya dan selalu melakukannya dalam setiap kesempatan. Singkatnya, masalahnya adalah dia dulu tak mau keluar dari sel penjara Pram.


Kali ini dia membaca novel-novel dengan alam pikir yang lebih merdeka ketimbang sebelumnya. Sekarang dia berhasil mendapatkan taste dari banyak novel. Bahkan novel alay dan teenlit pun dia baca. Dia mengaku, novel-novel alay dan teenlit ternyata ada menariknya juga. Jadi, mulailah dia bercerita tentang novel-novel yang pernah dia baca, dan itu menyulitkan saya sebab kebanyakan belum saya baca. Kata ‘alay’ masih bikin saya pusing.


Sekarang Bung Hes sedang belajar bahasa Prancis. Ini adalah bahasa keenamnya, setelah bahasa Jawa, Madura, Indonesia, Inggris dan Arab. Katanya, dia kursus bahasa Prancis dari nol, satu ruangan dengan bocah-bocah SD yang semuanya mengaku pernah berlibur ke luar negeri. Busyet, pikirnya, bocah-bocah ini anaknya siapa sih? Jadi sebagian dari mereka belajar bahasa Prancis untuk persiapan liburan selanjutnya, ke Paris. Dia menahan diri agar tidak panik di ruang kelas itu.[]

Sumber Gambar: pixabay.com, by 25621

Friday, November 15, 2013

Interpreting the Qur'an; Sebuah Telaah Buku

Oleh: Abdul Malik


Pendahuluan
Alquran dan umat Islam adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Bagi umat Islam, ajaran etis Alquran bersifat mutlak dan bisa diaplikasikan di segala ruang dan waktu (shâlih li kull zamân wa makân). Tapi fenomena dewasa ini telah menunjukkan sebaliknya, relevansi Alquran mulai digugat dan dipertanyakan. Bahkan dalam beberapa kasus, ajaran etis Alquran dijadikan sebagai justifikasi terhadap tindakan yang bersifat destruktif. Polemik ini kemudian menggugah para intelektualis muslim untuk lebih intens pada pengkajian Alquran.

Menurut Fazlurrahman, problem utama umat Islam adalah lemahnya penghayatan terhadap relevansi Alquran untuk masa sekarang. Oleh karena itu, mereka tidak dapat menyajikan Alquran yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan masa kini. Di lain pihak masih besarnya kekuatiran jika penyajian Alquran yang relevan dengan masyarakat kontemporer malah akan menyimpang dari otoritas pendapat tradisional.[1]

Tuesday, November 12, 2013

Hujan Awal November

Oleh: Muhammad Hilal

Hujan awal November itu sungguh rancu
Ia datang selalu terburu-buru
Sering lebih dulu dari janji kita bertemu
Mencegah kita pergi menawar rindu

Hujan awal Noverber itu kerap kejam
Memaksa mentari karam tenggelam
Membentur daun-daun hingga tunduk muram
Memisahkan tangan kita yang saling genggam

Sungguh, hujan awal November adalah pencuri
Ia curi binar cerah dari pagi mentari
Ia basahi gaun pesta untuk kaupakai malam nanti
Ia melunturkan namamu dari bait puisi ini

Hujan awal bulan ini selalu mendadak tumpah
Tak guna engkau resah gelisah
Sebab bibirmu yang lembut basah
Cinta ini tak lekang tetap tercurah

Yogyakarta, 10 November 2013
 

Sunday, November 3, 2013

Kali Sira, Sebuah Catatan Perjalanan

Oleh: Muhammad Hilal
repro: http://www.panoramio.com/photo/43328456
 
Pagi itu, pukul 5.30 WIB., saya keluarkan sepeda, gabung dengan dua pesepeda lain yang mau ekspedisi. Yang satu adalah Bedi—panggilan Ahmad Biyadi, yang satunya lagi adalah Saiful—yang akun Facebooknya adalah Ipul Juragan Tebu. Ekspedisi kali ini kami akan gowes ke Kali Sira.

Dari Jalan Sumber Ilmu, kami ke barat ke arah Bulupitu. Sesampainya di Bulupitu, kami banting stir ke utara, melewati Desa Bureng, hingga mencapai SD Sumberjaya. Di perempatan setelah SD Sumberjaya, kami ke timur. 

Tak lama setelah itu, kami bertiga masuk ke gang kecil arah selatan. Dari situ, medannya menjadi sulit sebab hanya jalan setapak yang kami lalui, kiri-kanan kebun tebu. Jalannya juga menurun tajam. Kalau saja saat itu sedang hujan, medan ini akan jadi lokasi extreme biking yang sempurna. 

Sesampainya di Kali Sira, saya dan Bedi melihat pemandangan yang mengejutkan. Kali Sira sudah berubah! 

Wednesday, October 30, 2013

Soekarno: Pemimpin Bersahaja dan Garang



Oleh:  Abdul Rahman Wahid


Judul:
The Leadership Secrets of SOEKARNO
Penulis:
Argawi Kandito
Penerbit:
ONCOR Semesta Ilmu
Tahun:
 2012
Tebal:
x + 124 halaman
ISBN:
978-602-96828-8-5

Ir. Soekarno, yang akrab dengan sapaan Bung Karno, adalah sebuah nama yang mengingatkan kita semua akan masa-masa perjuangan Indonesia dari penjajahan bangsa-bangsa kolonial. Peran besar Bung Karno dalam kemerdekaan bangsa Indonesia tidak terhitung jumlahnya. Maka dari itu, bukan hal yang tidak mungkin jika beberapa gelar disandingkan pada beliau.


Presiden RI (Republik Indonesia) pertama, sekaligus sang proklamator kemerdekaan ini, yang merupakan sebagian gelar bagi Bung Karno, hingga saat ini namanya masih harum dan dikenang di Bumi Pertiwi tercinta.

Monday, October 14, 2013

Hidden Paradise; Sebuah Catatan Perjalanan

Oleh: Muhammad Hilal

hidden paradise, difoto dari tebing. By: cupid



Setelah berkali-kali berbincang soal persiapan, akhirnya hari itu (13.10.2013) kami berangkat ke Poktunggal, sebuah lokasi wisata pantai di Yogyakarta yang baru-baru ini jadi bahan perbincangan. Selama 2 jam kami berempat berkendara sepeda motor.

Lokasi-lokasi pantai yang biasanya jadi tujuan para wisatawan di Yogyakarta tak lagi menyenangkan. Ramainya minta ampun! Apalagi saat itu bertepatan dengan liburan panjang, pengunjung luar Yogyakarta tentu berduyun-duyun ke situ. Kabarnya, Poktunggal belum begitu dikenal banyak orang, makanya kami ke sana.

Kokop, Drini, glagah, Indrayanti kami lewati dengan perasaan jengah. Benar adanya, tempat-tempat itu dipenuhi orang-orang tak ubahnya pasar malam. Tempat parkir penuh sesak dengan kendaraan berbagai macam jenis. Bahkan jalanan pun macet, karena bis ukuran besar harus berbagi jalan dengan bis lain. Jika kamu mau ke pantai bertepatan dengan hari libur panjang, jangan sekali-kali melupakan pertimbangan ramainya pengunjung ini.

Friday, October 11, 2013

Beberapa Sudut Pandang terhadap Tunasusila

Oleh: Muhammad Ilyas*



Sebagian fenomena sosial yang terjadi di masyarakat Indonesia adalah kegiatan prostitusi, atau kegiatan yang dilakukan oleh para tunasusila. Jika kita membahas tentang prostitusi, mungkin dalam benak kita terdapat pertanyaan mengapa hal ini bisa terjadi, dosa, atau mungkin yang ada di benak kita terdapat kesenangan, tergantung persepsi kita dari sudut mana kita melihatnya. Berkaitan dengan hal seperti ini, saya mencoba untuk memaparkan fakta dan  persepsi masyarakat terhadap Tunasusila (PSK).


Tunasusila bisa diartikan orang yang tidak mempunyai norma kesusilaan (Pius A Darto M. Dahlan Al Barry. 2001:765). Menurut bidang ilmu sosiologi kegiatan prostitusi adalah kegiatan yang menyimpang atau yang kita kenal dengan perilaku menyimpang, karena hal ini keluar dari kebiasaan masyarakat umum (Soerjono Sukanto. 2013: 269). Walaupun sosiologi sendiri bersifat non etis/ non normatif yang tidak menjelaskan baik atau buruknya masyarakat dan tidak memaparkan apa yang harus terjadi. Didalam buku pengantar sosiologi yang dikarang oleh Soerjono Sukanto dijelaskan perilaku menyimpang diakibatkan oleh sosialisasi yang tidak sempurna, sehingga keluar dari kebiasaan masyarakat umum (brojol selaning garu).

Wednesday, October 9, 2013

Menguak Mitos Presiden-Jawa di Indonesia

[photo credit: here]
Oleh: Ghufron AM* 

Bangsa yang besar dan bermartabat  tidak terlepas dari siapa yang menjadi pemimpinnya dan bagaimana cara memimpin bangsa itu. Indonesia merupakan kelanjutan dari Nusantara, dengan warisan sejarah dan budaya yang begitu kompleks dari kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Nusantara, seperti Majapahit, Singosari, Sriwijaya, Mataram Kuno, Samudera Pasai, Kutai Kertanegara, Kesultanan Demak, Mataram, Banjar, Sambas, Bone, Ternate, Tidore dan lain sebagainya. Dengan demikian, wajar jika di awal kemerdekaan Indonesia perdebatan tentang asas yang sesuai nilai, kultur dan watak Nusantara begitu pelik dan menguras pikiran dari para founding fathers Republik ini. Sebagai bangsa yang multikultural, pluralis, dan demokratis sudah sewajarnya siapapun, dari suku manapun, dan keturunan siapapun boleh memimpin bumi pertiwi ini. 

Disadari atau tidak, suatu persepsi telah beredar di tengah masyarakat bahwa presiden Indonesia haruslah dari suku dan orang Jawa. Kenapa demikian, adakah bukti autentik yang membenarkan persepsi tersebut selama ini? Penulis bukan bermaksud mengindahkan mitos dan ramalan-ramalan yang ada, semisal ramalan Joyoboyo, yang dipercaya masyarakat jawa (kejawen) memuat ramalan para pemimpin serta perkembangan Indonesia, dan bentuk ramalan-ramalan lainnya. Persepsi masyarakat tentang Presiden Indonesia haruslah dari orang dan suku Jawa tersebut, bisa benar dan bisa pula salah. 

Di sini perlu adanya telaah kembali atas persepsi dan mitos yang seakan-akan menjadi aturan tak tertulis bagi seseorang yang akan mencalonkan diri menjadi Presiden. Bisa dibenarkan selama ini Presiden RI selalu berlatar belakang Jawa, seperti Soekarno, Soeharto, Abdurahman Wahid (Gus Dur), Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono yang dari Jawa dan keturunan Jawa. Sedangkan BJ. Habibie adalah satu-satunya mantan Presiden yang bukan berlatar belakang Jawa; hal ini adalah sebuah pengecualian sebab BJ. Habibie menjadi Presiden adalah bentuk darurat dan sangat situasional pasca jatuhnya Soeharto di awal reformasi 1998. BJ. Habibie sebagai Wakil Presiden menggantikan Soeharto untuk mengisi kekosongan kepemimpinan (vacuum of power) saat itu, bukan melalui pemilihan yang sesuai prosedur ketatanegaraan yang berlaku.

Dilihat dari uaraian di atas, maka berdasarakan fakta Presiden RI yang sudah ada notabene bersal dari dan suku jawa. Sedemikian belumlah cukup jika syarat yang tak tertulis ini sebagai pembenar, apalagi hanya dilihat dari sisi metafisisnya. Sekurang-kuranganya ada perihal lain yang bersifat empiris, yang bisa dijadikan pegangan dalam konteks dewasa ini. Pertama, mari kita lihat dari faktor sejarah berdirinya NKRI. Setelah Jepang tunduk oleh tentara Sekutu, yang dikenal dengan peristiwa Hirosima-Nagasaki, maka kemudian Pemerintah Angkatan Darat XVI Jepang membentuk BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau yang biasa disebut Dokuritsu Zyunbi Tyoosa Kai, yang beranggotakan 67 anggota. 60 dari bangsa Indonesia dan 7 orang dari bangsa Jepang. Sedangkan pada sidang kedua 10-17 Juli 1945, Jepang menambah keanggotaan 6 orang dari bangsa Indonesia. Jelang beberapa hari setelah pembentukan BPUPKI, Pemerintah Angkatan Darat XVI kembali membentuk PPKI (Panitia Persiapan Kemedekaan Indonesia) atau istilah Jepang Dokuritu Zyunbi Iin Kai. PPKI ini beranggotakan 21 yang diketuai oleh Ir. Soekarno, tanpa adanya anggota luar biasa dari pihak Jepang. Selanjutnya tanpa sepengetahuan Jepang keanggotaan PPKI bertambah 6 orang menjadi 27 anggota. Dari 27 anggota tersebut, 18 berasal dari pulau Jawa, selebihnya representasi dari daerah-daerah di luar Jawa. Pada awalnya PPKI dibentuk bertujuan membentuk asas tunggal dan arah kemerdekaan Indonesia ke depan, dan selebihnya kesepakatan apakah yang diperbincangkan hanya pelaku sejarahlah yang mengetahuinya. Namun melihat dari 18 oarang keanggotaan PPKI berasal dari Jawa, maka rumusnya sangat sederhana apalagi Indonesia menganut sistem demokrasi, demokrasi berdasarkan suara teranyak (majority). Artinya, yang mayoritas tidak boleh menindas yang minoritas, akan tetapi yang mayoritas tidak dibenarkan jika tidak mendapatkan apa-apa. 

Kedua, berdasarkan populasi dan demografi penduduk di Indonesia. Dari data BPS (Badan Pusat Statistik) Indonesia, terdapat 237,641,326 jiwa jumlah penduduk di Indonesia, dan hampir setengah dari jumlah penduduk di Indonesia merupakan penduduk di pulau Jawa, dengan mencapai 136.610.590 jiwa. Adapun urutan 5 Provinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia adalah Jawa Barat yang mencapai 43,053,732 jiwa, terdiri dari 21,907,040 laki-laki dan 21,146,692 perempuan. Jawa Timur yang mencapai 37,476,757 jiwa, terdiri dari 18,503,516 laki-laki dan 18,973,241 perempuan. Jawa Tengah yang mencapai 32,382,657 jiwa, terdiri dari 16,091,112 laki-laki dan 16,291,545 perempuan. Sumantera Utara yang mencapai 12,982,204 jiwa, terdiri dari 6,483,354 laki-laki dan 6,498,850 perempuan. Banten yang mencapai 10,632,166 jiwa, terdiri dari 5,439,148 laki-laki dan 5,193,018 perempuan. Melihat dari populasi penduduk di Indonesia, pulau Jawa masih merupakan penduduk paling besar dan hampir setengah dari penduduk Indonesia. Itu artinya, pemilih terbesar dalam pemilu 2014 mendatang Pulau Jawa masih pemegang pemilih terbesar, dan tentu kita tidak menafikan seberapa besar angka golput dalam pemilu 2014 mendatang. Jika demikian, maka calon presiden yang berlatang belakang dan berasal dari pulau Jawa mempunyai peluang untuk menang, walaupun tidak semua orang Jawa akan memilih calon presiden berlatar belakang Jawa. Akan tetapi kebiasaan dan tabiat orang Jawa adalah tidak akan memberikan sesuatu kepada orang lain jika tetangga dan sekitarnya masih ada yang membutuhkan, karena prinsipnya adalah guyup lan rukun. 

Ketiga, Indonesia sebagai negara Pancasila sebetulnya sudah final, dengan berfalsafah Bhineka Tunggal Ika sejak berabad-abad yang silam.  Akan tetapi disadari atau tidak, bangsa Indonesia merupakan bangsa yang amat sensitif akan isu-isu SARA, walaupun sejatinya Indonesia bukanlah negara Islam, sekuler, apalagi monarkhi, seperti yang pernah dilontarkan Gus Dur, bahwa Indonesia adalah negara bukan-bukan. Pada kenyataannya Presiden Indonesia selama ini selalu berlatang belakang jawa dan beragama Islam. Kenapa demikian? Sangatlah jelas walaupun Indonesia bukanlah negara Islam, akan tetapi penduduk muslim di Indonesia adalah mayoritas. Saat ini jumlah penduduk muslim di Indonesia mecapai 207.176.162 atau setara dengan 87,18% dari total jumlah penduduk di Indonesia. Jumlah terbesar muslim Indonesia berada di Jawa Barat  yang mencapai 41.763.592 jiwa, dengan Prosentase 97,00%. Lalu disusul oleh Jawa Tengah 31.328.341 jiwa 96,74%, Jawa Timur 36.113.396 96,36% dari total jumlah penduduk. Jadi kembali pada rumusan awal, bahwa sistem demokrasi berdasarkan mayoritas dengan ketentuan, tidak menjadi absah jika yang mayoritas tidak mendapatkan apa-apa, dan tidak dibenarkan jika minoritas tidak diberi kebebasan dan perlindungan. Dengan demikian jika pemilihan Presiden menggunakan sitem pemilihan langsung (one man one vote), maka sangat jauh dari harapan jika menginginkan Presiden yang non muslim.  Amerika saja untuk mendapatkan Presiden berkulit hitam harus menunggu 200 tahun. Sedangkan di India tidak pernah ada Perdana menteri dari muslim, karena melihat jumlah penduduk muslim yang hanya berkisaran 10-15% dari jumlah keseluruhan penduduk India.

Dari tiga alasan di atas inilah kenapa sejauh ini Presiden di Indonesia masih berkutat di satu suku, satu pulau, dan satu agama. Tulisan ini bertujuan bukan sebagai pembenar, akan tetapi mencoba mengurai adanya fakta yang selama ini menjadi perbincangan di tengah-tengah masyarakat. Bukan tidak mungkin ke depan Indonesia memiliki Presiden yang bukan dari suku Jawa, bahkan non muslim. Bagi calon Presiden non-Jawa, sejauh mana mampu mendobrak dan meyakinkan pada khalayak akan syarat primordialisme ini, lintas suku, budaya, dan agama. Indonesia ke depan membutuhkan seorang pemimpin yang mempunyai integritas tinggi, visioner, tidak hanya mementingkan suatu kelompok, tapi berdiri di atas kelompo-kelompok lain. tidak hanya cerdas, tapi cerdik dan cendikia.[]

Ghufron AM
adalah alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta 

Friday, September 27, 2013

Krisis Karakter Ideal



Oleh: Muhammad Dhofir

Akhir-ahkir ini krisis karakter memang sudah menjadi suatu fenomena sehari-hari yang kurang elok di masyarkat, baik masyarakat pedesaan, perkotaan, di lembaga-lembaga pendidikan tertentu, dan bahkan di institusi pemerintahan yang sudah sering dibicarakan di media. Percaturan politik yang tidak mengindahkan rule of law, tetapi rule of money, hemat saya tak menunjukkan apa-apa selain bahwa para politikus belum menjadi figur yang baik dan terpercaya bagi masyarakat.

Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai etika kepada manusia yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran, kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter berpijak pada sumber dari nilai moral seorang pendidik, seperti; guru, keluarga, dan lingkungan. Pendidikan karakter dapat memiliki tujuan yang pasti bila ditelisik lebih jauh bagi mereka yang dapat menerapkan. Contoh sederhananya dalam etika tegur sapa, dari sebelumnya yang suka berkata kotor bisa menjadi berpikir dua kali bila kata-kata itu ingin dilontarkan lagi kepada orang lain. Pepatah mengatakan “salahnya menghitung uang konsekuensinya untung dan rugi, namun bila salah ucapan konsekuensinya bisa menyinggung orang lain alias ada yang sakit hati”.

Wednesday, September 25, 2013

The Javanese Mind


(Sebuah Telaah atas Pola Pikir dan Kisah Manusia Nusantara dalam Arus Balik)[i]



Oleh: Muhammad Mahrus[ii]


“Ha! Mengantuk kalian terayun oleh keenakan-keenakan masa lalu. Kalian, orang-orang yang telah kehilangan harga diri dan tak punya cipta. Segala keenakan dan kebanggaan itu bukan hak kalian. Bahkan membiakkan pohon kelapa pun kalian tak mampu!”[iii]


Semacam Abstraksi

Kiranya, penggalan dialog dalam karya monumental Pramoedya Ananta Toer di atas merupakan salah satu narasi atas pengetahuan penulis terhadap pola pikir masyarakat Nusantara pada kurun waktu abad ke-16 (hingga sekarang). Ketika itu, masyarakat Nusantara sedang dalam situasi yang berat. Simbol kejayaan Nusantara hampir menjadi dongeng dan legenda semata. Bahkan tanpa ruh yang mampu menghasilkan horison baru. Sementara, Nusantara juga sedang dalam kungkungan lingkaran setan yang entah sampai kapan bermuara.


Barangkali, Pram memang hanya seorang anak bangsa yang berani mengajarkan pada generasi setelahnya agar lebih peka terhadap kompleksitas tantangan dan kemungkinan harapan. Dia mengajarkan pada kita bagaimana mengenali diri, pun betapa mahal harga diri. Dia juga mengajari kita tentang bagaimana seharusnya menghadapi masa depan, baik dengan tangis maupun canda tawa. Dia meyakinkan kita bahwa kita adalah manusia, penanggung jawab penuh atas diri dan bangsanya. Sedangkan sejarah, sebagaimana air, tenang-menghanyutkan, beriak dan bergelombang, berarus dan berpetaka. Tetapi, air adalah air, air adalah kehidupan.
Dalam sejarah Nusantara, sayangnya tidak cukup tua peradaban Nusantara yang (ter)sampai(kan) pada kita. Jika pun ada, sejarah peradaban Nusantara kebanyakan dilihat dari teori evolusi yang lahir dari peradaban di luar Nusantara. Alurnya pun terpotong-potong seakan memang tidak ada bagian penting selain yang telah disajikan. Sehingga, kita menjadi generasi yang a historis terhadap sejarah peradaban kita sendiri.


Lintasan sejarah Nusantara rupanya banyak yang terekam baik dalam pengetahuan Pram. Lika-liku pergolakan, kemunafikan, kearifan, dan kebesarannya juga tidak luput dari perhatiannya. Pram melihat Nusantara sebagai bangsa dengan peradaban yang sangat tinggi, tinggi sekali. Genap dengan falsafah dan estetika yang terkandung di dalamnya. Khusus dalam periode sejarah arus balik, Pram menceritakan sejarah Nusantara (dengan suka-dukanya) sebagai bangsa yang pernah besar dengan kekuatan armada laut; di mana periode sejarah ini adalah penggalan sejarah bangsa yang dibangun oleh Majapahit; meliputi alasan-alasan kebesarannya berikut implikasi pasca keruntuhannya.



Tak dapat dipungkiri, bahwa akal sejarah masyarakat Nusantara seakan berjalan tanpa alur. Di dalamnya juga terdapat berbagai macam konstruksi—yang seringkali kita sebut sebagai kolonialisme-imperialisme—pengetahuan. Mulai dari aspek sosial, politik, ekonomi, budaya, serta keyakinan dan agama. Dengannya, kita semakin jauh dari bentuk masyarakat Jawa yang berkarakter, asli (pure form).



Nusantara; Arus Balik

Indonesia dikenal sebagai bangsa yang luas wilayahnya lebih didominasi lautan. Dalam sejarah Nusantara, Majapahit adalah kerajaan besar di antara peradaban-peradaban besar di dunia. Majapahit adalah simbol kejayaan Nusantara dengan segenap suka-dukanya. Majapahit adalah cikal bakal Indonesia, meski Indonesia tak sebagaimana Majapahit.



Sebagai negara maritim, negara dengan kekayaan bahari, tanah subur Nusantara yang dikenal dengan Indonesia, seharusnya kita menjadi negara yang makmur nan perkasa. Didukung dengan kekayaan alam yang melimpah ruah, genap dengan falsafah dan estetika serta kebudayaannya yang beragam; Indonesia adalah surga dunia. Karenanya bangsa dan negara-negara menjadi iri dengan kekayaan yang dimiliki Indonesia.



Sewaktu Majapahit masih ada, masyarakat Nusantara tidak begitu khawatir  dengan benturan peradaban yang terjadi dalam berbagai bentuk. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, Majapahit sampai pada puncak kehancurannya. Sayangnya, masyarakatnya terlena dalam riak gelombang keruntuhan peradabannya sendiri; antara sadar dan tidak. Bangkitnya Demak pun ternyata bukan jawaban atas fakta tersebut.



Secara simbolik, runtuhnya Majapahit adalah terbukanya jalan atas sebuah arus dahsyat dari negeri Atas Angin di Utara yang kemudian menghancurkan Nusantara (ini) di Selatan. Arus itulah yang tak mampu dibendung anak-anak bangsa meskipun kesadaran akan eksistensinya masih melekat. Sejak itu pula sebenarnya arus itu membawa segala-galanya ke Nusantara, termasuk kekacauan dan segala atribut keburukannya. Arus balik: serangan balik yang mendorong masyarakat Nusantara hingga pada titik nadir yang tak dapat diprediksi batas akhirnya. Arus balik tidak hanya mewujud dalam gelombang besar. Ia bisa merupa sebagai gemericik dan riak gelombang yang sederhana. Tapi hantamannya terasa ketika arus tersebut telah membawa peradaban yang telah rapuh nan lapuk termakan usia. Dengan atau tanpa kesadaran dari peradaban itu sendiri.



Sebagaimana tersebut di atas, bahwa gelombang dahsyat ini menerjang segala aspek dalam tata peradaban Nusantara. Potensi kemakmuran dan kejayaan masyarakatnya terdorong ke sudut kegelapan dan kehancuran. Intregitas bangsa menjadi taruhan. Wawasan kebangsaan dan jati diri diperjualbelikan. Eksistensi seakan tak lagi penting dalam jiwa masyarakatnya yang semakin kerdil.



Mengapa arus balik? Benturan antarperadaban ini bermula dari jalur laut. Di mana sebagian tanda runtuhnya Majapahit adalah kekalahan pertempuran armada lautnya yang kemudian mendorong masyarakatnya ke daerah pedalaman. Pergeseran wilayah ini rupanya juga seiring dengan pola pikir yang semakin sempit. Sehingga membentuk mental-mental inferior atas kekuatan-kekuatan yang ada di luar. Saya menyebutnya, Mentalitas Inlander.[]





[i] Paper ini dipresentasikan dalam diskusi rutin Humaniora Park, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Fakultas Ilmu Sosial Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, pada 29 November 2011.


[ii] Penulis novel MAFIA; Three in One, kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Pembebasan Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.


[iii] Toer, Pramoedya, Ananta, ARUS BALIK, Hasta Mitra, Jakarta, Juli 2001, Cet. IV, hal. 6.
Powered by Blogger.

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top