Wednesday, January 30, 2013

At-Tauhîd Sebagai Poros Akidah Islam


Oleh: Ahmad Biyadi*

Keyakinan sangatlah besar peranannya dalam mengatur perilaku seseorang. Bila dia meyakini A adalah baik, maka banyak perilakunya akan dia arahkan untuk A itu. Bila dia meyakini B adalah kejahatan, maka dia akan berupaya untuk mengubah B dengan segenap usahanya. Dan begitu seterusnya.

Di dunia barat, banyak sekali orang berkeyakinan ‘aneh’ tentang Tuhan. Sehingga sering kali Tuhan digambarkan sebagai sosok yang kuat, perkasa, punya kekuatan luar biasa, berkelamin pria, dan jadilah seorang Zeus yang kadang nongol di film-film Hollywood sebagai gambaran Tuhan. Mereka juga meyakini bahwa Tuhan (Sang Penjaga semesta) tidaklah satu, tapi merupakan suatu kelompok lengkap dengan pembagian tugas dan kekuatan istimewanya sendiri. Selain itu mereka juga meyakini bahwa Tuhan tidak terlalu banyak ‘ikut campur’ dalam kehidupan manusia. Para Dewa hanya bertugas sebagai pencipta dan penjaga, bukan pengatur, apalagi pemberi hukuman di akhirat. Maha Suci Allah dari apa yang mereka katakan.

Kaum Yahudi berkeyakinan bahwa mereka adalah anak-anak Tuhan dan para kekasih-Nya. Sehingga mereka berkeyakinan pula bahwa bangsa lain adalah hina. Dan akibatnya, ketika Nabi terakhir yang dijanjikan datang—dan ternyata bukan dari bangsa yahudi—mereka mengingkarinya. Begitu pula banyak kejahatan lain yang telah mereka lakukan karena bagian dari kesombongan mereka ini.[1]

Monday, January 28, 2013

Ilusi Negara Islam

Oleh: Abdul Rahman Wahid*




[Judul Buku: Ilusi Negara Islam; Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia | Editor: KH. Abdurrahman Wahid | ISBN: 978-979-98737-7-4 | Penerbit: The WAHID Institut Seeding Plural and Peaceful Islam, MAARIF, dan gerakan bhinneka tunggal ika | Tahun Terbit : 2009]


Islam di Indonesia prosentasenya memang paling tinggi dari pada agama lain yang ada di Indonesia ini. Tetapi, bukan berarti prosentase ini menjadi bahan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam, mengingat Indonesia lahir dari sebuah bangsa yang tingkat pluralitasnya sangat tinggi. Mulai dari budaya, etnis, bahasa, serta dalam hal keyakinan Indonesia dihuni oleh para pemeluk agama yang berbeda-beda. Pluralitas ini merupakan suatu kekayaan yang tak ternilai; kekayaan yang harus dipertahankan dan dilestarikan demi terciptanya keutuhan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Untuk itu, toleransi di Indonesia ini harus diperjuangkan tanpa memandang perbedaan.

Saturday, January 26, 2013

Gus Dur


Oleh: Imron Haqiqi*



[Judul: Biografi Gus Dur; The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid | Penulis: Greg Barton | Penerbit: LKiS |Cetakan: I, 2011 | Tebal: 516 | ISBN: 979-3381-25-6]

Berbicara Gus Dur, terkadang menimbulkan sedikit kecanggungan, karena memang sulit menafsirkan sosok yang satu ini. Gus Dur merupakan sosok yang penuh teka-teki, Sehingga mengakibatkan banyak kontroversi dalam kacamata masyarakat. Tidak jarang dia disalahpahami oleh banyak kalangan. 

Thursday, January 24, 2013

شعر لشيخنا


Oleh: Abdurrahman Said

شوقنا شيخنا يحيى شبراوي [] جاءنا شيخنا بدقيق علومــــه

من أراد بتركة الـ [] ـأنبياء والمرسلين
فعليه بعـــــــالم [] بسلوك الصـالحين

قد أتـــــــانا ربنا [] مخلص المعلّــمين
ربنا بإخـــــــلاص [] فى أداب الطالبين

واستقام فى روضة [] لعلوم الوارثــين
قد أقـــام رياضة [] لإزالة الجاهلــــين

وأعانه مرشـــــد [] فى إدارة الناشئين
ما أتى من منهـج [] تابـــــع المجتهدين

والخليفة خـــازن [] قائم بالمخلصـــين
فى اهتمام لإعداد [] فى أمر المبتدئـين

وإيّاك ربــــــــــنا [] يستعين المتّقـــين
فى أداء وقيــــام [] لميراث السابقـين

والحمد لله ربّ العالمينسابقـين

والحمد لله ربّ العالمين

Tuesday, January 15, 2013

Pulang Kampung


Oleh: Ahmad Biyadi

Nggak...!” Aku menoleh lantang, menolak sesendok nasi suapan ibu itu. “Pokoknya nggak!Ibu itu masih merengek memaksa, dua hari kamu belum makan, katanya. Telunjukku mengacung tajam. Dia paham, jangan paksa aku. Ibu itu menunduk menggeleng kecil, lalu pergi. Pasrah.
***
Aaaaaahhhhhh... Tiba-tiba aku berteriak kencang. Urat leherku tegang. Marah bukan main. Orang-orang di sekitar kaget. Ada yang lari takut. Ada yang cuma menoleh, seperti melihat hal yang sudah biasa. Sama sekali aku tak peduli, padahal ramai. Hampir sama tak pedulinya mereka terhadapku. Aku menunduk. Nafas tersengal. Bukan malu, tapi itu letusan marahku.
***
Opo’o kowe, Naaak?” Ibu itu merengek. Tak tahan mungkin. Setelah dua jam lebih merayuku untuk minum obat. Haha! Akhirnya meletus juga tangisnya. Tetesan itu hangat meleleh di pipinya yang mulai keriput. Kasihan sekali dia, mengapa bertemu dengan makhluk seperti aku. Orang sebaik dia memang melas. Bukankah jadi orang baik memang menderita? Tapi penderitaan itulah yang membuatnya jadi baik. Haha! Aku melamun. Ibu itu tetap kubiarkan saja. Lama, lalu dia pergi, masih tetap menangis.

Friday, January 11, 2013

Apresiasi 'Untukmu Yang Lalu'


Abdurrohim, penulis cerpen Untukmu Yang Lalu, membagikan cerpennya ke beberapa media sosial daring. Ternyata cerpennya mendapat beberapa tanggapan dari teman-temannya. Berikut ini adalah dua di antaranya.

Kawan, sebelumnya aku tak pernah mengomentari cerpen secara tertulis. Jadi sori, jika tidak sistematis. Ya, aku komentator amatiran, sebagaimana kau yang cerpenis amatiran, hahaha … perpaduan menarik.

Langsung saja.

Thursday, January 10, 2013

Pesantren dan Pop Culture


Oleh: Muhammad Mahrus*

Abstraksi
Diskursus tentang pesantren memang selalu menarik untuk dibahas. Terutama ketika pesantren dikaitkan dengan tema-tema tertentu yang seakan tidak ada sangkut pautnya dengan pesantren itu sendiri. Akan tetapi, begitulah pesantren. Sederhana dalam kompleksitas pergulatannya dengan sejarah perjalanan dunia. Karena pesantren sebagai subkultur. Meskipun istilah ini masih dalam upaya pengenalan identitas kultural oleh kalangan dari luar terhadap persantren.[1]

Untuk membaca pesantren, setidaknya terdapat tiga tipologi. Pertama, pesantren salaf/tradisional. Model pesantren ini merupakan model pesantren asli dalam arti metode dan cara pengajarannya masih seperti model pesantren awal. Berdiri atas dasar kepercayaan masyarakat terhadap kapasitas intelektual Kyai lalu dibangunlah pondokan-pondokan permanen sebagai tempat tinggal para santri. Cara mengajarnya juga khas dengan metode bandongan, wekton, dan sorogan. Dan sampai hari ini masih banyak pesantren yang menggunakan tipologi tersebut.

Kedua, pesantren khalaf/modern.[2] Pesantren model ini dimaksudkan sebagai jawaban ketika pesantren dituduh sebagai lembaga pendidikan yang kolot dan kaku. Pesantren ini mulai melakukan inovasi dalam metode belajarnya seperti memberlakukan sistem klasikal dalam kurikulum pendidikannya. Pesantren kedua ini biasanya berdiri atas inisiatif bersama di bawah yayasan-yayasan tertentu. Kemudian setelah berdiri bangunan-bangunan sebagai sarana pembelajaran dan tempat tinggal santri, dipilihlah seorang Kyai yang dianggap mampu untuk mengasuh pesantren tersebut. 

Wednesday, January 9, 2013

Tafsir Sufistik; Sebuah Ikhtiar Rekonstruksi Sejarah


Oleh: Taufik Umar*

القران ذو شحون وفنون وظهور وبطون لاتقتضى عجائبه ولا تبلغ غايته فمن اوغل فيه برفق نجا ومن اوغل فيه بعنف هوى

“Alquran memiliki banyak dahan dan ranting, (makna) lahir  dan batin, keajaibannya tidak akan habis, dan puncaknya tidak akan terjangkau. Barang siapa yang ‘menaikinya’ dengan hati-hati maka ia akan berhasil, sedangkan barang siapa yang menaikinya dengan gegabah maka dia akan celaka.” (Ibn Abbas)

Tafsir sebagai usaha untuk memahami dan menerangkan maksud dan kandungan ayat-ayat suci mengalami perkembangan yang cukup bervariasi. Katakan saja, corak penafsiran alquranadalah hal yang tak dapat dihindari. Adz-Dzahabi menjelaskan, setidaknya corak penafsiran yang dikenal selama ini, antara lain [a] corak sastra bahasa, [b] corak filsafat dan teologi, [c] corak penafsiran ilmiah, [d] corak fiqih atau hukum, dan [e] corak tasawuf. 

Corak-corak tersebut muncul sejak masa afirmatif kelompok-kelompok mufassir. Corak tersebut terus mengalami perkembangan dan tempat pada masing-masing kelompok pendukungnya. Dalam konteks yang demikian, tidak terkecuali adalah tafsir bercorak sufi yang juga turut memberikan kontribusi besar dalam sejarah perkembangan tafsir. Sebagian kelompok ada yang sangat gigih mendukung kebenaran otoritas yang dimiliki oleh para sufi dalam menafsirkan Alquran dan memandang tafsir sufi sebagai tafsir yang inklusif dibanding dengan tafsir lainnya, namun ada pula sebagai kelompok yang mengecam pola penafsiran yang dilakukan oleh kaum sufi.

Wednesday, January 2, 2013

Untukmu Yang Lalu


Oleh: Abdur Rohim*

“Apa yang tidak bisa dirubah?” Tanyaku.
“Masa lalu,” jawabmu.

Bertalu-talu genderang masa lalu menghentak-hentakkan gendang telingaku. Memerahkan mataku. Mengalirkan air mataku. Membiaskan kerinduan pada jiwaku.

Dulu, saat pertama kali aku melihatmu, kau menghunuskan senyum tepat dijantungku. Detik itu juga aku tersungkur di hadapanmu. Dari dadaku yang terkoyak oleh senyummu, meloncatlah hatiku di depanmu, di antara ke dua kakimu. Kau membungkuk, lalu kau memungutnya, membersihkan debu-debu yang mengotorinya, kemudian dengan kedua tanganmu kau menyerahkannya kembali padaku.

“Tanpa hati ini kau akan mati,” katamu kala itu.
Powered by Blogger.

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top