Thursday, February 28, 2013

“A COMMON WORD” (2007): Menuju Teologi Baru tentang Relasi antara Umat Islam dan Umat Kristen


Oleh: Muhammad Adib*

Cerita bermula, ketika Paus Benediktus XVI pada tanggal 12 September 2006 menyampaikan “Orasi Agung” (Lecture of the Holy Father) bertajuk “Faith, Reason and the University: Memories and Reflections” di Aula Magna University of Regensburg Jerman.[1] Orasi tertulis tersebut ternyata menyulut kemarahan umat muslim di berbagai negara. Beragam pernyataan yang bernada keberatan dan protes bermunculan dari berbagai tokoh, komunitas, institusi dan negara. Di Jakarta, misalnya, sekitar 50 orang dari Forum Umat Islam (FUI) berunjuk rasa di Kedubes Vatikan, seraya menuntut Paus Benedictus XVI mengundurkan dari jabatan pemimpin umat Katolik sedunia.[2] Pemicunya adalah salah satu pernyataan dari orasi tersebut yang dinilai menghina Rasulullah saw. dan Islam, yaitu: 
Show me just what Muhammad brought that was new and there you will find things only evil and inhuman, such as his command to spread by the sword the faith he preached.[3]
Meskipun Paus Benediktus XVI telah menyampaikan permintaan maaf secara resmi seraya menjelaskan bahwa dia hanya mengutip pernyataan Kaisar Manuel II pada tahun 1391 sebagai gambaran historis tentang gereja dan agama, namun hal itu tidak menyurutkan gelombang protes dari dunia Islam yang tetap menganggap bahwa pernyataan tadi menggambarkan perspepsi Paus Benediktus XVI tentang Islam.[4] 

Tuesday, February 26, 2013

Garnasih

Oleh: Halimah Sa'diyah*


Garnasih terperangah menemukan dirinya muncul dari balik gedung tertinggi di negeri ini. Wajahnya pucat karena bingung. Dia pun bingung kenapa dirinya terengah-engah dan merasa capek sekali. Kakinya teramat lemas. Dengan keras dia mengingat-ngingat, apa hal terakhir yang yang dilakukannya. Namun sial! Dia tak ingat. Sama sekali tak ingat!

Dari belakang, ruang dengarnya menangkap suara orang-orang berteriak-teriak. Saat dirinya ingin menolehkan kepalanya sendiri ke arah teriakan, tiba-tiba saja kakinya bergerak. Seakan-akan mengajaknya untuk berlari. Berlari ke arah kaki menyeretnya. Garnasih tak bisa mengendalikan kakinya sendiri. Tentu saja Garnasih bingung. Menambah kebingungan keberadaan di sini yang begitu tiba-tiba. Bingung sekali.

Semakin keras dan dekat teriakan-teriakan di belakangnya, semakin gesit pula kaki-kakinya berlari melompat-lompat di atas mobil–mobil di tengah jalan raya. Saking cepatnya kedua kakinya berlari, sesekali tubuhnya melayang-layang terbang melintasi satu pohon ke pohon lainnya. Garnasih semakin bingung sekaligus takjub. Oh, apakah ini mimpi? Garnasih mulai tertantang. Sedikit demi sedikit, kebingungannya mengecil. Jiwa heroiknya timbul.

Garnasih menoleh ke belakang, dan dilihatnya sepasukan berseragam mengejarnya. Garnasih tak tahu mengapa. Tapi Garnasih sudah tak peduli. Sekarang, dia merasa tertantang, senang, dan merasa sedang bermain film Hollywood.

Sunday, February 24, 2013

Tipologi Pembaca Alquran Menurut Farid Esack


Oleh: Muhammad Adib*

(1)
Farid Esack (lahir pada tahun 1959 di Wynberg, sebuah kota bagian dari Cape Town, ibu kota Afrika Selatan) adalah seorang intelektual Muslim, penulis dan aktivis politik yang terkenal karena perlawanannnya yang gigih bersama Nelson Mandela terhadap rezim Apartheid. Dia juga dikenal sebagai aktivis kesetaraan gender (gender equity) dan dialog antaragama (inter-religious dialogue). Pada tanggal 31 Oktober 2012 yang lalu, guru besar pada University of Johannesburg Afrika Selatan ini menjadi salah satu pembicara pada konferensi bertajuk “The Boundaries of Religious Pluralism & Freedom: The Devil is in the Detail” yang diselenggarakan oleh Alwaleed Bin Talal Center for Muslim-Christian Understanding (ACMCU) Georgetown University Washington DC Amerika Serikat sebagai respon lanjutan dari “A Common Word”.

Pendidikan dasar dan menengahnya dimulai dari Bonteheuvel, sebuah daerah pemukiman yang diplot oleh rezim Apartheid khusus warga kulit hitam. Pada tahun 1974, dia pergi ke Pakistan melanjutkan studi di Seminari (Islamic College) atas dana beasiswa hingga meraih gelar sarjana bidang teologi Islam dan sosisologi pada tahun 1982. Tahun 1990, Esack kembali ke Pakistan, melanjutkan studi di Jami‘ah Abi Bakr Karachi dan pada tahun 1994 meraih gelar magister pada bidang studi al-Qur’an (Qur’anicStudies). Pada tahun itu juga, dia menempuh program doktor pada Pusat Studi Islam dan Hubungan Kristen-Muslim (Centre for the Study of Islam and Christian-Muslim Relations/CSIC) di University of Birmingham (UK) Inggris. Puncaknya, tahun 1996, dia berhasil meraih gelar doktor di bidang Qur’anic Studies dengan desertasi berjudul Qur’an, Liberation and Pluralism: an Islamic Perspective of Inter-religious Solidarity against Oppression yang setahun kemudian diterbitkan menjadi buku.

Friday, February 22, 2013

Fikih dan Tasawuf: Dua Sisi Mata Uang


Oleh: Muhammad Madarik*

Judul di atas merupakan kata yang simpel, padat serta lugas. Suatu kata yang awalnya agak aneh kedengarannya, tetapi setelah diresapi dan direnungkan secara mendalam akan terlihat pengertian yang sangat membentang begitu luas dari kedalaman makna di balik simbol-simbol kalimatnya. Di dalam tema itu tersimpul kerangka sistem pendidikan sekaligus tatanan berpikir, berwawasan, bahkan tata cara berkehidupan sosial yang komprehensif dari aturan-aturan dogmatis (baca: syariat) Islam.

Hal pertama yang terlintas dalam pikiran setiap manusia adalah sesuatu yang menakjubkan dari ajaran dan keberagamaan dalam Islam tentang upaya menggapai kebahagiaan hakiki sesuai alur yang ditawarkan Islam, yaitu fikih dan tasawuf. Sebagai prosedur standar beragama dengan muatan tata aturan beribadah, fikih diciptakan agar sosok muslim dapat dihantar kepada pola beribadah yang sahih dan absah. Sementara tasawuf terlahir dalam bentuk seperangkat rumusan-rumusan keberagamaan dari dimensi ruhani yang harus dipedomani oleh setiap individu yang mengimpikan menemukan makna hakiki dari setumpuk aturan fikih yang dilaksanakan. Tetapi kondisi ideal semacam ini di sebagian lingkungan, termasuk di dalam lembaga pendidikan Islam, belum tampak menjadi kurikulum yang sistematis, sehingga pada gilirannya fikih dan tasawuf dalam praktik keberagamaan menjelma menjadi rambu dipersimpangan yang menunjukkan dua arah berbeda antara satu dengan yang lainnya. Kajian mendalam tentang fenomena tersebut tentu masih memerlukan lembaran panjang dan sekelompok pemikir muslim handal, sekelumit tulisan ini diharapkan mampu dijadikan setetes tawaran awal dari selaksa ide di belakangnya.

Aspek Berbeda Dari Persepsi Berbeda
Sementara ini pemahaman sebagian orang terhadap kenyataan munculnya fikih dan tasawuf, utamanya dalam ranah pendidikan, membelah secara dikotomis antara fikih yang dianggap berada di pojok pelaksanaan peribadatan harian pada satu sisi, sementara tasawuf dinilai sebagai bagian dari sistem penataan psikologis seseorang pada sisi yang lain. Oleh karena itu, persepsi demikian ini merupakan faktor yang sesungguhnya membuat jurang pemisah antara fikih dan tasawuf kian menganga semakin lebar, sehingga posisi keduanya terutama di dalam ruang pendidikan bagai dua musuh yang sulit diislahkan.

Fenomena yang tidak bisa dipungkiri, selama ini fikih diasumsikan sebagai bagian dari pelaksanaan syariat Islam dalam bentuk-bentuk teknis penyelenggaraan agama (syarî‘ah al-islâm). Asumsi semacam ini pada dasarnya bukan hal yang salah, sebab fikih merupakan kajian yang membahas ajaran Islam dalam aspek hukum atau syariat. Dalam pengertian ini, jelas bahwa fikih berbeda dengan Ilmu Tauhid yang membahas ajaran Islam dalam aspek keimanan (‘aqîdah al-islâm) dan berbeda pula dengan Ilmu Tasawuf yang membahas ajaran Islam dalam aspek moral atau etika. Makanya penyatuan fikih dan tasawuf dalam ranah pendidikan dan aplikasi keseharian hanya menjadi mimpi belaka.
Fenomena lain yang juga tidak dapat diingkari bahwa selama ini tasawuf dinobatkan sebagai ilmu hakikat, pengetahuan batin atau hal yang terkait dengan ruhani. Tegasnya, Ilmu  Tasawuf merupakan pengetahuan yang menginformasikan bagaimana seseorang hendak membersihkan dan memurnikan ruh (hati) dari geliat nafsu, sehingga dorongan aspek batin yang bersih itu dapat menyucikan dimensi lahir manusia untuk tidak melakukan kemungkaran dan kesalahan.

Dalam konteks teoritis, tentu saja persepsi tersebut tidak menyalahi fakta ilmiah bahwa dari sisi terminologis fikih dan tasawuf memang seperti yang terungkap di atas. Oleh karena itu, menyalahkan apa yang diuraikan merupakan sikap kekanak-kanakan. Tetapi fakta kekinian menunjukkan bahwa selama ini sebagian kalangan muslim masih cenderung mengasumsikan bahwa antara fikih dengan tasawuf merupakan dua ilmu yang senantiasa berhadap-hadapan (atau bahkan juga sengaja dipertentangkan) secara vis-a-vis. Para penganut fikih yang fanatik terhadap perilaku memegang legalitas formal (baca: fikih-sentris) memandang “haram” atas praktik tasawuf dengan berbagai dalil dan argumentasinya, baik secara naqlî maupun ‘aqlî. Sementara itu, para penggiat tasawuf pun tidak ketinggalan dalam mengkritik para pelaku yang hanya melihat hitam di atas putih (formalisme keberagamaan), tanpa menangkap esensi atau substansi Islam seperti diharapkan kaum sufi.

Dalam konteks demikian ini, pertengkaran dua kubu menjadi fakta yang fenomenal di dalam dunia pendidikan lebih-lebih di alam nyata. Dalam pola hidup semisal kelompok tarekat, istilah “tasawuf” bagi mereka sangat ditakdiskan dan selalu diidentikkan dengan kewalian, kezuhudan dan kesucian jiwa. Sejak dini para peserta pemula tarekat sudah dikenalkan anggapan bahwa seseorang tidak akan bisa mencapai hakikat takwa tanpa melalui jalan tasawuf. Opini ini diperkuat dengan melihat penampilan lahir mereka yang selalu disimbolkan dengan pakaian lusuh, tasbih di tangan dan bibir yang selalu melafazkan zikir. Sedangkan pelaku fikih seperti sebagian orang-orang pesantren, mulai awal di masa-masa pendidikannya sudah ditanamkan sekaligus dibentuk cara berfikir, bersikap dan perilaku serba fikih. Seakan seluruh warna kehidupan dalam semua dimensi menggunakan ukuran fikih sebagai standarnya, sehingga ruang hidup orang bergaya fikih-sentris hanya berujung  pada pilihan hitam-putih, haram-halal dan absah atau tidak absah.

Meniscayakan Perkawinan Fikih Dan Tasawuf
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa pada satu sisi fikih berada pada wilayah aturan ketat, sedangkan pada sisi yang lain tasawuf berposisi di ruang tata cara yang longgar. Tetapi kenyataan ini bukan berarti keduanya tidak harus bercerai lalu kemudian berjauhan. Sebab, sesungguhnya fikih dan tasawuf merupakan dua wujud yang hakikatnya satu di mana keduanya saling melengkapi.

Sebagaimana diketahui fikih berada di tataran teori dan praktik peribadatan belaka, misalnya soal tata cara bersuci (thahârah), sembahyang kepada Tuhan (ash-shalawât al-khams) dan peribadatan lainnya. Dalam konteks ini, fikih merupakan pilar hukum Islam dari sisi legalitas formal. Sementara eksistensi tasawuf di tengah-tengah dinamika kehidupan berperan sebagai tonggak hukum Islam dari dimensi esensi substansial. Oleh karena itu, sebetulnya posisi fikih di atas altar kehidupan personal dan sosial berbanding lurus dengan kedudukan fikih di dalam menata arah hidup pribadi maupun bermasyarakat.

Dari sini dapat dipahami bahwa fikih akan terkesan kaku dan kering makna bagi penghayatan penghambaan seseorang jika tidak diisi dengan muatan kesadaran kalbu yang dipancarkan tasawuf. Sebaliknya, tasawuf dengan serta merta dapat menghantarkan seorang hamba pada proses pengabdian tanpa prosedur syariat yang diberlakukan—kendatipun pada level dan sosok tertentu dibenarkan dalam dunia tasawuf—tatkala fikih dikelupas dari tasawuf.

Salah satu tokoh yang berandil besar dalam menyatukan fikih dan tasawuf adalah Al-Ghazali. Dengan Ihyâ’ Ulûm ad-Dîn-nya ia menyuarakan persandingan fikih dan tasawuf, sebagaimana ia berkoar lantang tentang penyatuan ilmu kalam dengan filsafat. Dari sini, khazanah ilmu pengetahuan Islam kian diperkaya dengan ide cemerlang Al-Ghazali yang melahirkan konsep rahasia-rahasia ibadah (baca: asrâr ath-thahârah, asrâr ash-shalâh, dan seterusnya). Kegersangan hidup yang melanda masyarakat muslim sekarang ini dengan perilaku fikih tanpa pemaknaan mendalam dari tasawuf, atau keterperosokan gaya hidup sebagian manusia melalui tingkah berlagak “tasawuf” tanpa ukuran fikih yang standar dapat diobati dan dikurangi berkat kehadiran konsep ini. Inilah seharusnya yang perlu diperhatikan oleh kalangan pendidik lembaga Islam dan pegiat tarekat negeri ini, agar fikih dan tasawuf menjadi landasan dasar bagi setiap insan menapaki dinamika kehidupan individu dan sosial.

Ungkapan sebagian ahli fikih, “barang siapa mendalami fikih, tetapi belum bertasawuf, berarti ia fasik; barang siapa yang bertasawuf, tetapi belum mendalami fikih, berarti ia zindiq; dan barang siapa melakukan keduanya, berarti ia telah melaksanakan kebenaran (tahaqquq)” bukan saja jargon kosong belaka.[]

Muhammad Madarik 
adalah dosen STAI Al-Qolam Gondanglegi Malang.

sumber gambar: pexels.com

Wednesday, February 20, 2013

Aku Takut


Oleh: Halimah Sa'diyah*

Aku takut pada lelaki
Aku takut dirampas mereka
Aku takut

Aku takut tak mendengar lagi ibu marah di telingaku
Aku takut bapak tak berani menasihatiku
Aku takut

Aku takut lelaki yang berwujud suami
Menyumpat telingaku
Sampai sumpat dan menghalangi mendengar marahnya ibu
Aku takut lelaki berwujud suami
Membuat bapakku rikuh menasihatiku
Membuat bapakku segan menimang-nimangku

Menjauhlah semua
Menjauh…

Menjauh…..

Minggu, medio Februari 2013
Rumah, aku, ibu dan bapak.

Halimah Sa'diyah 
adalah mahasiswi Sastra dan Bahasa Arab, Fakultas Adab, 
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Penulis novel Akasia Berdarah.

Sunday, February 17, 2013

Tafsir Fenomenologis Kritis atas Kepemimpinan Perempuan

Oleh: Muhammad Hilal*

[Judul: Tafsir Fenomenologis Kritis; Interrelasi Fungsional antara Teks dan Realitas | Penulis: M. Fauzan Zenrif | Penerbit: UIN-Maliki Press | Tahun: 2011 | ISBN: 978-602-958-406-6]

Terdapat sebuah anekdot yang punya kaitan dengan tafsir. Alkisah, ada tiga orang melihat sebuah kursi di sebuah ruangan. Penglihatan mereka ini bukanlah sekedar cerapan indera sepintas kilas, melainkan sudah diteguhkan melalui langkah-langkah dan prosedur ketat sehingga secara ilmiah layak disebut “nyata”. Pada saat yang sama, terdapat sebuah teks suci yang mengatakan bahwa benda dalam ruangan itu bukanlah sebuah kursi, melainkan sebuah lemari. Terhadap benturan teks suci dengan hasil pengamatan mereka, tiga orang itu mengambil sikap berbeda-beda. 

(1) Mencampakkan semua hasil pengamatannya dan menerima firman kitab suci secara mutlak. Ini bukan urusan remeh-temeh. Kalau sudah kitab suci yang bicara, sikap yang paling pantas diambil adalah patuh tanpa protes. 

(2) Membiarkan infromasi dari indera dan informasi yang diperoleh melalui teks suci sebagai sama-sama benar. Artinya, pengamatan ilmiah dan informasi teks suci memiliki wilayah garapan yang beda-beda. Yang satu tidak boleh mengintervensi kinerja yang lain. 

(3) Mempertahankan pengalaman inderanya dan sekaligus menerima informasi teks suci tadi secara lain, yakni tidak secara harfiah. Dengan demikian, perhatiannya kemudian mengarah pada teori-teori tafsir.

Friday, February 15, 2013

Transkripsi Pidato KH As'ad Syamsul Arifin



(K.H. As’ad Syamsul Arifin adalah pelaku sejarah berdirinya NU, beliaulah yang menjadi media penghubung dari K.H. Kholil Bangkalan yang memberi isyarat agar KH Hasyim Asyari mendirikan Jamiyah Ulama [akhirnya bernama Nahdlatul Ulama]. Pidato ini awalnya berbahasa Madura dan berikut adalah transkripsi selengkapnya)

Assalamualaikum Wr. Wb.

Yang akan saya sampaikan pada Anda tidak bersifat nasehat atau pengarahan, tapi saya mau bercerita kepada Anda semua. Anda suka mendengarkan cerita? (Hadirin menjawab: Ya). Kalau suka saya mau bercerita. Begini saudara-saudara. Tentunya yang hadir ini kebanyakan warga NU, ya? Ya? (Hadirin menjawab: Ya). Kalau ada selain warga NU tidak apa-apa ikut mendengarkan. Cuma yang saya sampaikan ini tentang NU, Nahdlatul Ulama. Karena saya ini orang NU, tidak boleh berubah-ubah, sudah NU. Jadi saya mau bercerita kepada Anda mengapa ada NU? Tentunya mubalig-mubalig yang lain menceritakan isinya kitab. Kalau saya tidak.  Sekarang saya ingin bercerita tentang kenapa ada NU di Indonesia, apa sebabnya? Tolong didengarkan ya, terutama para pengurus, pengurus Cabang, MWC, Ranting, kenapa ada NU di Indonesia.

Begini. Umat Islam di Indonesia ini mulai kira-kira 700 tahun dari sekarang, kurang lebih. Para auliya, pelopor-pelopor Rasulullah saw. ini yang masuk ke Indonesia membawa syariat Islam menurut aliran salah satu empat mazhab, yang empat. Jadi, ulama, para auliya, para pelopor Rasulullah saw. masuk ke Indonesia pertama kali yang dibawa adalah Islam menurut orang sekarang Islam Ahli sunah waljamaah, syariat Islam dari Rasulullah saw. yang beraliran salah satu empat mazhab, khususnya Mazhab Syafi'i. Ini yang terbesar yang ada di Indonesia. Mazhab-mazhab yang lain juga ada. Ini termasuk Islam Ahlisunnah wal jamaah. Termasuk yang dibawa Walisongo, yang dibawa Sunan Ampel, termasuk Raden Asmoro ayahanda Sunan Ampel, termasuk Sunan Kalijogo, termasuk Sunan Gunung Jati. Semua ini adalah ulama-ulama pelopor yang masuk ke Indonesia, yang membawa syariat Islam Ahli sunah waljamaah.

Wednesday, February 13, 2013

Musik dan Syiar Agama


Kerangka Analisis Masalah.
Hidup tanpa musik bagai taman tanpa bunga atau sayur tanpa garam, itulah kata-kata yang dikatakan oleh para pecinta musik. Bahkan di zaman sekarang musik tidak hanya untuk iringan nyanyian, melainkan digunakan pula untuk menyambut seorang tokoh, iringan salawat, sarana dakwah ataupun hiburan drum band. Padahal kalau kita melihat dari kitab Sullam at-Taufik, misalnya, kita akan menemukan sebuah keterangan yang mengharamkan memainkan maupun mendengarkan musik

Pertanyaan I
Apakah dasar yang digunakan oleh para ulama untuk mengharamkan mendengarkan maupun memainkan alat musik?

Haji: Masalah Kuota dan Implikasinya


Latar Belakang Masalah.
Alangkah bahagianya hati Pak Hadi ketika beliau mendapatkan rizki yang banyak dari Allah swt yang cukup untuk melaksanakan ibadah haji. Karena sudah merasa mampu akhirnya beliau mendaftarkan diri sebagai calon jamaah haji pada tahun 2000 pada salah satu KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji). Tapi sayang kuota yang telah ditetapkan oleh pemerintah untuk tahun 2000 sudah habis. Sehingga dengan terpaksa beliau harus berangkat tahun 2008, tapi apa mau dikata ajal menjemput Pak Hadi pada tahun 2006 sebelum beliau sempat melaksanakan haji.

Pertanyaan I:
Apakah beliau termasuk orang yang “tidak mampu melaksanakan haji” sebab kuota pada tahun 2000 sudah penuh?

Nikah: Perempuan Hamil Luar Nikah


Latar Belakang Masalah
Hamil di luar nikah adalah salah satu fenomena sosial yang sering terjadi di masyarakat. Pernikahan seakan-akan menjadi solusi terakhir untuk menutupi aib keluarga. Cara ini sering dilakukan oleh masyarakat di sekitar kita.

Ada seseorang, sebut saja “Bunga”. Dia hamil di luar nikah dengan seseorang yang tidak bertanggung jawab. Untuk menutupi aib, akhirnya dia dan pihak keluarga berinisiatif mencari calon suami untuk menjaga nama baik keluarga dengan imbalan sebesar 30. 000.000 bagi orang laki-laki yang mau menikahinya.

Pertanyaan I
Kalau memang ternyata nanti ada seseorang yang mau menikahi Bunga, disebut transaksi apakah antara orang yang menikahi Bunga (calon suami) dengan pihak keluarga bunga?

Monday, February 11, 2013

Riwayat Vina


Oleh: Imron Haqiqi*

Bagimana kabarmu, Vin? Aku rindu padamu. Melihatnya aku seperti melihatmu, Vin. Dia mempunyai sifat yang sama sepertimu. Sama-sama wanita yang sabar, periang, dan kuat. Tapi semoga kelak dia tidak mempunyai nasib sepertimu, Vin. Doakan dia semoga dia mempunyai nasib yang lebih baik darimu. Sekarang engkau seperti kembali di tengah-tengah kita. Terkadang aku merasa dia adalah cuplikanmu.

Vin, Tahukah kau, dulu aku salut padamu, bahkan aku sempat iri padamu ketika engkau mengatakan padaku tentang kehidupan. Hidup adalah sebuah perjuangan untuk mencapai suatu tujuan, dan dalam perjuangan harus mempunyai strategi, hingga menimbulkan suatu pilihan. Maka dalam hidup, kau harus memilih untuk mencapai sesuatu yang engkau tuju, katamu. Waktu itu aku terdiam, aku mati kutu ketika engkau berkata seperti itu, seperti kucing yang baru saja tersiram derasnya air hujan. Entah kenapa aku jadi mati kutu ketika kau menasihatiku. Padahal, seharusnya aku yang menasihatimu sebagai laki-laki yang lebih tua. Karena, menurut adat, seorang laki-laki katanya adalah panutan bagi seorang perempuan. Tapi kenapa kali ini justru sebaliknya? Engkau yang lebih banyak menasehatiku. Apakah karena kebodohanku? Ahh, Terserahlah, karena bagiku pribadi, antara laki-laki dan perempuan  sama, dalam ajaran maupun adat belum ada perempuan dilarang menasehati laki-laki. Bagiku jangan melihat siapa yang berkata, tapi apa yang dikatakan. dan sekarang aku sadar bahwa  kau memang benar. Beberapa waktu lalu aku merenunginya.

Friday, February 1, 2013

Cermin Retak


Oleh: Rizqia Arqi MS*

Aku menatap cermin di depanku dengan seksama. Wajah yang terpantul di sana masih sama. Tak ada yang berubah sedikit pun. Aku tersenyum simpul menatap wajah mulus tanpa setitik pun noda. Wajah yang selama ini aku bangga-banggakan dan dikagumi banyak orang.

Sekian detik berlalu. Tiba-tiba cermin itu retak lalu perlahan luruh ke lantai di depan kakiku. Aku terperanjat. Tak menyangka cermin itu pecah menjadi kepingan-kepingan tak beraturan. Perlahan aku berjongkok hendak membereskan pecahan kaca yang berserakan di depanku. Namun gerakanku terhenti saat kulihat wajah buruk rupa terpantul berantakan di pecahan kaca itu. Kuhempaskan tubuhku ke belakang hingga membuatku jatuh terduduk. Kuraba wajahku dengan tangan bergetar. Tidak, ini tidak mungkin! Aku menggeleng kebingungan. Kuraba wajahku sekali lagi. Bagaimana bisa kulit mulus itu berubah total dalam hitungan detik?

"Ini pasti mimpi." Gumamku pada diri sendiri. Aku segera bangkit. Berlari mencari cermin yang lain. Berharap ini hanya mimpi atau sekedar halusinasi.
Powered by Blogger.

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top