Wednesday, March 20, 2013

Tolong, Selamatkan Aku!


Malam ini, sajak-sajak mendekatiku
Mereka memelukku,
Melumatku,
Memerasku,
Memasukiku,
Dan hendak membunuhku!
Membunuh diriku sendiri!
Aku!

Aku rela
Kulentangkan diriku
Kucopoti bajuku
Kutelanjangi
Kukuliti aku
Kugigiti aku
Kucopoti tulang belulangku
Kuremuk!
Kulempar hendak kubakar

Kusiapkan diriku melihatnya menjadi abu
Lalu terbang berhamburan
Menyatu dengan angin
Berkawan dengan alam
Bersembunyi dari dunia

Tapi sial!
Bangsat!
Aku tertarik lagi ke dunia
Diktat-diktat kuliah menampar-nampar mukaku!
Merobek-robek otakku
Menginjak-nginjak sukmaku

Bangsat!
Sungguh bangsat!
Diriku bukan diriku!

Kemana, Kau, Tuhan?!
Teruslah bersembunyi
Dan lelangkan aku
Pada duniamu yang kotor!


19 Maret 2013, di saat hilang

Halimah Garnasih
adalah Mahasiswi Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sekarang sedang bergiat di Rumah Kreatif  Matapena Yogyakarta &  sanggar Salemba Yogyakarta


Sunday, March 17, 2013

Membaca Trend Konversi ke Islam Kalangan Perempuan Terdidik di Barat


Oleh: Muhammad Adib*


[Judul: Women Embracing Islam: Gender and Conversion in the West | Editor: Karin van Nieuwkerk (Ed.) | Cetakan: ke-I | Penerbit: Texas University Press | Tahun terbit: 2006]

Buku setebal 309 halaman ini merupakan symposium proceedings dari sebuah simposium bertajuk “Gender and Convertion to Islam” yang diselenggarakan oleh International Institute for Studi of Islam in the Modern World (ISIM) Leiden University Belanda pada tanggal 16-17 Mei 2003. Simposium tersebut diselenggarakan sebagai respon akademik terhadap meningkatnya jumlah warga pribumi Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa yang memeluk agama Islam, terutama pascatragedi serangan WTC 11 September 2001. Sejumlah media di Barat melaporkan bahwa jumlah warga pribumi yang memeluk agama Islam sepanjang satu tahun pascatragedi itu mencapai angka ratusan ribu. Uniknya, sebagian besar di antaranya adalah kaum perempuan dari kalangan terdidik (educated women)—dengan rasio mencapai 4:1. Beberapa di antaranya bahkan adalah nama-nama yang terkenal, seperti Lauren Booth (adik ipar Tony Blair), Kristane Backer (mantan presenter MTV di London), Sara Bokker (mantan artis, model dan instruktur fitness terkenal), dan Camilla Leyland (guru yoga terkenal di Inggris). Sisi unik inilah yang dijadikan sebagai fokus kajian dalam simposium tersebut berikut alasan penetapan “gender and convertion to Islam” sebagai tajuknya.[1]

Secara umum, buku yang memuat 12 makalah—10 di antaranya ditulis oleh penulis perempuan—ini memperbincangkan fenomena gelombang konversi agama kalangan perempuan sebagai sebuah fakta yang mengejutkan sekaligus menarik, karena kontradiktif dengan dominannya label negatif terhadap Islam di dunia Barat. Di satu sisi, masyarakat Barat cenderung melihat Islam sebagai agama teroris, kejam, anti-Barat, anti-demokrasi dan diskriminatif terhadap perempuan. Namun, di sisi lain, sejumlah besar kaum perempuan di Barat justru tertarik dengan ajaran Islam dan menjadi Muslim.

Friday, March 15, 2013

Meja Rias


Oleh: Halimah Garnasih*

Perempuan itu tak pernah berdialog dengan siapapun. Apalagi bersepakat dengan siapapun. Atau menyetujui apapun. Namun, dia tetap terlahir di dunia. Begitu saja, dia temukan dirinya sebagai seorang anak. Anak gadis.

Banyak hal-hal yang begitu saj terjadi di luar keinginan dirinya, itu yang ia pikirkan saat duduk di kelas empat SD. Sambil maenyangga pipi kanan dengan telapak tangan kanannya yang kecil, ia, diam-diam menggugat. Entah pada siapa. Ia pun tak benar-benar tahu.

Matanya yang bundar memayar bunga mawar putih di depan kelas. Namun, sebenarnya, ia pun tak melihat putihnya kelopak mawar yang menyangga sisa-sisa embun tadi pagi.

Kenapa aku di sini? Hatinya gelisah. Pikirnya menggulung-gulung. Bercengkrama sendiri. Lalu, apa sebenarnya semua ini? Ia memandang langit, menatap tanah, menghirup udara dalam-dalam, dan merasakan angin yang melewati belakang telinganya.

Wednesday, March 13, 2013

Cerita Wahyu


Oleh : Imron Haqiqi*

Hari-harinya hampir dihabiskan di kontrakanku. Datang pagi pulang malam, yang dilakukannya hanya bermain komputer, sampai terkadang aku risih dengan kehadirannya, ketika aku sedang membaca novel, hilang semua konsentrasi otakku. Mungkin bagi orang yang belum kenal, ia adalah orang yang aneh. Sebetulnya aku juga merasakan yang sama, namun mungkin karena terlalu sering bersamanya, hingga keanehannya jadi terasa biasa saja.

Dua tahun yang silam aku berkenalan dengan Wahyu. Aku berkeinginan berkenalan dengannya karena kebiasaannya termenung di ujung gang kontrakanku. Ketika aku hendak berangkat dan pulang dari tempat kerja, aku selalu menemukan ia sedang duduk di atas serpihan puing tembok tua, dengan kedua lutut menopang kepalanya, serta matanya yang sayu terkadang menerawang ke ujung tiang listrik, memandangi burung gereja yang sedang berkicauan. Bibirnya melumat-lumat pengait selilit gigi. Aku jadi penasaran untuk mendekatinya, kenapa ia selalu termenung, sendirian pula, apa tidak bosan? Atau mungkin ia punya masalah yang sulit dipecahkan? Nah, maka dari itu aku ingin mengenalnya.

Setelah aku mengenalnya, dan keseringan aku menghampiri tempat dia terdiam di ujung gang, lama-kelamaan aku merasa kasihan pada kebiasaannya yang selalu termenung di ujung gang. Aku menyuruh ia diam di kontrakanku meskipun aku sedang keluar. “Daripada diam sendiran di pinggir gang, lebih baik kamu diam di kontrakanku. Di situ ada komputer, kamu bisa pakai kalau aku sedang kerja, kamu bisa main game, musik, dan nonton film,” kataku waktu itu. Ia mengiyakan dengan isyarat anggukan kepala.  Dari awal aku kenal dengannya, ia lebih banyak diam tanpa berkata, meskipun ketika dikontrakan sedang banyak kawan-kawanku yang bergurau, yang terkadang sampai kelewatan, ia hanya diam, terkadang cuma sedikit senyum.
Setelah beberapa lama ia akrab denganku, ia tidak penah lagi diam di ujung gang, setiap pagi langsung menuju kontrakan dan pulang sampai dini hari. Timbul dalam hatiku pertanyaan tentangnya, apakah ia tidak sekolah? Kalau memang iya, kenapa ia tidak sekolah?. Aku ingin menanyakan hal itu pada Wahyu. tapi setiap aku hendak bertanya, aku ragu, hingga aku harus mengurungkan niatku, tepatnya aku tidak berani. Takut pertanyaanku malah menyinggung perasaannya. namun aku yakin ia pasti mempunyai rahasia yang disembunyikannya dariku, mungkin masalah yang agak besar, yang sulit dipecahkan. Tapi pertanyaan itu lama terus singggah dalam hatiku, seperti menyelimuti, dan selimut itu seperti semakin menebal, hingga gerah rasanya jika terus dibiarkan. Hingga rasanya aku harus mencoba memberanikan diri menanyakan tentang hal tersebut pada Wahyu. Tepat ketika dia habis main game, mungkin capek, dia diam. duduk bersila di depanku, lalu aku menanyakan perihal tersebut. Tapi, ketika aku bertanya, ia hanya sekejap memandang mataku, matanya yang tajam seperti menusuk tepat di mataku. Aku menundukkan wajahku, tersipu. Setelah itu ia juga menundukan wajahnya tanpa meninggalkan satu kata pun.

Lama ia selalu diam di kontrakanku, datang pagi pulang dini hari. aku mulai merasa risih dengan kehadirannya, karena kelakuannya terkadang tak beretika. Dia suka merokok dan puntungnyan di buang sembarangan di lantai. Terkadang suka tidur sekenanya, hingga mau lewat saja aku kesulitan. Apalagi ketika ia main game dengan suara yang tidak kira-kira kerasnya.

Kemarin ia main game seharian penuh. Pastinya seperti biasa, dengan suara yang tidak kira-kira kerasnya. Aku perhatikan nampaknya ia sangat beremosi dengan gamenya, tiba-tiba ketika emosinya memuncak, tampaknya ia hampir menang, seketika komputernya mati. Ia mencoba menghidupkan komputer itu lagi berulang-ulang, tapi tetap saja tidak mau hidup. Sepertinya ia sangat kesal. Lalu, tanpa  pamit ia pergi dari kamarku, kebetulan waktu itu di kamarku ada dua orang teman kerjaku, mereka terheran-heran melihat sikap wahyu. aku mencoba mengalihkan perhatian mereka pada obrolan-obrolan kecil, untuk menutupi keanehan Wahyu. Keesokan harinya ia ke kontrakan lagi, tapi ia sepertinya kecewa dan putus asa dengan komputer yang masih mati. Ia diam memencet-mencet hape jadulnya, aku biarkan saja, lalu aku tinggalkan ia sendirian di kamar, aku berangkat kerja,

Setelah aku pulang dari kerja kutemui ia sudah tidak lagi di kamarku, entah kemana, mungkin pulang atau kemana. Ah, aku tak peduli. Aku ingin merebahkan tubuhku di kamar. Aku sangat lelah sekali. Tapi, hendak aku merebahkan tubuhku, tiba-tiba bapak Wahyu datang tergopoh-gopoh mencari wahyu. 

“Wahyu ada di sini, Dek?”

“Tadi pagi dia kesini, Om. Tapi barusan aku pulang dari kampus ia sudah tidak ada di sini. Memangnya dia tidak ada di rumah?”

“Tidak ada, Dek. Waduh, kemana tuh anak?!” Katanya geram. Lalu ia duduk di kamarku, tepat di depanku. Tanpa pengantar, lalu dia berbicara soala wahyu, anaknya. Tepatnya mengeluh.

“Entahlah, Dek. Wahyu itu sangat bandel sekali. Semenjak ibunya meninggal karena penyakit jantung, ia berhenti dari sekolah, dan seketika itu ia berubah, ia jadi anak yang aneh. Entah apa yang ia rasakan. Ia tidak pernah mengatakan pada saya apa sebabnya ia bersikap begitu. setiap harinya ia diam terus. tak pernah bertegur sapa sama saya.” 

“Kenapa tidak dinasehati saja, Pak. Mungkin saja ia bisa mengerti.”

“Berulang kali saya menasehatinya, Dek. Berulang kali saya menanyakan apa sebab ia selalu bersikap begitu, mungkin saya bisa membantunya. Tapi ia tidak pernah mengacuhkan. Ia selalu saja diam setiap saya bertanya.”

Setelah kami selesai mengobrol, lalu bapak wahyu pulang. Tak lama kemudian wahyu datang. Seperti biasa, tanpa sepatah katapun ia berucap. Ia langsung tidur di kamarku, pun tanpa melihat kondisi dan posisi, bagaimana ia seharusnya posisi tidurnya, padahal posisi tidurnya menyulitkan apabila aku mau lewat, tapi ia tidak mengacuhkan sama sekali hal itu. ia langsung saja merebahkan tubuhnya di atas lantai.  Aku terheran-heran melihat sikap wahyu.

Wahyu sudah dua hari dua malam tidur di kamarku, biasanya sebelum komputer rusak dia jarang tidur, terkadang sampai dini hari bermain game. Tapi semenjak komputer tersebut mati ia malah banyak tidur, tanpa mengenal waktu. Memang sengaja aku tidak membawa komputer tersebut ke servis reservaso komputer. Tidak lama kemudian ayahnya datang kembali ke kontrakan saya, kali ini ia seperti seorang yang sedang emosi, seperti orang yang habis kesabaran, ia melangkah cepat, serta mata melotot ke segala arah, tanpa salam ia masuk ke dalam kontrakanku dan langsung membangunkan wahyu yang sedang tidur pulas, dengan kasar dia membangunkan.

“Wahyu, Wahyu, bangun, Yu. Ayo pulang….!!” Katanya sembari menendang-nendang tubuh anaknya. Wahyu dengan lesu bangun dari tidurnya.

“Ayo pulang! Kamu ini dibiarkan tambah melunjak, malah gak pulang-pulang kerumah, kamu kira bapakmu ini siapa? Kok sepertinya keberadaanku tidak dianggap olehmu, apa kamu sudah merasa hebat? Di suruh sekolah tidak mau sekolah, malah keluyuran gak jelas, seperti anak hilang. Kamu sudah berani sama saya ya?” Tampak kesabarannya telah habis. Seketika wajah wahyu pun tampak geram, wajah lesunya hilang sama sekali.

“Pak!” Bentak wahyu. “Apa Bapak tidak sadar kenapa saya bersikap seperti ini? Apakah Bapak belum menyadari semua sikap Bapak selama ini? Saya sudah tahu semuanya, Pak. Sekarang Bapak tidak usah mengelak lagi. Sebab kematian ibu saya sudah tahu semuanya. ibu meninggal bukan karena sakit jantung kan? Ibu meninggal karena sudah direncanakan oleh Bapak, kan? Supaya Bapak lebih leluasa bersenang-senang dengan selingkuhan Bapak, Dan sekarang Bapak sudah berhasil, Bapak sudah membunuh ibu, dan sekarang Bapak leluasa membawa wanita itu ke rumah. Semuanya telah Bapak miliki. Dan sekarang Bapak berkoar-koar sok ingin mengatur saya. Tidak usah bersembunyi di balik itu semua, Pak. Saya sudah tahu semuanya.”

Seketika wajah Bapak wahyu merah padam. seperti baru saja ditampar dengan sangat keras. Tatapannya kosong. Tubuhnya gemetar. 

Yogyakarta, 2012

Imron Haqiqi 
lahir di Lumajang, Jawa Timur. sekarang tinggal di Yogyakarta. Sering bermain-main sambil belajar di Komunitas sastra dan budaya “Masyarakat Bawah Pohon” dan Komunitas “Matapena” Yogyakarta.

sumber gambar: pexels.com

Sunday, March 10, 2013

Piagam Fatwa


Oleh: Muhammad Adib*

(1)
Pertama kali dalam sejarah Islam, lebih dari 170 orang sarjana muslim dari berbagai belahan dunia berkumpul pada sebuah acara bertajuk “International Conference on Fatwa” (al-Mu’tamar al-‘Ālamī li al-Fatwā) pada tanggal 17-20 Januari 2009 di Mekkah Arab Saudi atas prakarsa dari Liga Muslim Dunia. Pada acara itu, mereka berdiskusi tentang reaktualisasi konsep fatwa, terutama dalam konteks realitas sosial-politik umat Islam saat ini yang serbakompleks, sarat konflik inernal serta tengah terhimpit oleh labelisasi negatif dari dunia Barat. Hal ini nampak dari paragraf pembuka dokumen ini:

فقد دعت رابطة العالم الإسلامي إلى ( المؤتمر العالمي للفتوى وضوابطها ) عدداً كبيراً من المفتين والعلماء في العالم الإسلامي، وذلك لمناقشة قضية من أهم قضايا المسلمين المعاصرة، ألا وهي قضية الفتوى، وبيان أهميتها وخطرها وما يعرض لها من مشكلات قد تثير بلبلة في صفوف المسلمين، وتؤدي في بعض الأحيان إلى الاختلاف والفرقة وتشويه صورة الإسلام.[1]


Rangkaian diskusi selama empat hari tersebut pada akhirnya menghasilakan sebuah dokumen bertajuk “Piagam fatwa” (Mītsāq al-fatwā, The Fatwa Charter) yang terdiri atas tiga bab dan 41 pasal. Bab I (Pasal 1-12 [12 pasal]) memuat konsep dasar normatif tentang fatwa, meliputi (1) definisi, ruang lingkup, urgensi dan hukum fatwa, (2) syarat, karakter dan etika pemberi fatwa (muftī), dan (3) etika peminta fatwa (mustaftī). Bab II (pasal 13-15 [tiga pasal]) berisi analisis tentang ragam problem yang dihadapi oleh fatwa dewasa ini, berikut faktor-faktor penyebab dan implikasinya. Bab III (pasal 16-41 [26 pasal]) memuat tawaran solusi dan kriteria normatif agar fatwa bisa keluar dari ragam problem tadi.[2]


Dari tiga bab di atas, Bab II dan III menjadi bahan perbincangan yang paling hangat saat itu. Sebab kedua bab tersebut berkaitan erat dengan serta merupakan respon terhadap fenomena bermunculannya sejumlah fatwa yang kontroversial sepanjang dua dekade terakhir. Disebut kontroversial, karena fatwa-fatwa tersebut cenderung “bengis”, “intoleran” dan “konyol”, semisal:

1.    Fatwa mati terhadap para pemilik stasiun televisi satelit yang menyiarkan tayangan tak bermoral selama bulan Ramadan, para jurnalis dan kolumnis yang kritis terhadap para ulama dan pemuka agama, Presiden Suriah Bashar al-Assad, dan lain-lain.

2.    Fatwa kafir terhadap semua ulama madzhab Syiah, orang yang setuju terhadap percampuran (ikhtilāth) antara laki-laki dan perempuan, dan sebagainya.

3.    Fatwa  wajib menghancurkan seluruh gereja di semenanjung Arabia.

4.    Fatwa haram menggunakan vaksin polio, bermain sepakbola, bermain game Pokemon, dan sebagainya.

5.    Fatwa bahwa perempuan Saudi sebaiknya menyusui (breastfeeding) karyawan atau supirnya untuk menciptakan hubungan radhā‘ah, sebagai solusi alternatif agar perempuan yang bepergian dengan mobil pribadi tetap tidak menyetir mobil serta bebas berduaan dengan supirnya.[3]

Tak pelak lagi, ragam fatwa yang kontroversial tersebut mencoreng wajah Islam di mata dunia internasional, bukan hanya dari kalangan non-Muslim semata,[4] melainkan juga dari kalangan Muslim sendiri.[5]

Dalam konteks ini, Bab II secara umum menegaskan bahwa kemunculan ragam fatwa kontroversial tersebut dilatarbelakangi oleh sejumlah faktor. Di antaranya adalah: (1) krisis kapabilitas keilmuan untuk berfatwa, (2) kuatnya ekstrimisme sekaligus lemahnya moderatisme dalam pola pikir sejumlah besar juru fatwa, (3) krisis kesadaran akan prinsip “mempermudah ajaran” (al-taysīr) dalam pola pikir mereka, (4) krisis wawasan tentang realitas sosial yang beragam dan kompleks, (5) adanya ragam kepentingan sosial-politik sesaat dan sepihak yang melatari kemunculan fatwa, (6) rendahnya daya kontrol otoritas negara dan publik terhadap proses dan produk fatwa, dan sebagainya.[6]

Atas dasar itu, Bab III menggariskan sejumlah rekomendasi bagi pengembangan fatwa di masa yang akan datang. Di antaranya adalah:

1.    Mengarahkan perhatian umat Islam di seluruh dunia, baik secara resmi maupun informal tentang pentingnya fatwa dan tujuannya sebagai penjelasan tentang hukum Allah Swt sesuai dengan al-Qur'an dan Sunnah, dan sesuai dengan konsensus para ulama syari'ah dan menjauhkan fatwa dari segala hal yang dapat menimbulkan pertentangan dan perselisihan umat Islam yang dapat merusak citra Islam.

2.    Perlunya menjaga kesatuan dan persatuan umat Islam, menghormati tempat ibadah, prinsip-prinsip universal Islam, ajaran-ajaran dasar Islam serta kepentingan utama umat Islam, dengan menjauhkan perselisihan dan faktor-faktor pemicunya.

3.    Menegaskan pentingnya menggunakan dialog yang konstruktif, menghormati para ulama, para da’i, dan menjauhkan tuduhan kafir, fasiq, marginalisasi, dan kekerasan kepada kelompok tertentu.

4.    Menyebarkan kesadaran umat melalui berbagai media massa Islam akan signifikansi fatwa dalam mengontrol kehidupan muslim dan perlunya memegang komitmen terhadap etika berfatwa dan meminta fatwa kepada otoritas yang kompeten.

5.    Mempermudah akses kepada para mufti, ulama dan otoritas fatwa di kota-kota dan negeri-negeri muslim.[7]

Rekomendasi Piagam Fatwa tersebut kemudian dikukuhkan oleh Konferensi Internasional tentang Fatwa yang diadakan di Hotel Borobudur Jakarta pada tanggal 24 hingga 26 Desember 2012. Konferensi yang diselenggarakan atas kerjasama antara Liga Muslim Dunia dan Kementerian Agama RI serta dihadiri oleh peserta dari 20 negara tersebut menghasilkan sejumlah butir rekomendasi terkait fatwa. Beberapa yang penting di antaranya adalah: (1) menguatkan isi Piagam Fatwa 2009, (2) menerjemahkan piagam tersebut dan memasukkannya dalam kurikulum fakultas Syari‘ah pada perguruan tinggi Islam, (3) menjauhkan tuduhan kafir, fasiq, marginalisasi, dan kekerasan kepada kelompok tertentu, dan sebagainya.[8]

(2)
Membaca dokumen hasil konferensi internasional tersebut, kita tentu teringat dengan sejumlah fatwa di Indonesia yang juga dinilai kontroversial dewasa ini. Sebut saja, misalnya, fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahwa Jemaah Ahmadiyah Indonesa (JAI) termasuk “aliran sesat” sehingga harus (1) kembali ke ajaran agama yang benar, (2) menjadi agama baru, atau (3) dilarang dan dibubarkan (2005). Fatwa ini dinilai kontroversial, karena tidak hanya memicu perdebatan pro dan kontra, tetapi juga dianggap telah memicu—secara langsung ataupun tidak—terjadinya konflik horisontal dan tindak kekerasan di sejumlah kawasan seantero nusantara, seperti penyerangan, perusakan, pengusiran dan sebagainya.[9] Contoh lainnya adalah fatwa Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI), pada 30 November 2002, yang menuntut hukuman mati terhadap Ulil Abshar Abdalla dan anggota Jaringan Islam Liberal (JIL) lainnya, dengan alasan bahwa mereka telah menghina dan memutarbalikkan kebenaran agama sehingga dapat diancam dengan hukuman mati.[10]

Berkaca kepada fatwa-fatwa tersebut, wacana keagamaan kita memang masih jauh dari apa yang diharapkan oleh Piagam Fatwa di atas. Harapan bahwa fatwa harus berorientasi kepada kekuatan pemersatu yang jauh dari tuduhan kafir, fasiq dan sesat serta bebas dari marginalisasi dan kekerasan kepada kelompok tertentu, nampaknya masih sejauh “panggan dari api”. Itulah sebabnya, pembudayaan sikap keberagamaan dan pendekatan yang santun, inklusif dan menghargai perbedaan, baik internal maupun eksternal, masih memerlukan kerja keras dan proses yang panjang.

Wallāhu a‘lam.

Yogyakarta, 11 Februari 2013.

Muhammad Adib adalah Dosen Tetap STAI Al-Qolam Gondanglegi Malang, peserta Program Beasiswa Studi (BS) Program Doktor (S3) Kementerian Agama RI Angkatan Tahun 2012 di Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.

sumber gambar: pexels.com

Sumber:
1.    Asrori S. Karni, “Senandung Liberasi Berirama Ancaman Mati”, Gatra, Edisi 2 Beredar Senin 17 November 2003.
2.    Djohan Effendi, “Islam di antara Teks dan Konteks”, makalah, dipresentasikan pada Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) ke-10 Kementerian Agama RI di Banjarmasin tanggal 1-3 Nopember 2010.
3.    Http://www.alarabiya.net, artikel “Fatwa charter signed in Saudi to curb abuses” (akses tanggal 5 Februari 2013).
4.    Http://www.alarabiya.net, artikel “In Focus: Death Fatwas” (akses tanggal 4 Februari 2013).
5.    Http://www.foreignpolicy.com, artikel “The List: The World’s Stupidest Fatwas” (akses tanggal 4 Februari 2013).
6.    Http://www.iefpedia.com, artikel “tsāq al-Fatwā” (akses tanggal 5 Februari 2013).
7.    Http://m.voa-islam.com, “Butir-butir Rekomendasi Konferensi Internasional tentang Fatwa” (akses tanggal 6 Februari 2013).
8.    Khoiruddin Nasution, “Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI): On Ahmadiyah”, http://journal.uii.ac.id (akses tanggal 8 Februari 2013).




[1] Http://www.iefpedia.com, artikel “tsāq al-Fatwā” (akses tanggal 5 Februari 2013).
[2] Ibid.
[3] Http://www.alarabiya.net, artikel “Fatwa charter signed in Saudi to curb abuses” (akses tanggal 5 Februari 2013). Fatwa terakhir, yakni tentang breastfeeding, malah memicu wacana hukum yang tidak kalah konyolnya. Muncul pertanyaan “apakah penyusuan itu mesti dilakukan secara langsung melalui kontak fisik atau cukup melalui gelas?”. Pihak pemberi fatwa kemudian menjelaskan bahwa si perempuan cukup memeras susunya dan memasukkannya ke dalam cangkir untuk diminum si laki-laki yang akan bersamanya seruangan. Namun muncul pendapat lain bahwa penyusuan itu mesti melalui kontak fisik secara langsung. Tak lama kemudian, muncul pertanyaan lanjutan dari sejumlah perempuan “apakah penyusuan itu dilakukan berdua saja ataukah mesti disaksikan oleh suami perempuan yang bersangkutan?”. Pertanyaan ini mereka ajukan karena mereka khawatir siapa yang akan melindungi mereka kalau kebetulan suami mereka tiba-tiba tanpa disangka memergoki mereka sedang berduaan ketika seorang isteri menyusui laki-laki yang akan menjadi sopirnya. Selain itu, berdasarkan fatwa breastfeeding ini, muncul fatwa lanjutan tentang keluarga yang mempekerjakan pembantu rumah tangga perempuan. Seorang suami dianjurkan untuk menyusu kepada pembantu rumah tangga wanita itu agar terhindar dari kontak dan perjumpaan yang terlarang. (Oleh sebuah media, fatwa lanjutan ini dikomentari dengan sinis bahwa sang majikan tersebut akan memanggil pembantu rumah tangganya itu dengan sebutan “mama”). Lihat: Djohan Effendi, “Islam di antara Teks dan Konteks”, makalah, dipresentasikan pada Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) ke-10 Kementerian Agama RI di Banjarmasin tanggal 1-3 Nopember 2010, halaman 3-4.
[4] Foreign Policy, salah satu majalah terkemuka di Amerika Serikat, pernah memuat sebuah artikel pada tanggal 16 Juli 2007 bertajuk “The World’s Stupidest Fatwas”. Lihat: http://www.foreignpolicy.com, artikel “The List: The World’s Stupidest Fatwas” (akses tanggal 4 Februari 2013).
[5] Khalil el-Anani, peneliti senior di Mesir yang konsen di bidang politik Islam dan demokratisasi Timur Tengah, dalam sebuah artikelnya yang dimuat oleh harian The Daily News pada tanggal 28 September 2008, berkomentar secara sinis: “We may even hear in the future of a fatwa permitting the killing of those who drink orange juice”. Lihat: http://www.alarabiya.net, artikel “In Focus: Death Fatwas” (akses tanggal 4 Februari 2013).
[6] Http://www.iefpedia.com, artikel “tsāq.”.
[7] Ibid.
[8] Http://m.voa-islam.com, “Butir-butir Rekomendasi Konferensi Internasional tentang Fatwa” (akses tanggal 6 Februari 2013).
[9] Khoiruddin Nasution, “Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI): On Ahmadiyah”, http://journal.uii.ac.id (akses tanggal 8 Februari 2013).
[10] Asrori S. Karni, “Senandung Liberasi Berirama Ancaman Mati”, Gatra, Edisi 2 Beredar Senin 17 November 2003.

Saturday, March 2, 2013

Kebimbangan


Oleh: Muhammad Dhofir*

Pintu yang terbuka
Kuucap sepatah kata dari lubuk hati yang gundah
Tak seorang pun yang mendengarnya
Karena membisunya di antara dua insan yang berbeda
Seperti  bintang dan rembulan
Selalu membisu biarpun memberi cahaya
Kumengadu pada Bintang tapi menangisinya
Kubertanya pada Rembulan tapi menertawainya
Seakan tak mengerti apa yang dilihatnya
Malah mengatakan engkau terlalu menjahuinya....
                                    (Harapan yang ditunda)

Indahnya cahaya
Kutatap auramu  penglihatanmu
Kuberikan sebuah pesan untuk mengenalimu
Kurasakan manisnya senyumanmu
Ketika aku bertemu denganmu
Tapi ku tak tahu seperti apa perasaanmu
Denyut jantungku selalu meniti dalam nadiku
Ketika kumenatap kecantikan wajahmu
Keterdiamanmu seperti berlian yang mengilaukanku
Memberikan cahaya tanpa dipahami oleh jiwaku.......
                                   (Keterdiaman)



Perasaan yang menanti harapan
Setiap detik dan waktu aku menunggu
Untuk menjadi yang terbaik bagimu
Bahasa isyarat yang engkau gunakan
Seakan seribu bahasa yang akan engkau ucapkan
Kemerdekaan cintamu selalu kau genggam
Tanpa secercah perasaan yang engkau curahkan
Mengenalmu bagaikan batu karang dalam lautan
                                  (kebimbangan)


Muhammad Dhofir
adalah mahasiswa Sastra Inggris di UTY Yogyakarta
Powered by Blogger.

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top