Wednesday, April 30, 2014

Alquran dan Problem Kemasyarakatan

Oleh: Imron Hakiki*




[Judul Buku: Al-Qur’an dan Isu-Isu Aktual | Pengarang: Mahasiswa IAT angkatan 2010 | Penerbit: IDEA Press | Cetakan: 2013 | Tebal: xxvi, 202 Halaman] 

Alquran merupakan kitab pegangan umat beragama Islam. Banyak bentuk dan cara dalam menggali makna Alquran dengan tujuan untuk mencari kesesuaian dengan konteks dan kultur di masing-masing masyarakat. Hal tersebut timbul sebab kepercayaan umat muslim bahwa Alquran bukan sekedar sebuah kitab suci yang sekedar harus diimani, tetapi sebagai way of life yang senantiasa hadir direlung-relung kehidupan. Fakta ini kemudian melahirkan sebuah adagium bahwa Alquran shâlih li kull zamân wa makân (hlm. 01). 

Alquran dan Isu-Isu Aktual merupakan buku kumpulan karya ilmiah tentang isu-isu yang berkembang di masyarakat, dikaitkan dengan perspektif Al-Quran, di mana ini merupakan salah satu bentuk penggalian makna dari Alquran. Bermodalkan kemampuan yang dimiliki dalam bidang Alquran dan tafsir, mahasiswa jurusan Ilmu Alquran dan tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta angkatan 2010 mencoba mengangkat persoalan sosial kemasyarakatan sebagai obyek observasi. Persoalan yang dianggap kerap menggelisahkan tersebut meliputi radikalisme agama, perbedaan agama, korupsi, perbudakan, dan mode busana yang menyimpang dari norma-norma agama.

Monday, April 28, 2014

Kurikulum Dasar Al-Ghazali dalam Ihya' Ulumuddin

Oleh: Abdurrahman Said*

Dasar awal terpenting dalam meniti kehidupan fana di dunia adalah memiliki suatu kemampuan untuk mengetahui dan mengerti esensi eksistensi kehidupan itu sendiri, sehingga siapapun yang diberikan kesempatan untuk menghirupnya harus dapat menyadari makna di balik misteri "besar" keberadaannya saat ini.  Apa, di mana, ke mana, untuk apa, dari mana? Semuanya memerlukan jawaban yang jelas dan dapat dimengerti, karena kehidupan tanpanya akan menjadi muram, gelap dan tidak dapat dimengerti.

Inilah yang kemudian menjadi "modal dasar terpenting" dalam membangun kehidupan, baik personal maupun komunal. Tidak ada yang dapat melawan sengatan-sengatan listrik dalam otaknya yang kemudian mengsinergikan semua kemampuan indranya untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi padanya, suatu kemampuan dasar yang dengan rahmat Allah, telah dimiliki manusia sadar dari sejak keberadaannya dalam dunia ini. Kesadaran inilah yang mungkin kemudian mendorong Al-Ghazali mengawali karya besarnya Ihyâ' Ulûm ad-Dîn dengan pembahasan analisis manajemen pendidikan.

Saturday, April 26, 2014

2014


Oleh: Irham Thariq


Waktu memang dimensi tanpa tepi, begitu pun dengan 2013, sama dengan tahun-tahun sebelumnya; Selalu pergi menyisakan kekalutan dan 2014 datang membawa harapan.

Di tahun 2013, dari layar televisi dan koran, berita kekalutan tak henti-hentinya muncul. Mulai dari para perempuan cantik yang tercatut korupsi, para "ustaz" yang mencuci uangnya melalui gadis-gadis seksi, sampai hakim tak terhormat yang menerima suap.

Atas semua berita itu, hati kita pun gaduh. Bagaimana bisa, politisi cantik yang pernah tampil di layar kaca membawakan iklan anti korupsi malah terjerat korupsi. Kita bertanya-tanya juga, kok bisa, para "ustaz" yang seharusnya mengajarkan tentang kesalehan, malah menggunakan uang haramnya untuk pesta perempuan. Saya pun bingung, hakim yang selayaknya jadi representasi kebenaran dan keadilan, justru memonopoli kebenaran demi rupiah.

Thursday, April 24, 2014

Menimbang Pemberlakuan Syariat Islam


Oleh: HM Madarik Yahya*

Selama ini agama hanya dijalani dalam tataran semangat ritualitas belaka. Keberagamaan orang Islam Indonesia seakan-akan sudah cukup terwakili oleh praktik-praktik dan ritus-ritus Islam, seperti salat, zakat atau haji yang marak dilaksanakan masyarakat setiap tahun, meskipun terkadang harus dengan menjual sawah ladang mereka. Anehnya, masyarakat muslim Indonesia agaknya merasa “tenang dan nyaman” manakala kondisi yang dianggap kondusif sudah tercipta untuk melakukan berbagai macam peribadatan semacam itu. Walaupun tidak semua unsur-unsur dalam syariah Islam dapat diterapkan secara keseluruhan, seperti penarikan jizyah (semacam pajak) bagi non muslim, potong tangan bagi pencurian dalam batas-batas tertentu, atau sistem khilafah dalam pemerintahan.

Tentu saja, pijakan dasar yang digunakan oleh umat Islam terhadap sikap menomorduakan pelaksanaan syariah Islam ialah munculnya keinginan untul melahirkan dan membangun Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara yang utuh dalam wawasan masyarakat plural.
Sebagaimana kita mafhum, bahwa memang Indonesia ini sebuah negara yang majemuk. Di dalamnya terdapat berbagai agama yang diakui secara hukum keberadaannya, etnis, dan suku. Pluralisme agama, etnis dan suku inilah yang dipandang sebagai faktor utama untuk tidak menerapkan syariah Islam di Indonesia. Karena, hanya dengan upaya tidak memberlakukan syariah Islam di alam majemuk, berarti bangsa Indonesia tidak terjebak ke dalam sikap memperlakukam lebih terhadap salah satu agama di antara agama-agama lain.

Padahal dalam Islam, syariah merupakan sebentuk aturan-aturan kehidupan yang harus dilaksanakan secara sempurna dan simultan (QS 1:207).

Tarik ulur antara keinginan menjaga keutuhan bangsa Indonesia dalam pluralisme agama, etnis serta suku di satu pihak dan tuntutan penegakan syari’ah Islam dalam semua dimensi kehidupan di pihak lain adalah persoalan pelik yang sering kali mencuat kepermukaan tanpa ada jawaban tuntas. Permasalahan semacam ini yang perlu segara direspon dalam berbagai diskusi, meskipun masih dalam batas wacana.

Syariah Islam yang  Kaffah
Dalih yang acapkali dilontarkan oleh kalangan yang menampik syariah Islam untuk diterapkan di Indonesia ialah demi menjaga kelestarian dan keberlangsungan Indonesia sebagai bangsa. Sebab, penerapan syriah Islam atau doktrin-doktrin dari salah satu agama, akan dengan mudah dicap sebagai sebuah langkah diskriminatif, karena telah memberikan hak lebih kepada salah satu agama, padahal agama-agama lain juga dijamin keberadaannya di negeri ini dan bahkan semua agama diposisikan sejajar dalam pandangan hukum Indoneia. Diskriminasi inilah yang dikhawatirkan banyak kalangan umat Islam akan dapat memicu munculnya kecemburuan sosial dari pemeluk agama lain. Dan pada akhirnya, desintegrasi bangsa yang sangat potensial memporak-porandakan persatuan bangsa akan menjadi kenyataan yang tidak dapat dihindari.

Sesungguhnya, dalih dan kekhawatiran seperti tersebut terlalu berlebih-lebihan dan terasa ganjil,  jika ditakar dengan apa yang sebenarnya ada dan termuat dalam materi syariah Islam itu sendiri karena syariah Islam sebetulnya bukan hanya merupakan sebuah institusi aturan kehidupan yang serta-merta berpihak kepada kepentingan umat Islam belaka, tetapi lebih jauh kesempurnaan syariah Islam sedemikian akomodatif terhadap eksistensi agama-agama lain. Sifat dari syariah Islam tidak saja mewadahi keberadaan umat Islam, namun juga mampu menyerap semua kepentingan agama-agama lain.

Hal ini digambarkan dengan sangat jelas dalam sejarah kehidupan Nabi Muhammad saw. pada saat beliau membangun Madinah sebagai sebuah institusi nagara yang majemuk dan plural. Seperti diketahui bahwa masyarakat Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad saw. terdiri dari berbagai kelompok dan agama. Ada golongan Muhajirin (non-pribumi) dan kaum Ansar (kalangan pribumi). Di antara kaum Anshor sendiri terdapat kelompok muslim dan non muslim, seperti Yahudi dan Nasrani.

Menyadari kenyataan warga masyarakat yang mejemuk dan beragam ketika itu, Nabi Muhammad saw. mengeluarkan sebuah ketentuan-ketentuan yang bersifat mengikat (semacam perjanjian antar kelompok), yang bisa dianggap sebagai konstitusi bagi sebuah negara. Konstitusi yang kemudian pada akhirnya dalam sejarah Islam lebih dikenal dengan sebutan Piagam Madinah itu pada intinya berisikan pokok-pokok perdamaian, perlindungan kepada non muslim dan kewajiban-kewajibanwarga negara secara menyeluruh dan merata, baik Islam maupun non Islam.

Keharusan Menerapkan Syariah Islam.
Oleh karena kesempurnaan yang terdapat dalam syariah Islam sudah sedemikian mencakup semua dimensi hidup, maka doktrin syariah Islam tersebut harus diterapkan dalam bentuk kehidupan nyata. Keharusan menjalankan syariah Islam itu sebetulnya sudah banyak ditunjukkan dalam Alquran (QS Ahzab 21). Keteladanan yang ditunjukkan oleh Nabi Muhammad saw. melalui perilaku, sikap dan cara berpikir merupakan implementasi konkret dari apa yang dikatakan syariah Islam.

Maka sesungguhnya, kompleksitas persoalan kemasyarakatan yang terkini sekalipun sudah terjawab dengan sendirinya oleh sejarah kehidupan yang dijalani oleh Nabi Muhammad saw. Perilaku, sikap dan cara berpikir menyejarah yang kemudian menjadi bagian dari butir-butir syariah Islam itu tidak saja bernilai sebuah perjalanan hidup seorang junjungan umat Islam, tetapi lebih daripada itu merupakan rujukan bagi upaya mengkonstruksi kehidupan yang lebih memihak pada nilai-nilai kemanusiaan.

Bahkan dalam ayat lain, Allah swt. lebih tegas lagi dalam hal keharusan menjalankan syriah Islam (Qs al-Ma’idah 44). Ayat ini dengan keras mengancam orang-orang yang dengan serta-merta membangun institusi hukum tanpa didasari dengan syriah Islam.

Inilah persoalan berat yang tengah melilit umat Islam Indonesia di mana masalah penerapan syariah Islam itu muncul bagai buah simalakama. Pada satu waktu umat Islam harus memepertahankan keutuhan bangsa, tapi pada saat sama pelaksanaan syariah Islam menjadi sebuah keharusan yang wajib dilakukan.  

*Dosen STAI Al-Qolam Putat Lor Gondanglegi Malang.
Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Amanah edisi ke-1.

sumber gambar: directmatin.fr

Sunday, April 20, 2014

Raudlatul Ulum

Oleh: Abdul Rahman Wahid

Nazam-nazam menggema menyambut malam
Dengan hiasan jutaan bintang
Para malaikat datang menyaksikan
Angin malam meniup pelan

Suara para santri mulai bergema
Fa’ala yaf’ulu fa’lan

Santri anyar mengeja wazan demi wazan
Dengan penuh kebersamaan

Alhadulillah al-ladzi qad waffaqa

Terdengar suara lantang di aula
Ratusan santri melantunkan bait demi bait

Qala muhammaddun huwabnu maliki

Mushalla pun bergemuruh
Akan indahnya lantunan syair Alfiyah

Suara-suara itu menata
Menjadi tangga nada
Bersatu dalam irama
Memanjakan setiap telinga
Kala mendengarnya
Saban malam suara itu saling bersahutan
Menghapus setiap kesunyian desa Ganjaran

Para malaikat pun serentak berkata
‘Raudlatul Ulum, kaulah itu
gambaran surga sebenarnya
di mana setiap manusia mengimpikannya.'

Djokjakarta, September 2012

Thursday, April 10, 2014

Alin yang Tak Kembali

Oleh: Doel Rohim

Alin. Ketika sang surya belum beranjak dari peraduannya. Suaramu yang renyah telah menyapaku, bergetar halus di gendang telingaku sebelum mataku terbuka. Dan tanganmu yang halus membelai rambutku yang kusut. Lalu bibirmu yang hangat mengecup keningku seraya berbisik, “Mas, sudah shubuh. Mari kita salat.Aku menggeliat mesra. Kupeluk tubuhmu. Percintaan kita semalam menyisakan keringat yang berbaur dengan aroma tubuhmu semerbak menusuk ke dalam hidungku.

Dan ini adalah pagi ke 1704 saat aku bangun tidur harus kuhadapi kenyataan bahwa bukan kau Alin, yang ada di sisiku, melainkan sosok mungil yang minggu depan akan merayakan ulang tahunnya yang ke 4. Dialah Jaka, anak kita yang ke dua.

Bibir itu, Alin, ya bibir itu. Bibir itu mirip dengan bibirmu. Oh, tidak. Bukan mirip. Jaka benar-benar memiliki bibirmu.

Saturday, April 5, 2014

Tentang Kabar dari Sebrang



Oleh: Halimah Garnasih

Rindu pulang pesantren barangkali tak hanya menimpa saya. Itu juga yang dirasakan beberapa teman dari berbagai pesantren di sini, Yogyakarta. Mereka mengaku seringkali rindu suasana dan kegiatan rutin di pesantrennya dulu.

Bilamana rindu pulang rumah bisa diredam dengan berbagai aktivitas, rindu pulang pesantren terasa lain. Saya mesti meredamnya dengan berkunjung ke beberapa pesantren di kota ini. Bahkan, sampai beberapa kali saya menginap di pesantren teman-teman. Dan yang menjadi langganan adalah pesantren Krapyak komplek Q. Meski saya rasa cara itu tidak serta merta meredam kerinduan ini sepenuhnya, karena tentu saja nuansa pesantren di kota ini sangat berbeda dengan nuansa pesantren saya dulu, Raudlatul Ulum Ganjaran.

Raudlatu ulum adalah rumah yang lain. Di sanalah saya tumbuh besar dan terdidik di bawah naungannya. Dengan segala nilai-nilai luhurnya dan macam rupa keilmuannnya, tak terkecuali ilmu bersosialisasi dan berpolitik (tentu saja yang terakhir ini tanpa saya sadari). Lewat Organisasi Daerah (OrDa), Organisasi Siswa Madrasah Diniyah (dulu OPI [Organisasi Pemuda Islam]), TU Madin, juga kepengurusan pesantren. 
Powered by Blogger.

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top