Wednesday, November 19, 2014

Islam KTP



[admin]

Oleh: Irham Thoriq

Sekujur kulit tubuh Kamid terlihat sudah mengeriput. Rambutnya pun dipenuhi banyak uban. Saban hari, aktivitas pria 68 tahun ini menjual lampu hias di bawah jembatan penyeberangan di Arjosari, Kota Malang.

Ketika itu, Kamid ditemani istrinya Suwarsih yang mengenakan kerudung. Jangan salah, meskipun Suwarsih berkerudung, namun agamanya bukanlah Islam. Dia sama dengan Kamid yakni “Islam KTP”.

Di siang yang padat itu, saya menemui mereka berdua untuk sebuah keperluan wawancara. Kamid adalah pimpinan aliran kepercayaan Paguyuban Sujud Nembah Bekti (PSNB) yang di Malang Raya pengikutnya sekitar 50 orang. Di PSNB, Kamid merupakan ketuanya. Di Malang Raya aliran kepercayaan memang berjibun, di Kabupaten Malang terdapat 33 aliran kepercayaan, dan di Kota Malang ada sebelas aliran kepercayaan.

Saya tertarik menemuinya setelah ada rencana Kementrian Dalam Negeri memperbolehkan kolom agama dikosongi. Tujuannya agar penganut aliran kepercayaan di Indonesia bisa memilih untuk mengosongi kolom agama dalam KTP Mereka. Rencana itupun banyak dipertentangkan oleh para Ulama.

Kepada Kamid, saya menanyakan bagaimana tanggapannya tentang rencana tersebut. Kamid terlihat antusias menjawab pertanyaan saya, dia mendukung rencana pemerintah.”Bahkan kalau perlu aliran kepercayaan dimasukan dalam KTP, tidak perlu dikosongkan,” kata dia.

Dukungan Kamid tersebut lantaran selama berpuluh-puluh tahun, Kamid menjadi ”Islam KTP”. Setiap kali mengurus KTP, Kamid selalu ditawarkan agama-agama resmi untuk dicantumkan dalam KTP. Sedangkan, aliran kepercayaan yang dia anut sama sekali tidak pernah bisa dimasukan dalam KTP-nya.”Ya udah saya Islam saja agama saya di KTP, padahal saya tidak Islam,” imbuhnya.

Tidak ingin percaya begitu saja dengan pernyataan Kamid, saya ingin melihat KTP miliknya. Karena Kamid tidak dibawa, dia meminta istrinya untuk mengambil KTP di rumahnya yang jaraknya sekitar 500 meter dari tempat dia jualan. Ternyata Kamid berkata benar, dalam KTP Elektronik miliknya, agama Kamid adalah Islam.”Ini yang ngurus anak saya, saya suruh minta ditulis aliran kepercayaan, eh kok keluarnya Islam,” kata dia sambil menunjukan KTP miliknya.

Nah, dari Kamid inilah, pandangan saya tentang Islam KTP sejak kecil berubah drastis. Saat kecil, ketika Islam KTP sudah menjadi bahan nyanyian, atau baru-baru ini menjadi judul sinetron, saya  beranggapan kalau Islam KTP dialamatkan orang yang beragama Islam tapi tidak melakukan ritual. Orang Islam seperti itu tidak pernah salat dan puasa misalnya.

Kita tahu, dalam Islam, orang bisa disebut Islam sangatlah simpel. Orang tersebut hanya cukup melafalkan sahadatain. Lafal ini merupakan kesaksian bahwa hanya ada satu tuhan yakni Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Dengan begitu, jadilah orang tersebut Islam. Simpel bukan? Tidak salah jika banyak orang Islam KTP meskipun bukan penganut aliran kepercayan sebagaimana Kamid.

Menurut saya, kalimat Islam KTP selama ini sudah berkonotasi negatif. Para anak-anak kecil di Kampung, ketika tahu kalau temannya tidak pernah salat dan puasa, mereka akan bilang: Oh kamu ini Islam KTP. Atau para remaja yang suka mabuk, mereka akan dijuluki sebagai Islam KTP. Kita tahu, Islam tidak pernah menyarankan umatnya untuk mabuk-mabukan.

Konotasi negatif ini terbentuk sebagaimana kata pencitraan dalam dunia perpolitikan kita. Pencitraan yang berasal dari kata citra seharusnya tidak melulu negatif. Jika Pencitraan adalah upaya membuat citra, maka saat kita memakai jam tangan, pakai baju bagus, atau bersolek sebelum menghadiri acara-acara tertentu merupakan sebuah pencitraan. Lantas, apa salah dengan orang memakai jam tangan, baju bagus dan bersolek? Asal bukan barang curian atau korupsi tidaklah ada salah. Dalam hal ini, pencitraan bukanlah hal negatif yang boleh kita cela.

Apa boleh buat, kata pencitraan sudah terlanjur negatif sebagaimana Islam KTP. Kata pencitraan sudah menjadi alat mengutuk para politisi yang bertindak hanya untuk mendapatkan simpati publik. Bahkan, orang menciptakan teori baru dengan memopulerkan istilah “politik pencitraan”.

Karena kata Islam KTP sudah berkonotasi buruk, saya menganggap kalau para penganut aliran kepercayaan perlu diakomodasi dalam KTP. Saya satuju dengan Kamid, sebagai identitas kolom agama tidak perlu dikosongkan tapi kolom agama juga disandingkan dengan kalimat aliran kepercayaan. Dengan begitu, orang bisa memilih apakah mereka beragama resmi di Indonesia atau penganut aliran kepercayaan.

Tidak ada yang salah dalam menyebut aliran kepercayaan di KTP. Toh, mereka juga bertuhan meskipun tidak beragama. Pancasila gamblang menjelaskan kalau manusia Indonesia memunyai Tuhan yang Esa kendati tidak beragama sekalipun.

Jika hal tersebut dilakukan, tidak akan ada lagi orang yang ber-KTP Islam meskipun mereka tidaklah Islam sebagaimana Kamid. Bukankah jika hal tersebut dibiarkan terus-menerus merupakan ketidak-jujuran administrasi, padahal Agama, termasuk Islam, selalu mengajarkan kejujuran?

Kala itu, siang mulai beranjak sore. Di akhir obrolan saya menanyakan kepada Sumarsih kenapa dia berkerudung padahal dia penganut kepercayaan yang tidak Islam.”Saya suka saja pakai kerudung. Saya juga ikut tahlilan dengan ibu-ibu, meskipun saya tidak Islam,” kata Sumarsih lantas tersenyum ringan. []

Irham Thoriq
Wartawan Radar Malang.
Powered by Blogger.

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top