Tuesday, December 30, 2014

Saya dan Perempuan Ahmadi

[sumber: sini]

Oleh: Halimah Garnasih

Saya adalah perempuan santri tulen dari Jawa Timur. Selama nyantri itu pula betapa saya merasakan langsung bagaimana budaya pesantren saya, juga pemahaman Islamnya sarat dengan berbagai subordinasi dan diskreditas pada perempuan. Sampai alur kehidupan mengantarkan saya bertemu dengan Yogyakarta, kota cendekiawan, kota intelektual, dan tentu saja kota yang plural. Di sana, tak hanya ragam pemahaman Islam yang akhirnya bersinggungan dengan dunia kognitif saya, lebih dari itu takdir rupanya memperkenankan saya bersinggungan langsung dengan saudara-saudara lintas agama dan lintas kepercayaan. Tahun 2013 kemarin, misalnya, dalam sebuah acara, saya berkesempatan hidup selama sepuluh hari dengan 28 pemuda lintas agama se-Indonesia. Selama sepuluh hari itu juga, baik lewat sharing formal maupun obrolan ringan saat makan atau menjelang tidur, saya menjadi tahu betapa perempuan adalah objek yang dipandang sebelah mata hampir di agama dan kepercayaan manapun. Budaya patriarkhis yang dibalut dengan tafsir atau pemahaman-pemahan yang juga patriarkhis selalu melahirkan pandangan yang diskriminatif, dan pada akhirnya perempuan berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Potensi yang sebenarnya ada dalam tiap akal budi dan nurani mereka, terbungkam.

Sampai akhirnya pamflet ISAIs (Institute of Southeast Asian Islam) yang saya temukan sepertinya akan membawa saya pada pengetahuan dan pengalaman baru tentang citra, konsep, atau peran perempuan dalam Islam Ahmadiyah. Saya berharap puzzle pengetahuan saya tentang perempuan dalam Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Aliran Sapto Dharmo, NU, Muhammadiyah akan menjadi puzzle yang utuh bersama perjalan ISAis ke kampung Ahmadiyah yang terletak di Kampung Krucil, Desa Winongo, Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara. Dan akhirnya, dengan bantuan rekomendasi dari Komunitas Matapena, tanggal 29 November 2014 kemarin saya bersama 32 pemuda lainnya berangkat menujunya, rumah saudara muslim Ahmadi…

Puisi Gus Mus yang berjudul “Lirboyo” lamat-lamat mengalun pada kedalaman diri saya saat memasuki Desa Winongo. Meski tak melihat perkebunan tebu, hamparan padi dan jagung yang diguyur gerimis ritmis, mengapit jalan yang dilewati bus kami membangun nuansa yang sangat akrab dengan batin saya, Pesantren. Tak hanya Lirboyo, pesantren saya yang berada di salah satu pelosok desa di Kabupaten Malang seakan terbentang kembali di altar batin. Hal yang menjadikan saya merasa tergesa-gesa ingin segera sampai Kampung Krucil. Juga lekas menghirup aroma spiritualnya dan bercengkrama dengan para perempuannya.

“Batas Pardah,” itu kata Bu Yuni Setiawati—anggota Ahmadi yang aktif di Lajnah Imaillah (perkumpulan ibu-ibu Ahmadi) Cabang Krucil dan sedang menjabat sebagai Sekretaris Daerah Lajnah Imaillah Jateng II—saat menjawab pertanyaan saya tentang papan yang membatasi jamaah perempuan dan jamaah laki-laki. Dari penjelasan Bu Yuni saya jadi tahu bahwa batas “Pardah”—berasal dari bahasa Urdu yang artinya pembatas—wajib ada setiap ada perkumpulan yang diikuti oleh perempuan dan laki-laki jamaah Ahmadi. “Ya, meskipun acara Imaillah tapi mengundang mubalig (laki-laki karena dalam Jama’ah Ahmadiyah tidak ada dan tidak boleh ada mubaligoh) maka batas pardah itu selalu ada, membatasi jamaah perempuan dan mubalig. Kami, para perempuan Imaillah ada di depan pardah dan mubalig mengisi ceramah di balik pardah,” lanjut Bu Yuni, dengan senyum yang selalu menghiasi wajahnya. Dari Bu Yeyet Nurhayati (Ketua Lajnah Imaillah Kecamatan Bawang Kabupaten Banjarnegara), saya juga tahu bahwa saat perkumpulan yang diikuti jamaah perempuan dan laki-laki, maka semua acara di-handle oleh jamaah laki-laki. Mulai dari pembawa acara, Qori’, pembaca syi’ir, pembaca nazam (puji-pujian semacam sholawat dan mayoritas dari bahasa Urdu) dan tentu saja mubalignya. Begitupula pada acara resepsi pernikahan, pardah menjadi pembatas dan memisahkan antara tamu perempuan dan tamu pria, juga pengantin perempuan dan pengantin pria.

Semua kenyataan itu tidak asing bagi saya. Semua pernah saya temui dan rasakan di pesantren dulu. Jikalau tidak karena budaya maka karena pemahaman atau penafsiran atas Alquran (bukan Alquran itu sendiri). Betapapun begitu, perempuan selalu bisa menjamah ranah yang tidak tersentuh bahkan terpikirkan oleh lelaki. Barangkali memang benar apa yang dikatakan oleh Gus Dur bahwa perempuan memiliki emosi yang berwarna dan kompleks daripada laki-laki. Tentu saja kenyataan ini berdampak positif bagi perempuan. Mereka selalu sensitif pada keadaan dan memiliki insting yang kuat agar tetap bisa bermanfaat bagi orang-orang di sekelilingnya, bagi agamanya. Diposisi mana pun mereka berada, atau lebih tepatnya diposisi yang telah dikonstrukkan kepada mereka.

Dan pada akhirnya, sungguh persoalan perempuan Ahmadiyah sebagaimana perempuan lainnya, bukanlah persoalan pemahaman agama semata, lebih dari itu, ini adalah persoalan kemanusiaan!

Meski begitu, demi tanggungjawab intelektual, saya harus melewatinya. Saya harus mengkajinya: Posisi Perempuan Ahmadiyah Dalam Kitab Tafsir Kabir Karya Mirza Bashiruddin Mahmood Ahmad. Selain kenyataan di atas, ada sebuah keunikan tersendiri yang saya dapat dari keterangan Pak Nurhadi—Mubalig Wilayah Jawa Tengah II yang rumah dinasnya di kampung Krucil—tentang perempuan Ahmadiah. Yaitu bahwa perempuan Ahmadi memiliki kewajiban melaksanakan salat Jumat sebagaimana laki-laki.

Saya sibak tirai kamar. Hujan masih mengguyur Kampung Krucil semenjak semalam. Tapi saya mesti bergegas, menerjang hujan demi mencari data dan informasi tentang perempuan Ahmadi dan Kitab Tafsir Kabir… 

Sebelum menapakkan kaki di teras rumah Pak Nurhadi dengan taperecorder di tangan, lagi, saya patrikan dalam diri bahwa semua ini; persoalan perempuan Ahmadiah (atau perempuan agama dan kepercayaan lainya) tak semata persoalan pemahan agama, lebih dari itu ini tentang misi kemanusiaa! Ya, misi kemanusiaa!![]



Krucil, di sudut kamar seorang perempuan Ahmadi 
30 November 2014  

Monday, December 29, 2014

Buku, Kampus, dan Tiga Kepala Daerah

[sumber: admin]

Oleh: Irham Thoriq

Budayawan Goenawan Mohammad pernah menyangsikan ihwal nama universitas di Indonesia. Kata dia, kebanyakan nama kampus merupakan nama pemimpin atau raja zaman terdahulu. Di antaranya ada nama Gadjah Mada, Airlangga, Siliwangi, Diponegoro dan yang di Kota Malang Brawijaya.
Mungkin karena nama inilah, simbol ’kekuasaan’ yang ada di kampus yakni rektorat kerapkali jauh lebih besar dan megah daripada perpustakaan: tempat ilmu pengetahuan, sains, dan budaya literasi tumbuh.

Jangan jauh-jauh membandingkan antara rektorat dan perpustakaan umum di kampus seantero Nusantara. Mari kita lihat perpustakaan di tiga Universitas Negeri di Kota Malang yang ’kerdil’ jika dibandingkan dengan rektorat yang megah dan menjulang tinggi.

Di Universitas Brawijaya, tinggi gedung rektorat mencapai tujuh lantai dan perpustakannya hanyalah dua lantai. Di Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, lima lantai rektorat tentu tidak sebanding dengan perpustakaan yang hanya tiga lantai. Di Universitas Negeri Malang (UM), saat ini memang perpustakaan mereka masih lebih besar yakni tiga lantai dan rektorat hanya dua lantai. Tapi, jangan salah, saat ini, UM sedang mengebut pembangunan Graha Rektorat berlantai sepuluh.

Tentu saja terlalu culas jika membandingkan ukuran gedung dengan keseriusan kampus dalam mengembangkan pengetahuan, buku, dan budaya literasi. Tapi bagaimanapun, gedung perpustakaan megah dengan koleksi buku yang lengkap akan menjadi pendorong bagi mahasiswa untuk berlama-lama di perpustakaan. Terutama bagi mereka yang hobi pada dunia literasi.

Ihwal gedung bertingkat antara rektorat dan perpustakaan ini, biarkan pimpinan kampus masing-masing yang menjawab. Toh, dalam dua tulisan sebelumnya di rubrik ini, Tengsoe Tjahjono dan Felix K. Nesi masih berdebat perihal peran kampus dalam mencipta sastrawan dan budaya literasi. Tengsoe menganggap kalau kampus tidak punya peran dalam menciptakan sastrawan, sedangkan Felix mempertanyakan, lantas apa fungsi kampus dan fakultas sastra kalau tidak ada gunanya dalam pembentukan sastrawan.

Menurut saya, sebagaimana kebudayaan lain, budaya literasi merupakan tanggung jawab institusi seperti keluarga, sekolah, kampus, dan pemerintah daerah. Jika kita punya anak yang rajin, kita beri dongeng sesaat sebelum tidur, anak akan mempunyai keterampilan bercerita dengan baik. Begitulah Freud, tokoh aliran Psikologi menjelaskan hal tersebut.

Jangan pernah kita meminta anak bercerita di hadapan teman sekelas jika setiap hari anak-anak dijejali dengan kata-kata sampah, cacian, dan pukulan. Itulah fungsi ayah dan ibu yang baik membentuk sastrawan masa depan yang harus memiliki keterampilan bercerita.

Kepala Daerah di Malang

Soal literasi dan kekuasaan, saya tertarik dengan foto halaman utama Jawa Pos tatkala Presiden Joko Widodo mulai mengemasi barang-barangnya di Balai Kota DKI Jakarta untuk pindah ke istana. Yang masuk capture fotografer Jawa Pos ketika itu adalah ketika Jokowi mengemasi buku-bukunya.
Meski hanya foto, tapi menurut saya, ini contoh baik tentang prilaku pimpinan mereka. Yang dikemasi bukanlah tas Hermes yang berharga ratusan juta, bukan pula jam tangan yang harganya diluar batas kewajaran. Jokowi secara tak langsung memberi pelajaran, pemimpin, bagaimanapun sibuknya harus tetap mengasah pengetahuan. Apalagi, belakangan Jokowi mengakui kalau membaca merupakan salah satu hobinya selain berdagang.

Bagaimana dengan tiga kepala daerah di Malang? Adakah yang masih menyempatkan membaca? Adakah motivasi bagi mereka untuk meningkatkan budaya literasi di daerahnya? Atau pertanyaan yang sedikit berat, adakah kepala daerah yang memaparkan rencana pembangunan jangka panjang dan menengahnya dengan menulis di media massa?

Pertanyaan-pertanyaan ini biar tuan-tuan kepala daerah dan waktu yang menjawab. Bisa menjawab dengan menjadi tauladan yang baik, menulis di Ruang Scripta atau paling tidak mereka jawab dalam hati mereka.

Namun, bagaimanapun harapan harus kita tujukan pada tuan-tuan ini. Mereka punya kuasa, punya anggaran, dan tentu saja ketokohan yang kuat. Dengan kewenangan mereka, Malang Raya bisa jadi sebagai daerah literasi. Itu jika kepala daerah mempunyai komitmen, semisal pengadaan untuk buku diperbesar daripada untuk pembangunan gorong-gorong, membuat pelatihan menulis yang intens, atau alangkah menyejukan jika ketiganya mau membuat gerakan membaca buku yang masif di setiap daerah.

Soal pembangunan, Jawa Pos Radar Malang pernah membuat rembuk yang menghadirkan ketiganya. Soal literasi, saya kira tidak ada salah jika komunitas sastra di Malang yang berjibun mengundang mereka. Tujuannya, agar literasi tak lagi hanya menjadi bahan obrolan di warung kopi atau perdebatan di media massa.[]

*Tulisan ini pernah terbit di Radar Malang, Minggu (28/12/2014)

Wednesday, December 10, 2014

Dekadensi Budaya Bangsa

[sumber]
Oleh: Muhammad Ilyas 

Budaya merupakan segala sesuatu cipta, karya, dan karsa manusia yang didapatkan dari belajar. Proses belajar tidak hanya berhenti pada proses imitasi belaka, tetapi ada modifikasi, inovasi, dan lain-lain.  Jika sesuatu cipta, karya, dan karsa tidak didapat dari proses belajar dan hanya bersifat reaktif saja maka tidak disebut budaya, misalnya hasrat manusia untuk makan, minum, berpasangan, dan lain-lain. Hal itu hanya disebut sebagai insting manusia saja. 

Pengertian budaya terkadang direduksi menjadi tari-tarian, senjata tradisional, makanan khas daerah, upacara adat, dan lainnya sehingga terdapat penyempitan makna. Padahal hal tersebut hanya sebagian dari kebudayaan. Lebih luasnya lagi kebudayaan meliputi segala yang berkaitan dengan ide, artefak, dan aktivitas. Jadi segala ide, artefak, dan aktivitas yang dilakukan oleh manusia dan diperoleh dari proses belajar dinamakan kebudayaan.


Indonesia merupakan negara kepulauan yang dimulai dari Sabang sampai Merauke, yang terdiri dari berbagai macam-macam ras, suku bangsa, bahasa daerah, agama, dan kepercayaan yang beragam. Masing-masing daerah mempunyai keunikan tersendiri, misalnya di Pulau Sumatra terdapat tarian  khas yang berbeda dari daerah lain, karena pengaruh kultur, geografi dan interaksi sosial. Pulau jawa dikenal dengan nilai kesopanan, atau unggah-ungguh yang memang dipegang erat. Hal ini juga berpengaruh terhadap hasil kebudayaan seperti tarian yang memang bernuansa lembut. Pulau Kalimantan juga menawarkan hasil kebudayaan yang tidak kalah pentingnya, misalnya suku Dayak dengan pakaian adat dan sistem berburu yang ia miliki. Pulau Papua dengan penduduk berkulit hitam yang menempati di sana menjadi daya tarik tersendiri akan keeksotikan budaya Papua. Begitu pula dengan pulau Indonesia lainnya yang begitu banyak keragaman budaya. 

Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa setiap tempat memunyai keunikan dan daya tawar tersendiri. Masing-masing daerah mempunyai nilai-nilai yang memang dijunjung tinggi dalam kelompoknya. Daerah satu dengan daerah yang lain tidak bisa dipaksa dengan menerapkan nilai partikular yang berada di tempat lain, tetapi bisa disiasati agar mengaplikasikan nilai yang universal, seperti kejujuran, tanggung jawab, simpati, toleransi dan lain-lain. Jadi setiap daerah tersebut mempunyai kearifan lokal atau Local Wisdom yang perlu untuk dikembangkan oleh penduduk masing-masing daerah agar menjadi sesuatu yang bernilai.

Macam-macam budaya yang ada di Indonesia juga dapat dielaborasi agar menjadi nilai yang ideal. Misalkan kebudayaan yang multi tersebut digabung dan diambil nilai baiknya. Contoh, kebudayaan Jawa digabung dengan kebudayaan Bugis, hasil kebudayaan yang nanti akan menjadi nilai yang baru, seperti halnya kita bisa mengambil spirit orang Bugis yang berpendirian teguh, kerja keras, dan lain-lain, serta kita mengambil kebudayaan Jawa yang andap asor. Sehingga jika dielaborasikan kita menjadi manusia yang berpendirian teguh, kerja keras dan pantang menyerah, tetapi kita juga mempunyai sikap yang santun, mengasihi terhadap sesama. Hal seperti itu yang memang nantinya akan menjadi sebuah keniscayaan bangsa Indonesia.

Seiring dengan berjalannya waktu, kebudayaan Indonesia mengalami permasalahan serius. Anak muda jarang sekali untuk belajar kebudayaan bangsa, berkembangnya teknologi yang tidak diimbangi akan rasa cinta terhadap budaya sendiri, masuknya budaya westernisasi dan globalisasi yang merusak kepribadian bangsa, dan lain-lain. Anak muda menganggap jika ia belajar budaya sendiri menjadi suatu yang ketinggalan zaman dan tidak ideal. Kurangnya kepercayaan diri menjadi suatu permasalan tersendiri. Generasi muda merasa malu jika menggunakan produk dalam negeri, dan sebaliknya mereka merasa banggga jika mereka menggunakan produk impor.

Berkembangnya teknologi komunikasi juga ikut andil terhadap dekadensi budaya Indonesia. Banyaknya waktu yang dihabiskan untuk menggunakan teknologi komunikasi ini menyebabkan mereka menjadi individualistik dan jarang berinteraksi langsung dengan orang lain. Sehingga rasa kekeluargaan sedikit menurun pada generasi muda. Selain itu sifat egois juga timbul dalam perkembangan anak muda kita, misalnya tawuran antar pelajar, kekerasan, dan lain-lain. Kekerasan tersebut bisa dipicu oleh tayangan di televisi yang menggambarkan kekerasan sehingga banyak anak-anak yang mengidentifikasikan dirinya seperti apa yang ia tonton.

Perkembangan teknologi komunikasi juga berakibat tidak mengenalnya anak-anak Indonesia terhadap kebudayaan sendiri karena media jarang mengekpose kebudayaan lokal, tetapi sebaliknya sering menampilkan kebudayaan asing. Hal ini akan berakibat fatal, anak-anak tidak tahu akan jati dirinya sebagai bangsa Indonesia sehingga mereka akan lebih senang dengan kebudayaan asing.  

Berkembangnya budaya westernisasi juga menjadi permasalahan. Banyak masyarakat Indonesia yang berlebihan meniru kebudayaan barat tanpa diikuti kecintaan yang lebih terhadap kebudayaan sendiri. Mereka suka berpenampilan ala barat dibandingkan dengan berpenampilan kebudayaan khas daerah. Contoh dari permasalahan ini adalah banyaknya masyarakat yang sudah meninggalkan pakaian adat, seperti kebaya, dan pakaian tradisional lainnya. Mereka lebih suka dengan fashion yang ditawarkan oleh barat. Selain itu makanan tradisional sudah mulai ditinggalkan, seperti cendol, gudeg, dan lain-lain. Bahkan yang terjadi sebaliknya yaitu berkembangnya makanan cepat saji. Hal ini akan merusak tatanan sosial bangsa Indonesia karena masyarakat harus dipaksa untuk mengikuti gaya kehidupan barat yang memang tidak cocok dengan kepribadian bangsa.

Selain itu dalam berperilaku masyarakat Indonesia sudah banyak meninggalkan kearifan lokal masing-masing daerah. Gaya hidup barat sudah terlampau jauh diadopsi, sehingga menimbulkan shoc culture, misalnya budaya kumpul kebo atau pasangan yang belum diikat oleh tali perkawinan, dalam sistem ini orang bisa hidup serumah layaknya pasangan orang yang sudah menikah. Hal seperti ini tidak sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat Indonesia. Bila hal ini dibiarkan akan berakibat kekacauan sosial, karena selain melanggar norma sosial juga melanggar norma agama.

Lagu daerah juga banyak ditinggalkan oleh generasi muda, mereka lebih senang dengan aliran lagu yang berasal dari barat. Padahal tidak semua aliran musik dari barat itu sesuai dengan kepribadian bangsa. Jika kita bandingkan, lagu daerah merupakan lagu yang memang sesuai dengan kebudayaan dan kebiasaan masing-masing daerah. Karena dalam penciptaan lagu masing-masing daerah tersebut dilandasi filosofi yang kuat. Misalnya lagu daerah yang menyampaikan nilai kerjasama, tolong-menolong, kerja keras, cinta, dan lain-lain. Jadi lagu daerah tersebut mempunyai nilai khas yang tidak sama dengan yang lain. Berbeda halnya dengan lagu modern yang hanya berdasarkan landasan pragmatis, sehingga ada disorientasi nilai yang akan disampaikan.

Arus globalisasi juga menyumbang dekadensi kebudayaan. Budaya asing yang tidak terfilter dengan baik akan mengakibatkan bangsa Indonesia yang tercerabut dari akarnya. Apalagi dalam tahun 2015 akan diadakan perdagangan bebas kumunitas ASEAN. Negara anggota ASEAN akan bersaing dalam perdagangan, sehingga dimungkinkan kebudayaan asing lebih intens untuk masuk ke negara kita. Hal tersebut menjadi suatu dilema bagi bangsa, disatu sisi negara kita harus membuka diri untuk International disisi lain kita harus mempertahankan eksistensi negara kita. Pro dan kontra terhadap kebijakan ini menjadi sesuatu yang menarik. paling penting dalam situasi ini masyarakat harus bisa mempertahankan kebudayannya.

Selain permasalahan yang dipaparkan diatas, ada sesuatu yang menurut hemat penulis menjadi suatu yang urgen yaitu tentang mentalitas. Suatu bangsa yang besar adalah bangsa yang mempunyai mentalitas mumpuni. Karena mentalitas akan berpengaruh pada pola pikir masyarakatnya, misalnya masyarakat akan mengidentifikasikan diri mereka seperti apa ia fikirkan. Sehingga setiap perilaku masyarakat tersebut mencerminkan apa yang ia fikirkan. Jika seseorang mempunyai metalitas yang rendah maka ia akan berperilaku rendah, begitu juga sebaliknya jika seseorang mempunyai mentalitas yang besar ia akan melakukan sesuatu yang besar.

Urgennya mentalitas bangsa ini juga berpengaruh terhadap kepercayaan diri untuk menggunakan kebudayaan sendiri. Karena jika tidak disertai mentalitas yang besar maka bangsa indonesia akan minder dengan kebudayaanya. Dan akan lebih bangga bila menggunakan kebudayaan bangsa lain. Mentalitas juga berfungsi untuk membangun karakter bangsa Indonesia yang nantinya membentuk karakter yang bermartabat dan kebudayaan yang tidak diremehkan oleh bangsa lain. Mentalitas yang baik juga akan membentuk masyarakat yang tidak rendah diri, sehingga masyarakat bisa mengekplore kebudayaannya.

Keseluruhan masalah yang dipaparkan diatas akan berakibat  tercerabutnya kebudayaan Indonesia, sehingga masyarakat Indonesia bisa kehilangan jati diri. Akibatnya banyak masyarakat yang mengadopsi kebudayaan asing. Dan terjadi distorsi anggapan bahwa kebudayaan asing merupakan sesuatu yang superior dan kebudayaan bangsa sendiri dianggap menjadi sesuatu yang inferior. Pada akhirnya kebudayaan Indonesia akan hilang dari peradaban, atau akan di akui oleh bangsa asing karena bangsa sendiri sudah tidak mempelajari lagi.

Untuk mengatasi permasalahan diatas, masyarakat Indonesia harus sadar dan mempunyai rasa memiliki terhadap kebudayaan bangsa. Porsi penayangan televisi harus lebih banyak mengekpose budaya lokal dari pada kebudayaan asing. Selain itu masyarakat harus membentengi diri dengan cara memfilter kebudayaan asing yang tidak sesuai dengan kepribadian masyarakat. Hal ini bisa tercapai dengan penanaman menset masyarakat tentang pentingnya mengembangkan kebudayaan sendiri. Selain itu masyarakat Indonesia harus mewariskan terhadap generasi muda agar bisa mempelajari, sehingga generasi muda bisa melanjutkan warisan budaya. Hal ini bisa direalisasikan dengan memperbanyak sanggar kebudayaan. Selain itu generasi muda harus diberi penyadaran yang komprehensif agar tidak terpengaruh  oleh kebudayaan bangsa lain. Pentingnya membangun mentalitas bangsa agar tidak merasa rendah terhadap kebudyaan lain, sehingga masyarakat indonesia bangga dengan kebudayaannya sendiri.  Pada intinya generasi muda harus bisa menjadi agen untuk mempertahankan kebudayaan bangsa agar tidak tergerus oleh zaman.

Secara keseluruhan dalam era global ini kita harus bisa membentengi diri agar tidak banyak terpengaruh oleh kebudayaan asing. Kita harus mengembangkan kebudayaan sendiri agar bisa bersaing dengan kebudayaan asing. Masyarakat Indonesia bisa menerapkan local wisdom pada masing-masing daerah, sehingga mereka bisa mandiri.  Walaupun demikian bukan berarti semua kebudayaan asing tidak baik dan rancu dengan kebudayaan bangsa, memang ada sebagian kebudayaan asing yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa sehingga perlu adanya filter untuk memilah mana kebudayaan yang baik dan kebudayaan yang tidak baik.  

Mempertahankan suatu tradisi lama yang bijak dan menerapkan sesuatu kebiasaan baru yang baik merupakan hal yang diharapkan oleh segenap bangsa Indonesia. Dengan adanya konsep ini maka akan terjadi sinkronisasi antar budaya, sehingga jika ada sesuatu tidak saling menyalahkan antara kebudayaan baru dan kebudayaan lama. Pada akhirnya akan menemukan kebudayaan yang ideal bagi bangsa Indonesia dan kebudayaan tersebut bisa menjadi pendorong sebagai terciptanya bangsa yang bermartabat. []

Tuesday, December 9, 2014

Sepeda, Menulis, dan Katarsis

[sumber: admin]

Oleh: Irham Thoriq

Entah kenapa, aneka macam ungkapan tentang menulis selalu saya ingat dengan baik. Dan ungkapan para dosen tentang mata kuliah, kerapkali dengan mudah hilang dari ingatan.

Seorang narasumber di workshop kepenulisan saat saya baru-baru kuliah menjelaskan keutamaan menjadi penulis. Menurut dia, penulis merupakan profesi langka. Seratus di antara orang yang hidup di sekitar kita, tidak barang tentu ada dua orang yang berprofesi sebagai penulis.

Seorang wartawan yang saya kenal hanya dari twitter pernah berujar, menulis itu seperti orang bersepeda. Kita belajar menaiki, mengayuh, lalu terjatuh, menaiki lagi, kayuh dan seterusnya sampai sepeda berjalan mulus tanpa terjatuh meski kita ingin jatuh seperti saat belajar mengayuh.

Awal mulanya, saya menganggap Ilmu Psikologi yang saya geluti saat kuliah tidak ada hubungannya dengan tulis-menulis. Benar saja, menulis merupakan keterampilan, sedangkan Psikologi adalah ilmu yang mempelajari karakter manusia. Meskipun, belajar Psikologi lima tahun saya tak kunjung bisa membaca karakter orang.

AS Laksana, seorang penulis kenamaan membuyarkan kesimpulan dangkal saya itu. Menurut dia yang juga menekuni hipnosis, menulis dan hipnosis yang merupakan bagian dari Psikologi mempunyai kesamaan. Dan bisa saling melengkapi.

Menulis dan hipnosis bertumpu pada satu kekuatan yakni kekuatan bercerita. Mungkin Anda pernah mendatangi sebuah seminar, yang seisi ruangannya menangis histeris karena seorang motivator menceritakan kisah haru perjuangan seorang ibu.

Atau mungkin Anda pernah duduk di sebuah ruangan yang tiba-tiba lampu di ruangan itu mati. Setelah motivator bercerita, Anda tertidur dan di sela-sela tertidur itu Anda membayangkan apa yang si motivator ucapkan. Dia menyuruh anda membayangkan berada di pinggir pantai, Anda lantas membayangkan berada di Pantai dengan ombak yang jumpalitan.

Saat motivator menyuruh membayangkan berada di sebuah Gunung dengan angin yang sejuk serta kicauan burung yang sahut-menyahut, perasaan Anda menjadi tenang. Seolah berada di gunung yang membuat badan Anda terasa sejuk, meski ruangan yang sedang Anda tempati tidak ada kipas angin atau Air Conditioner.

Itulah Hipnosis, sebagaimana yang sering dipertontonkan Deddy Corbuzier. Hanya dengan cerita si Motivator, alam bawah sadar kita bisa takluk. Kita seolah hanyut dengan perintah-perintah motivator. Konon, Hipnosis ini merupakan salah satu metode paling ampuh menghilangkan masa kelam kita, atau menjadikan kita pribadi yang baru, sesuai dengan perintah dan ucapan-ucapan yang dikatakan si Motivator.

Sama dengan Hipnosis, menulis terutama menulis fiksi harus mengandalkan kekuatan bercerita. Dengan Hipnosis, pikiran kita menjadi terlatih membuat diskripsi yang baik, struktur tulisan yang tidak melompat-lompat, tata bahasa mengalir, plot yang indah dan menyudahi cerita dengan mengesankan bagi pembaca.

Mungkin karena kekuatan bercerita yang dimiliki AS Laksana inilah, gaya menulisnya sangat mengalir dan seolah sedang bercerita yang jauh dari kesan menggurui. Tulisannya di rubrik  Ruang Putih di Jawa Pos setiap hari Minggu banyak mendapat acungan jempol.

Menurut saya, menulis dan hipnosis punya kesamaan karena dua hal ini sama-sama proses meluapkan emosi, atau dalam Psikologi disebut katarsis. Dengan katarsis, seseorang bisa membuang emosi negatifnya dengan berteriak sekeras mungkin, sehingga tak ada lagi beban yang terpendam.

Saya merasakan hal itu sama dengan menulis. Saya dan mungkin Anda, akan merasa lega saat tulisan rampung, entah tulisan yang dihasilkan baik atau buruk. Dan tulisan ini, saya buat sebagai luapan emosi setelah melihat seorang penulis yang umurnya masih sangat belia, tapi karyanya sudah sangat banyak dengan berbagai penghargaan. Ah, mungkin dia lebih serius menghayati makna bersepeda dalam menulis.[]

Friday, December 5, 2014

Istri yang Terjun ke Neraka

[sumber]


Oleh: Halimah Garnasih 

Suatu malam, di sudut kamar di atas bumi ini seorang istri yang hatinya sedang terhimpit patah hati dan cemburu yang teramat agung menumpahkannya di atas bantal. Semua rasa kecewa itu tumpah sebagai buliran bening yang keluar dari matanya yang elok. Bantal yang menjadi saksi di mana malam-malamnya adalah peluh dan desahan dalam gelimang gairah dan birahi dengan suaminya selama dua puluh tahun ini, kini basah seakan hatinya yang basah tak karuan. Rambutnya yang panjang tergerai telah semrawut di sana-sini. Beberapa menempel pada dahi dan pelipisnya karena air mata. Matanya sudahlah sembab, hidungnya memerah, dan tentu saja ada satu bagian yang lebih merah dari biasanya yang tak kasat mata, hatinya yang telah remuk kecewa.



Tangis itu ia tahan saat intuisinya menangkap langkah yang sangat dekat dengan hatinya telah berada di balik pintu kamar. Ia tahu malam ini suaminya akan merajuknya. Tapi ia telah benar kecewa dan benci karena ia merasa telah dikhianati. Baginya, bagaimana bisa cinta itu terbagi?


Langkah itu semakin dekat. Pintu berderit dan langkah yang samar-samar tadi semakin jelas pada malam yang kecewa ini. Ia sangsi akankah cinta yang telah kecewa itu bisa hidup sebagai cinta seperti dulu, saat tulus ia serahkan pada suaminya. Lelaki yang kini telah duduk di tepi ranjang, di sisinya.

“Adinda…”

Suara itu juga masih sangat dekat dengan hatinya. Dengan batinnya. Meski kini telah terasa berbeda. Hangatnya terlanjur menjadi dingin karena cintanya yang kecewa.

Perempuan yang pada hatinya ada cinta yang kecewa itu mengibaskan tangan suaminya yang berusaha merajuknya dengan membelai rambut kepalanya yang hitam dan terurai. Lalu ia tersedu sambil masih membelakangi suaminya. Entah kenapa rasa cinta yang selama dua puluh tahun membara itu kini telah menjelma sebagai kebencian yang dalam.

“Kau telah menzalimiku, Kang!” suaranya samar tapi tegas terdengar oleh suaminya.

“Apa maksudmu, Adinda?”

Suara itu terdengar berbohong. Ada yang ia tutupi di sana. Ada ketidak-mengakuan di sana. Dan itu jelas terekam oleh batin perempuan yang pada hatinya ada cinta yang kecewa itu.

“Kau semakin picik dengan pura-pura tak mengerti. Sungguh, kau semakin menjadi orang asing bagiku. Betapa kau seolah tak tahu apa yang sekarang sedang menjadi lantaran jauhnya hatiku dan hatimu”

“Adinda, mengapa Kau berkata seperti itu,”

Perempuan itu menolak, membalikkan badan dan mendorong tubuh suaminya yang berusaha memeluknya seperti malam-malam selama dua puluh tahun lalu. Hatinya benar-benar telah panas karena kemunafikan yang ia rasa sedang ada pada diri suaminya.

“Cukup! Cukup dengan segala kebodohan dan kepura-puraanmu! Kau membopong perempuan itu ke salah satu bilik rumah ini dan kau merasa tak ada apa-apa? Kau merasa tak ada yang perlu dipirkan? Kau sakit! Kau gila, Kang! Kau telah membagi cinta kita pada hati perempuan lain! Kau telah mendzolimiku. Kau telah mendzolimi cinta kita!”

Matanya menyala. Terlihat dari sana bara dalam hatinya sedang bergolak dahsyat. Air mata memang masih menempel pada pipinya yang kuning langsat dan bersih itu, tapi tak ada lagi yang mengalir di sana karena semuanya telah menjadi api. Api yang siap melahap siapa saja.

Laki-laki itu juga memanas. Ia menahan geram karena bentakan dan tatapan tajam perempuan di depannya. Sedzarroh pun ia tak akan pernah merasa bersalah. Karena baginya, agama adalah ada pada pihaknya.

“Baik! Lalu apa maumu, hah?!”

“Mauku? Kau tanyakan mauku?! Kau tahu dari dulu sampai sekarang pun aku tak akan pernah meminta apa-apa darimu. Dari cinta. Karena kau tahu, bagiku cinta itu tidak meminta atau butuh dipinta. Kau sangat tahu bahwa bagiku cinta itu memberi dan diberi”

Lelaki dan perempuan itu saling bersitatap dalam bara hati yang tak terkatakan. Di luar, malam masih setia dengan angin dan dinginnya. Daun pohon pisang dan bambu di belakang, berkesiur diterpa angin.

“Aku hanya mengingatkanmu bahwa kau telah menzalimiku”

Suara perempuan itu hening dan memecah malam yang juga memiliki hening. Hening yang menggantung dibawah langit. Lelaki itu masih bergeming di atas ranjang.

“Dan aku tetap tidak akan meminta apa pun darimu. Cintaku terlanjur kecewa”

“Apa yang kau maksudkan?”

“Kau telah tahu dan kita sama-sama meyakini, bahwa orang yang terzalimi doanya adalah mantra yang dijanjikan lekas terjelma nyata oleh Tuhan”

Lelaki itu terperanjat. Hatinya bersejingkat dari tempatnya. Betapapun, ia tidak menyangka kesalahan yang ia lakukan menjadikan dirinya begitu asing di depan perempuan yang selama dua puluh tahun ada dalam dekapannya yang hangat. Terlebih, suatu hal yang benar-benar ia dan perempuan itu yakini bersama, tentang terdzolimi dan doa yang akan diijabah.

“Kau… kau… kau akan berdoa pada Tuhan?”

“Ya! Aku akan berdoa pada-Nya. Doa yang jahat. Hahaha”

Lelaki itu pucat pasi. Seketika itu nuraninya mengakui kesalahan agung yang ia perbuat. Membagi cinta suci itu kepada perempuan lain dan menyimpannya di salah-satu bilik di rumah ini. Memang begitu menyakitkan.

“Kenapa Kau menjadi pucat, hai Lelaki! Jika kau tidak merasa bersalah, kau tidak akan merasa menzalimiku. Tapi lihatlah, lihatlah mukamu sekarang! Hahahaha”

Lelaki itu merebut kedua tangan perempuan itu. ia genggam begitu erat dan hangat. Matanya ia buat begitu mesra menatapnya. Ia berusaha dengan sekuat tenaga bahwa tatapan mesra itu adalah tatapan yang selama dua puluh tahun ini ada di antara mereka berdua.

“Oh, Istriku. Sungguh harus Kau ketahui bahwa ada suatu hal yang Kau tak ketahui tentang ini semua,”

Perempuan itu tak paham dengan perubahan bekas cintanya ini.

“Aku sengaja melakukan ini agar kau terzalimi hingga kau bisa mendapat tiket doa ijabah. Dan… dan… cita-cita kita selama ini akan terwujud, Sayang…”

Lelaki itu terkejut. Kedua tangannya telah terpelanting ke atas kasur. Rupanya sang istri tak termakan bujuk rayunya. Dia marah, dadanya panas. Dirinya merasa sangat dilecehkan.

“Tahukah Kau, hai Perempuan jalang! Saat kau mendoakan kejahatan dan keburukan atas diriku, saat itu kau sedang menzalimiku, maka aku akan berdoa kepada Tuhan agar kau sirna dari kehidupan ini. Lenyap menuju akhirat!”

“Bagus. Tapi jangan lupa bahwa aku juga punya tiket kezalimanmu. Aku juga akan berdoa atas kematianmu agar kau tak bisa bercinta dengan perempuanmu itu!”

Lelaki itu sungguh tak menyangka akan semua itu. Betapa selama ini istrinya tak sebodoh yang ia sangkakan. Lalu semuanya menjadi gelap. Ia tak ingat apa-apa.
***
Semuanya terlihat gelap dan kemerah-merahan. Ia begitu asing dengan tempat dan suasana ini. Tak lama ia mendengar suara orang menjerit-jerit kesakitan. Orang menjerit-jerit minta tolong.

“Hai, kita sudah berada di akhirat!”

Suara itu sangat di kenalnya sewaktu ia berada di dunia. Dua puluh tahun ia telah hidup seatap bahkan sehati dengan sang pemilik suara.

“Istriku!” teriaknya senang karena ada orang lain di tempat yang baginya sangat asing

“Bukan. Aku bukan lagi istrimu”

“Bagaimana bisa, bukankah sebelum mati aku tidak pernah menceraikanmu? Kau tetaplah istriku. Telah terbukti, ternyata kita adalah cinta sehidup semati”

“Tutup mulutmu! Jauh sebelum kita mati, tepatnya saat hatimu telah berpaling pada perempuan lain, hatiku telah tercerai dan menceraikan cintamu”

“Ap… apa? Bagaimana bisa seperti itu?”

Tapi perempuan itu tak menggubrisnya. Ia berjalan menaiki tangga yang menghubungkan tempat itu dengan suatu tempat yang indah di atasnya, Firdaus.

“Istriku, kau mau kemana?” teriaknya kebingungan

“Dasar tolol! Apa kau tak melihat lelaki tampan dengan wajahnya yang cerah dan senyumnya yang sumringah di depan itu?”

Lelaki itu menoleh. Memperhatikan cahaya putih yang bersinar dari wajah seorang lelaki tampan di ujung sana. Dia menelan ludah.

“Siapa dia istriku?”

“Siapa lagi, kalau bukan si ganteng Ridwan”

“Maksudmu, Kau akan ke surga bersamannya istriku?”

Perempuan itu hanya tersenyum sambil terus berjalan menaiki tangga dan ke ujung sana.

Lelaki itu mendengar teriakan yang menyayat hati. Dan ia baru sadar, teriakan itu berada di tempat yang ada tepat di bawah kakinya. Ia begidik, melihat kenyataan neraka yang lebih mengerikan dari gambaran yang ia bangun sendiri saat di dunia. 

Ia begitu ketakutan. Pada saat seperti itu, ia akan melakukan hal apa pun untuk menjauhi rasa stresnya. Ia yang sangat memahami istrinya itu, berjalan bersijingkat dan sangat pelan. Ia sembunyi di balik rok istrinya yang panjang dan tergerai di tanah akhirat. Diam-diam ia gandolan pada rok istrinya untuk memasuki surga. Dengan kepiawaiannya, juga mungkin skenario Pencipta, ia luput dari pandangan Malaikat Ridwan dan masuklah ia bersama rok istrinya ke Surga. Tempat yang digambarkan sangat indah dan dipercantik oleh kecantikan para bidadarinya.

“Kau?!” istrinya terperanjat, saat melihat suaminya keluar menyelinap dari balik roknya yang putih panjang dan tergerai di tanah surga.

Lelaki itu hanya tersenyum dan cengangas-cengenges melihat air muka istrinya. Tanpa ba bi bu, ia meninggalkan istrinya yang terbengong dan menghambur pada keramaian bidadari yang tengah bersenda gurau di bawah pohon apel di atas bantaran sungai madu.

Melihat itu, perempuan yang cintanya pernah kecewa dan baru saja masuk Surga itu merasa teramat jengkel. Mungkinkah ia masih menyisa cemburu? meski sebenarnya ia masih bingung mengapa warna hati yang pernah ia rasakan di dunia dulu masih membuntutinya walau di Surga?

Kini ia mulai melangkah mantap. Dengan percaya diri yang tinggi, ia menyeruak di antara para bidadari di bawah pohon apel di atas bantaran sungai madu itu. Para bidadari yang tengah melayani lelaki yang tak lain adalah suaminya itu menyurut dan menyingkir melihatnya. Perempuan itu berdiri tepat di depan muka si lelaki dengan kedua tangan di atas pinggang dan mata membelalak.

“Ada apa? Ini Surga tempat yang dipenuhi bidadari dan segala keindahannya. Dan adalah tugas mereka melayani setiap orang yang masuk ke dalamnya bukan?”

“Dasar bajingan! Tempatmu bukan di sini, tapi di neraka! Kau masuk surga karena aku”

“Hahaha. Bukan, aku masuk ke sini karena kepandaianku”

“Ya. Kepandaianmu berlaku licik. Akan kukatakan pada si ganteng tentang semua ini”

“Hahaha. Dia itu malaikat. Dan malaikat ditakdirkan bukan sebagai makhluk pembangkang. Lagian apa Kau lupa, Tuhan pernah berfirman barang siapa yang masuk surga maka akan abadi di dalamnya. Intinya, si gantengmu tak akan pernah bisa mengeluarkanku dari sini. hahaha”

Lalu, dia memanggil para bidadari itu untuk kembali melayaninya. Para bidadari itu pun datang dengan segala pesona dan anggur di tangannya.

Perempuan itu merasa jengkel. Dia mendekati malaikat Ridwan dan berbincang dengannya sambil terus melirik ke arah suaminya yang sedang dilayani oleh para bidadari. Tapi tak sekali pun suaminya melirik ke arahnya apalagi timbul cemburu di dadanya.

Perempuan itu merasa, kalau kenyataan di Surga seperti ini, maka bukan hanya dunia tempat ketidak adilan bagi perempuan. Lalu, dia melepas gaun kebesaran sang penghuni Surga. Ia berdandan dan memakai baju seperti yang dikenakan para bidadari sehingga ia tak hanya terbelenggu dengan satu lelaki yang bernama suaminya. Memang betul, secara agama, ia belum resmi diceraikan. Sejak saat itu, ia bergabung dengan kumpulan bidadari dan bisa bercanda dengan setiap lelaki yang memikat hatinya. Bahkan si ganteng Ridwan yang dari awal telah menggoda dengan senyumnya.

Suatu senja (oh di Surga pun senja masih ambil bagian), perempuan itu termenung di bawah salah-satu pohon apel yang buahnya merah berpendar cahaya. Ia memikirkan penyamarannya yang ia lakukan hanya untuk memuaskan hatinya atas ketidak adilan yang ia rasakan di Surga ini. Ia terdiam mendengarkan nuraninya yang paling dalam, betapa dirinya masih cinta pada suaminya yang membuat cintanya pernah kecewa. Namun ternyata, akhirat bahkan surga mengapa masih saja tidak berpihak padanya yang perempuan? setelah di dunia, agama dan para ulama’nya mati-matian membela lelaki.

Lalu, dengan langkah mantap, ia cari suaminya di antara buaian bidadari. Ia tarik tangannya dan ia seret sampai dekat pintu Surga. Suaminya bertanya-tanya lalu dengan tegas sang istri menjawab, “Jika Ridwan sebagai malaikat tak ditakdirkan membangkang, maka aku yang penduduk Surga ini bisa”

Sang suami terkejut. Tapi sebelum sadar dari keterkejutannya dan sebelum bisa melakukan apa-apa, tubuhnya telah terdorong dari surga. Tubuhnya melayang-layang dan mulai merasakan panas yang maha dahsyat.

Saat ia sedang berteriak-teriak karena didera sakit, entah mengapa ia melihat wajah istrinya dan juga mendengar jeritannya. Mungkinkah, sesaat setelah mendorongnya dari Surga, istrinya juga meloncat ke neraka?

“Iya, Suamiku. Demi memuaskan pencarianku tentang apakah keadilan itu bersemayam di neraka?!” teriak istrinya di antara kesakitan dan teriakan.[]
Powered by Blogger.

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top