Monday, January 26, 2015

Teriris

[sumber]


Oleh: Muhammad Madarik

Sakina tersenyum sumringah, saat melihat kedua buah hatinya bermain di halaman depan rumahnya dengan riang gembira. Rafika Rahma kini telah berumur 9,7 tahun, dan adiknya Agung Pratama masih berusia 3,5 tahun. Karena putra pasangan Sahlan dan Sakina hanya dua, akhirnya mereka berdua itu seringkali bermain bersama meski umurnya terpaut agak jauh. Sakina kian merasa tenteram menyaksikan sang kakak begitu menyayangi adiknya. Tidak seperti kebanyakan anak tertua yang acapkali menggoda hingga membuat si kecil menangis dan merengek kepada ibunya, Rafika justru lebih banyak merawat dan memelihara Agung dalam berbagai hal, terutama kebutuhan harian si adik.

Rafika yang biasa dipanggil Fika itu tidak segan-segan memandikan, memakaikan baju, merapikan rambut dengan suri, memoles minyak angin di sekujur tubuh dan bedak di wajah sehingga menyuapi Agung sampai kenyang. Bukan cuma terbatas pada kegiatan itu, Fika juga tidak malas merapikan tempat tidur setiap pagi atau seusai istirahat siang. Jika sedang diperintah ayah atau ibunya, anak yang tengah duduk di kelas empat SD itu hampir-hampir tak pernah menampik, kendati ia sendiri masih mengerjakan tugas-tugas sekolahnya sampai-sampai kedua orang tuanya merasa iba sendiri untuk mentang-mentang memberikan instuksi. Kini, kakak-adik itu sedang bermain abu, dedaunan, permainan bekas dengan sangat asyik. Sedangkan Sakina menyaksikan keduanya sambil merapikan pakaian-pakaian yang baru saja dientas dari tempat jemuran sebelah rumahnya.

Dari sisi perangai, keduanya memang agak berbeda. Fika menjelma sebagai anak penyabar, lebih mandiri, pendiam, seringkali mengalah, dan merangkul dengan penuh kasih sayang kepada sesama lebih-lebih pada anak-anak yang dibawah usianya. Sementara Agung memiliki sifat lebih keras, enggan mengalah, banyak berbicara, dan manja. Tetapi ketimpangan tabiat inilah yang menjadikan hubungan kedua bersaudara itu lebih harmonis dan terjaga hingga kini. Kalaupun Agung menangis lebih banyak disebabkan oleh kemanjaannya, bukan karena Rafika yang menjadi gara-gara. Di luar itu semua, Sahlan, Sakina dan Rafika tidak jarang dibuat tertawa oleh sikap serta kelucuan dan kelakuan yang dibuat anak kecil itu. Sikap lucu itulah yang membuat rasa geram seisi rumah yang terkadang muncul akibat gelagat manja berlebihan si Agung.

Sakina sendiri memang seorang ibu rumah tangga yang terbilang cekatan. Urusan-urusan yang terkait dengan rumah seisinya ia selesaikan secara mandiri. Mulai dari memasak, menyiapkan makanan, mencuci pakaian sehingga pada hal-hal kecil seperti menata atau memangkas bunga-bunga yang dirawat di sekitar kediamannya. Sejak awal berumah tangga, Sakina tidak sekali-kali diperingan oleh pembantu rumah tangga, meskipun pada tahun-tahun pertama kawin dengan Sahlan masih bersama mertua dalam satu rumah. Senyampang tidak betul-betul membutuhkan bantuan orang lain, termasuk mertua sendiri, Sakina enggan merepotkan siapapun untuk menjadikan segala urusan isi rumah tangga bisa dirampungkan. Sikap mandiri ini terus ia lakukan dan dipertahankan sampai keluarga ini dikaruniai dua buah hati.

Hati Sakina merasa bangga dengan keberadaannya sebagai ibu rumah tangga yang tampil begitu kuat sebagai wanita tanpa harus membuat susah pihak lain. Bagi kebanyakan kaum hawa, hal demikian ini tentu dipandang biasa saja. Tidak sedikit perempuan yang tengah mengarungi mahligai rumah tangga dijalani tanpa uluran tangan pembantu. Hanya saja dalam kaca mata Sakina, hal yang membuat dada Sakina kian patut dibusungkan karena ia tidak saja sebagai ibu rumah tangga, tetapi di tengah kesibukan sebagai perempuan yang dinobatkan menjadi ustazah setelah ibu mertuanya uzur masih mampu mengurus keperluan kediamannya tanpa peran orang lain.

Semenjak ibu mertua Sakina sering sakit-sakitan, wanita lulusan lembaga pendidikan agama itu diminta untuk menggantikan perempuan tua yang semakin melemah akibat berbagai penyakit mengisi pengajian kaum ibu di berbagai majlis taklim tingkat kampung. Istilah “Muslimatan,” “Fatayatan,” “kumpulan ibu-ibu” merupakan label yang sudah begitu melekat dengan Sakina. Masyarakat telah mendudukkan wanita keibuan tersebut sebagai tokoh perempuan yang patut dicontoh dengan segala kesabaran dan konsistensi terhadap kegiatan yang selama ini ia pimpin. Bagi Sakina, tugas ini tidak begitu mengagetkan sebab di pesantren ia telah terlatih mengikuti kegiatan-kegiatan kepesantrenan dan begitu akrab dengan materi yang ia sampaikan pada perkumpulan ibu-ibu itu. Justru yang membuat lelah fisik Sakina karena harus berjibaku antara mengatur waktu buat urusan-urusan kerumah-tanggaan dan membagi jam-jam pengajian yang tersebar di beberapa kampung.

Hati Sakina semakin berbunga-bunga tatkala Sahlan mampu membangun rumah sendiri yang kini telah ditempatinya. Hanya tinggal bagian dapur saja yang belum seluruhnya selesai, sementara ruangan yang lain termasuk teras depan sudah terbilang rampung.  Perasaan lega menyirami ketenteraman kalbu wanita berjilbab itu karena kediaman barunya ini tidak terlalu jauh dari rumah mertuanya, sehingga dalam beberapa kesempatan ia sendiri atau terkadang bersama anak-anaknya bisa menjenguk dan merawat ibu dari suaminya itu.

Sakina begitu bangga dengan sang suami. Sahlan hanyalah seorang guru sebuah sekolah negeri di kota pinggiran. Namun berkat ketelatenan menabung dan mengembangkan hasil tanah warisan ayahandanya, PNS itu tidak saja mampu membuatkan tempat teduh bagi keluarganya, tetapi juga dapat menyumbangkan penghasilan untuk ibu dan adik-adiknya yang masih dalam proses studi. Sebagai pegawai negeri yang terikat oleh tugas, Sahlan tidak begitu memiliki waktu luas untuk berkumpul dengan anak-istri. Ditambah statusnya sebagai putra tokoh di desanya, menjadikan anak pertama anak kiai kampung itu kian terpisah dengan anak-anaknya oleh kesibukan memenuhi beragam undangan masyarakat sebagaimana dilakukan ayahnya dulu. Selama ini di mata Sakina, Sahlan merupakan sosok pria yang penuh kasih terhadap putra-putrinya. Di kala senggang, ia menyempatkan diri mengajak anak-istri keluar rumah untuk me-refresh diri ke pantai, kolam renang, tempat-tempat rekreasi atau sekadar menyantap menu di warung makan. Saat di rumah pun, ia juga luangkan semaksimal mungkin untuk bersenda gurau dan menyelam di dalam dunia anak-anak dengan buah hatinya.

***

Sudah satu tahun setengah keluarga Sahlan pindah ke rumah barunya. Selama waktu-waktu itu dijalani, keluarga kecil ini diselimuti dengan ketenteraman yang membuat Sakina semakin merasakan kedamaian di tengah-tengah keluarganya. Tetapi tiga bulan terakhir ini ia mulai menemukan rasa gundah di lubuk hatinya. Entah perasaan apa gerangan?

Sakina semakin tidak nyaman tatkala memperhatikan raut wajah dan gelagat kaum ibu di majlis-majlis taklim yang ia pimpin dirasakan begitu asing bagi dirinya. Tak seperti biasanya, mereka seakan menyembunyikan sesuatu di balik untaian kata, seutas senyum dan simpuh mereka. Bisik dinantara mereka semakin membuat Sakina terjerembab di dalam jurang gelap yang membutakan. Tetapi keluh bibirnya terus menahan beribu tanya terpendam di dalam hatinya.

Di kamar ini, Sakina hanya mampu menangis. Pilu yang membebani pundaknya kian membuat air bening mengalir deras dari kelopak mata indah itu. Tak disangka terjadi yang tidak pernah terbesit dalam bayangannya sekalipun bahwa sang suami telah menikah lagi. Kabar “duka” bagi Sakina ini diterima dari cerita salah satu peserta jemaah perkumpulan yang ia bimbing. Terbukalah tabir kenapa selama ini para ibu-ibu seakan menyimpan rahasia di balik gerak dan perilaku yang mereka pertontonkan di hadapannya. Geram berkecamuk di dalam diri Sakina saat melihat sikap anggota pengajian itu, meskipun Sakina menyadari bahwa hal tersebut dilakukan oleh mereka semata-mata karena didorong rasa belas kasih kepadanya. Rasa marah yang terhimpit oleh ketidakpercayaan dan ketidakmampuan kian bergemuruh ketika wanita yang dikawininya merupakan sebagian anggota jamaah pengajian milik Sakina. Pantas saja belakangan ini sang suami jarang pulang. Ragam alasan dilontarkan Sahlan ketika ditanya oleh Sakina; tugas-tugas kantor, rapat-rapat kedinasan, jadwal pengajian atau apa saja yang menunjukkan betapa waktu begitu sempit untuk keluarga. Sakina memaklumi kondisinya sebagaimana ucapannya tanpa disadari bahwa hal itu hanyalah kedok menyembunyikan syahwat birahi belaka.

Jika saja tidak teringat dosa, ingin rasanya Sakina menyobek kitab materi pengajiannya yang tengah bersandar di deretan kitab-kitab rak tempat buku. Sakina merasa isi kitab-kitab tersebut yang telah berkontribusi terhadap status legalitas poligami sehingga membius cara pandang kaum adam tentang kedigdayaan maskulinitas menindih feminimitas. Kalbu Sakina begitu sangat membara saat teringat banyak laki-laki tampil menepuk dada dengan bangganya berlatarbelakang firman Allah: “maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat”. Hal yang membuat hati Sakina hancur kenapa harus dipenggal, padahal ayat itu memiliki sambungan: “Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.

Sakina menghempaskan wajahnya ke bantal yang sejak tadi ia peluk. Derai bulatan air bening terus mengalir membasahi bantal. Kalaulah beristri lagi didorong oleh niatan menolong janda yang dihimpit kondisi teraniaya atau memikul beban anak yatim yang dinistakan atau dikarenakan ia tidak dapat melahirkan buah hati buat sang kepala keluarga, sebisanya nurani Sakina akan mengiyakan. Tetapi menikahi perawan dengan paras ayu dan dalam keadaan ekonomi di atas rata-rata, membuat hatinya ingin menjerit sekuat tenaga seraya menyuarakan satu tanya kepada seluruh manusia, adilkah ini? Bagi wanita muslimah satu ini, dalam jarak jauh dan tanpa saling mengenal saja praktik poligami masih menumbuhkan rasa keengganan, apalagi perempuan pilihan suaminya merupakan sosok yang nyaris-nyaris bukan sebagai orang asing.

Mata Sakina kian membengkak disebabkan tangisannya yang tak kunjung berhenti. Untaian kata-kata pitutur tentang posisi kemuliaan lelaki pada relasi suami-istri dalam pandangan agama yang acapkali ia sampaikan kepada para jemaah dalam setiap kesempatan pengajian seakan hilang begitu saja dari ingatannya. Petuah yang berkaitan dengan kegigihan, perjuangan, ketabahan tatkala menghadapi ujian dan cobaan kini tak lagi bermakna bagi diri Sakina kendati berulang ia ucapkan pada mereka. Sikap tegar dan tegas saat mengungkapkan nasihat-nasihat kebaikan atau kisah-kisah kebajikan kini luntur berbalik berganti menjadi pribadi rapuh dan layu.

Sakina hanya mampu memandang kedua anaknya yang sedang pulas dengan mimpi-mimpi indahnya. Ia mengusap kening si Agung dan menciumnya dengan lembut, seketika anak lucu itu sedikit menggeliat meskipun matanya terpejam. Sakina kemudian menutupi tubuh Agung dengan selimut tipis yang mulai terhempas oleh gerakan-gerakan bocah tersebut. Kedua anak ini ternyata sedikit mengobati hati Sakina yang mulai tercabik-cabik. Melihat jam menunjukkan pukul 02:35 WIB, Sakina merebahkan diri di samping kedua anaknya itu sembari tanpa henti tangan kecil Agung Pratama diciumi dengan perasaan yang begitu berkecamuk. Sesekali air matanya kembali menetes, hingga akhirnya suara pujian-pujian kepada Allah Yang Esa dan salawat pada Nabi Muhammad sebelum kumandang azan dari musalla terdengar sayup-sayup. Sakina menghela nafas panjang, begitu berat terasa kepalanya menahan kantuk tetapi matanya tak mau dipejamkan karena pergolakan batin yang memanaskan dadanya. Perlahan ia renggut jemari anak terkecilnya itu untuk kemudian diciumi lagi dan sedetik berikutnya air matanya terjatuh. Saat suara azan mulai dikumandangkan, Sakina beranjak menuju kamar kecil untuk berwudu dengan langkah gontai dan lesu.[]

Saturday, January 17, 2015

Antara Filsafat dan Sastra: Sebuah Pertanggungan Jawab

[sumber: sini]

Oleh: Muhammad Hilal

Tulisan ini dibuat untuk menegaskan bahwa ketika saya meminta mahasiswa membuat puisi untuk tugas UAS mata kuliah Studi Filsafat, saya tidak sedang main-main. Sungguh mati, saya tidak sedang berkelakar.

Beberapa orang bertanya, yang lainnya bahkan ada yang mencibir: apa hubungan filsafat dengan puisi? Kenapa tugas UAS-nya membuat puisi dan bukan membuat makalah filsafat? Anda sedang main-main ya?

Pertanyaan-pertanyaan semacam ini muncul karena beberapa sebab, tentu saja. Pertama, karena gagal melihat hubungan antara sastra dengan filsafat. Kedua, karena dalam benak penanya masih terdapat pengotak-kotakan ilmu, seolah satu ilmu dengan ilmu lain tidak ada hubungan apapun. Ketiga, itu adalah pertanyaan iseng (saya tak pernah menafikan satu sifat dasar manusia ini) yang terlontar bukan karena secara jujur ingin tahu.

Nah, untuk membuktikan bahwa saya tidak sedang main-main, akan saya paparkan dengan singkat apa dan bagaimana hubungan filsafat dengan puisi atau dengan sastra secara umum, atau bahkan dengan seni sekaligus. Paparan ini nanti akan berkisar pada filsafat Barat semata, sedangkan dalam filsafat Timur akan saya lewatkan sebab nanti akan membutuhkan ruang yang jauh lebih banyak, meskipun perlu disadari bahwa sebetulnya hubungan antara filsafat dengan puisi itu justru sangat intens di dalam filsafat Timur.
***
Untuk melihat hubungan itu, setidaknya kita bisa menyelidikinya dalam tiga hal. Pertama, seni sebagai objek filsafat. Hal ini telah menjadi perhatian filsafat sejak masa-masa permulaan, yaitu sejak filsafat mulai bermekaran di Yunani Kuno. Salah satu filsuf yang dikenal memiliki pandangan mapan mengenai seni adalah Aristoteles (384-322 SM). Dalam bukunya, Poetics, Aristeles telah menggambarkan bahwa seni adalah imitasi dari realitas. Bagi Aristoteles, puisi adalah sesuatu yang lebih filosofis ketimbang sejarah karena pernyataan-pernyataan puisi adalah tentang alam semesta, sedangkan sejarah adalah tentang benda-benda singular. Fungsi sastrawan bukanlah membicarakan sesuatu yang telah terjadi, melainkan sesuatu yang mungkin terjadi, yakni membicarakan sesuatu yang mungkin (probable) sebagai yang mungkin (probable) atau niscaya (necessary).

Apa yang perlu dipahami dari teori Aristoteles di atas adalah bahwa dia membagi kebijaksanaan (wisdom, hikmah) menjadi tiga: theoria (ilmu teoritis), praxis (ilmu praktis), dan poiesis (seni). Dalam bukunya, physics, Aristoteles membagi seni menjadi:

(a)    Seni yang bertujuan untuk melengkapi fungsi alam semesta, seperti menciptakan alat-alat atau teknologi-teknologi, karena alam itu sendiri memberikan manusia hanya dua tangan.

(b)   Seni yang bertujuan meng-“imitasi” alam semesta. Pandangan kedua ini—mirip seperti pandangan Plato—menyatakan bahwa dalam seni alam imajiner diciptakan yang merupakan imitasi alam real. Inilah yang dalam bahasa inggris diistilahkan dengan Fine Art. Puisi termasuk di dalamnya.

Dengan pandangannya ini, Aristoteles—bersama dengan Plato (427-347 SM)—memiliki pandangan khas mengenai puisi dan seni pada umumnya, yakni bahwa poiesis menduduki posisi yang lebih rendah ketimbang theoria, karena bagi dua filsuf itu poiesis merupakan imitasi dari realitas, sedangkan theoria adalah representasi persis dari realitas itu sendiri. Dengan kata lain, puisi dan semua bentuk kesenian lain kurang asli ketimbang ilmu-ilmu teoretis.

Pandangan yang lebih apresiatif terhadap seni dan puisi muncul di kemudian hari, di tangan seorang filsuf kelahiran Jerman, Arthur Schopenhauer (1788-1860). Bagi Schopenhauer, terdapat dua jenis realitas yang ciri-cirinya sangat berbeda: pertama, dunia sebagai representasi (world as representation), yakni dunia yang bisa dipahami dan dicerap melalui kategori-kategori rasional. Realitas ini mirip seperti alam fenomenal dalam istilah Immanuel Kant. Kedua, dunia sebagai Kehendak (world as will), yaitu dunia yang sama sekali berbeda dengan jenis pertama dan cara mengaksesnya tidak bisa dilakukan melalui kategori-kategori rasional, melainkan melalui mawas-diri (self-consciousness), pengekangan diri dan pencerahan batin. Inilah dunia yang hakiki bagi Schopenhauer, sebab dunia sebagai representasi adalah manifestasi dari dunia Kehendak.

Lantas, di mana posisi seni bagi Schopenhauer? Di sinilah letak apresiasi Schopenhauer terhadap seni. Bagi filsuf Jerman ini, seni adalah akses lain terhadap dunia Kehendak, jalan alternatif untuk bisa sampai kepadanya. Hal ini karena seni bisa mengondisikan manusia untuk mengekang hasrat-hasrat materialnya, sedangkan akses kepada dunai Kehendak itu tidak lain adalah melalui pengekangan diri dari hasrat-hasrat material.

Demikianlah, seni adalah media yang ampuh untuk mencapai yang hakiki, untuk mengakses dunia Kehendak. Bagi Schopenhauer, seni pun terpilah-pilah secara hierarkis, semakin tinggi tingkat imitatifnya, semakin rendah kemampuannya untuk menjadi penengah antara manusia dengan dunia Kehendak. Hierarki itu dia jadikan seperti ini:

Pertama, seni visual. Dengan demikian, lukisan, patung, arsitektur, taman, air mancur, dan lain-lain seni visual merupakan akses terendah dari bentuk seni lain dalam keampuhannya menjadi medium mengakses dunia Kehendak. Kedua, puisi. Puisi menempati posisi yang lebih tinggi ketimbang yang pertama sebab puisi lebih memiliki ciri objektivikasi Kehendak ketimbang seni visual. Puisi merepresentasikan sesuatu yang kurang material ketimbang seni visual. Ketiga, tentu saja musik (Schopenhauer tidak bermaksud sembarang musik, melainkan hanya musik orkestra hasil gubahan para maestro). Kenapa musik? Sebab dalam musiklah objektivikasi Kehendak mendapat tempat yang paling penuh. Musik adalah akses terbaik untuk mencapat dunia sebagai Kehendak.

Dua filsuf di atas telah menjadikan puisi—dan sastra pada umumnya—sebagai perhatiannya dan objek dari filsafatnya yang canggih. Saya rasa, dua filsuf ini saja sudah memadai untuk menggambarkan bahwa puisi adalah salah satu objek filsafat yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Melihat ini saja, kita sudah bisa mempertimbangkan bahwa hubungan antara filsafat dengan puisi tidaklah main-main. Dengan penjelasan berikutnya ini, hubungan itu akan semakin terlihat keseriusannya.

Pandangan para filsuf mengenai puisi—dan sastra serta kesenian pada umumnya—kemudian bahkan menjadi cabang tersendiri dalam filsafat, yakni Estetika. Estetika adalah cabang filsafat yang menyelidiki ‘nilai keindahan’. Kenapa ‘nilai keindahan’ harus menjadi objek penyelidikan tersendiri dalam filsafat? Sebab, sebagaimana dimaklumi bersama, filsafat adalah sebuah disiplin ilmu. Sebuah disiplin ilmu tentunya tidak bisa dipisahkan dari problematikan kehidupan manusia. Dari semua problematika yang dihadapi oleh manusia, siapa yang bisa mengabaikan aspek keindahan? Manusia mana yang bisa tidak mengindahkan aspek keindahan dalam hidupnya? Justru karena keindahan adalah bagian yang tidak bisa dipisahkan dari manusia, filsafat menjadi absah untuk menyelidiki dan menyelaminya secara mendalam. Setidaknya, dari pertimbangan inilah Estetika hadir sebagai sebagai cabang filsafat.
***
Kedua, kita bisa melihat hubungan antara filsafat dengan sastra atau puisi dalam kenyataan bahwa banyak para filsuf yang menuliskan dan mengekspresikan gagasan-gagasan filosofisnya dalam bentuk sastra atau puisi. Siapa yang tak kenal Frederich Nietzsche (1844-1900)? Bukunya yang terkenal, Thus Spoke Zarathustra, bukanlah sekumpulan tulisan yang runtut dan sistematis seperti buku-buku filsafat pada umumnya. Memang, orang-orang menyebutkan bahwa buku itu berisi kumpulan aforisme-aforisme, bukan sekumpulan puisi. Namun, tidak tepat pula jika buku itu tidak memuat kandungan sastra sama sekali. Bahkan sebelum Martin Heidegger mengeksplisitkan pemikiran filosofisnya, Nietzsche dianggap oleh para akademisi Inggris sebagai seorang sastrawan ketimbang filsuf.

Tak bisa dilupakan pula Martin Buber (1878-1965). Filsuf keturunan Yahudi menulis bukunya, I-Thou, dengan cara yang sama: kumpulam aforisme. Pandangan-pandangan filosofisnya tidak dia sampaikan bukannya dalam rentetan-rentetan argumen yang ketat, melainkan dalam fragmen-fragmen aforisme yang puitis.

Lalu Jean Paul Sartre (1905-1980) dan Albert Camus (1913-1960), sama-sama dikenal sebagai filsuf eksistensialis brilian asal Prancis, juga sama-sama menulis berbagai tulisan sastra. J. P. Sartre menulis banyak sekali cerita pendek dan novel. Naskah dramanya dilakonkan dengan sangat spektakuler, ditonton oleh banyak sekali orang. Novel-novel Camus juga menakjubkan. Pandangan-pandangan filosofis dalam novel-novel: The Myth of Sisyphus, The Plague, The Rebel, dan banyak lagi.
***
Cara ketiga untuk melihat hubungan erat antara puisi dan filsafat itu bisa dilihat dari ragam pemikiran filosofis pos-modernisme. Ragam pemikiran bermula dalam suatu fase historis dalam filsafat yang disebut sebagai “language turn”, titik balik kepada bahasa. Pada fase sejarah ini (yang tetap berlangsung hingga sekarang), filsafat tiba-tiba menyelidiki bahasa, tapi bukan untuk memahami bahasa itu sendiri, melainkan untuk memahami objek abadi filsafat, yakni alam semesta dan kehidupan manusia.

Dalam fenomena “titik balik kepada bahasa ini”, filsafat terbelah kepada dua kecenderungan, persis seperti dua watak bahasa. Di satu sisi, terdapat beberapa filsuf yang mempertahankan watak logis dari bahasa, yakni kecenderungan bahasa untuk merepresentasikan realitas di luar dirinya. Yang dilakukan filsafat adalah klarifikasi bahasa, entah melalui verifikasi, atom bahasa, teori cermin, atau lainnya. Positivisme Logis dan Filsafat Analitis adalah dua  aliran utama dalam kecenderungan filsafat ini.

Di sisi lain, terdapat beberapa filsuf lain yang memilih untuk menyelediki bahasa yang cenderung ‘transformatif’ sifatnya. Artinya, selain berfungsi untuk merepresentasikan realitas, bahasa juga fungsi lain yang tak kalah pentingnya ketimbang fungsi tadi, yaitu fungsi menciptakan realitas. Itulah yang dimaksud fungsi transformatif bahasa.

Nah, demi mengerti hubungan bahasa dan sastra, kecenderungan kedua ini akan dijabarkan dengan agak panjang-lebar. Hal ini tidak lain karena fungsi transformatif bahasa justru bekerja penuh dalam bahasa sastra.

Ciri-ciri bahasa sastra adalah metafor. Dengan metafor, bahasa mampu menggambarkan sesuatu yang tersembunyi, “tak-terkatakan”, misterius, atau bahkan yang tak terjangkau oleh penalaran konvensional. Metafor adalah semacam jalur alternatif agar bahasa mampu berbicara ketika cara denotatif tidak mampu melakukannya.

Apa yang tak terelakkan dari metafor adalah tafsir. Metafor adalah gambaran tak langsung mengenai objek yang diacunya. Ia menggambarkannya tidak langsung karena dalam melakukannya ia masih meminjam objek perantara yang menjadi penghubung antara metafor dengan objeknya. Oleh karena itu, untuk menemukan hubungan antara perantara dengan objek metafor, seorang penulis dan/atau pembaca harus mengandalkan imajinasinya. Di satu sisi, seorang penulis harus mengandalkan imajinasinya untuk memahami objek yang akan dia gambarkan agar metafor yang dia buat bisa terjalin kuat dan elegan, sedangkan pembaca pun harus mengandalkan imajinasinya pula untuk menafsirkan metafor yang sedang dia baca agar dengan tafsir dia bisa mengerti hubungan-hubungan dalam metafor tersebut. Tafsir, dengan demikian, menjadi elemen yang tak terpisahkan dalam setiap tindakan metafor.

Beberapa filsuf kontemporer bahkan meradikalkan pandangan ini dan menganggap bahwa tafsir merupakan cara yang tak terelakkan dalam memahami alam semesta. Tafsir adalah cara manusia berada, kata Martin Heidegger. Tidak hanya dalam bidang-bidang kehidupan sosial, bahkan setiap upaya untuk memahami dunia fisik pun tafsir tidak bisa diabaikan. Ketika terdapat deskripsi mengenai alam fisik, misalnya ‘planet adalah benda langit yang mengelilingi sebuah bintang’, sebetulnya di dalamnya tersirat sebentuk metafor. Jadi, deskripsi planet di atas tidak betul-betul definitif, melainkan tersirat pengertian bahwa ‘planet sama seperti benda langit yang mengelilingi sebuah bintang.’

Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa filsafat pos-modern tidak hanya telah bersinggungan sastra, melainkan telah menjadikan sastra sebagai paradigma berpikirnya. Bahasa sastra adalah tren pemikiran terkini yang digunakan oleh pemikiran filsafat pos-modern.

Tren pemikiran filosofis yang mengambil jalur ini ada banyak, di antaranya hermeneutika (terutama sejak Hans Georg Gadamer), Semiotika (terutama di karya-karya Roland Barthes yang belakangan), Dekonstruksionisme, Genealogi, dan beberapa lagi.
***
Muhammad Iqbal (1877-1938), filsuf Muslim Modern berkebangsaan India, pernah berkata dalam sebuah bukunya:Filsafat penjelasan hidup, kesusastraan nyanyian hidup, kesenian perhiasan hidup, tasawuf intisari hidup, dan ibadah pegangan hidup!

Kata-kata Iqbal ini menggambarkan tren keilmuan masa kini yang menekankan integrasi. Pandangan bahwa ilmu yang satu dengan yang lain terpisah-pisah, terkotak-kotak atau tak berhubungan sudah menjadi kuno, diganti dengan pandangan baru yang cenderung menggabungkan, menyilang-sengkarutkan, dan mengaitkan satu sama lain. Ibarat sebuah jaring, ilmu adalah benang-benang yang satu sama lain terikat erat, tersusun sedemikian rupa sehingga membentuk jaring yang sempurna. Tanpa mengindahkan pertalian itu, kita hanya akan melihat benang satu per satu dan gagal mendapatkan hubungannya. Begitu pula ilmu, kegagalan menemukan hubungan satu sama lain hanya akan menghasilkan kesimpulan yang parsial, sepihak, atau terpotong-potong. Realitas yang digambarkan oleh ilmu hanyalah realitas yang tak lengkap.

Demikian pula halnya dengan filsafat dan sastra, tidak akan terlihat hubungannya bila yang dicermati hanyalah masing-masing. Filsafat dan sastra adalah dua wilayah keilmuan yang dalam sejarah telah bergelut satu sama lain.[]

Monday, January 12, 2015

Menyuarakan yang Tidak Bersuara

[foto: wawan]
Oleh: Irham Thoriq

Dunia berjalan begitu cepat. Di era Jurnalisme dot com, portal berita berlomba menjadi yang tercepat dalam menyajikan fakta. Akurasi dan kelengkapan berita menjadi hal penting kesekian yang dikesampingkan.

Di era ini, ucapan para pesohor tentang apapun bisa dengan mudah menjadi berita. Hanya dengan tiga paragraf tulisan, gumaman para tokoh seringkali nangkring di headline portal berita. Kelengkapan serta kedalaman semakin ditinggalkan oleh sebagian penganut jurnalisme dot com. Meski, media cetak juga bisa saja meninggalkan dua hal ini.

Di tengah yang cepat itu, kita membutuhkan oase. Karena saya yakin, di tengah kesibukan masyarakat modern dan kelas pekerja, masih banyak orang yang mau menghabiskan waktunya bermenit-menit untuk membaca laporan jurnalisme yang panjang dan mendalam.

Di sinilah, jurnalisme tentang cerita manusia dan kemanusiaan menjadi penting di tengah hujan informasi yang sepotong-potong. Kita membutuhkan informasi tentang manusia yang menginspirasi. Yang bangkit dari kejatuhan, atau yang jatuh dari kesuksesan. Bukan jurnalisme “katanya”, yang saat ini kian digandrungi.

Biasanya, model tulisan seperti ini disebut dengan features yang banyak membahas tentang manusia atau kemanusiaan. Beberapa waktu lalu, saya membaca tulisan tentang perjuangan Christie Damayanti, seseorang yang terkena stroke di umurmya yang kurang dari 40 tahun.

Christie bisa kembali bangkit setelah dia menuliskan cerita tentang penyakit yang dia alami. Melalui Kompasiana, perempuan yang berprofesi sebagai arsitek ini menceritakan suka dukanya. Sudah ada ribuan cerita yang dia tuliskan dan mendapat apresiasi dari pemilik akun kompasiana.

Dalam suatu kesempatan, Christie mengatakan kalau dengan menulis, harapan untuk hidup selalu muncul. Karena, dari tulisannya itu, banyak sahabat yang belum pernah dia kenal sebelumnya memberi semangat. Karena tulisan-tuliasannya juga, Cristie permah diganjar penghargaan oleh kompasiana.

Tentu saja, menulis dengan keadaan stroke bukan hal mudah bagi Christie. Hanya untuk mengetik, tangannya sulit digerakkan. Tiga hari penuh harus Cristie habiskan untuk merampungkan satu artikel. Empat hari setelah itu, Cristie menimbang tulisannya layak dibaca orang atau tidak.

Dan ternyata, dengan menulis, Cristie bisa berbagi tentang apa yang dialami, komentar pun mengalir deras. Dan yang terpenting lagi, Cristie menjadi tahu banyak orang yang senasib dengan dirinya.”Menulis membuat saya sadar bahwa saya memang cacat. Lalu kenapa? Saya tetap ingin berguna sebagai manusia,” kata dia sebagaimana ditulis Panajournal.com. “Kenyataan menjadi jelas setelah dituliskan karena tidak ada lagi yang ditutup-tutupi,”.   

Begitulah cerita tentang manusia bisa memberi inspirasi di tengah semakin tak manusiawinya kehidupan. Mengutip istilah jurnalis senior, Farid Gaban, jurnalisme harus menyuarakan yang tidak bersuara.

Yang tidak bersuara ini bisa datang dari mana saja. Bisa seperti Christie yang di tengah keterbatasannya masih bisa berbuat sesuatu. Atau bisa dari petani, nelayan, pedagang dan yang lain.

Pada akhirnya, menyuarakan yang tidak bersuara adalah perjuangan agar wacana tidak didomonasi oleh satu pihak. Tidak didominasi oleh konglomerat, pejabat dan wakil rakyat. Dari orang-orang itu, kita kerapkali hanya diberi janji dan miskin inspirasi.

Harapan bisa datang dari mana saja, termasuk dari yang selama ini suaranya jarang kita dengar.[]

Tuesday, January 6, 2015

Tuhan Pun Berpolitik

[photo by Wawan]
Oleh: Nilamic Tanjung
 

Kecamuk murka bani Adam
Muksa, demi nafsu yang tak pernah padam
Tahta bergelimang dusta
Dusta bergelimang kuasa
Tertindas tirani kerakusan
Membalik cerita Indonesi tanah surga
 
Soekarno sang proklamator "katanya"
Soeharto bapak pembangunan "katanya"
BJ Habibie bapak teknologi "katanya"
Abdurrahman Wahid bapak pluralisme "katanya
Megawati Ibu wong cilik "katanya"
Susilo Bambang Yudhoyono bapak wacana "katanya"
Rakyat tetap berjibaku melawan ketidakadilan
Aparat terus bermain demi kepuasan
Pemimpin beradu hujjah demi kekuasaan
 
Tuhan ada yang mengatasnamakan diriMU, semakin merajalela
Apakah ini politikMU?
Ada yang mengatasnamakan agamaMU, melanggar HAM
Apakah ini caraMU?
Sebagian mengatakan "Engkau adalah segalanya"
Sebagian mengatakan "Engkau adalah dalang semuanya"
Hingga akau berkesimpulan "Tuhan pun berpolitik"
Powered by Blogger.

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top