Friday, May 22, 2015

Toleransi di Titik Nadir

[sumber]

Oleh: Muhammad Ilyas

Secara etimologi toleransi adalah sikap saling menghormati,[1] di mana seseorang berhak untuk melakukan apapun selama ia tidak melanggar hak orang lain. Secara terminologi toleransi merupakan sikap saling menghargai, saling menghormati apa yang dilakukan oleh individu terhadap individu, individu terhadap kelompok, atau kelompok terhadap kelompok lain. Sikap toleransi ini perlu ditegakkan karena merupakan instrumen utama untuk mencapai kedamaian.

Seperti yang kita ketahui bahwa banyak kasus intoleransi yang terjadi di Indonesia. Motifnya pun beragam, di antaranya motif politik, agama, golongan, ras, dan lain-lain. Contoh kasus intoleransi di Indonesia adalah pembakaran rumah warga Syiah yang ada di Madura. Ratusan orang harus meninggalkan rumah yang ia miliki sendiri hanya karena berbeda aliran. Terdapat juga pembakaran warga Ahmadiyah yang terjadi di Pandengglang, pelarangan Jemaat GKI Yasmin yang terjadi di Bogor, selain itu juga terdapat pelarangan mendirikan Masjid di daerah Nusa Tenggara Timur, atau penggusuran dayyah[2] yang terjadi di daerah Nangro Aceh Darussalam.[3]

Secara sekilas kita berpendapat kasus yang besar adalah kasus konflik antar agama, oleh karenanya kita harus bisa jernih untuk memahami konsep keagamaan tersebut. Kuatnya kesadaran agama ikut memengaruhi dan membentuk kesadaran sosial-ekonomi dan politik masyarakat, sehingga apa yang pernah kita kenal (ditakuti) oleh masyarakat sebagai “sekularisasi” sebenarnya merupakan sesuatu yang bersifat tidak clear out.[4] Oleh karena itu pemahaman agama secara menyeluruh dan tidak sepotong-potong merupakan hal yang diharapkan. Banyak kasus agama yang terjadi  karena pemahaman konsep agama yang salah, sehingga perlunya masyarakat memahami agama yang komprehensif dan tidak memandang hanya dalam satu sisi saja melainkan sisi yang lain. Kedinamisan interpretasi terhadap teks agama bisa dijadikan alternatif agar masyarakat bisa terbuka. Pemahaman yang sesuai  merupakan hal yang diharapkan oleh bangsa, sehingga kasus intoleransi tidak akan terjadi.

Jika dilihat dari kasus tersebut permasalahan yang mendasar bukanlah masalah agama atau ras, tetapi lebih jauh lagi ada kepentingan mayoritas terhadap minoritas. Kepentingan inilah yang memang melatarbelakangi timbulnya kasus intoleransi di negara kita. Kepentingan-kepentingan tersebut di antaranya adalah ekonomi, politik, dan lain-lain. Konsep kepentingan ini hanya dilaksanakan segelintir orang, atau disebut sebagai oligarki kepentingan. Dan untuk memuluskan rencananya mereka mempergunakan agama sebagai kedok utama. Karena agama merupakan comparative advantage. Ia menciptakan keseimbangan antara kehidupan material dan kehidupan immaterial, provan dan sakral. Tapi hal yang demikian tidak bisa diperlakukan sebagai taken for granted, harapan tersebut bisa bisa diupayakan melalui kiat-kiat sosial-budaya, ekonomi dan juga politik yang memungkinkan (socio-cultural, economic and political crafting).[5]

Intoleransi digerakkan oleh oknum tertentu untuk mencapai sesuatu yang ia tuju walaupun dengan menghalalkan segala cara. Hal seperti ini tidak boleh terjadi, sehingga harus ada kesadaran masyarakat akan bahaya laten yang ada di belakang intoleransi tersebut. Oleh karenanya kesadaran kritis menurut Paulo Friere penting, sehingga masyarakat tahu dan sadar akan apa yang ia lakukan sekaligus faham konsekuesinya juga.[6]

Tanpa adanya kesadaran murni dari masyarakat kejadian intoleransi akan terjadi lagi, karena masyarakat dengan mudah dapat dimobilisasi oleh kelompok yang berkepentingan. Masyarakat harus cerdas dan bisa memilah antara sesuatu yang memang sengaja dimanipulasi untuk kepentingan tertentu dan mana yang tidak. Masyarakat harus diberi pembelajaran (Education) akan pentingnya sikap pluralisme. Jika sikap ini tidak ditanamkan pada masyarakat maka akan mengakibatkan disintegrasi bangsa, yang akan membahayakan persatuan dan kesatuan NKRI. Oleh karenanya pemerintah sebagai agent of control  harus mampu mangendalikan masyarakat yang melakukan tindakan intoleransi. Para pelaku kejahatan intoleransi harus bisa dihukum secara adil.

Kasus-kasus yang ditangani oleh pihak berwajib belum dirasakan dampaknya oleh masyarakat. Hukuman yang ringan atau terkesan tebang pilih merupakan permasalahan tersendiri bagi kasus hukum tersebut. Pemerintah masih terkesan takut dengan salah satu pihak, dan masih membeo terhadap kelompok-kelompok tertentu. Kita berharap agar kasus intoleransi tersebut jangan sampai terulang lagi, dan masyarakat harus bisa sadar dan cerdas untuk menyikapi permasalahan yang ada di sekitarnya, jangan sampai hanya menjadi korban dari kepentingan pihak-pihak tertentu yang tidak bertanggungjawab.[]




[1] Partanto, Pius A. 2011. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arloka (hal 753)
[2] Sejenis pondok yang ada di Aceh
[3] Kompas.com edisi 25 Desember 2014 dan diakses pada 07 Januari 2015 pukul 10:55
[4]Efendy, Bahtiar. 2001. Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan. Yogyakarta: Galang Printika  Hal (39-40).
[5] Ibid 4 hal (40)
[6] Pedagogy of the oppresed
Powered by Blogger.

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top