Tuesday, June 30, 2015

Kebenaran Yang Samar-samar

[sumber]


Oleh: Irham Thoriq

‘Pahlawan Hanyalah Pecundang yang Beruntung’

Bagaimana jika seorang pecundang namanya kelak dijadikan nama Jalan dan seorang pejuang justru disebut pemberontak. Tidak perlu terkejut karena kita hidup di negara yang kebenarannya samar-samar.

Ingatan kita juga terlampau pendek. Kita kerap lupa kalau orang yang kita elu-elukan adalah orang yang sudah ‘membunuh’ demi kekuasaan. Lalu, di banyak tempat bertebaran tulisan "enak zamanku toh?". Entah ini tulisan yang diatur, atau memang kerinduan terhadap zaman yang menganggap murah harga sebuah ‘nyawa’.

Ah, tulisan ini kok malah serius. Mari kita bahas kebenaran sebagaimana niat awal tulisan ini. Percuma kita membahas tentang masa kelam bangsa ini, karena bangsa kita sudah menjadi bangsa yang lupa, atau mungkin mereka pura-pura lupa.

Soal kebanaran, beberapa bulan belakangan kita seolah dipertontonkan sebuah drama yang menjungkirbalikan akal sehat. Mula-mula, dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yakni Abraham Samad dan Bambang Widjojanto ditetapkan sebagai tersangka oleh Bareskrim Mabes Polri.

Selanjutnya, Novel Baswedan, salah seorang penyidik andalan KPK ditetapkan tersangka oleh Polri karena ‘kejahatan’ yang dia lakukan sepuluh tahun silam. Dia dituduh menganiaya seorang pencuri walet saat menjadi Kasat Reskrim di Bengkulu. Kasus ini sebenarnya pernah diselidiki ketika beberapa tahun lalu hubungan KPK dan Polisi memanas, lalu kasus ini mendek dan kemudian diungkap lagi ketika KPK dan Polisi kembali bersitegang.

Dan kebenaran semakin samar-samar ketika Mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan ditetapkan sebagai tesangka oleh Kejati Jakarta dalam kasus pembangunan gardu induk ketika dia menjadi Dirut PLN. Dia juga sedang diselidiki dalam dua kasus berbeda oleh Polisi dan Kejaksaaan Agung. Entah Dahlan bersalah atau tidak, kita tidak bisa menyimpulkan. Yang jelas dia sedang diserang dari berbagai penjuru mata angin.

Sebagaimana pimpinan KPK dan Novel, kasus Dahlan juga mendapat perhatian publik. Banyak yang menganggap Dahlan sedang dikriminalisasi atau mungkin memang menjadi sasaran tembak. Tagar ‪#SaveDahlanIskan lantas marak di media sosial.

Lalu, apa salah Dahlan terhadap penguasa? Banyak spekulasi yang mungkin khalayak ramai sudah tahu.

Dari banyak kasus ini, kita boleh setuju kalau kebenaran bisa dengan mudah dipermainkan. Ketika kebenaran dan ketidakbenaran, dan yang korupsi dengan yang tidak korupsi hanya beda-beda tipis, di sinilah hukum menjadi buas.

Dan hukum yang buas mengancam pikiran, atau bahkan nyawa. Ribuan tahun sebelum konflik KPK dan Polri, kita mempunyai cerita tentang Galileo Galilei, seorang ilmuan besar yang banyak mencerahkan tapi malah dihukum sampai mati.

Masalahnya sepele, Galileo berani menentang kebenaran ‘mayoritas’ yang dikumandangkan Gereja ketika itu. Gelileo berpandangan kalau bumi yang mengintari matahari, sedangkan Gereja berpandangan matahari yang mengintari Bumi. Galileo dianggap salah dan dicap sebagai pembangkang, kemudian dia dikenakan hukuman pengucilan sampai mati. Belakangan, ilmu pengetahuan membenarkan pandangan Galileo yang dicap salah ketika itu.

Ah, jika dirunut terlalu banyak cerita kalau orang benar justru dianggap salah. Dan pejuang justru dianggap pecundang, begitu juga sebaliknya. Soekarno, bapak proklamasi merana dihari tuanya. Makamnya pun dijauhkan dari pusat kekuasaan. Permintaannya untuk di makamkan di Bogor tidak diindahkan karena orde baru takut makam Bung Karno menjadi jujukan karena dekat dengan ibu kota. Mengutip Majalah Tempo; ‘Matinya pun membuat gentar’.

Tentang seorang pecundang yang ‘beruntung’ karena dijadikan nama jalan sebagaimana saya singgung diawal tulisan, kisahnya diceritakan dengan apik oleh sastrawan Agus Noor dalam cerpennya berjudul Matinya Seorang Demonstran. Cerpen ini saya baca dalam Buku Cerpen Pilihan Kompas 2014.

Agus menceritakan tentang kisah asmara seorang mahasiswi bernama Ratih yang suka pada dua pemuda bernama Eka dan Munarman. Dua orang yang dia cintai ini mempunyai latar belakang berbeda, Eka anak orang miskin dan dia seorang aktivis. Sedangkan Munarman, hidup bergelimang harta serta suka hura-hura, dia selalu ingin terlihat modis dan atletis.

Hingga pada suatu hari terjadi kekacauan yang membuat mahasiswa dan aparat bentrok luar biasa. Dalam cerita ini terjadi huru hara luar biasa, meski Agus Noor tidak menyebut setting waktu dalam cerita itu, ingatan kita merujuk pada kekacauan 1998 ketika orde baru tumbang.
Pada huru hara itu, Eka ikut demontrasi. Dan ketika kerusuhan itu terjadi, Munarman hendak ke rumah Ratih. Diperjalanan Munarman terjebak kerusuhan. Mobilnya digebrak-gebrak dan diancam dibakar. Diapun lantas kabur hingga akhirnya sampai dengan selamat di rumah Ratih.
Setelah keadaan mulai membaik, Munarman pamit untuk melihat mobilnya dan sekalian membeli rokok. Esok harinya, Ratih mendengar kalau Munarman tertembak mati peluru nyasar seorang aparat. Semenjak itu juga, Ratih tidak pernah tahu Eka sekarang dimana. Teman-temannya yakin kalau Eka sudah menjadi korban penculikan ketika dia berdemontrasi.


Begitu lulus kuliah, Ratih meninggalkan kota yang telah memisahan dari Eka dan Munarman. Suatu ketika, dia mengunjungi ibunya. Mau tidak mau dia harus melewati sebuah jalan di dekat rumahnya. Dulu nama jalan tersebut bernama jalan Sutowijayan, sekarang berubah menjadi Jalan Munarman.

Begitulah kebenaran samar-samar yang mematikan akal sehat. Mengutip awal tulisan Agus Noor; Pahlawan hanyalah pecundang yang beruntung.[]

Wednesday, June 24, 2015

Aku Mencintaimu, Itu Saja

[photo credit: here]

Oleh: Abdul Rahman Wahid

Menisbatkan diri sebagai manusia, merasakan segala hiruk pikuk dunia beserta tetek bengeknya. Pada saat itu juga, manusia tidak bisa menghindar dari cinta. Begitulah ungkapan pujangga yang tengah di dera asmara. Kata-kata yang terucap selalu menggambarkan keagungan cinta. Cinta itu sama dengan kehidupan/kalau kita tidak bisa menghentikan hidup/kenapa kita harus menghentikan cinta. Kata indah dari Raj Arya saat menggambarkan rasa cinta terhadap kekasihnya yang tak lagi di dunia. Ya, film roman India “Mohabbatain” tersebut menggambarkan bagaimana cinta itu hidup dan harus diperjuangkan, sekalipun sudah tiada.

Cinta adalah kata yang sulit didefinisikan. Setiap generasi, kaum, negara bahkan agama mempunyai cara masing-masing dalam mendefinisikannya. Kita tak pernah tau makna cinta yang baku. Makna cinta yang semua orang mempercayai kebenarannya. Semuanya masih misteri, penuh teka-teki. Bahkan yang merasakan cinta itupun terkadang tak mengerti, kenapa cinta itu harus dia alami. Sungguh, cinta menjadi sebuah kata yang penuh dengan makna. Meski terkadang makna itu tak pernah didapatinya.

Bumi Eropa memiliki sebuah roman yang selalu menjadi cerita generasi muda. Sepasang kekasih Romeo dan Juliet telah memberikan arti bahwa cinta itu bagaikan api, membara dan mampu membakar semua yang disandingnya. Pengorbanan keduanya memberi keputusan untuk memilih dan rela mati bersama. Karena pengorbanan cintanya, karena cinta buta mereka berdua. Romeo dan Juliet dijadikan sebagai romantisme dan tragedi cinta suci di dunia Barat hingga saat ini.

Dalam romantisme Timur kita dikenalkan dengan kisah cinta gila Qays dan Layla.  Romantisme ala padang pasir dari keduanya diyakini sebagai penggugah akal dan penggerak spiritual. Di semenanjung Arabia, Qays dan Layla mampu menyatukan hati dalam bingkai cinta suci nan abadi. Konflik, persoalan orang tua dan suku tak menyurutkan Qays tetap merawat dan menjaga kesucian cintanya kepada Layla. Bersama butir-butir debu padang pasir, deru angin yang menggoyang tenda kabilah, panasnya terik matahari menyengat kulit, gemuruh oase dan rombongan suara unta membuat kekuatan cintanya semakin meraja rela.  Ridunya semakin tak terbendung,  seperti api yang telah membara. Demi cinta sucinya, tanpa restu orang tua Layla, Qays memilih gila. Semua itu Qays lakukan hanya untuk menjaga cintanya pada Layla agar tak ternoda. Sungguh luar biasa kisah cinta keduanya. Hingga gila menjadi satu-satunya cara mempertahankan cinta sucinya.

Karena cinta, seseorang telah memiliki prasangka dan curiga yang membabi buta. Itulah kira-kira kisah cinta yang terjadi pada negeri Ramayana. Dewi Shinta, puteri cantik nan jelita terpaksa menikah dengan Rahwana yang menculiknya. Mendapati kabar itu, Rama meminta bukti bahwa Shinta benar-benar dara dan belum pernah dipersunting oleh Rahwana. Demi mendapat bukti kesucian Shinta, Rama memintanya untuk membakar diri. Kesucian dan kebenaran cinta yang menjawabnya. Shinta selamat dari lahapan api yang membara. Kesuciaan cinta Shinta mampu memadamkan kobaran api yang begitu dahsyatnya. Ya, cinta seakan seperti embun pagi, sejuk dan meneduhkan.

Cinta memang buta, cinta mampu merubah semuanya. Karena cinta, seorang Raja rela menjadi hamba sahaya. Karena cinta, tahta, harta hingga keluarga rela dikorbankannya.  Kedua panglima perang Romawi, Julio Caesar dan Mark Anthony telah melakukannya. Keduanya mengorbankan semuanya lantaran rasa cinta yang begitu luar biasa kepada ratu Mesir, Cleopatra. Karena kecantikan dan kecerdasannya, bunga mawar dari sungai Nil ini mampu melenakan kedua panglima perang yang sebenarnya diutus untuk menguasi negeri subur, Mesir.

Demi melindungi bangsa dan menyelamatkan bangsanya, Cleopatra  mendekati Julio Caesar. Siapa yang tak terpikat melihat ratu cantik ini, ratu yang kecantikannya bak rembulan. Julio Caesarpun cinta mati dibuatnya. Hanya karena cinta dan Cleopatra, Caesar menjadi buta. Merampas dan menaklukkan Mesir, tugas itu sirna karena cinta buta yang melandanya. Hal yang sama terjadi pada panglima perang setelahnya, Mark Anthony.  Semua itu terjadi karena ratu cantik padang pasir, Cleopatra.   

Akal takkan mampu menjelaskan cinta. Tintapun juga takkan mampu menggambarkannya. Cinta adalah air. Tanpa air takkan ada kehidupan. Begitupun juga, tidak ada kehidupan tanpa cinta. Keduanya sama, begitulah Rumi menggambarkan cinta itu sebagai keindahan wajah Tuhan. Sungguh ketinggian cinta yang digambarkan Rumi telah mengalahkan semuanya. Cinta adalah kekuatan yang tak terbatas. Cinta adalah Ilahiah. Jika kebangkitan merupakan batas kematian. Maka, bagi Rumi cinta lebih besar daripada sejuta kebangkitan. Karena cinta takkan penah mati, cinta akan selalu abadi. Di sinilah, Rumi mewakili cinta dari kalangan Sufi.

Sekali lagi, cinta itu memang gila. Cinta itu pun buta. Hanya karena mimpinya,  Zhulaika menikahi Menteri ekonomi Mesir, seorang duda yang sudah tua umurnya. Perjalanan keluarganya tak sempurna lantaran hubungannya tak dianugrahi seorang putra. Akhirnya, keputusan untuk mengangkat anak menjadi pilihan utamanya. Lagi-lagi cinta itu gila, cinta itu buta. Rasa cinta Zhulaika terhadap putra angkatnya tak bisa disangka. Setelah suaminya berpulang ke alam baka, Zhulaika memaksa Yusuf untuk melayani cintanya. Inilah kisah seorang Ibu yang menikahi anak angkatnya. Kegilaan cintanya pada Yusuf itu tidak hanya menimpa Zhulaika. Saat mengadakan pesta di Istana, semua ibu-ibu yang ada terpana oleh ketampanan Yusuf, putra angkat Zhulaika yang akhirnya dinikahinya. Menyaksikan seorang lelaki tampan nan rupawan. Tanpa sadar ibu-ibu di Istana menyayat jarinya sendiri dengan pisau yang digenggamnya. Sungguh gila, cinta memang mampu merubah semuanya. Merubah yang pahit menjadi manis. Yang buruk menjadi indah. Raja menjadi hamba sahaya. Semua bisa terjadi karena cinta.
Ω
Di Indonesia, cinta mampu diutarakan dengan sekian bahasa. Jika di Arab kita mendengar, Ya, habibi, ana syauqi syadiidan. I love you dalam bahasa Inggris atau dalam bahasa China, Wo aini. Indonesia dengan kekayaan bahasa mampu menyajikan cinta yang beragam, Aku cinta kamu. Orang Jawa akan bilang, Aku tresno karo sliramu. Gua demen ama lo, begitu orang Betawi menyatakan cinta pada kekasihnya. Orang pulau garam dalam mengungkapkan rasa cintanya akan berkata, Abdinah tresnah de’ dika. Begitu dan seterusnya. Cinta menjadi tema yang tak pernah abis untuk dijadikan cerita. Karena cinta itu indah adanya.

Kisah cinta yang digambarkan orang Indonesia juga tak kalah menariknya. Semisal, bagaiamana Pramoediya menggambarkan sosok Annelis, gadis dara Hindia-Belanda yang membuat Minke tergila-gila. Annelis begitu sempurna, seperti ditulis Pramoediya. Bahkan penyebutan tentang Annelis terkadang tak mampu dijangkau oleh akal manusia. Beruntunglah kau masih bisa merasakan cinta. Jikapun nanti kau sakit hati karena cinta, jangan sedih. Karena sakit hati itu, berarti kau masih punya hati.

Aku mencintaimu, itu sebabnya aku tak pernah selesai mendoakanmu. Begitu cerpenis kita, Sapardi Joko Damono menuliskan dalam karyanya. Masih banyak lagi, bagaimana cinta itu dijelaskan. Gus Mus, WS Rendra, D Zawawi Imron dan tokoh lainnya. Mereka telah menggambarkan cinta sesuai dengan caranya. Dari situlah, cinta itu memang misterius, sulit diprediksi. Semua orang akan memiliki definisi sendiri.

Semua orang dengan sendirinya akan mengungkapkan kata layaknya pujangga. Semua itu terjadi saat cinta telah melandanya. Kata-kata itu muncul dengan tiba-tiba. Kata itu datang tanpa ada tanda-tanda.

Tak heran jika cinta itu seperti api, cinta terkadang membara dan menggelora. Cinta itu seperti embun pagi, cinta itu sejuk dan meneduhkan. Cinta itu seperti air, tanpa cinta takkan ada kehidupan. Cinta itu seperti arah mata angin, cinta mampu memberi jalan. Ya, cinta bisa seperti apa saja. Karena cinta bisa bahagia, karena cinta bisa tersiksa, karena cinta bisa menderita, karena cinta bisa gila, karena cinta bisa buta, karena cinta mendapatkan semuanya, karena cinta kehilangan semuanya. Semuanya bisa karena ada cinta.

Cinta butuh pengorbanan, meskipun tak sedikit orang yang sakit karena menjadi korban cinta. Cinta butuh kesetiaan, meskipun tak sedikit orang yang kesetiaannya dikhianati. Cinta butuh kepercayaan, meskipun tak sedikit orang yang kepercayaannya ditelanjangi. Cinta adalah segalanya, meskipun tak sedikit karena cinta orang kehilangan segalanya. Memang sulit mendefinisikan cinta. Definisi itu akan lahir sesuai kisah yang dialami. Cinta adalah hak, karenanya semua orang berhak mencintai dan dicintai. Semua orang berhak memaknai cintanya sendiri. Pencinta punya hakikatnya sendiri.

Begitupun diriku, saat kautanyakan tentang cinta yang kupersembahkan untukmu. Aku kaku, bagaimana aku menjawab pertanyaanmu. Aku masih belum mampu membahasakan cintaku padamu. Cintaku tidak seperti cinta yang sudah menjadi kisah abadi romantisme.  Karena cinta itu masih terbahasakan, sedangkan cintaku tidak. Cintaku adalah cintaku. Aku tak pernah mencantumkan syarat dalam mencintaimu. Untuk itu, tak ada alasan aku berhenti mencintaimu. Meski kau sudah tiada atau kau bersama cinta yang lain. Cintaku tetap seperti sediakala. Tidak ada yang bisa menghalangiku untuk selalu mencintaimu.

Cinta adalah kehidupan, tak semuanya mudah dan berakhir dengan kebahagian. Pun, tak semuanya susah dan berakhir dengan kesengsaraan. Cintaku padamu tidak bisa diartikan, meskipun aku selalu merasakan. Cintaku padamu telah mampu memberi energi kehidupan.

Cintaku memang gila, cintaku memang buta. Tapi cintaku bukan rekayasa. Meskipun aku tak bisa mejelaskan apa itu cinta. Cintaku benar-benar ada untukmu semata, tidak ada yang lainnya. Itu saja.

Senin, 15 Juni 2015
Yang mempertemukan kita: Yogyakarta 
Dariku untukmu.

Sunday, June 14, 2015

Profil Kitab Kuning: Fath al-Jawad

[photo credit: here]
Oleh: Muhammad Adib



(1) 
Nama kitab: 
Fath al-Jawād bi Syarh Manzhūmah Ibn al-‘Imād.

Pengarang: 
Syihāb al-Dīn Ahmad ibn Hamzah al-Ramlī (w. 957 H./1550 M.).

Selesai ditulis: 
3 Shafar 940 H./24 Agustus 1533 M.

Penerbit: 
Al-Haramayn; Singapura, Jeddah, dan Indonesia.

Tahun terbitan: 
Tidak ada keterangan.

Informasi lain: 
Edisi cetakan ini terdiri atas tiga kitab, yaitu: (1) Fath al-Jawād; dicetak pada bagian atas. (2) Bulūgh al-Murād bi Fath al-Jawād bi Syarh Manzhūmah Ibn al-‘Imād karya Husayn ibn Sulaymān al-Rasyīdī (w. 1215 H./ 1801 M.)—selesai ditulis pada tanggal 2 Ramadan 1205 H./6 Mei 1791 M; dicetak pada bagian bawah. (3) Beberapa catatan pendek (taqrīrāt) terhadap kitab Fath al-Jawād oleh Sulaymān al-Jamal (w. 1204 H./1790 M.); dicetak pada bagian pinggir. 

(2) 

Kitab yang kita kaji ini bernama Fath al-Jawād bi Syarh Manzhūmah Ibn al-‘Imād yang dikarang oleh Abū al-‘Abbās Syihāb al-Dīn Ahmad ibn Hamzah al-Ramlī yang populer dengan sebutan “al-Ramlī Senior” (al-Ramlī al-Kabīr). Dia adalah ayah dari Syams al-Dīn Muhammad ibn Ahmad al-Ramlī (w. 1004 H./1596 M.), atau “al-Ramlī Yunior” (al-Ramlī al-Shaghīr), salah satu tokoh populer mazhab Syāfi‘ī yang menulis kitab Nihāyah al-Muhtāj ilā Syarh al-Minhāj. Tidak ada data yang jelas kapan al-Ramlī Senior dilahirkan. Hanya saja, jika dilihat dari tahun lahir al-Ramlī Yunior, yakni tahun 919 H./1513 M., maka al-Ramlī Senior diperkirakan lahir pada akhir abad ke-9 H./15 M. Sementara terkait dengan wafatnya, tokoh ini diberitakan wafat pada tahun 957 H/1550 M. Jenazahnya dishalati di dalam Masjid al-Azhar kemudian dikebumikan di kawasan Kota Kairo, Mesir.[1] 

Nama Fath al-Jawād disebutkan sendiri oleh pengarangnya, yakni al-Ramlī Senior. Hal ini dia tegaskan sendiri pada bagian pendahuluan (muqaddimah) dari kitabnya tersebut.[2]


فهذا تعليق على منظومة الشيخ ... وسميته فتح الجواد بشرح منظومة ابن العماد ...


Dalam khazanah bibliografis mazhab Syāfi‘ī, kitab yang kita kaji ini bukan satu-satunya pemilik nama Fath al-Jawād. Ada kitab lain bernama serupa yang ditulis oleh Ibn Hajar al-Haytamī (w. 973 H./1566 M.), seorang ulama terkemuka dalam mazhab Syāfi‘ī yang menulis kitab Tuhfah al-Muhtāj ilā Syarh al-Minhāj. Nama kitabnya adalah Fath al-Jawād bi Syarh al-Irsyād ‘alā Matn al-Irsyād yang merupakan komentar (syarh) atas kitab Irsyād al-Ghāwī fī Masālik al-Hāwī karya Ibn al-Muqrī (w. 837 H./1433 M.). Kitab Irsyād al-Ghāwī sendiri merupakan rangkuman (ikhtishār) dari sejumlah kitab, terutama al-Hāwī al-Shaghīr karya Najm al-Dīn ‘Abd al-Ghaffār al-Qazwīnī (w. 665 H./1266 M.).[3] Kedua tokoh pengarang kitab yang sama-sama bernama Fath al-Jawād tersebut hidup pada abad yang sama, yakni abad ke-10 H./16 M. Keduanya juga memiliki hubungan yang erat, yakni sebagai sebagai teman sejawat ketika sama-sama belajar kepada Abū Zakariyyā al-Anshārī (w. 926 H./1520 M.), pengarang kitab Fath al-Wahhāb ‘alā Manhaj al-Thullāb. Selain sebagai teman sejawat, al-Ramlī Senior juga adalah guru pembimbing Ibn Hajar al-Haytamī, selayaknya santri senior yang membimbing adik kelasnya.[4] 

(3) 

Kitab Fath al-Jawād yang kita kaji ini merupakan komentar (syarh) atas bait-bait syair gubahan Syihāb al-Dīn Ahmad ibn ‘Imād al-Dīn ‘Imād al-Aqfahsī (w. 808 H./1405 M.)—populer dengan nama “Ibn al-‘Imād”—yang hidup satu abad sebelum al-Ramlī Senior. Tidak ada keterangan yang pasti apa nama dari bait-bait syair gubahan Ibn al-‘Imād ini. Al-Ramlī Senior sendiri, dalam kitab Fath al-Jawād­-nya, hanya menyebut nama Manzhūmah Ibn al-‘Imād, sebagaimana telah disinggung di atas. Al-Rasyīdī dan al-Jamal pun, penulis komentar (syarh) dan catatan pendek (taqrīrāt) terhadap kitab Fath al-Jawād, juga tidak menyabut informasi apapun terkait nama yang dimaksud.[5] Hanya saja, Hājī Khalīfah (w. 1068 H./1657 M.), dalam kitab ensiklopedi bibliografisnya yang bernama Kasyf al-Zhunūn fī Asāmā al-Kutub wa al-Funūn, menyebutnya dengan nama Urjūzah fī al-Najāsāt al-Ma‘fuw ‘anhā yang bermakna “bait-bait syair tentang benda-benda najis yang ditoleransi”.[6] 

Bait-bait syair gubahan Ibn al-‘Imād ini terdiri atas 190 bait. Irama syair (‘arūdh)-nya memakai bahr al-basīth, yakni pengulangan ketukan ( مستفعلن فاعلن مستفعلن فاعلن ) sebanyak dua kali per bait.[7] Irama syair bahr al-basīth ini sama persis dengan syair al-Burdah gubahan al-Būshīrī (w. 688 H./1292 M.). Nada bunyi huruf (harakah) terakhir tiap baitnya pun sama, yakni sama-sama ber-harakah kasrah. Namun, bedanya adalah bahwa jika tiap bait syair gubahan al-Būshīrī diakhiri dengan huruf mīm ( م ) sehingga disebut dengan qashīdah mīmiyyah, maka tiap bait syair gubahan Ibn ‘Imād ini diakhiri dengan huruf hā’ ( ) sehingga bisa disebut dengan qashīdah hā’iyyah.

Bait-bait syair ini bukanlah karya satu-satunya dari Ibn al-‘Imād. Sekalipun namanya tidak sepopuler al-Rāfi‘ī (w. 623 H./1226 M.), al-Nawawī (w. 676 H./1277 M.), Ibn Hajar al-Haytamī, ataupun al-Ramlī Yunior, dia sebetulnya termasuk ulama mazhab Syāfi‘ī yang cukup produktif pada masanya. Dia telah menghasilkan sejumlah karya yang sebagian besar berukuran kecil serta mengambil tema-tema spesifik yang barangkali jarang dibayangkan oleh kebanyakan penulis kitab-kitab fikih pada masanya. Sebut saja, misalnya, Raf‘ al-Junāh ‘ammā Huw min al-Mar’ah Mubāh tentang hal-hal yang diperbolehkan bagi perempuan, Tashīl al-Maqāshid li Zuwwār al-Masājid tentang etika pengunjung masjid, al-Qawl al-Tāmm fī Ahkām al-Imām wa al-Ma’mūm tentang aturan teknis imam dan makmum dalam salat berjama‘ah, al-Qawl al-Tāmm fī Dukhūl al-Hammām tentang etiket masuk WC,[8] Ādāb al-Tha‘ām tentang etiket kuliner, dan al-Bayān fī Mā Yahill wa Yahrum min al-Hayawān tentang hewan.[9] Selain itu, dia juga menghasilkan sejumlah karya bidang fikih yang bertema umum. Sebuat saja, misalnya, al-Ta‘līq ‘alā al-Muhimmāt yang merupakan komentar sekaligus kritik korektifnya terhadap kitab al-Muhimmāt ‘alā al-Rawdhah karya Jamāl al-Dīn al-Isnawi (w. 772 H./1370 M.), guru terdekat Ibn al-‘Imād sendiri. Contoh lainnya adalah dua kitab komentar (syarh)-nya atas kitab Minhāj al-Thālibīn karya al-Nawawī, yaitu al-Tawdhīh yang berukuran dua jilid serta al-Bahr al-‘Ajjāj yang berukuran tiga jilid. Kitab syarh yang disebut terakhir sebetulnya hanya sampai pada bab salat berjama‘ah, namun bisa berukuran tiga jilid karena uraiannya dia tambahkan dengan banyak kutipan dari karya al-Nawawi lainnya, semisal al-Majmū‘ Syarh al-Muhadzdzab.[10] 

(4) 

Tema besar dari bait-bait syair gubahan Ibn al-‘Imād yang dikomentari oleh al-Ramlī Senior ini adalah benda-benda najis yang ditoleransi (najāsāt ma‘fuw ‘anhā). Ibn al-‘Imād dalam hal ini menguraikan sebanyak 66 benda atau kasus. Pada bait ke-10 dari syairnya, dia menegaskan seperti ini:[11]

ستٌ و ستونَ يُعفى عنْ نجاسَتِها ۝ حالَ الصَّلاةِ بلا غسلٍ لطُهرتهِ


Dalam wacana fikih, benda-benda najis yang ditoleransi merupakan kategori eksepsional (istitsnā’iyyah) dari kategori benda-benda najis yang fisibel (najāsāt wāqi‘iyyah atau ‘ayniyyah)[12] selain kategori benda-benda najis berat (mughallazhah). Sebut saja, misalnya, air kencing, darah, nanah, dan sebagainya. Benda-benda yang fisibel selain kategori najis-najis berat ini pada dasarnya berstatus najis, namun kemudian dianggap suci secara formal (thāhir hukman) berdasarkan pertimbangan tertentu, semisal ukuran, kadar, atau kesulitan untuk menghindarinya (masyaqqah al-ihtirāz). Konsekuensinya, benda-benda ini tidak perlu dibersihkan sekalipun untuk keperluan ibadah-ibadah ritual (mahdhah) yang mempersyaratkan kesucian fisik dari benda najis, seperti salat, tawaf, dan khutbah.[13] 

Prinsip yang diacu oleh Ibn al-‘Imād terkait dengan perlakukan terhadap benda-benda najis yang ditoleransi adalah kemudahan ajaran Islam. Menurutnya, Islam adalah agama yang serbatoleran, dalam arti mempermudah para pemeluknya dalam melaksanakan ajaran yang dimuatnya. Tidak ada unsur yang memberatkan dalam ajaran Islam, terutama pada kasus tertentu yang sulit dihindari oleh para pemeluknya seperti dalam konteks benda-benda najis yang ditoleransi ini. Dalam konteks ini, Ibn al-‘Imād mengambil posisi moderat (tawassuth) di antara dua sikap ekstrim, yakni (1) terlalu memaksakan diri untuk tetap bersuci dari benda-benda najis yang ditoleransi (tanaththu‘),[14] di mana hal ini, menutur Ibn al-‘Imād, justru merupakan salah satu bentuk kerusakan (nuzghah) yang muncul dari tipu daya setan (makr iblīs); dan (2) ceroboh, dalam arti tidak memperhatikan batasan maksimal dan aturan teknis yang berlaku terkait dengan benda-benda najis yang ditoleransi. Keseluruhan prinsip dan sikap Ibn al-‘Imād tersebut tercermin dari bait ke-4 hingga 8 dari syairnya:[15]
وللمسيءِ فبشرْ كلَّ أمتهِ
۝
محمد رحـمة صبت لمحسـننا
لطفاً وجوداً على أحيا خليقتهِ
۝
لم يجعل اللهُ في ذا الدين من حرجٍ
مِنْ مَكْرِ إبليس فاحذر سوء فتنتهِ
۝
وما التنطـعُ إلا نـزعةٌ وردتْ
أو نصحَ رأيٍ له ترجعْ بخَيْبَتِهِ
۝
إن تسـتمعْ قولَه فِيمَا يوسوسهُ
دَعِ التَّعمقَ واْحْذَرْ داءَ نكبتهِ
۝
والقَصْدُ خيرٌ وخيرُ الأمرِ أوسطهُ

Selain prinsip kemudahan ajaran Islam dan sikap moderat tadi, Ibn al-‘Ìmād juga berpegang teguh kepada asas “praduga tidak terkena najis”—semakna dengan asas “praduga tidak bersalah”—terkait dengan status terkena najis suatu benda tertentu. Artinya, suatu benda baru bisa diputuskan berstatus terkena najis (mutanajjis), jika didasarkan kepada bukti yang benar-benar otentik dan meyakinkan. Keputusan itu sama sekali tidak bisa didasarkan kepada dugaan tanpa bukti ataupun keraguan. Selama masih ada alibi ataupun kemungkinan lain, maka suatu benda tersebut belum bisa diputuskan terkena najis. Prinsip itu dia ungkapkan dengan kalimat “kita tidak menghukumi najis atas dasar keraguan” (lā nunajjis bi al-syakk).[16] Dalam perspektif ushūl al-fiqh, prinsip ini dikenal dengan nalar istishhāb yang menekankan adanya praduga keberlanjutan kondisi semula (istishhāb al-hāl fī al-mādhī atau presumption of continuity) sebelum ada bukti meyakinkan yang membantahnya.[17] Salah satu contoh yang dikemukakan oleh Ibn al-‘Imād adalah kasus ketika ada seekor kucing yang menjilat sebuah benda, padahal sebelum itu ia makan bangkai serta menghilang beberapa waktu. Dalam konteks ini, benda yang dijilat kucing tadi belum bisa dihukumi terkena najis hanya karena dijilat kucing yang terlihat makan bangkai sebelumnya. Mengapa, sebab setelah makan bangkai, kucing tadi sempat menghilang beberapa saat. Dalam konteks ini, peristiwa “kucing menghilang beberapa saat” menciptakan sebuah alibi atau kemungkinan lain. Selama masa menghilang itu, ada kemungkinan kucing tadi masih sempat minum dari air yang mengalir atau air yang banyak sekalipun menggenang, sehingga mulut dan lidahnya sudah tidak berstatus najis lagi ketika menjilat wadah. Dengan adanya kemungkinan ini, maka peristiwa “baru saja makan bangkai” belum bisa menjadi bukti yang meyakinkan untuk memutuskan status najis jilatan kucing tadi.[18] 

(5) 

Apabila dicermati, bait-bait syair karya Ibn al-‘Imād beserta kitab-kitab komentar (syarh)-nya membentuk sebuah “grup kajian” kitab tertentu. Grup tersebut terdiri atas sejumlah ulama yang memiliki minat yang sama untuk menulis ringkasan, komentar, ataupun catatan pendek terhadap kitab tertentu, sekalipun mereka tidak hidup pada era yang sama serta tidak selalu terjalin dalam hubungan guru-murid ataupun teman sejawat. Sebagai ilustrasi, Ibn al-‘Imād (w. 808 H./1405 M.) selaku tokoh utama grup ini, seperti dicatat oleh Hājī Khalīfah (w. 1068 H./1657 M.), diberitakan menulis sebuah kitab komentar (syarh) atas bait-bait syair gubahannya sendiri.[19] Hanya saja, kitab syarh ini barangkali tidak sampai ke tangan kita atau masih tersimpan dalam bentuk manuskrip di perpustakaan Istanbul, Turki, pada saat Hājī Khalīfah mencatatnya dalam kitab Kasyf al-Zhunūn. Satu abad beriikutnya, bait-bait syair gubahan Ibn al-‘Imād di-syarh oleh al-Ramlī Senior (w. 957 H./1550 M.) melalui karyanya yang bernama Fath al-Jawād yang selesai dia tulis pada tahun 940 H./1533. Dengan begitu, bait-bait syair gubahan Ibn al-‘Imād sekurang-kurangnya telah di-syarh oleh dua orang.

Beberapa abad setelahnya, tampil tiga orang ulama yang menulis komentar ataupun memberi ragam catatan pendek terhadap kitab Fath al-Jawād karya al-Ramli Senior. Muhammad ibn Sa‘īd ibn ‘Abd al-Qādir al-Dīrī (w. 1194 H./1780 M.) menulis kitab syarh yang dia beri nama Kasyf al-Murād—masih berupa manuskrip yang disimpan oleh Perpustakaan King Saud University, Riyadh, Arab Saudi sejak tahun 1957 (katalog no. 2/1628.G.5527). Sulaymān al-Jamal (w. 1204 H./1790 M.) juga menulis beberapa catatan pendek (taqrīrāt), disusul kemudian oleh Husayn ibn Sulaymān al-Rasyīdī (w. 1215 H./1801 M.) yang menulis kitab hāsyiah yang dia beri nama Bulūgh al-Murād—selesai dia tulis pada tahun 1205 H./1791 M. Pada tahun 2007 yang lalu, Ahmad ‘Alī Muhammad Bāhansya dari Jordan University of Science and Technology berhasil mempertahankan tesis magisternya yang berjudul Fath al-Jawād bi Syarh Manzhūmah Ibn al-‘Imād: Dirāsah wa Tahqīq.






Dalam khazanah mazhab Syāfi‘ī, grup-grup kajian kitab seperti tergambar di atas menjadi trend keilmuan yang sangat penting. Trend ini, yang ditandai dengan tradisi menulis ringkasan (ikhtishār), komentar (syarh), komentar atas komentar (hāsyiah), ataupun catatan pendek (taqrīrāt), bisa dikatakan menjadi salah satu penyangga yang penting bagi konservasi dan pengembangan mazhab itu sendiri. Trend tersebut merepresentasikan adanya kontinuitas transmisi keilmuan dalam mazhab Syāfi‘ī dari satu generasi ke gerenasi berikutnya. Aaron Spevack (2014) mencatat lima grup kajian kitab yang menjadi pilar transmisi dan pengembangan keilmuan di lingkungan mazhab Syāfi‘ī. Lima grup tersebut adalah: (1) grup kitab al-Tahrīr atau al-Lubāb fī Fiqh al-Syāfi‘ī karya Ahmad al-Mahāmilī (w. 415 H./1034 M.), (2) grup kitab al-Tanbīh karya Abū Ishāq al-Syīrāzī (w. 476 H./1083 M.), (3) grup kitab al-Taqrīb atau Ghāyah al-Ikhtishār karya Abū Syujā‘ al-Ishfahānī (w. 593 H./1196 M.), (4) grup kitab Minhāj al-Thālibīn karya Muhy al-Dīn al-Nawawī (w. 676 H./1277 M.)—sebagai grup paling besar dibandingkan dengan grup-grup lainnya, dan (5) grup kitab Qurrah al-‘Ayn karya Zayn al-Dīn al-Malībārī (w. 928 H./1522 M.).[20] Di luar lima grup tersebut, sebetulnya masih sangat banyak grup-grup lain yang tidak disebutkan oleh Spevack. Sebut saja, misalnya, grup kitab al-Wajīz karya Abū Hāmid al-Ghazālī (w. 505 H./1111 M.), grup kitab al-Muharrar karya Abū al-Qāsim al-Rāfi‘ī (w. 623 H./1226 M.), grup kitab Irsyād al-Ghāwī karya Ibn al-Muqrī (w. 837 H./1433 M.), dan grup kitab Manzhūmah Ibn al-‘Imād sebagaimana yang telah diuraikan di atas.

Hal terpenting yang perlu dipahami dari grup-grup kitab dalam tradisi mazhab Syāfi‘ī di atas adalah adanya kesinambungan (continuity) bibliografis dari generasi paling awal hingga generasi-generasi sesudahnya. Hal ini terlihat dari isi kitab-kitab induk mazhab Syāfi‘ī yang sebetulnya membentuk sebuah mata rantai (silsilah) bibliografis yang berkesinambungan. Mata rantai bibliografis tersebut dimulai dari kitab Nihāyah al-Mathlab fī Dirāyah al-Madzhab karya Imām al-Haramayn al-Juwaynī (w. 478 H./1085 M.). Kitab berukuran besar sebanyak 40 jilid ini[21] merupakan syarh atas kitab al-Mukhtashar karya Ibrāhīm al-Muzanī (w. 264 H./878 M.), salah seorang murid terkemuka Muhammad ibn Idrīs al-Syāfi‘ī (w. 204 H./820 M.). Uraian panjang kitab ini diperkaya dengan banyak kutipan dan ringkasan dari dua kitab karya al-Syāfi‘ī, yakni al-Umm dan al-Imlā’, serta al-Mukhtashar karya al-Buwaythī (w. 231 H./846 M.) yang juga adalah murid al-Syāfi‘ī.[22] Selain itu, kitab ini juga mengakomodir dua model penulisan kitab fikih dalam mazhab Syāfi‘ī pada abad ke-4 H./abad ke-10 M., yakni, (1) model ulama Irak yang diwakili, misalnya, oleh Abū Hāmid al-Isfirāyīnī (w. 406 H./955 M.) dan al-Qādhī Abū al-Thayyib al-Thabarī (w. 450 H./1070 M.); dan (2) model ulama Khurasan yang dimotori, antara lain, oleh al-Qaffāl al-Shaghīr (w. 417 H./1027 M.), Abū Muhammad al-Juwaynī (w. 404 H./1014 M.)—ayah Imām al-Haramayn sendiri, dan al-Qādhī Husayn (w. 462 H./1072 M.). Itulah sebabnya, Imām al-Haramayn bisa disebut sebagai salah satu pelopor gerakan intelektual yang mempertemukan kedua model penulisan kitab dalam khazanah mazhab Syāfi‘ī pada masa berikutnya.[23] 

Kitab Nihāyah al-Mathlab karya Imām al-Haramayn menjadi awal munculnya mata rantai (silsilah) kitab-kitab induk mazhab Syāfi‘ī. Kitab yang berukuran 40 jilid ini diringkas oleh Abū Hāmid al-Ghazālī (w. 505 H./1111 M.)—salah seorang murid terdekat Imām al-Haramayn sendiri—menjadi kitab al-Basīth yang dia ringkas lagi menjadi kitab al-Wasīth. Kitabnya yang disebut terakhir ini kemudian dia ringkas kembali menjadi kitab al-Wajīz yang berikutnya dia ringkas lagi menjadi kitab al-Khulāshah. Dua abad berikutnya, al-Rāfi‘ī (w. 623 H./1226 M.) menulis sejumlah karya; tiga di antaranya berkaitan erat dengan kitab al-Wajīz karya al-Ghazālī, yakni (1) kitab al-Muharrar sebagai ringkasan (ikhtishār), (2) kitab al-‘Azīz syarh al-Wajīz sebagai syarh yang berukuran besar sehingga juga dikenal dengan nama al-Syarh al-Kabīr, dan (3) kitab syarh yang berukuran lebih kecil sehingga dikenal dengan nama al-Syarh al-Shaghīr. Pada abad yang sama, tampil al-Nawawi (w. 676 H./1277 M.) menulis begitu banyak karya; dua di antaranya berkaitan erat dengan karya-karya al-Rāfi‘ī, yaitu (1) kitab Rawdhah al-Thālibīn yang merupakan ringkasan dari kitab al-‘Azīz, dan (2) kitab Minhāj al-Thālibīn yang merupakan ringkasan dari kitab al-Muharrar. Selain dua kitab ini, karya lain dari al-Nawawī yang perlu disebut di sini adalah kitab al-Majmū‘ yang merupakan syarh dari kitab al-Muhadzdzab karya Abū Ishāq al-Syīrāzī (w. 476 H./1083 M.), salah seorang guru al-Ghazālī.[24] 

Kehadiran al-Rāfi‘ī dan al-Nawawī menandai adanya perkembangan baru dalam sejarah pemikiran mazhab Syāfi‘ī. Upaya keras kedua tokoh ini dalam menyitir dan menyeleksi (tanqīh) berbagai literatur serta ragam pemikiran dan hasil ijtihad ulama-ulama sebelumnya telah memberikan kemudahan yang begitu berharga bagi ulama-ulama mazhab Syāfi‘ī generasi sesudahnya. Kedua tokoh ini pada akhirnya menjadi dua figur paling otoritatif, sehingga dijuluki sebagai “dua begawan” (syaykhān) dalam mazhab Syāfi‘ī. Beberapa karya dari kedua tokoh ini menjadi grup-grup besar kajian kitab, seperti grup Minhāj al-Thālibīn, grup Rawdhah al-Thālibīn, dan grup al-‘Azīz. Grup-grup ini sudah tentu terlalu panjang untuk diuraikan di sini. Selain itu, pemikiran kedua tokoh ini juga menjadi rujukan penting bagi kitab-kitab fikih generasi sesudahnya.[25] tidak terkecuali kitab Fath al-Jawād yang sedang kita kaji saat ini. Pada sejumlah bagian dari kitab ini, dijumpai pernyataan-pernyataan yang merujuk kepada pemikiran al-Rāfi‘ī dan al-Nawawī.







Catatan penting lain yang perlu dipahami di sini adalah bahwa seluruh grup kitab dalam mazhab Syāfi‘ī yang telah disinggung di atas pada dasarnya tidak berdiri sendiri-sendiri. Grup-grup tersebut membentuk—meminjam ungkapan Asma Barlas (2002)—sebuah relasi intertekstualitas (intertextuality), yakni relasi saling-berkait dalam diri (relationship within) teks kitab-kitab yang diproduksi dalam satu grup, di satu sisi, serta relasi saling-bertaut antara (relationship between) teks kitab-kitab grup yang satu dengan teks kitab-kitab grup lainnya, di sisi yang lain.[26] Relasi intertekstualitas ini bisa terjadi karena sejumlah kemungkinan, seperti adanya keterkaitan isi (content) kitab antara satu grup dengan grup lainnya, adanya tokoh tertentu yang berperan ganda dalam beberapa grup yang berbeda, atau juga karena adanya hubungan guru-murid ataupun teman sejawat.

Berikut ini adalah salah ilustrasi yang cukup rumit dari relasi intertekstualitas tersebut. Syams al-Dīn Muhammad al-Ghazzī (w. 808 H./1405 M.) adalah salah satu tokoh grup al-Taqrīb karena menulis kitab Fath al-Qarīb al-Mujīb fī Syarh al-Taqrīb. Tapi dia juga termasuk bagian grup Minhāj al-Thālibīn karena menulis kitab Silāh al-Ihtiyāj fī al-Dzabb ‘an al-Minhāj yang merupakan ringkasan kitab Minhāj al-Thālibīn.[27] Ibn Hajar al-Haytamī (w. 973 H./1566 M.) adalah salah satu tokoh utama grup Minhāj al-Thālibīn karena menulis kitab Tuhfah al-Muhtāj ilā Syarh al-Minhāj. Tetapi dia juga termasuk tokoh grup Al-‘Azīz, karena menulis kitab Fath al-Jawād, syarh atas kitab al-Irsyād karya Ibn al-Muqrī (w. 837 H./1433 M.). Kitab al-Irsyād ini memuat rangkuman kitab al-Hāwī al-Shaghīr karya al-Qazwīnī (w. 665 H./1266 M.) yang tidak lain adalah ringkasan dari kitab al-‘Azīz karya al-Rāfi‘ī (w. 623 H./1226 M.).[28] Ibn al-‘Imād (w. 808 H./1405 M.) adalah tokoh utama grup Manzhūmah Ibn al-‘Imād, tetapi juga menjadi bagian dari grup Minhāj al-Thālibīn. Mengapa, karena dia juga menulis kitab al-Tawdhīh dan al-Bahr al-‘Ajjāj.[29] Abū Zakariyyā al-Anshārī (w. 926 H./1520 M.) adalah salah satu tokoh penting dari grup Minhāj al-Thālibīn karena telah meringkas kitab itu menjadi kitab Manhaj al-Thullāb yang kemudian membentuk grup baru. Tetapi dia juga berperan dalam grup Rawdhah al-Thālibīn, karena telah menulis kitab Asnā al-Mathālib, syarh atas kitab Rawdhah al-Thālib karya Ibn al-Muqrī yang merupakan ringkasan dari kitab Rawdhah al-Thālibīn.[30] Selain itu, dia juga adalah guru al-Ramlī Senior (w. 957 H./1550 M.) yang menjadi salah satu tokoh penting grup Manzhūmah Ibn al-‘Imād serta juga guru Ibn Hajar al-Haytamī. Semua itu masih belum ditambah dengan bentuk relasi intertekstualitas lain, di mana al-Ghazzī, Ibn al-‘Imād, Ibn al-Muqrī, Abū Zakariyyā al-Anshārī, Ibn Hajar al-Haytamī, dan al-Ramlī Senior dalam karya-karya mereka banyak mengutip pendapat-pendapat al-Rāfi‘ī dan al-Nawawī. 

(6) 

Apa yang tersaji dalam tulisan ini hanyalah sekedar contoh bagaimana kita sebaiknya membaca kitab kuning. Dari sini kita bisa memahami bahwa membaca kitab kuning tidak cukup hanya dengan membaca teks kata per kata dan menemukan makna (murād)-nya. Untuk orientasi pengamalan secara praktis (al-‘amal), pembacaan seperti itu mungkin telah dirasa cukup. Tetapi orientasi itu tentu saja harus dilengkapi dengan orientasi pengembangan keilmuan. Kitab kuning adalah bagian dari khazanah keislaman yang tidak hanya harus dilestarikan semata, tetapi juga harus dikembangkan secara terus-menerus. Orientasi ini baru bisa berjalan dengan semestinya jika dilakukan dengan model pembacaan yang tepat. Salah satunya adalah pembacaan terhadap tema penting yang dikandung dalam kitab kuning berikut relasi intertekstualitasnya dengan teks-teks kitab kuning lainnya. Pembacaan seperti ini tentu akan semakin bermakna, jika ditambah dengan kajian terhadap ekstratekstualitas (latar sosiohistoris) di balik penulisan kitab kuning itu sendiri. Aspek ini barangkali yang belum dilakukan secara serius oleh tulisan ini, mengingat keterbatasan dan kesempitan waktu.

Uraian dalam tulisan ini tentu masih jauh dari memuaskan. Kekurangan dan kesalahan juga sangat mungkin bisa dijumpai dalam tulisan ini. Adalah hak dan kewajiban para pembaca dan penulis sendiri di waktu mendatang untuk menyempurnakannya. Tetapi segala kekurangan ini tentu sama sekali tidak mengurangi harapan akan manfaat tulisan ini bagi siapa saja yang membacanya, betapapun kecil adanya. Manfaat yang dimaksud bukan hanya berupa pemahaman para pembaca terhadap substansi pemikiran dalam kitab Fath al-Jawād berikut aspek relasi intertekstualitasnya semata. Manfaat lebih besar yang menjadi harapan penulis adalah munculnya motivasi dari para pembaca untuk melakukan kajian serupa atau bahkan lebih baik lagi. Bagaimanapun juga, khazanah keilmuan pesantren bisa diibaratkan seperti bumi Nusantara yang kekayaannya nyaris tidak berbatas. Jika kita kelola dengan cara yang tepat dan berkesinambungan, maka ia akan memberi kita sumber penghidupan dan kesejahteraan yang tidak ada habisnya. Tetapi jika kelola dengan cara yang salah atau bahkan kita abaikan, maka ia tidak akan memberi apa-apa kepada kita atau bahkan mungkin akan dicuri oleh orang lain.

Semoga bermanfaat. Amin. 

Wallāhu a‘lam bis-shawāb.
Yogyakarta, 13 Juni 2015.





REFERENSI

Al-Ahdal, Sayyid Ahmad. Sullam al-Muta‘allim al-Muhāj ilā Ma‘rifah Rumūz al-Minhāj. Naskah tidak diterbitkan.

Astītī, Mihnad Fu’ād. “Kutub Fiqh al-Syāfi‘iyyah”. Majallah al-Jāmi‘ah al-Islāmiyyah li al-Dirāsāt al-Islāmiyyah. Vol. 10, no. 1, Januari 2012. Hlm. 111-145.

Barlas, Asma. Believing Women in Islam: Unreading Patriarchal Interpretations of the Qur’an. Ctk. I. Texas: The University of Texas Press, 2002.

Hallaq, Wael B. A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunnī Uṣūl al-Fiqh. Ctk. II. Cambridge: Cambridge University Press, 1999.

Http://www.ar.wikipedia.com. Artikel “Syihāb al-Dīn Ahmad ibn ‘Imād al-Aqfahsī”. Akses tanggal 11 Juni 2015.

Al-Husaynī, Taqy al-Dīn ibn Muhammad. Kifāyah al-Akhyār fī Hall Ghāyah al-Ikhtishār. Eisi digital. Beirut: Dār al-Kotob al-Ilmiyah, 2001.

Ibn Hajar al-Haytamī. Hāsyiah Fath al-Jawād. Dicetak bersama: idem, Fath al-Jawād bi Syarh al-Irsyād ‘alā Matn al-Irsyād. Juz I. Ctk. I. Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005. 

Ibn al-‘Imād al-Hanbalī, Abū al-Falāh ‘Abd al-Hayy. Syadzrāt al-Dzahab fī Akhbār Man Dhahab. jilid VIII. Beirut: Dār al-Fikr, t.t.

Al-Jamal, Sulaymān. Taqrīrāt. Dicetak bersama: Al-Ramlī, Syihāb al-Dīn Ahmad ibn Hamzah. Fath al-Jawād bi Syarh Manzhūmah Ibn al-‘Imād. Singapura, Jeddah, dan Indonesia: al-Haramayn, t.t.

Khalīfah, Hājī. Kasyf al-Zhunūn fī Asāmā al-Kutub wa al-Funūn. Jilid I dan II. Beirut: Dār Ihyā’ al-Turāts al-‘Arabī, 1941.

Al-Kurānī, ‘Abd al-Hāmīd ibn Shālih. “Minhāj al-Thālibīn li al-Imām al-Nawawī: Ahammiyyatuh wa Manzilatuh wa Manhajuh wa Syurūhuh”. Multaqā al-Madzāhib al-Fiqhiyyah wa al-Dirāsāt al-‘Ilmiyyah.

Muhammad, ‘Alī Jumu‘ah. Al-Madkhal ilā Dirāsah al-Madzāhib al-Fiqhiyyah. Ctk. IV. Kairo: Dār al-Salām, 2012.

Al-Qawāsimī, Akram Yūsuf ‘Umar. Al-Madkhal ilā Madzhab al-Imām al-Syāfi‘ī. Ctk. I. Oman: Dār al-Nafā’is, 2003.

Al-Ramlī, Syihāb al-Dīn Ahmad ibn Hamzah. Fath al-Jawād bi Syarh Manzhūmah Ibn al-‘Imād. Singapura, Jeddah, dan Indonesia: al-Haramayn, t.t.

Al-Rasyīdī, Husayn ibn Sulaymān. Bulūgh al-Murād bi Fath al-Jawād bi Syarh Manzhūmah Ibn al-‘Imād. Dicetak bersama: Al-Ramlī, Syihāb al-Dīn Ahmad ibn Hamzah. Fath al-Jawād bi Syarh Manzhūmah Ibn al-‘Imād. Singapura, Jeddah, dan Indonesia: al-Haramayn, t.t.

Spevack, Aaron. The Archetypal Sunnī Scholar: Law, Theology, and Mysticism in the Synthesis of al-Bājūrī. Edisi digital. New York: SUNNY Press, 2014.

Al-Zuhāylī, Wahbah. Ushūl al-Fiqh al-Islāmī. Jilid II. Ctk. I. Damaskus: Dār al-Fikr li al-Thibā‘ah wa al-Tawzī‘ wa al-Nasyr, 1986.




[1] Abū al-Falāh ‘Abd al-Hayy ibn al-‘Imād al-Hanbalī, Syadzrāt al-Dzahab fī Akhbār Man Dhahab, jilid VIII (Beirut: Dār al-Fikr, t.t.), halaman 316.

[2] Syihāb al-Dīn Ahmad ibn Hamzah al-Ramlī,  Fath al-Jawād bi Syarh Manzhūmah Ibn al-‘Imād (Singapura, Jeddah, dan Indonesia: al-Haramayn, t.t.), hlm. 3-4.

[3] Penjelasan sekilas tentang profil bibliografis kitab al-Irsyād karya Ibn al-Muqrī ini disebutkan oleh: Ibn Hajar al-Haytamī, Hāsyiah Fath al-Jawād, dicetak bersama: idem, Fath al-Jawād bi Syarh al-Irsyād ‘alā Matn al-Irsyād, juz I, ctk. I (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), hlm. 16. 

[4] Ibn al-‘Imād al-Hanbalī, Syadzrāt., jilid VIII, hlm. 170.

[5] Al-Rasyīdī, Hāsyiah; al-Jamal, Taqrīrāt; dicetak bersama: al-Ramli, Fath., hlm. 4.

[6] Hājī Khalīfah, Kasyf al-Zhunūn fī Asāmā al-Kutub wa al-Funūn, jilid I (Beirut: Dār Ihyā’ al-Turāts al-‘Arabī, 1941), hlm. 63. Secara garis besar, kata “Urjūzah” yang dicatat oleh Hājī Khalīfah dan kata “Manzhūmah” yang ditulis oleh al-Ramlī Senior memiliki makna yang sama, yakni “bait-bait syair”.

[7] Al-Rasyīdī, Hāsyiah, dicetak bersama: al-Ramli, Fath., hlm. 3.

[8] Khalīfah, Kasyf., jilid I hlm. 408, 910; ibid., jilid II, hlm. 1363.

[9] Http://www.ar.wikipedia.com, artikel “Syihāb al-Dīn Ahmad ibn ‘Imād al-Aqfahsī” (akses tanggal 11 Juni 2015).

[10] Khalīfah, Kasyf., jilid II, hlm. 1874 dan 1915.

[11] Al-Ramli, Fath., hlm. 12.

[12] Tolok ukur dari kategori benda-benda najis yang fisibel biasanya ditentukan oleh bentuk berikut salah satu dari tiga sifat yang melekat padanya, yakni warna (lawn), bau (h), dan rasa (tha‘m).

[13] Al-Rasyīdī, Hāsyiah; al-Jamal, Taqrīrāt; dicetak bersama: al-Ramli, Fath., hlm. 12; Taqy al-Dīn ibn Muhammad al-Husaynī, Kifāyah al-Akhyār fī Hall Ghāyah al-Ikhtishār, edisi digital (Beirut: Dār al-Kotob al-Ilmiyah, 2001),  hlm. 142.

[14] Al-Ramli, Fath., hlm. 10. Al-Jamal menyebutnya dengan istilah “sikap ekstrim dalam bersuci” (al-tasydīd fī al-thahārah). Lihat: al-Jamal, Taqrīrāt; dicetak bersama: ibid., hlm. 10.

[15] Al-Ramli, Fath., hlm. 12.

[16] Ibid., hlm. 38.

[17] Wahbah al-Zuhāylī, Ushūl al-Fiqh al-Islāmī, jilid II, ctk. I (Damaskus: Dār al-Fikr li al-Thibā‘ah wa al-Tawzī‘ wa al-Nasyr, 1986), hlm. 867; Wael B. Hallaq, A History of Islamic Legal Theories: An Introduction to Sunnī Uṣūl al-Fiqh, ctk. II (Cambridge: Cambridge University Press, 1999),  hlm. 113-115.

[18] Al-Ramli, Fath., hlm. 38.

[19] Khalīfah, Kasyf., jilid I hlm. 63.

[20] Aaron Spevack, The Archetypal Sunnī Scholar: Law, Theology, and Mysticism in the Synthesis of al-Bājūrī, edisi digital (New York: SUNNY Press, 2014), hlm. 72-73. Lima grup tersebut diuraikan oleh Spevack dalam rangka menelusuri akar genealogis pemikiran fikih, teologi, dan tasawuf Ibrāhīm al-Bājūrī (w. 1277 H./1861 M.).

[21] Khalīfah, Kasyf., jilid II hlm. 1990;

[22] ‘Alī Jumu‘ah Muhammad, al-Madkhal ilā Dirāsah al-Madzāhib al-Fiqhiyyah, ctk. IV (Kairo: Dār al-Salām, 2012), hlm. 67.

[23] Akram Yūsuf ‘Umar al-Qawāsimī, al-Madkhal ilā Madzhab al-Imām al-Syāfi‘ī, ctk. I (Oman: Dār al-Nafā’is, 2003), hlm. 348. Ulama-ulama lain dari mazhab Syāfi‘ī yang mengikuti jejak Imām al-Haramayn, di antaranya, adalah al-Syīrāzī, al-Ghazālī, al-Rāfi‘ī, dan al-Nawawī.

[24] Ibid., hlm. 378-379; ‘Alī Jumu‘ah, al-Madkhal., hlm. 68. Hanya saja, al-Nawawī hanya sempat menulis syarh ini hingga bab riba, karena keburu wafat. Penulisan kitab ini kemudian diteruskan oleh Taqy al-Dīn al-Subkī (w. 756 H./1355 M.) dan disempurnakan oleh Zayn al-Dīn al-‘Irāqī (w. 806 H./1403 M.). Lihat: Khalīfah, Kasyf., jilid II hlm. 1913.

[25] Al-Qawāsimī, al-Madkhal., hlm. 380. Namun demikian, di antara kedua tokoh ini, al-Nawawī dipandang lebih otoritatif daripada al-Rāfi‘ī. Terkiat dengan hal ini, baca: Mihnad Fu’ād Astītī, “Kutub Fiqh al-Syāfi‘iyyah”, Majallah al-Jāmi‘ah al-Islāmiyyah li al-Dirāsāt al-Islāmiyyah, vol. 10, no. 1, Januari 2012, hlm. 111-145; Sayyid Ahmad al-Ahdal, Sullam al-Muta‘allim al-Muhāj ilā Ma‘rifah Rumūz al-Minhāj, naskah tidak diterbitkan; ‘Abd al-Hāmīd ibn Shālih al-Kurānī, “Minhāj al-Thālibīn li al-Imām al-Nawawī: Ahammiyyatuh wa Manzilatuh wa Manhajuh wa Syurūhuh”, Multaqā al-Madzāhib al-Fiqhiyyah wa al-Dirāsāt al-‘Ilmiyyah.

[26] Asma Barlas, Believing Women in Islam: Unreading Patriarchal Interpretations of the Qur’an, ctk. I (Texas: The University of Texas Press, 2002), hlm. 26.

[27] Khalīfah, Kasyf., jilid II hlm. 1873.

[28] ‘Alī Jumu‘ah, al-Madkhal., hlm. 79-80. 

[29] Khalīfah, Kasyf., jilid II, hlm. 1874 dan 1915.


[30] ‘Alī Jumu‘ah, al-Madkhal., hlm. 68.
Powered by Blogger.

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top