Saturday, August 29, 2015

Manfaat Karya Sastra Dan Sastra Sebagai Pengalaman

[sumber] 

Oleh: Ahmad Darik

Manfaat Karya Sastra
1.    Karya sastra member kesadaran kepada pembacanya tentang kebenaran-kebenaran hidup ini.

2.    Karya sastra memberikan kegembiraan dan kepuasan batin. Hiburan ini adalah jenis hiburan intelektual dan spiritual.

3.    Karya sastra itu abadi. Karya sastra seperti Mahabarata yang ditulis 2500 tahun yang lampau tetap aktual dibaca saat ini. Tapi majalah dan surat kabar hari ini akan terasa basi di minggu berikutnya.

4.    Karya sastra tidak mengenal batas kebangsaan. Meskipun karya sastra ditulis berdasarkan keadaan setempat dan sezaman, namun ia selalu berhasil menunjukkan hakikat kebenaran manusia dan keadaannya.

5.    Karya sastra adalah karya seni; indah dan memenuhi kebutuhan manusia terhadap naluri keindahannhya. Kebutuhan terhadap keindahan adalah kodrat manusia. Seni umumnya dan sastra khususnya merupakan karya kebudayaan yang diciptakan dan diperlukan manusia.

6.    Karya sastra memberikan kita penghayatan yang mendalam terhadap apa yang kita ketahui. Pengetahuan yang kita peroleh bersifat penalaran, tetapi pengetahuan itu dapat menjadi hidup dalam karya sastra.

7.    Membaca karya sastra juga dapat menolong pembacanya menjadi manusia berbudaya. Manusia berbudaya adalah manusia yang responsip terhadap apa-apa yang luhur dalam hidup ini. Manusia demikian itu selalu mencari nilai-nilai kebenaran, keindahan, dan kebaikan.

Sastra Sebagai Pengalaman
Yang dimaksud dengan pengalaman di sini adalah jawaban (response) yang utuh dari jiwa manusia ketika kesadarannya bersentuhan dengan kenyataan. Disebut utuh karena tidak hanya meliputi kegiatan pikiran atau nalar, akan tetapi juga kegiatan perasaan dan khayal (imajinasi). Yang dimaksud dengan kegiatan kenyataan ialah sesuatu yang dapat merangsang atau menyentuh kesadaran manusia, baik itu yang berada di dalam dirinya maupun yang di luar dirinya.

Dalam peristiwa sastra, pengalaman itu diungkapkan dengan bahasa. Yang dimaksud dengan peristiwa sastra adalah peristiwa yang terdiri dari kegiatan membaca atau mendengar karya-karya sastra, mencipta karya-karya sastra, dan memberikan kritik terhadap karya-karya sastra. Tanpa ada bahasa tidaklah ada yang disebut peristiwa sastra.

Karena bahasa adalah alat komunikasi maka pendengar atau pembaca mempunyai peluang untuk mengalami kembali apa yang dialami sastrawan sebelumnya ketika kesadarannya bersentuhan dengan kenyataan (realita). Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan piranti yang dapat menyimpan dan meneruskan pikiran, perasaan, dan penghayalan yang pernah terjadi pada kesadaran seseorang.

Pengalaman yang terjadi di dalam kesadarn pendengar atau pembaca tidaklah sama dengan pengalaman yang terjadi di dalam kesadaran sastrawan. Hal seperti itu tidak dapat dihindarkan karena setiap orang memiliki watak dan latar belakan kehidupan yang berlain-lainan. Karena watak dan latar belakang yang berlainan itu, maka jawaban atas kenyataan dan kehidupan umumnya akan berlainan pula.

Sastra Sebagai Pengalaman Seni
Sebagai makhluk social, manusia butuh berkomunikasi dengan manusia yang lain. Kebutuhan ini tampak dalam kecendrungan orang untuk berkumpul, bercakap-cakap, bersurat-suratan, menulis buku, dan lain sebagainya.

Seperti juga kebutuhan yang lain, kebutuhan akan komunikasi ini menimbulkan kepuasan jika terpenuhi. Pada dasarnya, peristiwa sastra merupakan peristiwa komunikasi juga, walaupun merupakan jenis komunikasi yang khas. Di dalam peristiwa sastra, pembaca atau pendengar menemukan kepuasan jika ia menyadari bahwa ia telah dapat memahami dan merasakan pikiran-pikiran dan perasaan-perasaan sastrawan. Demikian pula sebaliknya, seorang sastrawan akan mendapatkan kepuasan jika ia tahu bahwa pikiran-pikirannya dan perasaan-perasaannya yang disampaikan melalui karyanya telah dapat diterima dengan baik oleh pembaca dan pendengarnya.

Sebagai bentuk komunikasi, sastra tidak hanya memberikan kepuasan melalui nilai-nilai pengalaman biasa (experiental) yaitu dalam bentuk gagasan-gagasan dan perasaan-perasaan, akan tetapi juga nilai-nilai seni, yaitu dalam bentuk kepuasan karena pendengar atau pembaca dapat memahami dan mengagumi penguasaan sastrawan atas berbagai cara hingga ia dapat menyampaikan isi hatinya dengan sempurna.

Sastra Sebagai Karya Seni
Ada tiga hal yang membedakan antara karya sastra dengan karya-karya tulis lain yang bukan sastra, yaitu sifat khayali, adanya nilai-nilai seni, dan adanya cara penggunaan bahasa yang khas.

Sifat khayali karya sastra merupakan akibat dari kenyataan bahwa karya sastra dicipta dengan daya khayal; dan walaupun karya sastra berbicara tentang kenyataan-kenyataan dan masalah-masalah kehidupan nyang nyata, karya sastra itu terlebih dahulu menciptakan dunia khayali sebagai latar belakang tempat kenyataan-kenyataan dan masalah-masalah itu dapat direnungkan dan dihayati oleh pembaca.

Adanya nilai-nilai seni (estetik) bukan saja merupakan persyaratan yang membedakan antara karya sastra dan yang bukan sastra, namun justru dengan bantuan nilai-nilai itulah sastrawan dapat mengungkapkan isi hatinya sejelas-jelasnya, sedalam-dalamnya, dan sekaya-kayanya. Adapun nilai-nilai seni itu meliputi: keutuhan (unity), atau kesatuan dalam keragaman (unity in variety), keseimbangan (balance), keselarasan (harmony), dan tekanan yang tepat (right emphasis).

Yang dimaksud dengan keutuhan ialah suatu karya sastra harus utuh; artinya, setiap bagian atau unsure yang ada padanya harus menunjang kepada usaha pengungkapan isi hati sastrawan. Dengan kata lain, di dalam karya sastra tidak ada unsure yang kebetulan. Semuanya direncanakan dan ada dalam karya sastra itu sebagai hasil pemilihan dan pertimbangan yang seksama.

Yang dimaksud dengan keseimbangan ialah unsur-unsur atau bagian-bagian yang ada dalam karya sastra, baik dalam ukuran atau bobotnya, harus sesuai atau seimbang dengan fungsinya.

Keselarasan berkenaan dengan hubungan satu unsur atau bagian karya sastra dengan unsur atau bagian lain; artinya, unsur atau bagian itu harus menunjang unsur atau bagian yang lain, dan bukan mengganggu atau mengaburkannya.

Tekanan yang tepat artinya unsur atau bagian yang penting harus mendapat penekanan yang lebih daripada unsur atau bagian yang kurang penting. Unsur yang penting itu akan dikerjakan sastrawan dengan lebih seksama, sedang yang kurang penting mungkin hanya berupa garis besar dan bersifat skematik saja.[]

Friday, August 14, 2015

Mendamba Payung Surga

[photo credit: here]

Oleh: Madarik Yahya

Awa tak sanggup menahan perasaan, saat Bang Aji meminangnya. Seluruh keadaan yang dialami kini dirasa membuat perasaan dan pikirannya gundah. Tak disangka, dia mengajukan diri dengan keberanian total menghadap orang tuanya. Tutur kata dan sikap yang santun membuat bapak-emak Awa harus mengangguk mengiyakan permintaan Bang Aji.

Bang Aji memang pandai menata huruf hingga kalimat demi kalimat tersusun begitu rapi membuat hampir semua pendengarnya terhipnotis. Ungkapan Bang Aji benar-benar telah menyihir kedua orang tua Awa, membuat akhir keputusan yang diterima Bang Aji begitu membahagiakan, tetapi menjadi sambaran petir yang mengagetkan bagi pribadi Awa.

Sebetulnya Awa menyadari bahwa laki-laki yang menjatuhkan pilihan kepadanya itu benar-benar pandai bersilat lidah. Hal ini pula yang sangat dimaklumi Awa atas potensi Bang Aji yang selama ini ia kenal. Tetapi soal kedua orangnya yang tidak segan-segan membukakan pintu untuk menerima Bang Aji sungguh di luar dugaan. Bagi Awa yang selama ini dipahami, bapak-emaknya cukup selektif untuk mempersilahkan pinangan seseorang sekalipun disertai orang tua atau dihantar oleh wakil keluarganya. Sudah banyak kaum adam yang mundur teratur karena pinangan ditolak dengan ragam cara. Bahkan kasus yang masih membayang di pikiran Awa saat pria ganteng dari tetangga kampung harus berbalik pulang dengan tangan terkepal dan ucapan kata-kata yang tidak senonoh disampaikan begitu vulgar seakan hendak menantang akibat penolakan ini. Untunglah kondisinya bisa dinetralisir oleh tetangga dan kerabat yang tidak tersulut oleh pertengkaran yang kian memanas. Kemarahan bapaknya Awa yang sempat terpancing emosi menjadi reda setelah orang-orang dekatnya merayu sekuat tenaga agar sosok yang temperamental itu tidak meladeni tamunya. Namun, ketika Bang Aji mengetuk pintu hati kedua orang tua Awa, seakan-akan lubang masuk kalbu keduanya tak lagi berdaun pintu. Tangan terbuka menandai pinangan Bang Aji bak gaung bersambut. Permintaan memadu kasih dengan putrinya tak menemukan halangan sama sekali. Lega rasa Bang Aji melingkupi seluruh relung-relung nurani yang paling dalam. Bahagia kini tengah memeluk pria gagah ini.

Bagi Awa, keadaan ini merupakan kondisi yang sulit untuk digambarkan. Kenapa bapak-emak menerima tanpa prasyarat apapun yang diajukan. Seakan keduanya begitu lugunya mendengarkan penjelasan Bang Aji yang memang terdengar mantap berisi. Awa merasa berada di puncak kebimbangan yang tak berujung. Rasa tidak percaya menyaksikan sikap bapak-emaknya terkadang menghantarkan gadis berkulit langsat ini pada perasaan syakwasangka yang berlebihan kepada keduanya. Mengapa Anda berdua begitu cepat memberi ruang jawaban di mana hanya aku yang harus mengisi jawabannya, pikir Awa seakan-akan mengajukan 'gugatan' keharibaan orang tuanya. Kalaulah bukan karena takut dosa, Awa akan memilih sikap menantang keduanya dengan segala macam argumentasi yang ia kuasai.

Masa penjajakan sebetulnya sudah dijalani oleh Bang Aji dan Awa dengan memulai perkenalan, perbincangan santai sehingga masuk pada topik yang serius persoalan langkah mengarungi bahtera kehidupan bersama. Cafe, alun-alun kota, di bawah pohon rindang atau kadang-kadang pantai telah menjadi saksi atas kebersamaan mereka berdua. Banyak hal yang telah mereka bicarakan dengan segala ragam tema dan judul. Gelak tawa maupun raut serius merupakan bagian dari pernak-pernik yang menghias pertemuan mereka. Awa memandang Bang Aji sebagai lelaki yang penuh tanggungjawab. Apa yang ia ucapkan hampir-hampir dapat dipastikan merupakan gambaran dari kelakuannya setiap hari. Jika saja ada seseorang yang bertanya Bang Aji, maka Awa hanya cukup mengarahkan agar ia meneliti perilaku dan ucapannya. Tingkah laku Bang Aji seakan menjadi makna ungkapan-ungkapannya. Selama ini, Awa memperhatikan bahwa kejujuran di setiap rangkai ujaran Bang Aji bisa ditilik dari potongan-potongan kelakuannya.

Dari sisi ekonomi, Bang Aji termasuk orang biasa yang sudah sukses. Usahanya dia tapaki mulai dari bawah dengan segala perjuangan yang begitu dahsyat dan memerlukan banyak pengorbanan tanpa batas. Kehilangan modal akibat penipuan mitra dan kawan kerja, perpindahan lokasi dan tempat, merupakan lika-liku perjalanan dagangannya yang ia upayakan. Tetapi kesengsaraan mengail harta karun bagai pil pahit yang menyehatkan di kemudian hari. Ulet dan kesabaran yang selama ini dipertahankan dengan tabah membuahkan hasil gemilang. Bang Aji benar-benar menjelma menjadi hartawan yang diperhitungkan bagi pelaku bisnis asal kotanya. Pada segi ini sebetulnya Awa tidak merasa was-was menjalani hidup bersamanya. Ia akan mencicipi gaya hidup layak dengan hanya memainkan telunjuk untuk mendapatkan yang dikehendaki bakal nyata. Hidup glamor tentu akan berada dalam genggaman andai saja Awa mau memutuskan untuk memilih.

"Aaah…" serunya pelan.

Tetapi kadang perasaan yang selama ini selalu ia jaga agar tidak menuduh bapak-emaknya, kini tercampuri oleh praduga yang menempatkan kedua orang tuanya pada posisi "mengincar" rupiah. Awa menganggap bahwa prinsip yang selama ini diyakini oleh anggota keluarganya sangat teguh. Prinsip itu bahwa dunia fana hanyalah merupakan perantara untuk menggapai alam baka. Akankah gemilau duniawi sanggup melunturkan prinsip yang begitu kuat dipedomani?

"Tentu bapak-emak takkan sedangkal ini. Uuh…" pikir Awa.

Wanita lembut ini memang berada dalam puncak keraguan. Meronta di tengah tembok tradisi penghormatan yang sangat kental jelas tidak mungkin. Lebih-lebih bapak-emaknya, selaku sosok yang wajib diagungkan, sudah mengetok palu bagi nasib anaknya. 

Kini, Awa pasrah sepenuh hati untuk meletakkan masa depan hidupnya di atas pundak bapak-emaknya. Ia meyakini di dalam cengkeraman tangan mereka berdua, kunci sorga berada. Ia juga menerima dirinya sebagai separo cinta Bang Aji, meskipun kenyataan ini cukup perih untuk dijalani. Harapan bahwa kelak di alam makhsyar akan dianugerahi payung emas merupakan embun yang menyejukkan kalbu Awa.[]

Wednesday, August 12, 2015

Tugas Bersama Memperjuangkan NU


[photo credit: here]
Oleh: Muhammad Ilyas

NU (Nahdlatul Ulama) adalah organisasi terbesar di Indonesia, yang terdiri dari berbagai golongan yang tersebar di Nusantara bahkan sampai ke Luar Negeri, seperti di Australia, Amerika Serikat, Jerman, Inggris dan negara lainya. Anggota NU (Nahdliyin) beraneka ragam mulai dari kelas bawah sampai elit politik. Mulai yang berpendidikan rendah sampai mereka yang mempunyai titel profesor. Mulai dari pedagang biasa sampai konglomerat. Dari mereka yang hanya menjadi guru ngaji kampung sampai kiai besar di Pondok pesantren. Warna-warni kaum Nahdliyin inilah yang membuat organisasi NU terlihat hidup dan bergairah, serta dengan berbagai dinamika yang terdapat di organisasi ini. jadi tidak heran jika beberapa pihak ingin menganulir sendiri organisasi terbesar ini.

Pada tanggal 1 sampai 5 Agustus 2015 diadakan muktamar NU yang ke 33 di Jombang Jawa Timur. Ribuan Nahdliyin dari berbagai penjuru membanjiri kota ini. Kota Jombang berubah menjadi lautan manusia, para Nahdliyin yang ingin menyaksikan langsung pembukaan muktamar saling dorong hanya untuk melihat kemeriahan organisasi terbesar ini. Mereka berharap agar mendapatkan barokah dan doa dari para ulama senusantara ini.  Jalan-jalan ditutup kendaraan umum. 

Tapi sayang kemeriahan itu masih saja dibumbui dengan sesuatu yang tidak sedap. Masih ada saja segelintir orang yang hendak memanfaatkan NU untuk dirinya sendiri. Mereka tidak malu-malu untuk menunjukan ini A dan ini B, yang mereka pentingkan adalah bagaimana kepentingan itu bisa mereka realisasikan. Bagaimana tim sukes (timses) masing masing calon saling memfitnah satu sama lain. Bagaimana masing-masing timses berdiaspora secara berlebih untuk kepentingan mereka. Sungguh memilukan organisasi ini, tapi apakah ini yang memang diharapkan oleh para pendiri NU?

Hal yang paling memilukan adalah bagaimana KH. Mustofa Bisri atau Gus Mus menitikkan air mata, bahkan bersedia untuk mencium kaki para muktamirin agar tidak bertindak seperti itu. Gus Mus juga meminta agar para muktamirin tidak membawa kepentingan-kepentingan pribadi. Beliau menghimbau agar para muktamirin membawa ahklakul karimah yang sudah dipraktikan oleh para pendiri NU. Kita bisa membayangkan bagaimana ruwetnya kondisi yang ada di ruang muktamar itu sehingga ulama besar seperti Gus Mus mengambil alih forum

Permasalahan yang pertama dalam tubuh NU menurut analisis penulis adalah menggunakan NU untuk kepentingan pribadi. Permasalahan kedua adalah menggunakan NU untuk kepentingan kelompok mereka. Mereka tidak berpikir bagaimana untuk mengabdikan pribadinya terhadap NU dan mengunggulkan kelompok mereka di atas kepentigan NU.

Kepentingan pribadi yang mereka bawa ke tubuh NU akan membuat organisasi yang didirikan oleh para ulama besar ini akan kalang kabut, organisasi ini akan goyah dan akan hilang keseimbangannya. Kepentingan pribadi ini harus dibuang dari benak kaum nahdliyin, apa lagi hanya sekadar kepentingan perut dan kekuasaan. Kepentingan pribadi harus dijauhkan untuk membawa NU ke arah yang lebih baik, ke arah yang memang benar-benar sesuai dengan apa yang sudah diperjuangkan oleh para pendiri organisasi ini.

Selain kepentingan pribadi yang dibawa ke tubuh NU, beberapa kaum nahdliyin juga membawa kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Egosentrisme kelompok yang mereka bawa juga akan membuat organisasi ini kalang kabut, tidak stabil dan akan bercerai-berai. Apalagi kepentingan ini atas nama partai politik. Hal ini sangat memilukan sekali. Jika dulu menggunakan partai politik untuk memperjuangkan NU dan umat tetapi sekarang menggunakan NU dan umat untuk kepentingan partai politik.

Kepentingan perut dan kepentingan kekuasaan hanya akan membawa organisasi ini ke dalam kekacauan. Jika kita merefleksikan bagaimana para kiai-kiai pada masa lalu mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama ini. Bagaimana mereka menyisakan waktu untuk kepentingan umat, dan bagaimana beliau menyisihkan harta benda mereka untuk umat. Tetapi apa balasan yang diberikan oleh generasi sekarang? Apakah hanya membuat malu di berbagai media yang beredar, apakah hanya menjadi bahan pergunjingan organisasi lain. Dan bagaimana para pendiri NU ini melihat kekarut-marutan organisasi yang beliau perjuangkan. Naudzubillah semoga kita masih dibarokahi oleh beliau, semoga masih diberikan petunjuk. Sangat berdosalah kita. Ya Allah selamatkan kami. 

Strategi penyelamatan NU adalah benar-benar meng-Khittah-kannya. Mengembalikan tujuan yang sudah dicita-citakan oleh para pendiri NU. Kita jangan lagi memanfaatkan NU hanya untuk kepentingan pribadi atau kelompok, tetapi bagaimana caranya agar bisa menghidupkan NU ini agar bisa berjaya sampai akhir zaman, seperti yang telah dicita-citakan oleh para pendirinya.  

Kita masih mempunyai tugas untuk memperjuangkan NU ini agar bisa berkiprah dalam tantangan yang semakin kompleks. Tugas yang begitu berat bagi yang benar-benar Nahdliyin untuk menyelamatkan organisasi ini. Semoga orang-orang yang benar-benar mengabdikan diri pada organisasi ini dapat barokah dari para pendidri NU, serta menadapatkan syafaat dari Rasulullah, dan siapa yang hanya nunut urip serta menggunakan NU untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya diberi kesadaran kejalan yang benar. Amin.[]

Monday, August 10, 2015

Allahumma Strengthen Me Up

[photo credit: here]

Oleh: Najmah Muniroh

Semua orang punya mimpi, harapan, dan keinginan. Ada-ada aja yang dikepengen-in, ada yang pengen beli rumah, ada yang pengen nyicil motor. Ada yang pengen jadi presiden, ada yang pengen punya Lamborghini. Ada yang pengen beli Tupperware, ada yang pengen punya istri empat (nah loh...). Sifat dasar manusia kan serakah tuh, kalo dikasih gunung emas satu pasti pengen dua, dua pengen tiga, tiga pengen empat dan seterusnya, ini ada nashnya udah. Tapi ya gitu, keinginan dan harapan kadang gak sesuai kenyataan. Hidup itu gak melulu mulus kaya jalan tol, seringkali berliku dan berbatu-batu, kadang berlobang, kadang ketambahan ujan, seringnya becek, dan gak ada ojek. Makanya gak heran kalo harapan yang pupus bisa bikin cedera hati serius. Cinta yang kandas bikin orang baik-baik jadi ganas. Laba usaha turun minta tolong ama dukun. Itulah mengapa iman begitu penting, karena banyak jalan lain yang bisa ditempuh saat galau selain pergi ke dukun dan nyeruput Baygon cair. Dan doa adalah alternatif andalan sejuta umat diwaktu kena serangan galau yang berkepanjangan

Ngomong-ngomong soal doa, sejak kecil saya diajarkan agar berdoa yang baik-baik untuk semua orang walau apapun yang terjadi. Waktu kecil saya suka banget berdoa begini: “Ya Allah…. Semoga Power Rangers, Wiro Sableng, Ultraman Gaia, Sailoor Moon dan Spiderman masuk surga, Ya Allah. Please.. Mereka baik banget soalnya.” (Ok fix, kamu bener. Saya emang alay dari orok :p). Tapi terus terang, saya kasian sama mereka, mereka berbuat baik dan mengalahkan banyak musuh yang mengancam bumi tiap hari tapi gak ada yang doain mereka biar masuk sorga (prihatin). Tisu, mana tisu?!

Dan waktu pun mulai berlalu. Beranjak dewasa saya mulai pilih-pilih nama dalam berdoa,  karena berdoa yang baik-baik itu emang gampang-gampang susah. Jarang juga ada orang yang mau berdoa baik kepada orang yang sudah menyakiti, kepada mantan misalnya.. (Uppss maap sodara, saya lagi baper). Kadang emang susah ikhlas sama orang yang udah berbuat jahat sama kita. Boro-boro mau ikhlas, kita gak bales berbuat jahat aja udah bagus khan yakk? (ngangguk-ngangguk setuju).  Tapi ada quote dari Falafu (penulis favorit saya) yang jadi titik balik perubahan struktur doa saya. Begini bunyinya: Jangan karena segelintir orang ‘jahat’, kamu lantas jadi pandai ‘menjahati’”. Ah, sungguh quote yang singkat padat dan tajam dan terpercaya tapi makjleb.

Naturally, kita emang suka gemes sama orang yang jahat ama kita. Susah juga untuk ikhlas saat dijahatin orang. Apalagi kalo kamu pernah denger bahwa Allah selalu mengabulkan doa orang yang dizalimi. Lah, ini mah kesempatan emas banget buat bales dendam. *kemudian ketawa mak lampir.

Eits… tunggu dulu bro. Doa dikabulkan emang kesempatan emas. Tapi jangan dipake untuk berdoa keburukan buat orang yang udah nyakitin kita. Dengan berbuat gitu, yang ada kita malah RUGI. Lho, koq bisa rugi? Bukannya malah bagus kalo kita bisa berdoa keburukan jadi mereka dapet karmanya? No, no, no. Absolutely no. Yang ada kamu malah rugi. Kenapa kesempatan dapet doa makbul malah kamu manfaatin untuk berdoa buruk-buruk? Kenapa gak dipake buat berdoa baik-baik buat kita sendiri aja? Gini misalnya: ”Ya Allah, ini saya lagi disakitin, Ya Allah. Semoga ini bisa jadi tambahan tabungan di akhirat, semoga karena dizalimi saya jadi tambah sabar, tambah kaya, tambah cakep, tambah gaji. Semoga juga dia yang menyakiti Engkau beri hidayah agar sadar bahwa perbuatannya itu buruk. Oh iya, satu lagi Ya Allah, ini mumpung doa lagi makbul saya pengen minta jodoh saleh yang cakep sama ilmu manfaat. Aamiin, Ya Robbal Alamiin.” Nah, gitu khan lebih menguntungkan dan enak kedengerannya daripada kamu berdoa keburukan, berdoa biar dia yang menyakiti kamu tabrakan sama mobil tinja jadi badannya bau tinja seminggu penuh misalnya. Ah.. buat apa juga berdoa begitu (- - “)

Sebagai penutup, untuk menghadapi galau karena banyak ujian, musibah, atau kendala kehidupan, juga untuk menghadapi tokoh-tokoh antagonis dalam kehidupan ada baiknya kamu belajar ikhlas menerima dan memaafkan. Berikut ini beberapa tips latihan jadi orang ikhlas versi Najmah Muniroh:

1. Ingatkan diri sendiri bahwa tidak ada yang abadi kecuali Gusti Allah. Tidak ada bahagia yang abadi. Tidak ada pula kesedihan abadi. Semua punya waktunya masing-masing. Yups, badai pasti berlalu.

2.  Selalu percaya bahwa ndak ada doa-doa baik yang sia-sia. Allah Maha Tahu kapan doa harus dikabulkan dan kapan harus diganti dengan yang lebih baik. Kalau pun tidak dikabulkan di dunia pasti jadi simpenan di akhirat kelak.

That’s all I wanted to say. Stay positive and be better your self.[]

Friday, August 7, 2015

Sekadar Desis Saja

[photo credit: here]

Oleh:Yusroful Kholili

Capek dan letih setelah bekerja di sawah memaksa penduduk terlelap dalam buaian tidur malam. Saat siang hari udara dingin di desa yang terletak di kawasan gunung Semeru mendekap seluruh penduduk di dataran tinggi ini. Apalagi saat malam hari, udara dingin datang berlipat-lipat dibanding saat siang, membuat tubuh lebih memilih untuk berlama-lama berlindung di balik selimut. Adalah suatu kewajaran jika saat malam hari desa ini sepi, kebanyakan aktivitas yang dilakukan adalah istirahat di dalam rumah. Malam benar-benar hanya menjadi waktu peristirahatan dari segala pekerjaan berat, dan rumah menjadi benteng dari tajamnya dingin yang menerobos dinding-dinding kehidupan.

****

Sunyi.  Rembulan menyibak malam dengan sinarnya, jejeran buah cabai besar yang sudah siap panen nampak gamang dalam kegelisahan.  Gundah dan pasrah nampak disembunyikan, namun warna kulitnya menunjukkan rasa itu “merah kehitaman”. Yang akan terjadi hanya dapat digantungkan pada detik-detik yang akan datang berkelanjutan. Entah tangan petani sendiri yang akan memetiknya saat siang tiba. Seorang yang dengan tangan itu juga telah menanam dan merawatnya atau mungkin tangan-tangan panjang akan menjamahnya secara diam-diam saat malam. Dan kemudian membawanya lebih dulu dari saat senja hilang sampai sebelum subuh menjelang. Angin bersekongkol dengan malam, menantang siapa saja yang nekat membuka mata di alam terbuka. Hembusan udara dingin yang dihasilkan dari persekongkolan itu menjadi senjata ampuh untuk mendiamkan para penantangnya. Sedangkan sepi turut membuka ruang gerak-gerik yang tidak diharapkan. Inilah di antara bentuk  persekongkolan dari dua benda abstrak yang saling bahu membahu membangun sebuah “keadaan”.

Tak ada yang akan menantang “keadaan”, kecuali ada campur tangan “ keadaan lain” yang mendorong, atau bahkan  memaksa seseorang untuk tak mengalah dengan “keadaan”, dan kemudian mengubahnya menjadi sebuah “kenyataan” yang lebih diharapkan.

***

Malam itu, dingin sebagai salah satu petugas “keadaan” tak ingin terganggu tugasnya oleh selainnya. Sebagaimana seorang petani yang bersikukuh untuk tetap membuka mata di alam terbuka. Alam yang gelap tanpa satu penerangan, rembulan pun nampaknya memilih untuk menyembunyikan sinarnya di balik kabut, bintang-bintang yang diharapkan memberikan sinarnya barang sepercik, juga membututi rembulan. Mengintip dari balik awan, satupun tak tampak. Tidak ada lagi yang diharapkan untuk menerangi. Lampu-lampu penerangan belum lagi terpasang. Di persawahan, penerangan adalah suatu angan-angan, tak lebih konkret dari sekedar bayang-bayang.

****

Dari atas pohon kulihat seseorang duduk di samping gubuknya. Dari cara duduknya yang menyandar pasrah pada pohon jati di belakangnya kelihatan sekali bahwa Kesegaran tubuhnya telah terkuras untuk bekerja, sebagaimana kulitnya yang mulai keriput kering. Sedang bercak hitam tersebar di permukaan kulit kehitaman karena seringnya sinar matahari yang membakar peluh saat berladang. Matanya yang sayu terlihat dipaksakan melawan  kantuk, yang sejak mega merah mulai hilang, kantuk telah bersarang di pelupuk matanya. Capek mungkin telah melandanya dari ujung rambut sampai kakinya.

Tak hanya melawan kantuk, dinginnya malam yang menusuk tulang belulang, dia lawan dengan menyembunyikan kulitnya di balik kain sarung yang dipaksakan untuk menutupi sekujur badan kecuali telapak tangan dan mukanya. Betapa keras kehidupan. Tak hanya kecapekan dan kantuk dari dalam dirinya, dingin dan sunyi ladang dia lawan demi menjaga kelangsungan ekonomi keluarga lebih dipertimbangkn untuk bergelut dengan “keadaan”. Tugas yang lebih berat dibanding dengan tugas untuk meninabobokkan penghuni malam yang diemban oleh “dingin dan malam”. Bagian dari bangunan “keadaan”.

Sesekali kulihat Jari jemarinya merogoh isi plastik hitam, yang kemudian diambilnya tembakau dan cengkeh secukupnya dari dalamnya. Kemudian ramuan tembakau itu ia letakkan di atas selembar kertas rokok, untuk kemudian melintingnya menjadi sebuah batang rokok. Sebuah rokok yang oleh penduduk setempat dikenal dengan sebutan rokok Tengwe (ngelenteng dewe, pilinan sendiri). Lantas tangannya kembali merogoh isi plastik tersebut, dan dikeluarkan sebuah korek api, sembari menyulut rokok itu dengan korek tersebut. Sesaat pancaran sinar dari korek tersebut satu-satunya cahaya yang berani menyingkap kegelapan di sekitarnya. Kepulan asap dari hisapannya yang dalam, kini menjadi teman satu-satunya untuk mengusir kantuk yang mendera.

****

Jauh dari jangkauan si petani, di tempat berbeda yang hanya dibatasi oleh persawahannya, kulihat ada sesuatu bergerak mengendap-endap dalam persembunyian. Tampak seorang berpakaian serba hitam menutupi tubuhnya. Tinggal bola matanya saja terlihat putih di tengah-tengan petang. Dari caranya bergerak menunjukkan manusia hitam itu siap siaga, untuk menyergap buah-buah siap panen yang menjadi intaiannya. Menunggu waktu yang tepat, saat yang jaga dalam kelalaian.

Sepi malam menjadi rekannya untuk meloloskan aksinya. Kewaspadaan tinggi yang dia lakukan mampu mengusir udara dingin dengan sendirinya. Dengan alasan menyambung hidup dan instan, tanpa harus bersusah payah bekerja, keuntungan akan diraup dalam waktu semalam. Dingin pun tak digubris seraya merapatkan rangkulan pada iblis. Pertimbangan akan celaka kalau sampai tertangkap basah oleh yang punya, menciut oleh nafsu untuk dapat memanen buah cabai, walaupun tak ikut menanam dan merawatnya.  “Untuk apa menenanam dan merawat, kalau bibit dan obat-obatan mahal harganya. Lebih baik nekat memanen yang sudah tumbuh saja, hanya modal keberanian, biaya pun bisa ditinggalkan,” bisiknya pada serumpun ilalang yang memberikan tempat untuk menyembunyikan tubuhnya.

“Betapa aneka macam isi tanah ini. ‘Keadaan‘ yang sama, punya fungsi beda di antara keduanya. Di pihak yang satu gelap, dan sunyi menjadi tantangan yang siap mengakhiri pendapatan untuk bertahan hidup, sedang di pihak berbeda sepi dan gelap seakan menjadi rekan kerja ‘instan’nya. Yang sama saja sudah beraneka, apalagi yang jelas-jelas beda. Tapi, kenapa kok masih diributkan? Yah mungkin inilah keniscayaan,” komat-kamit pikiranku bebicara sendiri.

Drama hidup yang berbeda itu, menjadi tontonan saat kakiku nyaman bertengger pada salah satu dahan pohon jati.  Pohon tinggi tegap yang menggagahi gubuk reot yang berada di samping akar pohon ini tertanam. Ya, hanya sebuah gubuk yang salah satu sisinya telah miring, meronta tak kuat saat angin datang menerjang. Suatu kali kudengar perdebatan antara pohon jati dan gubuk itu:

“Aku bangga jadi diriku ini. Walaupun sudah renta begini aku masih bisa menjadi tempat berteduh si petani di bawah atapku, sedang rumput yang tumbuh di tanah menjadi tempat yang nyaman bagi petani untuk sekadar menyeka kucuran keringatnya selepas bekerja di bawah terik matahari. Bahkan di tanahku juga si petani merebahkan badannya untuk melemaskan kembali otot-otot dan tulangnya, setelah dikerahkan untuk merawat tanaman di sawah. Saat malam pun, aku teman satu-satunya saat berjaga malam,” serang gubuk, sementara pohon jati terus beridiri dengan angkuhnya.

***

Di tengah tontonan itu, terdengar suara yang diarahkan kepadaku:

“Burung hantu, ngapain kau di situ?” Sapa kelelawar yang tengah bergelatungan pada ranting di atas dahan yang kugunakan untuk bersantai mengikuti alur kehidupan malam itu.

“Ssst… Jangan rame! Tak tahu apa? Aku lagi menonton drama hidup manusia di bawah pohon ini.”

“Emang ada tontonan apa di bawah dan membuat kau berminat bertengger di markasku ini?” Jawabnya ringan.

“Itu loh, alur hidup si petani. Setelah susah payah bekerja, terik dan hujan dia acuhkan demi untuk merawat tanaman cabainya agar bisa tumbuh, terbebas dari hama yang setiap waktu mencoba memangsa hidup si cabai, agar tidak gagal panen. Saat buah sukses melewati hari-hari pertumbuhannya dan petani siap panen, malamnya tak peduli dingin, capek, kantuk menyerang, dia paksa melawan, untuk menjaga tanamannya dari pemangsa yang berasal dari sebangsanya. Coba lihat sendiri di bawah itu.” Jelasku pada kelelawar itu.

“Wah tontonan semacam ini sudah biasa. Kini untuk melihatnya pun ruangku telah sesak dengan adegan itu. Untung saja aku tak mengikuti episode kelanjutannya, karena alurnya lebih parah lagi. Dilanjutkan saat siang, dan siang waktuku untuk tidur pulas dari kenyataan hidup si petani itu,” jawabnya mantap kepadaku.  Tak terima promosiku tak digubris olehnya, kuajukan pertanyanku.

“Emang ada apa saat siang tiba? Sok tahu lho.”

“Suatu kali burung pipit bercerita padaku. Katanya nanti saat buah cabai yang  selamat dari tangan-tangan pemangsa telah dipanen oleh pak tani, hasilnya akan dijual ke pedagang setempat. Anehnya, saat penjualan si petani tidak dapat menentukan harga cabainya sendiri. Pedagang yang akan membeli cabai petani itu yang memberikan  harga cabai.”

“Itu kan sudah menjadi hukum ekonomi. Kebutuhan pasarlah yang menentukan,” sanggahku.

“Padahal mulai dari awal pembelian bibit, obat-obatan, perlengkapan pertanian, semua harga datangnya dari si pemilik toko, si penjual,” balas kelewar tanpa menggubris sanggahanku, seraya melanjutkan, “petani hanya dapat merogoh koceknya dalam-dalam, dengan harga tinggi yang ditawarkan. Bahkan tak jarang si petani memohon-mohon orang lain untuk merogoh uangnya yang kemudian dapat ia pinjamkan. Hanya pedagang cabailah yang dapat memberikan pinjaman itu, yang kemudian dengan pinjaman itu pedagang melilit petani dengan perjanjian hasil panen cabai dijual kepadanya.  Kalau sudah mulai dari modal awal, bibit, dan obat-obatannya menggunakan hasil pinjaman petani kepada pedagan gtersebut, maka jual cabainya harus ke pedagang itu juga, tentunya dengan harga yang tidak sama dengan petani lainnya, dipotong-potong tak jelas,” jelasnya mengguruiku. Aku hanya diam dan menjadi murid yang baik mendengarkan pengetahuan baru itu darinya.

“Dan aneh, baru kali ini kulihat penjual yang tak bisa menentukan harga barang jualannya sendiri, padahal dia pemilik barang itu. Aku rasa ini menyakitkan,” tambahnya di sela-sela pandangan mataku yang mengarah ke petani yang nampak mulai sudah terkalahkan oleh kantuknya.

Cerita itu terus menerus mengaduk-ngaduk pikiranku. Geram aku melihatnya. Dahiku mengernyit memikirkan hal itu. Selebihnya tak ada yang bisa kulakukan. Untuk jadi pahalwan kesiangan pun tak mungkin, karena siang lebih membuatku tertidur dan terbuai dari segala ini.  Puas mendengar keterangan itu, kukepak-kepakkan sayapku, dan kemudian membawa tubuhku mengeliligi persawahan itu. Terlihat gerak orang berpakaian hitam yang mengawasi, sedang si petani nampak menyeka mukanya. Jelas bukan keringat yang ia seka. Keringat yang akan keluar akan membeku sebelum sampai pada pori-pori, gara-gara dingin yang menusuk tulang belulang seperti malam ini. Mungkin kesulitan hidup ini yang ia seka dari mukanya. Atau mungkin kantuk yang ingin ia buang agar tak menambah kesulitan hidupnya.

“Hhhh… Bedebah! Alur kehidupan tercekik oleh ‘keadaan’ yang diciptakan!” Gerutuku menyibak kesunyian. Dan aku terus berjalan, menjauhi si maling yang nampaknya terkejut dengan suaraku.  Raut wajahya nampak kebingungan, ciut sudah nyalinya. Keringat dinginnya keluar namun masih tak membasahi kering hati nuraninya. Sedang si petani nampak baru tersadar dari mimpi-mimpinya. Dan kemudian bergegas untuk menyadarkan dirinya bahwa ini semua hanya alur cerita yang diperankannya. Ulah sutradaralah yang membuatnya pada posisi ini. “Dalam cerita pun aku tak mau memainkan posisi ini,” desisku pada angin. Dan aku pun terus terbang, yang kemudian hilang dalam kegelapan.[]
Powered by Blogger.

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top