Tuesday, September 22, 2015

Genre Sastra

[sumber] 
Oleh: Ahmad Darik

Situasi Bahasa
Kriteria yang paling umum berlaku adalah situasi bahasa yang hanya menunjukkan perbedaan dalam sikap saja. Bila terdapat satu orang juru bicara saja kita berhadapan dengan suatu teks monolog. Bila berbagai pelaku sama-sama berbicara, maka kita berhadapan dengan sebuah teks dramatik. Bila terutama satu orang berbicara, tetapi dia dapat mempersilakan pelaku-pelaku lain untuk berbicara, maka teks bersifat naratif.

Tematik
Dalam perkembangan sejaran berbagai macam tema silih berganti digemari. Tema pengasingan misalnya oleh Brecht dibahas dalam perspektif masyarakat, sedangkan oleh Sartre dibahas secara eksistensial. Dalam sastra barat terdpat beberapa tema yang selalu hadir, ada juga yang hanya kadang-kadang muncul. Kadang-kadang kita menyaksikan semacam mode.

Pembagian-pembagian tematik mustahil disusun secara deduktif. Pertama, karena pada dasarnya dapat dibayangkan seribu satu tema. Kedua, penyebaran sebuah tema terikat akan tempat dan waktu. Ketiga, tema-tema itu sering tumpang-tindih.

Dalam teori-teori mengenai jenis-jenis sastra sejak dahulu memang dikaitkan situasi bahasa dengan tematik. Demikian pada abad ke-18 terjadi pembagian klasik antara lirik, epik, dan dramatik. Tiga jenis sastra itu dikaitkan dengan beberapa tema yang memang penting bagi sejarah kebudayaan Eropa barat, tetapi yang sebetulnya tidak ada sangkut pautnya dengan situasi bahasa tertentu.

Pada abad pertengahan di Eropa cerita-cerita epik dibawakan oleh dalang-dalang, sering dalam puri seorang bangsawan yang sekaligus merasa dihormati karena epos itu bertemakan riwayat hidup leluhurnya. Mengenai asal-usul puisi lirik tidak ada banyak informasi. Pada zaman Yunani kuno istilah tersebut hanya menunjukkan bahwa teks tersebut dibawakan dengan iringan alat musik lira. Tematik berbagai jenis sastra ini berubah dari zaman ke zaman dan menyesuaikan diri dengan perubahan fungsi, keadaan, publik, dan medium. Pada zaman kita ini pengaruh film di televisi besar sekali. Yang mengherankan adalah nqhwa sampai pertengahan abad ke-20 ini masih ada usaha untuk memberlakukan pembagian jenis sastra secara tematik sebagai patokan universal. 

Gaya
Pembagian menurut global prosa dan puisi sebetulnya bersifat stilistik. Dalam pandangan tersebut puisi dianggap teratur menurut irama. Dalam buku-buku puitika klasik juga dibedakan secara stilistik antara gaya tinggi dan gaya rendah, gaya yang pantas bagi seorang ningrat dan gaya yang cocok bagi seorang petani. Pernah juga dibedakan antara gaya simbolik dan gaya realistik. Dalam teori klasik gaya tinggi dihubungkan dengan pentas tragedi, sedangkan gaya rendah dihubungkan dengan komedi.

Dampak stilistik sebuah teks tergantung harapan pembaca. Pada zaman naturalisme orang-orang merasa tersinggung oleh gaya penulisan Zola yang dianggap kasar dan jorok karena memakai bahasa sehari-hari. Pemakaian bahas sehari-hari dalam prosa kini sudah demikian biasa sehingga kini sudah tidak dipersoalkan lagi. Sebaliknya kini gaya bahasa Gerard Reve yang agak resmi itu agak mencolok.

Akibat Pragmatik
Kategori tujuan dan akibat pernah juga dikemukakan untuk pembagian teks-teks. Tetapi pembagian serupa itu pun ada persoalannya. Ada teks-teks yang mengajarkan sesuatu yang meyakinkan, yang bersifat humor, mengharukan, dan yang memberikan informasi.

Tujuan dan akibat tidak selalu sama. Alasan pertama karena akibat dan pengaruh pembaca berubah dari zaman ke zaman. Kedua, maksud pengarang dapt disalah artikan. Ketiga, fungsi-fungsi pragmatik tidak mudah dikaitkan dengan sekelompok teks.

Pembagian jenis-jenis sastra menurut dampaknya harus memenuhi dua syarat, yaitu harus dibedakan antara efek primer atau efek dominan, dan efek samping, serta pembagian harus terikat pada suatu periode sejarah tertentu.

Bentuk Material atau Lahiriah
Masalah-masalah besar yang timbul bila kita membahas jenis-jenis sastra menyebabkan sementara teorisi hanya ingin bertitik tolak dari wujud lahiriah teks yang diterbitkan. Sebuah cerita mengisi seluruh permukaan halaman, sedangkan dalam teks drama kita menjumpai banyak bidang putih, khususnya bila pembicaranya ganti. Nama para pelaku dicetak sedemikian rupa sehingga satu halaman dari teks drama saja sudah meyakinkan kita bahwa ini sebuah teks drama.

Dalam hal puisi pun halaman tidak di isi sempurna, bait-bait terpisah oleh bidang-bidang putih dan kadang-kadang perwujudan lahiriah masih menunjukkan variasi-variasi lain pula. Perbedaan antara roman dan novel ditentukan oleh panjangnya teks atau jumlah kata. Tak dapat disangkal bahwa pada tahap pertama seorang yang mengunjungi pepustakaan atau toko buku dibimbing oleh tanda-tanda lahiriah ini.[]

(Disarikan dari buku Teori Sastra, Drs. Ahmad Tabrani)

Thursday, September 17, 2015

Selubung Tangis Fika

[sumber]

Oleh: Muhammad Madarik


"Fika!" Teriak mamaknya. Dengan tergopoh-gopoh Fika menghampirinya sambil menundukkan kepala tanpa punya sedikit nyalipun untuk memandang sang ibu.

"Kamu itu, tuli apa.... Dipanggil mamak enggak segera datang!" Lagi-lagi anak kedua dari tiga bersaudara ini mendapat damprat. Fika hanya mampu menghela nafas panjang tidak bisa memberikan sepatah katapun.

"Mamak," teriring desahnya yang berat, ia menyebut mamaknya di relung hati terdalam. Padahal, hanya dalam hitungan menit mamaknya memikulkan titah untuk mengambil baju-baju adiknya dan melipatkan untuk selanjutnya ditata dalam lemari si bungsu.

Buk, buk, buk! Pukulan sang ibu mendarat di bokong Fika di lain hari. Tak sanggup keluar dari 
"hukuman", anak itu bisa meneteskan air bening yang mengalir di pipinya. Ia hanya dapat meringkuk di pojok ruang tamu tanpa ada pembelaan dari siapapun. Tercengang meratapi nasib tirani yang seakan tak berkesudahan. Celoteh tak kunjung selesai dari mulut mamaknya. Makian dan hinaan terus saja mengucur tiada henti. Padahal sebab musababnya tak sebanding dengan sanksi yang diterima. Fika cuma merasa membuat adik kecilnya menangis sehingga menjerit sejadi-jadinya. Seandainya sang mamak meneliti dengan seksama, pastilah Fika mendapatkan pemihakan dan perlindungan yang seharusnya ia dapatkan. Entah kenapa, anak malang ini selalu saja menjadi pesakitan setiap kali adiknya menangis atau sekadar memanggil mamaknya seakan-akan mengadu. Faktanya, si adik selalu mencari gara-gara disertai sikap manjanya.

Isi hunian ini pun bagai tak pernah memihak Fika. Sang kakak seringkali melaporkan hal sepele atau bahkan acapkali mengada-ada.

"Mak, Fika menjatuhkan piring tuh, sampai pecah," kilah kakak pada ratu rumah tangga.

Buk, buk, buk! Kembali tangan mamak menyambar tubuh Fika.

"Bukan aku, Mak. Bukan aku..." Adu Fika mendayu di sela tangisan menahan sakit bekas gebukan. Tetapi sejuta suara parau Fika seperti meong kucing dari kejauhan di gendang telinga sang ibu.

Bapak, sebagai gambaran kepala rumah tangga yang diharapkan dapat menaungi seisi rumah tangga dari panas dan hujan, nyatanya tidak mampu berbuat banyak di depan istrinya.

Sang suami hanya bisa tertegun menyaksikan kenyataan di hadapannya. Ia tahu banyak hal dibalik kelakuan istrinya, namun tangannya tak sampai untuk menjamah lengan sang mantan pacar. Nada bicaranya pasti berada di bawah suara istrinya dan kepalanya terus saja menunduk tatkala bertatapan dengan mata garang sang istrinya. Apalagi mencegahnya, sang suami mengambil sikap menegurnya saja bak seorang hamba yang sedang berhadapan dengan diraja penguasa. Sebagai seorang ayah yang melihat setiap kejadian dalam rumah tangga dengan nurani, dalam hati sang suami selalu mengeluh atas peristiwa yang menimpa anak dan tindakan semena yang dilakukan si istri.

"Heeh…." sang bapak menghela nafas panjang seraya menggelengkan kepala, seakan sebuah ekspresi dari tumpukan sekian perasaan yang terhimpit di cadas ketidakmampuan.

Begitu sang suami menegor dengan sikap dan kalimat yang paling halus sekalipun, si istri langsung menyergap dengan kata-kata yang tanpa henti bercampur ucapan yang seringkali cenderung kasar.

Anak yang duduk di kelas V SD ini memang merasakan nestapa yang begitu sangat perih. Hampir tiada hari tanpa amarah sang ibu. Teriakan dan bentakan yang memekik di telinga merupakan goresan kanfas yang mewarnai bingkai kehidupan bocah ini.

***

Mak, hari ini kembali aku mendapat pertanyaan yang sama dari Ibu Nyai: “Nak, kenapa kamu ini? Apa sedang sakit? Apa yang kamu pikirkan?”

Pertanyaan tak berbeda juga dilontarkan ibu wali kelas XII IPA. Bahkan seminggu yang lalu, aku dipanggil Bapak Kepala Sekolah yang mencercaku dengan pertanyaan serupa.

Mak, aku harus menjawab apa? Aku sudah berusaha untuk mengikuti semua kegiatan sore dan malam di kompleks pesantren. Aku telah berkejaran dengan waktu agar tidak ketinggalan saat jam masuk sekolah. Aku juga berupaya sekuat tenaga membaca ulang mata pelajaran yang didapat di kelas.

Tapi apa daya. Memang harus aku akui, selalu saja terasa berat mata ini untuk dibuka. Rasa kantuk datang tanpa kompromi. Belum lagi otak ini serasa memang tak mampu menyerap pelajaran dari guru atau ustazah. Padahal aku sudah membaca. Dalam belajar kelompok, aku jarang absen.

Aku bingung, Mak. Teman-temanku di kelas sering mengejek karena nilai harianku tak pernah tuntas.
Mak, inilah keluh kesah pengisi lembar diaryku hari ini. Salam sejahtera buat Ayah dan Mamak dari perantaun. Doaku buat ayah dan mamak."

"Rafika Syahru"
Kota Apel. 090915.

Sunday, September 13, 2015

Sastra dan Jurnalisme, Sebuah Jalan Berkelok

[sumber]
Oleh: Irham Thoriq 

Akhir-akhir ini, ketika informasi bisa didapat dengan sekali klik, Sastra dan Jurnalisme seolah sedang diuji. Dan ujian itu saya kira akan bermuara pada satu pertanyaan besar; mampukah Sastra dan Jurnalisme tidak membunuh dirinya sendiri?

Pertanyaan besar ini saya lontarkan karena dengan tumbuhnya media sosial dan media daring, informasi bertebaran tanpa ada penyaring. Bagi sastra, dengan banyaknya tulisan yang bertebaran, kita semakin sulit membedakan mana karya sastra yang benar-benar nyastra, atau karya sastra yang hanya mengandung gumam.

Bagi Jurnalisme, kita juga semakin sukar membedakan mana yang fitnah dan mana pula yang laporan Jurnalistik. Terkadang, karena mengejar kecepatan, disiplin verifikasi menjadi hal terpenting sekian yang dikesampingkan. Tak hanya itu, mutu Jurnalistik juga kian dipertanyakan ketika hanya ucapan orang yang terkadang itu hanya sebuah pecitraan, sudah dijadikan sumber utama berita.

Di sinilah tantangan itu muncul. Kepada Sastra, tantangan itu tidak hanya berwujud pada karya yang menarik, tapi bagaimana mengisi 'ruang kosong' yang tidak bisa dijangkau oleh Jurnalisme. Dan begitu sebaliknya, Jurnalisme harus mengisi apa yang tak bisa dilakukan oleh sastra. Kau tahu, bukankah Sastra dan Jurnalisme memang menyisakan celah yang mereka tinggalkan masing-masing.

Ada hal kecil dan remeh-temeh yang akan terlampau 'nyinyir' jika dijadikan laporan Jurnalistik. Sebagai contoh, beberapa minggu lalu saya melakukan reportase tentang maraknya kotak amal abal-abal yang bertebaran di rumah makan, tempat perbelanjaan dan sejumlah ruang publik di Kota Malang.

Salah satu yang saya liput adalah banyaknya kotak amal yang disebar dari musola yang ada di Jalan Muharto. Tak tanggung-tanggung, terdapat 50 kotak amal yang disebar oleh musola ini sejak tahun 2000 silam. Tentu saja, 15 tahun adalah waktu yang panjang untuk ukuran lembaga peminta sumbangan.

Berdasarkan temuan awal inilah, saya mengunjungi musola yang berada di gang sempit tersebut. Yang hendak saya sampaikan di sini bukanlah hasil reportase yang sudah dimuat di koran, tapi hal-hal kecil dalam reportase yang tidak bisa disajikan dalam hasil liputan.

Di sekitar musola itu, saya mewawancarai tiga tetangga pemilik musola. Dari semua tetangga yang saya wawancarai, semuanya menduga kalau hasil dari kotak amal yang sudah bertahun-tahun itu masuk kepada kantong pribadi si takmir musola. Selain itu, semua tetangga itu mengatakan kalau pemilik Musholla memang salat jamaah setiap waktu, tapi dia tidak pernah bekerja serta tidak pandai bergaul dengan tetangga. Oleh karenanya, dalam pembangunan musola tersebut tak ada tetangga ikut serta kerja bakti.

Cerita tentang pemilik musola yang tak akur dengan tetangganya itu tentu saja tidak pantas dimasukan ke dalam isi berita karena dinilai terlalu pribadi dan remeh-temeh. Tapi, soal fenomena yang dianggap remeh-temeh di dunia jurnalistik ini bisa menjadi hal yang mengesankan jika diramu menjadi karya sastra, semisal novel atau cerita pendek.

Dan, perihal pemilik musola yang rajin ibadah tapi tak terlalu bagus hubungan dengan tetangganya itu sudah pernah dituliskan oleh sastrawan legendaris Aa Navis berupa cerita pendek berjudul Robohnya Surau Kami. 

Ketika liputan, saya sontak teringat cerpen yang pertama kali diterbitkan dalam bentuk buku pada 2002 silam. Dalam cerpen ini, diceritakan seorang kiai kampung yang tua dan ringkih ditemukan mati mengenaskan di musola miliknya. Si tua ini mati dengan cara menggorok lehernya sendiri.

Apa sebabnya? Karena Aji Saidi, salah satu tokoh dalam cerpen ini menceritakan sebuah kejadian yang ada di neraka. Aji Saidi menceritakan kalau di neraka ada kisah tentang Haji Saleh yang taat beribadah dan rajin mengaji tapi dimasukkan ke dalam neraka oleh Tuhan.

Haji Saleh masuk neraka karena dia hanya taat beribadah saja, sedangkan dia tidak pernah bekerja dan membiarkan anak cucunya hidup miskin. Tuhan pun murka pada Haji Saleh dan menjebloskannya dengan orang 'saleh' lain yang malas bekerja dan berbuat baik kepada sesama.

Karena cerita itulah, Si ustaz tadi memutuskan mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Nah, cerita dan kronik tentang hal yang remeh-temeh seperti dalam keluarga, tetangga, pergaulan sehari-hari dan juga desa bisa dikemas menjadi hal menarik dalam sastra. Tentu saja, hal ini sulit dituliskan dalam karya jurnalistik.

Perihal hubungan sastra dan jurnalistik ini, Seno Gumira Ajidarma, salah seorang wartawan yang juga sastrawan pernah menulis buku berjudul Ketika Jurnalistik Dibumkam, Sastra Harus Bicara. Judul buku ini Seno arahkan ketika Orde Baru masih berkuasa. Lalu, bagaimana di zaman ketika kebebasan pers sudah terbuka lebar? Menurut saya, Sastra dan Jurnalisme tetap harus saling mengisi banyak ‘kosongan’ yang mereka miliki.

Lalu apa yang bisa diisi oleh Jurnalisme kepada 'lobang' yang ditinggalkan sastra. Saya kira jawabannya sangatlah sederhana, jurnalisme harus bisa membuat perubahan yang itu tidak bisa dilakukan oleh karya sastra. Dengan apa? Tentu saja dengan mutu jurnalistik yang tidak hanya berisi gumam, sebagaimana kebanyakan karya sastra mutakhir kita ini. Jika saling mengisi itu berjalan dengan baik, saya kira Sastra dan Jurnalisme terhindar dari proses membunuh diri mereka sendiri. Meski, di tengah dunia siber yang hiruk-pikuk, Sastra dan Jurnalisme seolah sedang melintasi jalan yang berkelok.[]
Powered by Blogger.

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top