Saturday, October 31, 2015

Mahasiswa Tanpa Identitas


Oleh: Muhammad Madarik

Tetapi kini,
ia melangkah di gang sempit rumah-rumah kumuh.
Saat matahari mulai menyiratkan sinar jingganya, ia menghela nafas panjang.
Kepala mulai tertunduk.
Fikiran kian kalut dan badannya tampak lusuh.
Di penghujung jalan panjang ini dia merasa bimbang.
Entah kemana kaki ini diayunkan.

Penggalan puisi ini adalah bagian dari bait-bait sebelum akhir dalam karya yang dibuat oleh penulis sendiri. Susunan kalimat-kalimat di atas menggambarkan sesosok mahasiswa yang mengalami kondisi terbalik dari sejuta angan yang memenuhi alam pikirannya saat benar-benar berbaju aktivis. Setumpuk rencana, program dan kegiatan seakan melengkapi tampilannya yang disebut "pemuda idealis". Keterlibatannya di dalam berbagai peran dan keikutsertaan, seperti mematri pribadinya tampil sebagai generasi pegiat. Gelora darah muda mengalir begitu kencang di dalam dirinya, sehingga tak sedikit kegiatan diikuti dan bahkan seringkali menjadi bagian penyelenggaranya. Kalimat-kalimat yang diungkapkan selalu saja dihiasi dengan kata-kata populer lagaknya kaum terpelajar yang ilmiah dan cendikia. Belum cukup buku-buku tebal dengan judul keren selalu diapit, tas melingkar pun di tubuhnya menambah prestise dia sebagai mahasiswa.

Pandai bersilat lidah ketika muncul di forum kelas, diskusi komunitas atau di manapun debat-debat terjadi merupakan ajang ekspresi diri. Dominasinya di atas rata-rata audiens kentara sekali menjadi sebuah bukti bahwa ia mahasiswa yang suka melontarkan wacana. Referensi dari para ahli menjadi cara kreatif di tengah-tengah sekian pendengar, walau terkadang ia sendiri tak begitu paham sumber aslinya. Alih-alih membuat mengerti sejawat, diri sendiri saja acapkali berulang memaknai apa yang dilontarkan dari mulutnya.

Demam panggung terlihat juga dalam dirinya ketika berada di mimbar bebas. Berkoar-koar di depan gedung lembaga negara, instansi, turun ke jalan atau malah di halaman kampusnya dengan mengusung dan menyuarakan aspirasi semua lapisan serta berdalih demi kepentingan umum.

Tentu terdapat hikmah di balik segala sesuatu. Profil mahasiswa demikian itu, dengan mudah membuat banyak dosen mengenal pribadinya bahkan namanya seringkali disebut di berbagai kesempatan, meskipun terkadang sosoknya menjadi "korban" sasaran tudingan dari segala macam peristiwa dan kejadian yang meletup walau sejatinya sama sekali ia bukan tokoh di belakang layar apalagi tampil sebagai korlap (koordinator lapangan). Bagi tipe mahasiswa yang seperti dia, disadari betul bahwa kondisi itu merupakan risiko pergerakan yang harus terima, suka ataupun tidak.

Dalam hal finansial, perilaku dari mahasiswa model ini yang paling lumrah ialah ia akan tampil sebagai pribadi yang royal; menyuguhkan dan memberi hal-hal yang ia memiliki tanpa berpikir panjang, tetapi ia gampang menganggap nalar dan prinsip pertemanan dalam keuangan para sahabat tidak jauh berbeda dengan dirinya, yaitu milikku adalah kepunyaanmu juga, sebagaimana kau jangan enggan memberi seperti aku tidak segan-segan menampik permintaanmu. Pada titik ini, pelajar pergurun tinggi semacam ini supel berdekatan dengan siapapun, jaringan pergaulannya tanpa batas dan sekat, dan biasanya tak pernah kehabisan amunisi di manapun berada.

Belum lagi soal pencarian dana untuk membiayai penyelenggaraan sebuah kegiatan, anak muda ini cukup jago bila dipasrahi mengais rupiah. Proposal akan dia buat dengan segala macam administrasi yang diperlukan; mulai dari seluruh kebutuhan tanda tangan, nama-nama dalam struktur kepanitiaan, mengetahui siapa-siapa saja sampai stempel yang akan dijadikan cap dalam surat permohonan beserta lampirannya. Walhasil, aktivis ini sangat piawai menyusun lembaran proposal, menyebarkan sekaligus menagihnya. Ia memang lihai melakoni peran "mengemis terhormat".

Meskipun mahasiswa tipe ini cukup gesit di dalam dinamika dan aktinitas kegiatan di berbagai organisasi, bukan berarti ia tidak cukup lincah memancing tangan cewek untuk digandeng. Memang, pada soal percintaan, gelagat agresif tidak begitu tampak dalam dirinya tak seperti gaya mahasiswa yang kehidupannya hanya melingkar di antara ruang kelas dan kamar kos belaka. Cuma sebab mobilitas yang begitu tinggi di dalam berbagai kegiatan saja yang menyebabkan urusan asmara tak terlalu dihiraukan.

Entah kemana kaki ini diayunkan.

Sekelumit potongan puisi ini menutup tulisan penulis. Sepenggal puisi ini mengabstrakkan sejuta rasa yang berkecamuk dalam diri seorang mahasiswa yang digambarkan dalam puisi tersebut. Kebimbangan, keresahan, kegelisahan, kegamangan dan beragam perasaan menumpuk di dalam pikirannya. Upacara wisuda yang dia ikuti membuka aliran rasa galau semakin deras dalam kalbunya. Satu pertanyaan yang meluap: "Kemanakah diri ini?" tak mampu untuk dijawab oleh dirinya sendiri.

Rupanya problematika dan tantangan yang mencuat di tengah lingkungan masyarakat belum pernah dibayangkan sebelumnya. Orang-orang desa asalnya hanya menagih dia agar tahlilan, dan yasinan di jam'iyah kampung, selametan tujuh, empat puluh hari serta acara haul dia pimpin, khotmil quran dia fatihah, salat lima waktu diimami, dan pada khutbah Jumat ia turut mengisi. Cukup sederhana tuntutan mereka, tetapi jebolan perguruan tinggi itu menjadi kelimpungan karena bekal ke arah itu kurang memadai. Ternyata segudang pengalaman berorganisasi tak bisa lagi dibuat kebanggaan diri, gelar sarjana hanya menjelma sebagai imbuhan nama asli, dan selembar ijasah cuma berguna sebagai kertas penghias di lemari. Kini, pemuda yang konon katanya kaum terpelajar, mahasiswa idealis, dan aktivis organisasi itu benar-benar menjadi sosok genarasi yang belum temukan jati diri.[]

Saturday, October 24, 2015

Kharisma Kiai dan Kepemimpinan Pesantren


Oleh: Muhammad Zaini

Sebagai pimpinan dan sekaligus pengasuh pesantren, seorang kiai sangat menentukan dan mewarnai pembentukan tipologi pondok pesantren yang tercermin dalam pola hidup keseharian para santri dan komunitas dalam pondok pesantren tersebut.  Karena itu, menurut Mujammil Qomar (Qomar, 2002: 64), karakteristik pesantren dapat diperhatikan melalui profil kiainya. Apabila Kiainya ahli fikih akan mempengaruhi pondok pesantrennya dengan kajian fikih, kiai ahli ilmu ‛alat‛ juga mengupayakan santri di pondok pesantrennya untuk mendalami  ilmu ‛alat‛, begitu pula dengan keahlian lainnya juga mempengaruhi idealisme fokus kajian di pondok pesantren yang diasuhnya.

Kepemimpinan seorang kiai sebagaimana yang telah digambarkan Ziemek (Ziemek, 1986: 138) adalah kepemimpinan karismatik yang mempunyai kewenangan penuh untuk mengelola pesantren yang didirikannya, Kiai berperan sebagai perencana, pelaksana dan pengevaluasi terhadap semua kegiatan yang dilaksanakan di pondok pesantren. Pada sistem yang seperti ini, Kiai memegang pimpinan mutlak dalam segala hal. Dengan model ini, kiai berposisi sebagai sosok yang dihormati, disegani, serta ditaati dan diyakini kebenarannya akan segala nasehat-nasehat yang diberikan kepada para santri. Hal ini dipandang karena kiai memiliki ilmu yang dalam (alim) dan membaktikan hidupnya untuk Allah, serta menyebarluaskan dan memperdalam ajaran-ajaran dan pandangan Islam melalui kegiatan pendidikan.

Secara sosiologis peran dan fungsi kepemimpinan kiai sangatlah penting, Ia memiliki kedudukan kultural dan struktural yang tinggi di mata masyarakatnya. Realitas ini memungkinkan kiai berkontribusi besar terhadap aneka problem keumatan. Peran kepemimpinan kiai tidak hanya terbatas pada aspek spiritual, namun juga aspek kehidupan sosial yang lebih luas (Steenbrink, 1986: 109). Prinsip demikian singkron dengan argumentasi Geertz yang menunjukkan peran kiai tidak hanya sebagai seorang mediator hukum dan doktrin Islam, tetapi sebagai agen perubahan sosial (Social Change) dan perantara budaya (cultural broker).  Ini berarti, kiai memiliki kemampuan menjelajah banyak ruang karena luasnya peran yang diembannya (Wahid, 1987: 200).

Pondok pesantren kalau boleh diibaratkan sebagai suatu kerajaan kecil di mana kiai merupakan sumber mutlak dari kekuasaan dan kewenangan dalam kehidupan dan lingkungan pondok pesantren, karena itu kiai merupakan elemen yang paling esensial dari sebuah pondok pesantren. Imam Bawani mengatakan bahwa maju mundurnya suatu pesantren amat tergantung pada pribadi kiainya, terutama oleh adanya keahlian dan kedalaman ilmu agamanya, wibawa dan kharisma kiai serta keterampilannya dalam mengelola pesantrennya. Hal ini dikarenakan: pertama, Kiai dalam lembaga pesantren adalah elemen penting dan sekaligus sebagai tokoh sentral dan esensial, karena dialah perintis, pendiri, pengelola, pengasuh, pemimpin dan terkadang juga pemilik tunggal sebuah pesantren (Bawani, 1997: 14).

Kepercayaan masyarakat yang begitu tinggi terhadap kiai dan didukung potensinya memecahkan berbagai problem kemasyarakatan, keagamaan, kepribadian dan barangkali juga politik, menyebabkan kiai menempati posisi kelompok elit dalam struktur sosial dan politik di masyarakat. Kiai sangat dihormati oleh masyarakat melebihi penghormatan mereka terhadap pejabat setempat. Petuah-petuahnya memiliki daya pikat yang luar biasa, sehingga memudahkan baginya untuk menggalang massa baik secara kebetulan maupun terorganisasi. Ia memiliki pengikut yang banyak jumlahnya dari kalangan santri dalam semua lapisan mulai dari anak-anak sampai kelompok lanjut usia. Terkadang kelompok orang Islam yang disebut Clifford Geertz sebagai ‛abangan‛ secara moral-psikis juga menjadi makmum terhadap ketokohan kiai.

Di tengah krisis kepemimpinan, sistem pemerintahan dan kenegaraan Indonesia yang tidak memiliki moralitas cukup, pengembalian peran tokoh bermoral seperti kiai menjadi amat penting untuk tidak hanya menjadi penjaga moralitas umat, tetapi juga dalam mewujudkan pendidikan Indonesia yang mengedepankan karakter bangsa dan budaya religius.

Kepemimpinan kiai dalam pesantren merupakan salah satu unsur kunci yang berpengaruh terhadap keberhasilan dalam mencapai tujuan pensantren. Kepemimpinan sebagaimana difahami tidak lain adalah kesiapan mental yang diwujudkan dalam bentuk kemampuan seseorang untuk memberikan bimbingan, mengarahkan dan mengatur serta menguasai orang lain agar mereka mau melakukan sesuatu urusan yang terkait dengan suatu tujuan yang diinginkan oleh lembaga pendidikan pesantren. Kesiapan dan kemampuan kepada pemimpin tersebut memainkan peranan sebagai juru tafsir atau pemberi penjelasan tentang kepentingan, minat, kemauan, cita-cita atau tujuan yang diinginkan untuk dicapai oleh sekelompok individu.

Menurut Mastuhu, kepemimpinan kiai dalam pesantren dimaknai sebagai seni memanfaatkan seluruh daya pesantren untuk mencapai tujuan pesantren tersebut. Manifestasi yang paling menonjol dalam seni memanfaatkan daya tersebut adalah cara menggerakkan dan mengarahkan unsur pelaku pesantren untuk berbuat sesuai dengan kehendak pemimpin pesantren dalam rangka mencapai tujuan (Wahid,  1987: 243). Merujuk pada pandangan tentang kepemimpinan kiai di atas adalah suatu hal yang menarik untuk didiskusikan secara formal, kenapa? Karena kiai merupakan pribadi yang unik seunik pribadi manusia, ia mempunyai karakteristik tertentu (yang khas) dalam memimpin yang berbeda jauh dengan kepemimpinan di luar pesantren, ia bagaikan seorang raja yang mempunyai hak otonom atas kerajaan yang dipimpinnya.

Uniknya lagi, pesantren yang dipimpin oleh kiai sampai saat ini masih tetap survive dalam konteks memberikan pelayanan pendidikan dan pengabdian kepada masyarakat serta syi’ar atau dakwa agama (Islam). Oleh karenanya, kiai tidak hanya dipandang sebagai tokoh agama (Islam) tetapi juga sebagai seorang pemimpin masyarakat, bahkan kekuasaannya seringkali melebihi kekuasaan pemimpin formal khususnya di pedesaan. Ia juga mempunyai pengaruh yang melampaui batas-batas geografis pedesaan berdasarkan legitimasi masyarakat untuk memimpin upacara-upacara keagamaan, adat dan menginterpretasi doktrin-doktrin agama. Selain itu, seorang kiai dipandang memiliki kekuatan-kekuatan spiritual yang bersifat transendental karena kedekatannya dengan sang pencipta. Kedudukan dan perannya yang sangat strategis tersebut, menjadikan seorang kiai tidak hanya tinggal diam di pesantren yang ia pimpin, tetapi juga hidup di tengah-tengah masyarakat luas. Ia memiliki jaringan komunikasi yang sangat luas dengan berbagai lapisan masyarakat melalui organisasi-organisasi keagamaan, kemasyarakatan, pemerintahan dan lain sebagainya. Wallahu a’lam

Daftar Bacaan.
Bawani, Imam. 1997. Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam. Surabaya: Al-Ikhlas.
Qomar, Mujammil. 2002. Manajemnen Pendidikan Islam: Strategi Baru Pengelolaan Pendidikan Islam. Jakarta: Erlangga..
Steenbrink, Karel A. 1986. Pesantren,  Madrasah, Sekolah. Jakarta: LP3ES.
Wahid, Abdurrahman. 1987. Principle of Pesantren Education, The Impact of Pesantren in Education and Community Development in Indonesia.  Berlin: Technical University Berlin.
Zeimek. 1986. Pesantren dan perubahan sosial. Jakarta: P3M.

sumber gambar:

Pagiku, Tungku

Pagiku, apa kabar kawan?
Bagaimana negerimu, apa sudah bangkit?

Aku dengar negerimu sudah merdeka sejak puluhan tahun yang lalu
Saat negerimu punya pemimpin Bung Karno

Sekarang, Aku tak percaya lagi kawan
Cobalah kau buka jendela dan tengok

penjajahan gedung-gedung asing masih mencakar di langit biru
Jual beli pulau, masih menjadi tradisi di negerimu

Negerimu masih dijajah oleh tambang-tambang ketamakan
Negerimu masih butuh uang dengan menjual gadis-gadis rupawan

Negerimu masih menjadi buruh pengedar dan lumbung narkoba
Negerimu, yang kau sembah menyembah pada penjajah dan mafia.

Teriak keras negerimu di 17 Agustus "Merdeka"
Hanya untuk menutupi keputusasaan mereka

Pagiku, sudahkah kau baca surat kabar?
Di koran tertulis, negeri tersubur dan aman adalah negerimu

Tapi kudengar, berbagai agama memberontak atas nama negerimu
Berbagai kepentingan sudah mengadu domba tetanggamu

Teriak kafir, menjadi nyanyian baru para jelata dan cendekiawan
Merenggut sejahtera yang sempat lestari di berbagai belahan
Kawan, bertindaklah, cegah mereka, dan katakan "kita, satu tuhan"

Pagiku, kau selalu bernyanyi "negeriku negeri yang elok"

Berbagai Suku berbaris dalam kesatuan bahasa
Ragam budaya mewarnai setiap pelosok bangsa
Adat istiadat menjadi pembeda antar suku bangsa

Pagiku, kau kesiangan kawan

Suku yang kau banggakan, telah habis terkikis oleh penebang hutan
Budayamu pun telah hilang di keramaian bule-bule telanjang
Dan adat bangsamu berubah wujud menjadi binatang jalang

Tapi bukan salahmu kawan, kau hanya pagi yang lugu

Seumpama penanak nasi kau hanya tungku
Pemimpin kitalah yang menjadi kayu

Tapi sayang, Api nasionalisme mati dalam kayu semangat juang mereka
Hanya asap yang keluar, mengaburkan kekayaan mereka

Mereka enggan berbicara angka kemiskinan
Mereka hanya mengandalkan TKI sebagai jawaban

Mereka tak perduli bagaimana rakyat bekerja
Mereka pura-pura tak melihat rakyat yang sengsara

Bahkan bagi mereka, kau sebagai tungku hanya sebuah masalah berat
"Kau," bentak mereka, "buat apa memikul beban rakyat?!"

Ketamakan mereka ditutupi dengan kebijakan-kebijakan usang
Sabar, sabar dan tunggu terlalu sering mereka dendangkan

Gila tahta, hobi korupsi telah membutakan hati mereka
Atas Kesabaranmu, keuletanmu, kedermawananmu dan keberaniamu yang perkasa

Kepada siapa kau akan mengadu kawan?

Satrio piningit yang kau tunggu, telah
diadopsi
Berdoalah, semoga kemerdekaan yang sesungguhnya tak sekadar opini.

Ahmad Nilam
23 Oktober, berkawan dengan pagi.

Sumber Gambar:

Thursday, October 22, 2015

Selip Lidah











Oleh Faris Ilham

Uluran tangan membentang

Menggenggam barisan depan

Harapan kian terbuang

Lenyap bersama derapan



Cukup…..

Kau Tawarkan diri

Melarikan diri



Gumpalan awan kelam

Akhiri jalan panjang

Arahmu sayu-rayu

Melebur suatu harapan



Sudah!

Hitam putihmu banjiri bumi

Langit, taburan awan kelam.

Sampai detik ini

Matahari beri saksi atas jati diri.



Mengorbankan cahaya

Melelehkan ingatan

Buat apa kau katakan manis

Jika pahit dalam ribuan tangis!?



(SUMBER: Redupan Jiwa, Kamis 11,08,14.)

Pesantren Antara Persimpangan Keislaman dan Keindonesiaan

[sumber gambar]

Oleh: Muhammad Zaini 

Pondok pesantren menjadi sebuah lokus yang memiliki budayanya tersendiri, ia menempatkan diri sebagai bagian dari sub-kultur di tengah gejolaknya kebudayaan nusantara. Di dalam perjalanan dinamika pondok pesantren terjadi bermacam-macam kontak interaksi dan hubungan yang tidak sama dengan lingkungan seperti biasanya yang terjadi di masyarakat. Hal ini disebabkan pondok pesantren mempunyai sebuah paradigmanya tersendiri yang tidak terpengaruh secara langsung dengan tuntutan zaman. Bahkan dalam kesehariannya pondok pesantren mempunyai cara tersendiri dalam melaksanakan proses belajar-mengajar, dan mempunyai ciri khas tersendiri dalam membentuk mental serta sikap para santrinya agar tertanam dan tumbuh jiwa agamis dan nasionalis.

Sistem pembelajaran tradisionalis di dalam pondok pesantren tidak sama dengan sistem-sistem pembelajaran konvensional pada umumnya. Dalam sistem pembelajaran pondok pesantren yang yang tradisionalis ini, pondok pesantren tidak hanya mengajar pengetahuan saja, akan tetapi bersamaan juga dengan pengajaran etika dan spritual. Karena pada dasarnya para santri yang diajarkan di dalam pondok pesantren adalah pembelajaran yang mengajarkan norma yang harus dipegang bagi pelajar dan pengajar. Dalam ajaran kitab tersebut, dipercaya seorang guru adalah seorang wasilah atau penghubung antara duniawi dan ukhrowi, sehingga seorang guru yang mengajar menjadi bernilai sakral oleh para santri, oleh karena itu santri dalam proses pembelajarannya tidak diperbolehkan bertindak menyimpang kepada gurunya, seperti kitab ta’lim wa muta’alim dan adabu ta’lim wa muta’alim. Ada sebuah hadits nabi yang mengatakan bahwa ridho Allah ada pada ridho orang tua, dan murka Allah ada pada murka orang tua. Nah, berkaitan dengan hadits nabi tersebut, guru menjadi konotasi dari orang tua, yang statusnya menjadi pengganti dari orang tua asli. Jadi dalam diri guru terdapat manifestasi spiritual, dan etika. Begitu sedemikian komplek proses pembelajaran yang mampu menerapkan niali intelektual, nilai moral dan bahkan spritual.

Sistem sosial yang di bangun dalam pondok pesantren juga tersendiri, yang dalam hal ini juga bisa di umpamakan sebagai miniatur lingkungan islam. Dimana sang kyai menjadi garda terdepan dan panutan entah sebagai guru, kepala pesantren serta manifest spritual. Yang perlu diketahui juga bahwa bukan pondok pesantren namnya kalau tidak ada yang namanya santri. Oleh karena itu posisi santri sebagai penganut dari apa yang dianut (Kyai), murid serta makmum dari kyainya. Sistem kultur sosial pesantren demikian, telah menjadi ciri khas corak hidup bermasyarakat islami ala pesantren. Oleh karena itu fungsi pesantren bukan hanya menjadi praktek belajar mengajar saja, akan tetapi praktek sosial yang dilebur dalam budaya gotong royong dan praktek kepemimpinan yang demokrasi.

Sebenarnya kebutuhan dalam dunia pendidikan itu tidak hanya bersumber dari kepuasan dalam hal intelektual saja, tetapi kebutuhan kecerdasan emosional dan spritual yang tak kalah pentingnya juga harus diingat. Sebagaimana terjadi di sebagian sekolah umum yang hanya mengutaman basic intelektual semata, walaupun dalam praktek kesehariannya tak jarang sekolah umum melaksanakan berbagai ritual keagamaan, tapi pada dasarnya dalam lingkup sub-kultur di pondok pesantren lebih efektif menjalankan ritual keagamaan yang dilakoni oleh para kyai dan santrinya.

Pondok pesantren mempunyai peran ganda dalam ranah intern dan ekstern. Pada lingkup intern pondok pesantren menjadi wadah pendidikan bagi para santri dalam penggodokan diri mereka menjadi Insan Kamil, sedangkan dalam ranah ekstren pondok pesantren menjadi lembaga pertahanan dalam melestarikan budaya para pendahulunya yaitu para alim ulama dan leluhur terdahulu di tengah lingkungan masyarakat. Hal ini berbeda jauh denga islam kanan yang tidak mengakui wilayah teritorialnya sebagai kenyataan budaya, dan mereka hanya mengakui ajaran pandangan agamanya sebagai sumber pokok ajaran yang tidak bisa di otak atik atau tidak bisa dinegosiasi lagi dengan kultur masyarakat sekitar. Ada kecenderungan yang eksklusif terhadap realita, yang tidak sama dengan pondok pesantren yang sifatnya lebih inklusif pada realita. Hal ini yang menjadikan sistem yang ada dalam pondok pesantren lebih efektif diterima dan mengena ke hati para santri dan masyarakat.

Tak jarang dalam praktek keseharian pondok pesantren pondok pesantren yang silang transformasi dalam kegiatan pondok pesantren. Biasanya para santri diutus oleh kyainya untuk mengajar di lingkungan jauh maupun sekitar pesantren, sebagai proses serta pengalaman sebelum mereka terjun ke kampungnya masing-masing. Demikian halnya dengan masyarakat yang sering kali dilibatkan dalam kegiatan internal pondok pesantren yang mengandung nilai sosial agamis, seperti pengajian umum, bakti sosial dan lain sebagainya.

Jika kita flashback sejarah yang silam, sangat banyak dari para santri serta kyai yang mempunyai peran aktif dalam membela negara. Seperti tokoh religius di Indonesia yang sangat kita kenal K. H. A Wahid Hasyim yang melibatkan diri menjadi salah seorang panitia sembilan untuk merumuskan Pancasila. Ketika itu dikenal dengan sebutan Resolusi Jihad yang dipelopori oleh Hadrotus Syaikh K.H. M Hasyim Asy’ari, sebagai deklarasi perang kepada penjajah dengan membangun gerakan militer pesantren, seperti Laskar Hizbullah, Mujadihin dan sebagainya. Semua ini menjadi bukti konkrit sumbangsih pesantren terhadap tanah air Indonesia yang tidak bisa dilupakan begitu saja.

Sebenarnya yang harus juga kita pahami adalah tentang ajaran presiden pertama kita yaitu Soekarno tentang Nasionalisme. Nasionalisme ini sebenarnya telah diajarkan di dalam kitab-kitab kuning, yang sering kali dikatakan bahwa kitab kuning hanya berisi tentang pedoman beragama saja, akan tetapi kitab kuning juga memuat prinsip Nasionalisme yang kalau diistilahkan dalam bahasa kitabnya yaitu Hubbul Wathon (Cinta tanah air). Jadi sudah jelas dalam prakteknya, pondok pesantren memiliki wilayah inter dan ekstern yang keduanya tidak bisa dipisahkan. Karena keduanya memuat semangat Keislaman dan keindonesiaan (Nasionalisme). Itulah kenapa pondok pesantren mempunyai andil besar dalam kemajuan islam khusunya di Indonesia serta dalam mewujudkan cita-cita kemerdekaan indonesia dan keutuhan NKRI. Wallahu a’lam.[]

Wednesday, October 21, 2015

Memaknai Hari Santri

[sumber gambar]
Oleh Abdul Rahman Wahid*

Di tengah pro-kontra yang mengiringi, akhirnya Presiden Joko Widodo secara resmi menandatangani Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 dan menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional. Penandatanganan yang dilakukan pada Kamis, 15 Oktober 2015 tersebut merupakan tindak lanjut Presiden Jokowi saat melakakukan kampanye Pilpres di Pondok Pesantren Babussalam, Malang. Janji yang kemudian dikuatkan dengan rekomendasi Rakernas PDIP 2014, awalnya tanggal 1 Muharom yang hendak dijadikan Hari Santri Nasional. Melalui beberapa pertimbangan yang disampaikan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), akhirnya 22 Oktober dinilai lebih tepat dijadikan Hari Santri Nasional.

Meskipun demikian, banyak yang keberatan dan menganggap bahwa Hari Santri Nasional hanya akan menyebabkan perpecahan dalam umat Islam di Indonesia. Keberatan tersebut disampaikan lantaran Hari Santri Nasional hanya melibatkan pihak pemerintah dan kelompok Islam tertentu. Tampak terang, kelompok Islam yang dimaksud adalah Nahdlatul Ulama. Bagaimanapun juga, 22 Oktober merupakan tanggal di mana fatwa perang “Resolusi Jihad” dikeluarkan oleh Hadratus Syeikh KH. Hasyim Asy’ari.

Penulis rasa, tuduhan akan memecah belah umat sangat berlebihan dan cenderung bermuatan kepentingan. Perlu dipahami secara arif, bahwa Hari Santri Nasional adalah bentuk apresiasi pemerintah terhadap peran santri dalam mengawal kemerdekaan Republik Indonesia (RI). Disadari atau tidak, santri punya sumbangsih besar dalam membentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Menilik sejarah yang ada, 70 tahun yang lalu, tepatnya 22 Oktober 1945, KH. Hasyim Asy’ari memimpin langsung pertemuan wakil-wakil Cabang NU se-Jawa dan Madura. Berkumpul di Surabaya, Rois Akbar NU tersebut mendeklarasikan bahwa perang kemerdekaan adalah perang suci alias jihad. Perang suci itu akhirnya populer dengan sebutan “Resolusi Jihad”. Setelah fatwa perang tersebut dicetuskan, ribuan kiai dan santri dari berbagai daerah bergerak menuju Surabaya.

Resolusi Jihad tersebut memuat lima poin penting, seperti ditulis Lathiful Khuluq dalam bukunya, Fajar Kebangunan Ulama (LKiS, 2009). (a) Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus wajib dipertahankan; (b) Republik Indonesia, sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah, harus dijaga dan ditolong; (c) Musuh Republik Indonesia yaitu Belanda yang kembali ke Indonesia dengan bantuan Sekutu (Inggris) pasti akan menggunakan cara-cara politik dan militer untuk menjajah kembali Indonesia; (d) Umat Islam terutama anggota NU harus mengangkat senjata melawan Belanda dan Sekutunya yang ingin menjajah Indonesia kembali; (e) Kewajiban ini merupakan perang suci (jihad) dan merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang tinggal dalam radius 94 kilometer, sedangkan mereka yang tinggal di luar radius tersebut harus membantu secara material terhadap mereka yang berjuang. 

Pemenang Perang Dunia II, Inggris mendarat di Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945. Dua minggu berselang, tepatnya 10 November 1945, terjadilah pertempuran dahsyat antara pasukan Inggris melawan para pahlawan pribumi berani mati. Pertempuran yang berlangsung selama tiga minggu itu tidak lepas dari peran para santri. Dengan semangat perjuangan yang dikobarkan para santri itulah akhirnya Inggris kalah.

Dari fatwa perang suci itulah akhirnya KH. Wahab Chasbullah memimpin para kiai sepuh di barisan Mujahidin. Di samping itu, Pasukan Hisbullah yang merupakan barisan para santri dan pemuda dipimpin langsung oleh H. Zainul Arifin. Sedangkan KH. Maskur dengan gagah menjadi komandan barisan non regular sabilillah yang terdiri dari para kiai dan pendekar tua. Tiga barisan ini adalah bukti sejarah bahwa santri berkontribusi besar dalam kemerdekaan Negara ini. Pertempuran besar sepanjang sejarah Nusantara tersebut kemudian kita peringati sebagai “Hari Pahlawan” setiap tanggal 10 November. Tanpa adanya Resolusi Jihad, 10 November tidak mungkin terjadi.

Terlepas pro-kontra yang ada, penulis sepakat dengan adanya Hari Santri Nasional dan 22 Oktober adalah tanggal yang tepat sebagaimana fakta sejarah yang ada. Seperti ditulis Gugun El-Guyani, “Sejarah negeri ini ternyata tidak pernah berkata jujur tentang peran laskar santri yang terhimpun dalam Hizbullah, maupun laskar kiai yang tergabung dalam Sabilillah, dalam berperang melawan penjajah. Sejarah yang diajarkan kepada anak-anak sekolah, juga tidak mengenalkan peran “Resolusi Jihad” yang dikomandoi KH. Hasyim Asy’ari, yang mengeluarkan fatwa “wajib” bagi setiap muslim untuk mempertahankan kemerdekaan.” (Resolusi Jihad Paling Syar’i, Pustaka Pesantren, 2010)

Menurut penulis sendiri, ada dua hal penting kenapa Hari Santri Nasional perlu diperingati. Pertama, bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya, sebagaimana disampaikan Bung Karno. Artinya, Hari Santri Nasional sama sekali tidak berupaya mendiskriminasi dan memecah belah kelompok Islam yang ada. Justru dengan adanya Hari Santri Nasional, bangsa ini telah menghormati jasa para pahlawan yang selama ini dilupakan. Para pahlawan yang dengan gigih berani melawan penjajah hingga tetes darah penghabisan. Kebenaran sejarah tersebut sudah sepantasnya diakui oleh bangsa ini. Penetapan Hari Santri Nasional merupakan upaya pemerintah untuk jujur terhadap sejarah yang sebenarnya.

Kedua, Hari Santri Nasional sebenarnya harus mampu menjadi ruang konsolidasi bagi seluruh umat Islam Indonesia dalam berkomitmen mengawal keutuhan NKRI. Seperti disampaikan ketua umum PBNU, KH. Said Aqil Siroj bahwa santri adalah masyarakat Indonesia yang beragama Islam, bukan sekadar muslim yang kebetulan berada di Indonesia. Harus diakui, hari ini beberapa kelompok muslim di Indonesia masih dipertanyakan komitmen keindonesiaannya. Untuk itu, Hari Santri Nasional sudah selayaknya diterima bukan malah dipertentangkan.

Dengan demikian, keberatan bahkan penolakan akan Hari Santri Nasional sama halnya dengan tidak menghormati kebenaran sejarah bagsa ini, tidak menghargai para pahlawan yang sudah berdarah-darah mempertahankan kemerdekaan, dan tidak mengakui keberadaan Islam yang berkomitmen menjaga keutuhan NKRI. Oleh karenanya, meyambut ria Hari Santri Nasioanal sama halnya dengan menghargai serta menghormati perjuangan para pahlawan bangsa. Serta mengakui, bahwa muslim Indonesia wajib menjaga keutuhan NKRI. []

*) Santri Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 1 Yayasan KH. Yahya Syabrowi, Ganjaran Gondanglegi Malang.

Sunday, October 18, 2015

Menulis Itu Mencerdaskan

[sumber]

Oleh: Muhammad Zaini

Menulis adalah salah satu cara seseorang untuk mengekspresikan apa yang orang itu pikirkan dan apa hatinya rasakan. Dan terkadang menulis juga menjadi cara seseorang untuk mengungkapkan jati dirinya. Dengan menulis, seseorang tidak hanya memperloleh sebuah karya, akan tetapi juga menciptakan kepuasan hati, yang berdampak pada kesehatan secara emosional. Banyak orang beranggapan, bahwa menulis hanya satu kegiatan yang biasa-biasa saja. Padahal, menulis ternyata menyehatkan dan mencerdaskan seseorang.

Mungkin di antara kita ada yang bertanya, mengapa menulis ternyata menyehatkan dan mencerdaskan? Jawabannya sangat simple, bahwa menulis membuat otak tetap aktif untuk mereview apa saja yang terjadi di lingkungan, sehingga melatih memori agar selalu bekerja dan merekam dengan baik apapun yang terjadi. Dengan menulis, syaraf-syaraf otak akan selalu melakukan fungsinya, agar senantiasa aktif.

Otak seorang manusia tidak sama dengan mesin. Karena bila mesin semakin sering digunakan, maka akan semakin cepat mengalami penurunan daya gunanya, yang dalam bahasa sehari harian disebutkan ”aus” atau tumpul. Tetapi pada otak manusia justru yang terjadi adalah kebalikannya. Semakin digunakan maka akan semakin tajam dan cerdas.

Tak seorangpun dapat menghindar dari kodratnya sebagai manusia, yaitu suatu waktu akan menjadi tua. Memang semakin tua seseorang, maka otaknya akan mengalami berbagai perubahan struktur maupun kimiawi yang khas, sehingga fungsi maksimalnya menjadi menurun. Tetapi tingkat “keausan” otak justru dapat dihambat bila otak semakin sering digunakan. Dengan terus-menerus menstimulasi otak, kemungkinan terjadinya sumbatan (luka) bahkan kalau dalam bahasa Biologi luruhnya sel-sel otak dapat netralisir yakni dengan cara menulis.

Tjiptadinata Effendi dalam catatannya mengatakan bahwa “Menulis Merangsang Dwi Fungsi Otak. Orang yang membaca, hanya merangsang otak dari satu arah. Sedangkan dengan menulis, maka sekaligus merangsang dwi fungsi otak secara maksimal. Orang tidak mungkin menulis tanpa membaca apa yang ditulisnya. Sehingga dengan demikian, menulis merupakan cara terbaik untuk menjaga otak tetap cerdas. Karena menulis tidak hanya melawan lupa, tapi sekaligus terapi jiwa. Sarana dan prasarana untuk sharing and connecting, mengasah otak serta menjadikan hidup semakin bermanfaat.

Jabaran Undang-undang Dasar 1945 tentang pendidikan yang termaktub dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 menyebutkan bahwa “Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”. Kata-kata mencerdaskan di sini tidak hanya cerdas dalam membaca saja, akan tetapi dalam hal menulis pun juga harus cerdas. Karena hasil dari apa yang kita baca, harus juga diimplementasikan kepada khalayak umum, salah satunya dengan tulisan.

Menulis itu bukan hanya untuk diri sendiri, akan tetapi buat masyakat juga. Karena pada dasarnya pendidikan dan masyarakat adalah hal yang tidak bisa dipisahkan. Pendidikan mengabdi untuk masyarakat, sedangkan masyarakat maju dan berkembang melalui pendidikan. Nah, berkembangnya suatu masyarakat melalui pendidikan tidak hanya pendidikan berbasis ceramah saja, akan tetapi mereka juga harus mempunyai acuan kependidikan yang tersaji dalam sebuah tulisan. Oleh sebab itu kontribusi pendidikan lewat tulisan itu sangat berpengaruh terhadap berkembangnya suatu masyarakat.

Bahkan tokoh besar pun seperti Soe Hok Gie, RA Kartini, Tan Malaka, dan tokoh-tokoh lainnya, mereka semua menjadi besar dan dikenal karena sebuah tulisan. Dan ini selaras dengan kata-kata bijak yang sering kita dengar bahkan kita baca “Dengan membaca kita akan mengenal dunia dan dengan menulis kita akan dikenal dunia”. Pengertian dikenal di sini tentu beda dengan terkenal. Terkenal bukanlah menjadi tujuan dalam menulis. Dikenal di sini lebih kepada bagaimana bisa berbuat dan meninggalkan sesuatu yang baik sehingga menjadi inspirasi baik untuk diri sendiri maupun orang lain untuk berbuat baik pula. Wallahu a’lam.[]

Friday, October 16, 2015

Pesantren dan Paulo Freire

Oleh: Muhammad Ilyas 

Pesantren merupakan tempat untuk belajar ilmu agama secara mendalam, dengan model asrama. Pesantren sudah ada di Indonesia Sejak abad ke 15, dan  merupakan lembaga pendidikan yang memiliki jaringan sosial antar lembaga di seluruh provinsi di Indonesia.[1] Dengan usia yang tua ini pesantren memiliki kearifan-kearifan yang ada di dalamnya. Di antaranya nilai-nilai yang khas seperti tawadlu terhadap guru, dan menjunjung tinggi akhlakul karimah.[2] Dalam pesantren juga dikenal dengan istilah wasilah, yaitu keperantaraan spiritual, atau mata rantai yang terus bersambung dari seorang guru, hidup atau mati melalui guru-guru terdahulu, wali sampai kepada Nabi Muhammad, dan dianggap penting untuk keselamatan.[3] Selain itu pesantren juga mempunyai metode pembelajaran yang khas, seperti sorogan atau bandongan, dan terkadang ada kombinasi dengan model pendidikan modern.

Sebagai lembaga pendidikan, pesantren mempunyai beberapa metode pembelajaran yang diterapkan kepada para santri. Di antaranya adalah metode diskusi. Metode ini sering digunakan oleh pesantren pada siswa-siswi tingkat akhir, untuk mendiskusikan suatu masalah yang sedang dibaca pada suatu kitab.[4] Dalam istilah pesantren disebut Musyawarah atau Syawiran. Setiap santri berhak untuk mengungkapkan pendapatnya dalam menyelesaikan masalah yang diangkat pada diskusi tersebut, tentunya dengan landasan literasi yang jelas, serta dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan Posisi seorang guru dalam diskusi tersebut sebagai penashih. Jadi guru tersebut hanya berfungsi untuk memberikan closing statemen. Tetapi terkadang seorang guru ikut bermusyawarah dan tidak memberikan closing Statemen melainkan memberikan kebebasan kepada para santri untuk menyimpulkan apa yang telah didiskusikan.

Penulis di sini bermaksud untuk mendialogkan antara konsep pendidika pesantren dengan gagasan seorang Filsuf dari Brazil, yaitu Paulo Freire. Paulo Freire mengkritik model pendidikan “gaya bank”, yaitu seorang Guru menampilkan diri di hadapan murid-muridnya sebagai seorang yang berpengetahuan tinggi dan tahu akan segalanya. Sedangkan murid hanya dianggap sebagai orang yang tidak tahu apa-apa dan patut untuk diisi. Sehingga Freire memberikan gagasan raison d’etre pendidikan yang membebaskan, sebaliknya terletak pada usaha ke arah rekonsiliasi. Pendidikan ini harus dimulai dengan pemecahan masalah kontradiksi guru murid tersebut. Dengan merujuk kutub-kutub dalam kontradiksi itu, sehingga kedua-duanya secara bersamaan seimbang.[5] 

Sistem model “Bank” tersebut bisa diatasi dengan alternatif metode pendidikan Problem Passing Education atau Pendidkan Hadap Masalah. Di mana guru dan murid bersama-sama menggali sebuah kajian keilmuan. Guru tidak berdiri sebagai subyek dan murid tidak sebagai obyek melainkan keduanya disejajarkan. Keduanya bisa saling bertukar ilmu, dan sharing pengalaman sehingga seorang guru bisa memperoleh pengetahuan dari muridnya serta keduanya Think together. 

Atau dapat di gambarkan seperti bagan berikut


Dalam skema diatas dapat disimpulkan bahwa Freire menekankan pentingnya sebuah dialog. Dialog ini akan terjadi jika antara guru dan murid memunyai otoritas yang sama dalam proses belajar mengajar. Metode dialogika ini penting untuk diterapkan karena bisa memacu daya kesadaran kritis murid. Freire berpendapat untuk menjadi manusia seutuhnya harus mempunyai kesadaran kritis dan kesadaran ini bisa diperoleh melalui dialog yang seimbang.

Skema di atas juga menunjukkan yang menjadi obyek dalam proses belajar mengajar adalah kajian keilmuannya, bukan murid. Sehingga keduanya bisa menggali kajian keilmuan tersebut secara seimbang. Guru tidak terlalu mengintervensi murid dalam mengkaji ilmu, tetapi seorang guru tidak dibenarkan membiarkan murid bertindak sesuka hati, melainkan berfungsi sebagai kontrol. Konsep Freire ini berbeda dengan AS Neill[6] yang terkenal dengan sekolah Summerhill, di mana murid sekehendak hati melakukan apa saja. Hal ini terjadi karena ada anggapan pada dasarnya manusia mempunyai sisi baik dan tidak boleh diintervensi oleh siapapun.

Menurut hemat penulis terdapat kesamaan antara konsep pendidikan yang diterapkan di pesantren (khusus kelas yang menerapkan metode musyawarah), dengan kerangka pikiran Freire. Sama-sama mengangkat humanisasi, di mana seseorang tidak diposisikan sebagai lapisan kelas dua melainkan memosisikan seseorang secara seimbang, sehingga dehumanisasi tidak terjadi dalam pendidikan. 

Daftar Bacaan 
Bruinessen, Martin Van. 2012. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. Yogyakarta: Gading.

Dhofier Zamakhsyari. 2009. Tradisi Pesantren. Yogyakarta: Nawesea Press.

Freire, Paulo.2013. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: LP3ES.

Indra, Hasbi. 2003. Pesantren dan Tranformasi Sosial. Jakarta: Penamadani.

Naomi, Omi Intan (Ed.). 2009. Menggugat Pendidikan Fundamentalis, Konservatif, Liberalis, Anarkis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

[1]  Dhofier, Zamakhsyari. 2009.Tradisi Pesantren. Yogyakarta: Nawesea Press. 
[2] Indra, Hasbi. 2003. Pesantren dan Tranformasi Sosial. Jakarta: Penamadani. 
[3] Bruinessen, Martin Van. 2012. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. Yogyakarta: Gading. 
[4] Ibid. hlm. 2. 
[5] Freire, Paulo.2013. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: LP3ES. 
[6] Salah seorang praktisi pendidikan di Amerika Serikat yang menerapkan kebebasan para murid untuk berbuat apapun. Model sekolah ini mendapatkan apresiasi yang cukup besar dari seluruh dunia pada masanya. Tapi banyak pemikir pendidikan yang mengkritik konsep pendidikan ini.

Friday, October 9, 2015

Manusia Tungku

[sumber foto: di sini]
Oleh: Irham Thoriq

Aku selalu merasa nyaman ketika duduk di samping tungku yang mengeluarkan api dengan nyala samar-samar. Di situ, aku merasakan ketenangan melebihi ketika berada di kakus. Di samping tungku, aku bisa membayangkan apa saja yang bisa membuatku senang tanpa harus memikirkan bentakan dari ibuku.

Selama ini hanya tungku yang bisa mendengarkan ceritaku. Kepada apinya, aku sering menceritakan apa yang aku alami setiap hari. Kadang aku mengalami nasib sial pagi hari, aku langsung ceritakan sore harinya, ketika kita bertemu di sudut dapur berdinding bambu yang warnanya sudah menghitam karena kepulan asap.

Pernah aku menceritakan kepadanya ketika suatu pagi aku baru tiba di ladang milik tuan tanah di kampung, di tempat yang penuh semak belukar itu, tiba-tiba melompat seekor ular. Tanpa izin dan berbicara apa-apa, ular menggigit betisku. ”Kamu tahu api, bagaimana rasanya,” kataku.

Api hanya diam seolah sedang khusyuk mendengarkan ceritaku. Dia tidak bertanya apa-apa tentang kejadian itu, dia tidak bertanya ular apa yang menggigitku, bagaimana keadaan kakiku dan lain-lain. Dia hanya diam dan aku terus-terusan menjejalinya dengan kata-kata. Aku tidak tahu api senang dengan ceritaku atau dia bosan dengan ocehanku sepanjang sore itu.

Berkali-kali aku digigit ular, kalajengking, dan kadang-kadang anjing yang memang bertebaran di kebun kentang, tempatku bekerja sebagai buruh tani. Setiap kali digigit sengatan hewan buas, aku tidak pernah absen bercerita. Kadang aku niatkan cerita itu kepada api, kadang pula kepada tungku. Aku tidak tahu apa bedanya bercerita kepada dua benda mati itu.

Bagiku yang tidak punya kekasih, menyendiri di samping tungku setelah berkebun merupakan sebuah kemewahan. Tapi, teman-teman saya yang kurang ajar sering kali menyebut kalau aku sedang kesepian. ”Dasar saja kamu tidak punya istri,” kata Sarji, seorang temanku yang juga buruh tani.

Mendengarkan ucapan temanku yang berkulit dekil, berbau sangit, dan giginya yang kekuning-kuningan itu, aku ingin marah. Ingin aku tabok mulutnya yang sedikit merongos itu. Setelahnya aku ingin menendangnya ke sungai. Menurutku hanya sungai tempat yang layak bagi orang yang tidak bisa menjaga mulutnya. Di sungai, dia bisa berbicara apa saja sesuka hatinya. Dia bisa menghina ikan, mengumpat air, dan bercakap-cakap dengan bebatuan yang tidak punya rasa marah meski mendapat caci maki.

”Sebaiknya kamu tidak perlu ke kebun lagi, kamu di sungai saja,” kataku pada suatu pagi.

”Di sungai banyak kotoran, termasuk kotoranmu,” jawab dia.

”Itu tempat yang layak bagimu.”

”Kamu saja, rumah saya sudah ada kakusnya.”

”Kamu tidak perlu punya kakus.”

”Kenapa...?”

”Kamu miskin, kotoran dan badanmu hanya pantas mengapung di sungai dengan kotoran-kotoran orang kampung.”

”Jaga bicaramu, bangsat.”

Pertengkaran kita di kebun tiba-tiba terhenti. Abah Sholeh, tuan tanah yang mempekerjakan kami pun datang. Pagi itu dia baru turun dari masjid, kayaknya dia baru salat Duha. Meski gayanya sudah necis seperti kiai, di tangannya terlihat menenteng dua buah karung. ”Saya ingin mencari kayu bakar,” kata Abah Sholeh.

Abah Sholeh (kami berdua kadang juga memanggilnya Abah Saleh), merupakan tuan tanah paling kaya di kampung kami. Saking kayanya, di dapur milik dia yang luasnya sekitar satu kali lapangan futsal, terdapat tujuh buah tungku. Kau tahu, di kampung kami, semakin banyak tungku yang dimiliki, menandakan semakin kaya orang tersebut. Itu adat kami yang hingga saat ini dipercayai oleh penduduk kampung.

Aku tidak pernah tahu persis kenapa ada kepercayaan seperti itu di kampung dan kenapa kampung kami banyak sekali memiliki tungku. Hanya saja, kakekku pada sebelas hari sebelum kematiannya pernah bercerita.

Kata kakekku yang hampir separo hidupnya dihabiskan sebagai buruh tani, sekitar 65 tahun yang lalu, kampung kami dilanda kekeringan. Ketika itu semua tanaman kentang milik warga mati. Penduduk juga kesulitan air untuk mandi, minum, dan buang kotoran. Untuk mandi, warga harus ke sungai kampung milik tetangga. Sedangkan sungai milik desa kami sudah habis tidak lama setelah kekeringan melanda. Penduduk desa pun mulai terkena gatal-gatal di sekujur tubuh.  Gatal-gatal itu kadang muncul di punggung, pipi, dan paling banyak di bokong para perempuan.

Penduduk desa mulai gaduh. Sudah tidak ada lagi warga yang ke lading dan ke sungai. Mereka juga malas karena harus bertengkar terlebih dahulu dengan penduduk desa tetangga untuk mendapatkan air. ”Untuk minum, kita saling mencuri air,” kata kakek saya itu.
Setelah delapan bulan desa tak ada air, pada suatu sore munculah seorang penyelamat. Warga desa memercayai kalau orang itu adalah juru selamat yang diturunkan Tuhan. Meski tidak ada yang mengetahui pasti dari mana orang itu, ada penduduk yang yakin kalau orang ini muncul dari semak belukar di sudut kampung. ”Ada juga yang yakin dia muncul dari dalam kentang yang sudah layu,” kata kakek saya yang memang terkenal pandai berdongeng. ”Yang jelas dia juga membawa tongkat, seperti cerita Nabi yang bisa membelah lautan hanya dengan tongkat.”

Untuk mendapatkan air, juru selamat ini memerintahkan penduduk kampung untuk membuat tungku. Menurut dia, tungku tidak hanya bisa menghasilkan api, tapi juga bisa memperlancar sumber air. Satu bulan setelah menuruti permintaan juru selamat itu, air muncul dari sumber-sumber di kampung. ”Dan juru selamat pun mati di kebun kentang satu minggu setelah itu,” kata kakekku.

Hanya cerita itu yang aku dengar tentang asal muasal banyaknya tungku di kampung. Ketika kakekku hendak melanjutkan ceritanya, aku dipanggil Sarji untuk segera berangkat berkebun. Lalu saya pamit ke kakek dan meminta dia melanjutkan ceritanya lain waktu. Tapi, belum sempat kakek saya menceritakan tuntas tentang kejadian itu, kakek saya meninggal karena serangan angin duduk.

Kepada Sarji, berkali-kali saya ceritakan sepenggal cerita kakek itu. Tapi Sarji tetaplah Sarji. Dia orang yang begitu menjengkelkan, dia tidak pernah benar-benar serius mendengarkan ceritaku. Dia hanya mengangguk-angguk tanpa bertanya kelanjutan ceritanya. Bahkan, kadang Sarji malah menuduh kakek saya sudah berbohong dan mengarang cerita. ”Mungkin kakekmu habis nonton film,” kata dia.

”Kakek saya orang jujur,” saya menimpali.

”Kakek saya kiai, tapi tidak pernah bercerita seperti itu.”

”Terserah kamu percaya atau tidak.”

”Memang terserah saya, masak terserah kakekmu.”

”Kurang ajar.”

Setelah kami cekcok, karena sore sudah menghilang tertutup awan dan hujan rintik-rintik mulai berjatuhan, kami pun pulang meski ada dua larik tanah yang belum kami cangkul. Seperti biasa, setelah mandi di sungai, aku menyeduh kopi dan menghangatkan badan di samping tungku. Kali ini aku menceritakan pertengkaranku dengan Sarji. Kepada api, aku ingin menyemplungkan Sarji ke sungai. Tapi aku selalu tidak bisa karena kami tidak pernah mandi berdua. Sarji sudah punya kamar mandi sendiri.

Keesokan harinya, ketika penduduk kampung sudah mulai memadati jalanan untuk berangkat berkebun, Sarji mengetuk pintu rumah. Setelah tiga kali ketukannya tidak mendapat tanggapan, Sarji menendang pintu rumah dengan sedikit keras. Ibuku kaget, terbangun, lalu membukakan pintu.

”Anakmu mana, Mbak Saripah,” kata Sarji yang ketika itu diantar istrinya. Kedua tangannya terlihat membawa kardus, dan dicangklongnya sebuah tas.

”Kamu mau ke mana?”

”Saya hanya ada perlunya dengan anakmu,” Sarji menjawab.

Ibu lalu membangunkanku. Seperti biasa, ibu selalu menetesi air di pipiku agar aku terbangun. Kau tahu, kebiasaan ibuku membangunkanku dengan tetesan air ini sudah berlangsung sejak aku berumur lima tahun lebih empat bulan. ”Kalau tidak seperti ini tidak bangun temanmu itu, Sarji,” suaranya lirih terdengar sebelum mataku benar-benar berbinar.

Setelah sadar, aku langsung menyalami Sarji. Semenjak aku mengenalnya empat belas tahun lalu, baru kali ini saya menyalaminya. Sebelumnya, Sarji tidak pernah mampir ke rumah. Dia hanya meneriakiku dari luar rumah ketika dia menjemputku untuk berangkat ke kebun.

”Saya mau ikut istriku ke Solo,” kata Sarji.

”Kok mendadak.”

”Sudah lama rencananya, tapi tidak aku ceritakan.”

”Seberapa lama di Solo.”

”Mungkin tiga tahun atau kalau lancar selamanya tinggal di Solo, di rumah mertua.”

Pagi itu pembicaraanku dan Sarji ada sedikit keharuan. Aku banyak bertanya kenapa dia memilih ke Solo dan mau kerja apa dia di sana. Sarji pun hanya menjawab singkat. Dari matanya, saya melihat genangan air yang hendak terjatuh. Baru kali ini aku tidak ingin menceburkannya ke sungai.

”Saya mau jualan bakso.”

”Bakso Solo..?”

”Bukan, di Solo tidak ada Bakso Solo.”

”Lalu apa?”

”Namanya belum saya buat, intinya bakso.”

Ketika itu, kita berpelukan. Air mataku ingin keluar, tapi air mata Sarji lebih dulu membasahi pipinya yang dipenuhi banyak jerawat. Di hadapan ibu, aku tahan tangisanku dan berhasil. ”Bayaranku di Abah Sholeh masih sisa empat puluh delapan ribu,” kata Sarji setengah berbisik. ”Lalu..?”

”Kamu ambil.”

”Tidak perlu.”

”Itu pemberian pertama dan terakhirku padamu, tak perlu menolak,” katanya.

”Baiklah.”

Hari itu rupanya hari terakhir pertemuanku dengan Sarji. Tiga tahun setelah hari menyedihkan itu, dari istrinya saya mendapatkan kabar kalau Sarji meninggal dunia karena kecelakaan. Saat hendak menyeberangkan rombong bakso, Sarji ditabrak pikap. Karena tidak punya uang untuk mengantarkan jenazahnya ke desa, tempat dia dilahirkan di lereng Gunung Bromo, Sarji akhirnya dimakamkan di Solo. ”Biaya ambulans mahal,” kata istrinya melalui sambungan telepon. ”Biar keluarganya saja yang ke Solo,” ucapnya. ”Baiklah, maaf saya juga tidak punya uang ke Solo, salamku kepada Sarji ya,” kali ini aku sesenggukan, tidak bisa menahan air mata.

Tujuh bulan setelah Sarji meninggal. Aku merantau ke Jakarta karena diajak seorang teman untuk menjadi buruh bangunan. Dari Jakarta, selalu aku kirim uang kepada ibu di kampung. Kadang enam bulan sekali, kadang delapan bulan sekali. Penghasilanku di Jakarta sangatlah besar. Satu bulan di sini, sama dengan bekerja sebagai buruh tani selama empat bulan.

Penghasilan yang besar itu ternyata tidak terlalu lama. Aku hanya tujuh tahun bekerja di Jakarta. Aku lalu menjadi pengangguran karena kontraktor yang mempekerjakanku gulung tikar setelah terjadi krisis. ”Kenapa sudah pulang,” kata ibuku. ”Sudah tidak ada kerjaan,” jawab saya singkat lalu masuk ke dalam kamar.

Di rumah, sudah tidak ada lagi tungku yang menyala samar-samar. Hampir semua rumah di kampung beralih ke kompor gas tiga kilogram. ”Kayu sudah jarang,” kata ibu. ”Dan ada program tabung gas gratis oleh pemerintah, makanya tungku dibongkar.”

Ketika aku tanya tentang cerita kakek soal tungku, ibuku hanya cekikikan. Ibuku dan juga orang-orang kampung rupanya sudah yakin kalau apa yang diceritakan kakekku hanya bualan belaka. Menurut ibuku, pada sebelas hari sebelum kematian kakekku, dia sebenarnya hanya mendongeng. ”Kesalahan kamu adalah kenapa kamu memercayainya,” kata ibuku. ”Sudah satu tahun lebih kita pakai kompor, air sumber tetap lancar.”

Semenjak itulah, aku yang sudah tidak lagi punya kawan di kampung. Dan aku merasakan kerinduan yang mendalam. Aku rindu pada api, pada kayu, dan pada tungku yang menyala samar-samar. Aku juga rindu pada Sarji, pada pertengkaran kami, dan pada kebun kentang yang sekarang sudah banyak menjadi rumah-rumah.

Sialnya, kerinduan itu tak bisa aku ceritakan karena tungku yang sudah raib dari kampong ini. Kadang, saya mencoba bercerita kepada sungai. Meski tidak seindah bercerita kepada tungku, tapi sungai sedikit demi sedikit mulai terbiasa mendengarkan ceritaku. Tapi, orang yang berseliweran di pinggir sungai selalu menertawaiku. Pada suatu hari, salah seorang penduduk kampung berbisik. ”Kamu sudah gila ya?”

Cerpen ini terbit pertama kali 
di Radar Malang Edisi Minggu (4/10)
Powered by Blogger.

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top