Sunday, November 27, 2016

5 Keuntungan Menjadi Keamanan Pesantren

pure

Oleh: Halimah Garnasih

Menurut KBBI, kata “keamanan” adala kata benda yang memiliki arti ‘keadaan aman’, turunan dari kata sifat ‘aman’. Pada dasarnya kata ini tidak merujuk makna ‘lembaga’, ‘sebuah profesi’, atau ‘sosok; orang’. Namun, di beberapa Pesantren, kata ini memiliki pergeseran makna. Di beberapa Pesantren tersebut, saat Anda menyebut kata “keamanan”, maka konsep yang ada di benak pendengarnya akan otomatis merujuk pada ‘Divisi’, ‘Profesi’, dan menyempit pada ‘sosok’. Umumnya, kata ini akan mengalami penyempitan lebih dalam lagi pada makna “sosok yang menjadi momok” warga Pesantrennya.

Menjadi Keamanan Pesantren berarti menjadi santri yang paling ditakuti, dibenci, sering dicurigai, sekaligus dicintai. Menjadi Keamanan Pesantren adalah hal yang paling dijauhi, ditakuti, tapi diam-diam sekaligus diharapkan, diimpi-impikan, dan dibangga-banggakan. Kursi jabatan Keamanan Pesantren (selanjutya ditulis ‘Keamanan’) adalah kursi yang sarat kontroversi, polemik, dan guncangan. Kenyataan ini akhirnya menurun pada proses sosialnya dan tentu saja bergayut-kelindan pada ‘sosoknya’.

Banyak yang bilang, menjadi Keamanan itu banyak untungnya. Nah, tulisan ini hadir untuk mengamini asumsi tersebut. Di bawah ini ada lima keuntungan Keamanan terkait posisi yang bisa dipertaruhkannya berdasaran pengalaman kerjanya selama di Pesantren.

Menjadi Jurnalis yang Handal
Tidak tanggung-tanggung, Keamanan tidak hanya memiliki skill menjadi penulis dan peneliti. Lebih dari itu, Keamanan bisa menjemput masa depannya yang penuh tantangan dengan menjadi jurnalis yang handal!

Ini berdasarkan pengalaman panjangnya dalam kerja Keamanan yang tidak mengenal waktu dan tempat, kecuali hari liburan Pesantren tiba. Meski untuk kasus-kasus tertentu kerja Keamanan tidak mengenal hari libur sih.

Keamanan terbiasa mencari data aktivitas para santri dari absen-absen kegiatan pesantren yang super banyak. Setelah mendapatkannya, data-data itu dikelompokkan, lalu diteliti satu per satu. Dalam penelitian ini, Keamanan harus sangat teliti, rinci, dan berhati-hati jangan sampai terlewat satu nama dan satu kegiatan pun!

Hal ini karena berkaitan menentukan nasib seorang santri pada malam Jumat mendatang. Apakah dia akan lolos masuk Kantor Keamanan yang menyeramkan, atau harus mendekam dan menghabiskan malam Jumat nan sakral itu dengan menjawab setiap pertanyaan yang diajukan kepadanya dengan tubuh gemetaran.

Data-data yang telah diteliti dan dikumpulkan itu tadi harus melewati tahap selanjutnya, yaitu verifikasi. Dan terakhir, Keamanan siap membuat laporan tertulis sebagai bahan persidangan malam mengerikan bagi para kriminal.

Dan sesungguhnya, dalam tahap akhir itu pun kerja Keamanan belum usai. Dia berpindah mengumpulkan, meneliti, dan mengolah data yang tidak tertulis. Data-data yang datang dari laporan beberapa pihak baik santri, pengasuh, maupun masyarakat sekitar Pesantren. Juga hal-hal kriminal (dalam konteks Pesantren; santri yang melanggar Tata Tertib Pesantren. Kriminal di Pesantren belum tentu kriminal dalam konteks Hukum Negara) yang langsung ditemukan sendiri oleh Keamanan.

Misalnya ya, ini misalnya lo ya: Seorang Keamanan (santri) putri yang mendapatkan surat titipan dari seorang santri putra untuk diberikan kepada santri putri. Kasus ini terkadang yang membuat pertimbangan para santri putra dalam menghafal wajah-wajah Keamanan putri.

Menjadi Intelijen Negara
Tidak jamak diketahui memang, bahwa Keamanan diam-diam memiliki beberapa telik sandi. Mereka datang dari para santri yang mustaqîm, alias lurus dan sungguh tidak menyenangi para santri yang terang-terangan melanggaran peraturan Pesantren. Mereka berkeyakinan, esensi nyantri adalah ngalap barokah. Dan esensi ini akan menjadi berjarak dengan santri apabila mereka melanggar peraturan Pesantren. Karena peraturan Pesantren memiliki turunan dari perintah dan larangan Kiai.

Keamanan yang memiliki bekal menjadi intelijen adalah dia yang cerdas membaca fenomena. Dia terlatih melihat, merekam, membaca dan menyikapi isu-isu Pesantren yang hadir ke permukaan dengan cerdas. Karena bila tidak memiliki kemampuan tersebut, alih-alih mendapatkan aktor-aktor yang bekerja di balik itu semua dan menjaga kestabilan Pesantren, dia akan menjadi korban bentukan isu dan terkecoh oleh para kriminal besar yang menjadi dalang dari semua kerusuhan. Ya, seperti keadaan Jakarta saat ini. Aduh, padahal sudah ngempet-ngempet agar tidak menyentuh perbincangan ini!

Keamanan juga terbiasa dituntut memiliki sudut pandang yang berbeda. Hal ini bukan untuk memosisikan diri di titik oposisi biner dan berhadap-hadapan, tapi bagian dari teknik melihat dengan holistik, juga menjangkau apa yang ada di sana. Sekaligus apa yang ada di sini.

Sebenarnya masih ada lagi. Tapi bagian ini harus unclassified, bila tidak, bisa jadi bentuk-bentuk kriminalitas akan semakin kreatif. Bila hal ini terjadi, Keamanan akan kelimpungan dan dituntut untuk lebih kreatif dalam tekhnik-tekhnik kerja senyapnya. Jadi, energi Keamanan sebenarnya memang perlu dimaksimalkan di titik ini, agar hasrat menyalurkan anarkisme (bila masih ada) sedikit demi sedikit menjadi lunak. Tentu saja disertai mulai menerapkan hukuman yang lebih manusiawi dan memiliki nilai edukasi. Sebuah kesadaran manusia-manusia berperadaban.

Pendeknya, Keamanan berpengalaman dan menerapkan dua kerja sekaligus, yaitu kerja FBI dan kerja CIA!

Menjadi Polisi, Pengacara, dan Hakim
Kerja Keamanan juga adalah kerja tiga profesi di atas sekaligus. Memanggil para saksi untuk dimintai keterangan sudah bagaikan makanan sehari-hari bagi Keamanan. Keamanan dituntut jeli menangkap keterangan para saksi baik keterangan verbal maupun non verbal. Membaca keterangan dari bahasa tubuh dan dari garis-garis di raut muka memang mendorong intelejensi Keamanan menjadi lebih dalam. Mana keterangan verbal yang berbanding lurus dengan bahasa tubuh, dan mana keterangan verbal yang bertolak dengan bahasa tubuh.

Di sinilah Keamana juga sering dihadapkan dengan perilaku metafisis para saksi, tersangka maupun korban. Sambil terus mengajukan pertanyaan-pertanyaan sarat pancingan, semua indera harus aktif terjaga mengawal keadaan. Akan ada mulut yang tidak henti-henti merapal berbagai amalan yang dipercaya mengecoh atau membungkam Keamananan. Ada jari telunjuk yang bergerak-gerak memilin ujung kain kerudung sambil fokus menatap Keamanan yang dituju agar kehilangan fokus pada subjek, dan pola-pola metafisis lainnya oleh para saksi, tersangka, maupun korban yang dihadirkan.

Dalam menghadapi yang seperti ini, Keamanan juga terbiasa mengamalkan hizib dan mengantongi rajah dan semacamnya sebagai bentuk advokasi metafisis. Ini kelebihan yang barangkali tidak dimiliki Badan Keamanan Negara secara umumnya baik Nasional apalagi Internasional (saat mendapat serangan metafisis, KPK hanya menggunakan jasa, tidak melakukan sendiri). Di sinilah kemampuan intelejensi, emosional, dan spiritualitas Keamanan sangat terasah. Hal ini membentuk pribadi Keamanan sebagai sosok yang berkarakter, matang jiwa-raga.

Melewati proses di atas, Keamanan akan memasuki fase pengolahan keterangan dan memutuskan sebuah putusan. Di titik ini, ketegasan tanpa memandang bulu, dan kebijaksanaan harus mampu dihadirkan dari jiwa seorang Keamanan. Menjadi sosok yang bijak dengan mendasarkan keputusan sebuah putusan hanya dari simpul putusan dan mengacu pada limitasi, berkas Tatib Pesantren. Semacam UUD nya Pesantren lah ya.

Menjadi Pemimpin
Keamanan telah terbiasa pandai mengorganisir waktu, juga antara yang pribadi dan yang umum, bahkan di beberapa titik seringkali merelakan kepentingan pribadinya demi mengutamakan kepentingan umum. Kerja Keamanan harus terus berlangsung sementara kewajibannya sebagai santri dan peserta didik tetap menjadi tanggung jawabnya.

Ketika santri masih nyenyak tidur, Keamanan harus bangun terlebih dulu demi memastikan para santri telah bersiap melaksanakan salat jamaah saat pengasuh sebagai imam subuh telah rawuh di Musalla. Saat para santri telah mulai mengistirahatkan kedua matanya, Keamanan harus tidur lebih akhir untuk mengontrol keadaan santri dan Pesantren di malam hari. Saat santri nyaman belajar dan menghafal nazam di sela-sela kegiatan, Keamanan harus cerdik nyambi hafalan di tengah proses investigasinya. Bahkan, seringkali harus terjaga sampai menjelang subuh karena kasus-kasus besar sedang ditangani.

Manajemen dan skill organizing-nya sudah tidak perlu ditanyakan. Pengalamannya melayani umat telah mengasah jiwa Keamanan sebagai jiwa yang rela berkorban. Satu di antara hal esensial yang harus dimiliki seorang pemimpin!  Dan yang terpenting, pelayanannya untuk Pesantren menjadikannya santri yang dihujani barokah. Bersama barokah dari sang Guru, kerja kepemimpinanya akan senantiasa dikawal oleh kerelaan dan doa-doa. Bertabur barokah.

Menjadi Insan Kamil
Insan kamil atau manusia sempurna adalah istilah sarkasme yang ditujukan untuk Keamanan. Hal ini datang karena anggapan: benar atau salah Keamanan tetap benar. Keamanan luput dari proses hukuman. Bersamaan dengan itu, hal sebaliknya tertanam dalam kesadaran Keamanan: Salah atau benar, Keamanan selalu dipandang salah, seperti tidak ada benarnya di mata santri. Bilamana keliru, maka hujatan dan caci-maki akan datang bertubi-tubi. Bilamana berada pada jalur, bagaikan angin lalu. Bilamana berhasil mencetak prestasi kerjanya, itu memang menjadi sewajarnya.

Kenyataan di atas sesungguhnya menjadi bagian dari faktor yang menghantarkan Keamanan menjadi Insan Kamil (dalam arti yang sesungguhnya). Kontrol sosial yang dahsyat terhadapnya, dapat menjadi rambu-rambu dalam menjalani aral hidupnya di Pesantren. Jangankan meleot beneran, hanya akan meleot saja, rambu-rambu lekas berganti warna merah dan berbunyi nyaring sekali dan datang dari segala arah.

Selain menjadi kontrol sosial, kedua hal di atas akan membawa Keamanan pada titik berkontemplasi tentang keberadaannya di dunia Pesantren. Lalu bergerak lebih jauh, masuk pada spektrum yang lebih luas: kehidupan itu sendiri. Ia mulai melakukan perjalanan pikir dan batin dan menemukan muaranya. Akhirnya ia berjalan menemukan muara bukan karena kedua hal di atas. Bukan pula karena Tatib Pesantren. Apalagi terjebak pada ketakutan normatif: Kabura Maqtan ‘Indallaahi.

Allaahu A’lam.

Malang, 25-26 November 2016

sumber gambar: somewhere @ pure dreams

Saturday, November 26, 2016

Sepucuk Surat Untuk Luqman al-Hakim

important letter

Oleh: Muhammad Zamzami

Assalamu ‘Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh…

Salam kenal dariku, wahai orang yang telah dikaruniai Hikmah dari sisiNya, yang belum pernah sama sekali Ia berikan kepada hamba-hambaNya yang lain, sehingga Ia mengabadikan pemberian itu dalam salah satu firman suciNya, Luqman al-Hakim.

Memang jarak waktu antara kau dan aku terlampau sangat jauh sekali. Ada yang bilang kau hidup pada masa Nabi Ibrahim AS., ada yang bilang pada zaman Nabi Dawud, dan ada juga yang bilang kau semasa dengan nabi Ayub AS. Tak hanya itu, orang-orang bilang kau berprofesi sebagai seorang hakim yang amat adil di kalangan Bani Israel, ada yang bilang sebagai tukang kayu, tukang jahit, bahkan ada juga versi lain bahwa kau adalah seorang budak yang dibeli dari Habsyah.

Betapa pun banyak versi tentang profesi dan kedudukanmu sebagai manusia, seperti yang mereka katakan tentangmu, aku sama sekali tidak peduli. Yah, diakui atau tidak kau memang hanya seorang manusia biasa, tak lebih sama denganku dan orang-orang di sekitarku ini. Namun ada hal dari dirimu yang tak bisa kudapatkan dari mereka. Yaitu wasiat-wasiatmu kepada anakmu, Taran. Entah berapa wasiat yeng telah dicatat oleh para penggemarmu, yang kau ucapkan kepada anakmu itu.

Mohon maaf jika aku lancang mengirimkan surat ini padamu. Aku hanya bingung dengan wasiatmu yang berbunyi:

يا بني، جالس العلماء وزاحمهم بركبتيك، فإن الله يحي القلوب بنور الحكمة كما يحي الأرض الميتة بوابل السماء

Bukankah itu adalah wasiatmu kepada anakmu? Tentu saja kau tidak main-main dengan ucapanmu itu, kan? Juga tak hanya anakmu yang kau inginkan untuk mengamalkannya, tapi juga generasi-generasi setelahnya, kan? Jika memang iya, lantas kenapa sekarang situasinya terbalik?

Hanya sekadar klarifikasi. Di sekitarku saat ini, kalau saja kau tahu, banyak sekali ulama. Mereka adalah orang-orang yang tak diragukan lagi akan kefakihannya, mereka juga orang-orang yang amat sangat terpandang di kalangan masyarakat. Tidak hanya itu, mereka bahkan memilki banyak penganut (bahasa kami menyebutkannya dengan santri), termasuk juga aku.

Dalam wasiatmu kau mengatakan: “dekatilah para ulama sedekat-dekatnya, agar hatimu hidup dengan siraman hikmah dari mereka layaknya tanah yang tandus menjadi subur dengan turunnya hujan”. Kami sangat setuju sekali dengan wasiatmu itu dan sama sekali tidak meragukan akan kebenarannya. Namun, apakah kau tahu bahwa sekarang situasinya sudah tak seperti zamanmu dulu? Ketika kami hendak mendekati mereka (Ulama), malah bukannya kami mendapat setetes hikmah pun dari mereka, tapi malah mereka yang tak mau untuk kami dekati. Mereka menjauh dari kami dan mereka enggan bersahabat dengan kami.

Aku tak tahu yang mana yang salah, apakah mereka bukan Ulama yang kau maksud, apakah ulama yang kau katakan dalam wasiatmu itu sudah tak ada lagi saat ini, di zamanku ini? Ataukah ucapanmu yang meleset, alias sudah tak berlaku lagi sekarang? Ataukah mungkin secara diam-diam kau mengatakan kepada mereka: “Aku sudah berwasiat seperti ini pada anakku agar dia sebarkan kepada generasi-generasi setelahnya, kalau kalian didekati oleh mereka, jangan mau. Jauhi saja mereka yang tak sopan, hindari mereka yang bukan dari golonganmu, dan jangan hiraukan mereka biar mereka kebingungan. Untuk apa kalian mau didekati oleh orang-orang yang tak pantas mendapat hikmah?”

Tentu saja kami yakin bahwa kau bukan orang yang seperti itu. Toh, mana mungkin orang sepertimu, yang telah dimuliakan dalam firmanNya, melakukan hal yang sedemikian hinanya kepada kami? Sebab yang kami tahu, kau adalah orang yang sangat istimewa, orang yang memang memiliki kelebihan berupa anugerah Hikmah yang amat agung dariNya, dan orang yang senantiasa memberi nasehat kepada keadilan dan condong kepada keridaanNya. Meski pun banyak versi cerita tentangmu yang mengatakan bahwa kau itu adalah orang yang berprofesi sebgai tukang kayu lah, tukang jahit lah, budak lah, atau apapun itu aku sama sekali tak perduli akan kebenaran hal itu. Yang aku tahu kau adalah orang pilihan yang dekat denganNya. Dan aku hanya ingin mengklarifikasi wasiatmu tadi, kok situasinya bisa kebalik saat ini, yakni masa di mana kami para generasi ini hidup.

Mungkin hanya itu saja yang ingin aku sampaikan padamu. Sekali lagi jika kau menganggap aku kurang sopan mengirimkan surat ini, entah itu kata-katanya, sikap yang tercermin dari bentuk tulisannya, atau bahkan pikiranku ini yang mungkin kau anggap tak layak melintas di otakku, aku benar-benar minta maaf. sebab mau bagaimana lagi, aku sudah tak tahan dengan perilaku mereka.

Aku tunggu balasan surat ini darimu, Luqman al-Hakim.


Wassalamu ‘Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

sumber gambar: Slim Teller

Wednesday, November 23, 2016

Lorong Bahagia

happiness

Oleh: Samara

Angin berhembus menyibak fatamorgana di pagi hari. Bisikan pohon rindu terdengar halus di telinga. Kulalui jalan setapak, melewati kelas-kelas yang masih kosong. Langkahku terhenti di depan TU MAN Gondanglegi yang sedang terbuka, kulihat tumpukan kardus yang berisi majalah OASE. Hmmm, ini kan nanti pembagian majalah. Kenapa majalah masih disini semua, gumamku dalam hati. Pucuk dicinta ulam pun tiba, aku melihat Aziza salah satu redaktur majalah.

“Za, mindahin majalah yuk, biar ntar enak kalo pas pembagian majalah.”

“Boleh. Yakin nih cuma berdua?

Yakiinnnnnn....” Jawabku.

Kami mulai memindahkan majalah ke ruang jurnalis yang tak jauh dari ruang TU, hanya terpisah oleh musalla saja. Sedikit cerita, ruang jurnalis yang kami tempati tidak lebih luas dari ruang kelas yang ada di sekolah kami. Namun, ruangan inilah yang mampu memberikan warna-warni dalam kehidupanku, khususnya di bidang jurnalisme. Dalam ruangan ini saya belajar banyak hal, mulai dari cara bersosialisasi, cara menyatukan perbedaan dan masih banyak lainnya. Aku terus menata majalah sesuai dengan jumlah kelas yang ada. Seiring berjalannya waktu semakin banyak yang berdatangan ke ruang jurnalis. Entah itu redaktur yang datang untuk membantu atau perwakilan kelas yang datang untuk mengambil majalah.

Biasanya mereka datang berdua atau bertiga, tapi kali ini lain. Aku dikagetkan dengan segerombolan siswa-siswi yang berjalan menghampiri ruang jurnalis. Sepertinya kalau dilihat dari badge yang berwarna kuning mereka kelas XI sama denganku. Ah, rupanya benar dugaanku, mereka personil XI Agama yang melakukan pembelajaran di musalla. Memang ketika pelajaran Ushul Fiqh mereka sering di musalla untuk mempermudah proses pembelajaran. Anehnya mereka tidak segera masuk ke dalam musalla, mungkin karena guru belum datang. Yah, beginilah memang anak SMA. Bukan segera masuk ke musalla mereka malah memenuhi ruang jurnalis.

“Ra, Ga capek apa tiap hari mengurus majalah melulu?” Iqbal, teman kelasku, melontarkan pertanyaan ini padaku.

“Enggak lah, kalau sudah hobi pasti asyik.

Ra ini ya, Ra itu yaa. Dan masih banyak lagi obrolan yang kami lakukan di sana.

Selang beberapa menit, pak Lukman sudah datang menuju musalla. Seketika itu juga ruangan jurnalis serasa sepi dari pendemo.

“Ra....” Sapa beliau padaku ketika melintasi ruang jurnalis saat hendak menuju musalla.

“Iya, Pak.” Aku menjawab sambil tersenyum dan menganggukkan kepala sebagai tanda rasa takzim kepada beliau.

Setelah sapaan itu dan beliau berlalu menuju musalla, aku merasakan sebuah perasaan yang tak nyaman. Bagaimana tidak, aku ada di ruang jurnalis tepat di teras, sedangkan pelajaran kelasku sudah dimulai di dalam musholla. Jelas terlihat aku sedang ada di luar. Saat ini aku benar-benar memutar otak antara melanjutkan aktivitas di ruang jurnalis atau meninggalkan ruangan dan menuju musalla mengikuti pelajaran yang berlangsung. Ah, benar-benar pilihan yang sulit. Sebenarnya kalau aku menuruti kemauanku yang malas ada di dalam ruangan kelas, aku akan lebih memilih tetap tinggal di ruang jurnalis dan melakukan hobiku. Yah, aku rasa ini lebih menyenangkan. Tapi tunggu, pikiranku berubah.

“Za, di kelasku pelajaran deh tuh kayaknya. Aku kekelas ya.”

Oke. Gak masalah. Lagian ini sudah mau selesai kok.”

Aku mengambil tasku di ruang jurnalis dan menuju musalla untuk mengikuti pelajaran Ushul Fiqh. Aku ada di barisan paling belakang di sebelah jendela. Menurut banyak argumen, posisi ini memang posisi favorit bagi semua kalangan. Aku menghayal memikirkan banyak hal hingga tak terasa aku tidur selama pelajaran berlangsung. Setengah jam lebih aku tidur, aku terbangun karena aku mendengar suara yang tak jauh dariku. Rupanya itu pak Lukman yang sedang menelapon seseorang, entah siapa yang beliau telepon hingga berdiri tepat di depanku.

“Ayo berangkat! Mana temanmu, Wahidah sama Ahmad?”

“Oh, iya, Pak. Saya cari dulu.”

Rasanya aku seperti sedang ada dalam dunia mimpi. Aku berkhayal untuk keluar dari kelas beberapa menit yang lalu dan akhirnya itupun terjadi dalam sekejap. Aku tahu sekarang, Pak Lukman sedang menelepon informan yang ada di Sitiarjo. Ketika beliau bilang berangkat aku sudah paham bahwa yang beliau maksud adalah berangkat menuju desa Sitiarjo yang ada di kecamatan Sumbermanjing untuk mengujungi salah satu informan penelitian yang kita butuhkan. Saat ini aku dan kedua temanku, Wahidah dan Ahmad, memang sedang mengikuti lomba Karya Tulis Ilmiah dalam pekan Kompetisi Sains Madrasah. Kami bertiga dibimbing oleh bapak Lukman. Kami menghabiskan banyak waktu bersama di dalam dan di luar jam sekolah untuk menyelesaikan penelitian ini. Bagi peneliti yang notabene masih SMA suasana hati yang baik sangat menentukan bagi kelangsungan penelitian yang kami garap. Oleh sebab itu, tak jarang di sela-sela proses penyelesaian kami berbagi cerita dan saling memberikan solusi.

Suasana kali ini berbeda. Dengan mengendarai Elf sekolah kami bisa mengajak beberapa orang yang dibutuhkan untuk membantu kelangsungan proses. Biasanya mobil hanya terisi oleh kami berempat, sekarang berisi 7 orang. Ada Arif teman kelasku yang kita mintai tolong untuk mengambil gambar saat proses wawancara, ada Pak Wahyu yang menyetir mobil Elf dan juga Aurel putri dari pak Wahyu yang masih kecil. Berapapun isi mobil ini dan siapapun yang ikut aku tak peduli, karena yang saya rasakan sekarang adalah kebahagiaan yang tak bisa kuluapkan hanya sekadar dengan kata-kata. Sekarang kami menuju kantor Kepala Desa Sitiarjo, tidak seperti biasanya Pak Lukman hanya turun seorang diri dan membiarkan kami tetap di dalam mobil. Dari dalam kaca mobil aku melihat Pak Lukman sedang berbincang-bincang dengan kepala desa dan kemudian menuju Elf kembali.

“Lurus terus Pak, nanti kita berhenti di rumah yang ada di sebelah lapangan.” Begitu yang diucapkan Pak Lukman ketika masuk kembali ke dalam mobil.

“Kita sekarang ke rumah salah satu tokoh kristen yang ada di desa ini. Jangan lupa instrumen wawancaranya ya.” Pak Lukman melanjutkan ucapannya.

Setelah mendengar ucapan beliau, sontak kami bertiga saling bertatap muka. Tidak perlu ada kata-kata yang keluar dari mulut kami. Cukup ekspresi ini yang mewakili sebuah pertanyaan, “Siapa yang akan mulai wawancara?”

“Ayolah, Mad. Ini bagianmu,” pintaku kepada Ahmad

“Ah, mana bisa?! Gantian lah. Kemarin aku sudah, kalian kan belum.

Lagi-lagi ini keputusan berat. Memang benar yang Ahmad bilang, sekarang giliranku dan Wahidah. Aku menyayangkan jika harus Wahidah yang mengambil bagian ini karena dia cukup baik dalam menulis hasil wawancara. Jika dia yang ambil bagian ini otomatis aku yang akan menulis hasilnya.

“Okelah. Aku yang wawancara sekarang.”

Kami turun dari mobil dan menuju rumah Pak Woesgyanto namanya.

“Silakan masuk. Bapak masih di belakang,seorang wanita separuh baya mempersilakan kami masuk.

Kami semua menunggu kedatangan beliau. Sambil menunggu aku tak punya keinginan untuk mematangkan apa yang akan aku tanyakan kepada beliau. Bukannya mengobrol yang bermanfaat, kami malah mengobrol ngalor-ngidul tidak jelas.

“Sudah lama menunggu?” Dari dalam terdengar suara seorang laki-laki. Orang tersebut berbicara sembari menghampiri kami di ruang tamu dan berjabat tangan.

Dalam benakku aku mengatakan bahwa beliau ini yang namanya pak Wusgyanto, salah satu tokoh Kristen desa Sitiarjo. Dari fisiknya dan caranya berbicara terlihat bahwa beliau tokoh agama yang tegas dan disiplin.

“Ra, ini kayaknya mirip sama orang yang pernah kamu ceritain itu deh.” Wahidah membuka pembicaraan denganku.

“Asli mirip banget dah. Aku meerasa benar-benar ada di masa lalu lagi dah.”

Wahidah tertawa cekikikan. Siapkan mental ya. Aku berdoa semoga trauma di masa lalu enggak terulang lagi.

Memang ketika beliau datang rasanya seperti de javu alias sebuah peristiwa yang seakan pernah terjadi di masa lalu dan sekarang terulang kembali. Aku memang pernah menceritakan peristiwa di masa kecilku kepada Wahidah dan Ahmad. Di saat masih kecil ada satu tetangga yang sangat aku takuti karena dia selalu menakutiku ketika aku bersikap tidak baik. Peristiwa itu masih sangat membekas dalam ingatanku. Dan sekarang aku harus berhadapan kembali dengan rasa takut itu.

“Silakan dimulai.” Pak Lukman langsung memberi perintah kepadaku ketika Pak Lukman sudah selesai menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan kami.

Ah, ini ketiga kalinya aku harus berpikir keras dalam satu hari ini. Kesalahanku yang tidak mempersiapkan instrumen dengan jelas membuatku bingung, ditambah lagi Pak Lukman yang terus menatapku memberikan sinyal perintah untuk segera dimulai. Aku kebingungan, haruskah aku mulai menanyakan nama dalam wawancara ini secara formal seperti yang biasa aku lihat dalam acara TV, tapi diawal tadi beliau sudah menyebutkan nama. Aku bingung dengan diriku sendiri. Tidak biasanya aku bersikap kaku begini. Apa karena rasa takut yang berlebihan?

Belum sampai aku menanyakan satu hal tiba-tiba orang di sekitarku menghilang satu persatu. Aku melihat pak Lukman perlahan menghilang dari pandanganku, Wahidah yang semula ada di sampingku kini entah kemana. Semuanya menghilang, termasuk suguhan makanan dan minuman yang ada di depanku. Aku sendiri di dalam rumah ini, penglihatanku terus mencari-cari sesuatu yang dapat kutemukan di sekitarku. Tapi nihil karena aku tak menemukan apa yang semula ada. Rasanya aku ingin menangis, aku ingin menjerit sekuat mungkin agar mereka mendengarku dan kembali. Apa yang sedang terjadi pada diriku? Aku merasakan suhu tubuhku meningkat dan kepalaku terasa berat sekali. Selanjutnya bobotku sangat ringan kurasakan bahkan lebih ringan dari angin sehingga tanpa terasa aku melayang-melayang.

Tapi tunggu, aku dapat tersenyum sekarang. Aku melihat lorong yang tak pernah aku lihat, lorong itu sangat indah sekali. Lorong itu memancarkan sebuah cahaya terang. Aku semakin bingung, kenapa di rumah ini ada lorong rahasia yang penuh dengan cahaya terang. Aku terus memandangi lorong itu semakin dekat semakin indah sekali. Aku tersenyum dan terus melangkahkan kaki. Subhanallah, gumamku dalam hati. Tidak hanya cahaya yang berkilauan, setelah aku mendekat lorong itu semakin menampakkan keindahannya. Tanaman hijau dan bunga-bunga yang harum semerbak mewangi.

“Ra! Ra! Zahra!”

Jelas sekali aku mendengar ada yang memanggilku. panggilan itu diulang-ulang. Aku terus mencari sumber suara itu. Sekarang tubuhku seperti digoncang dengan kuat.

“Zahra sudah sadar, zahra sudah bangun!Teriak Wahidah.


Suara Wahidah jelas sekali di telingaku. Aku perlahan membuka mata dan aku melihat pemandangan yang semula aku lihat. Ah, rupanya aku sedang jatuh pingsan. Tak apalah, aku sudah merasakan lorong kebahagiaan.[]

Sumber gambar: Le bonheur, c'est quoi?

Friday, November 18, 2016

Juminten Mengintip Santri

rain, stream and speed

Oleh: Halimah Garnasih

“Ah, rata-rata semua pesantren itu sama. Selalu saja mengambil santrinya yang berparas cantik untuk diambil mantu,” katamu. Aku tentu saja tidak tahu menahu soal itu. Masuk pesantren saja hanya sekali waktu, saat mengikuti program sepuluh hari penuh makna bersamamu, interfaith pilgrimage.

Bersama para pemuda-pemudi Kristen, Katolik, Buddhist, Hindu, dan teman-teman non Muslim lainnya aku berkesempatan mengenal lebih dekat umat muslim dan pesantren khususnya. Malam itu juga, kita berpisah. Kamu dan teman-teman muslim lain dalam program ini diantar menuju salah-satu GKJ, kompleks umat kristiani di Salatiga.

Malam itu, saat baru saja aku akan mengatupkan mata, tidur berdempetan dengan para santri dalam satu kamar sempit dan hanya beralas tikar, mendapati pesan darimu: “Aku senang sekali, Jum. Senang sekali. Aku mendapat induk semang yang rumahnya pas di samping Gereja. Rumah keluarga pendeta. Dari bangunannnya, tampak khas rumah bekas kolonial yang jendelanya tinggi-tinggi dan penuh dengan kelambu putih di mana-mana.”

Aku memintamu mengatakan ada gambar apa saja di dinding kamar semalammu. “Uh, nyeni dan lawas banget, Jum. Ada salib, lukisan bunda Maria besar sekali, beberapa Al-kitab di atas meja, dan ranjangku Jum…. Ranjang antik dengan kelambu berenda putih yang lembut!” Aku membayangkan kamar semalammu hangat, lembut, dan nyaman sekali. Sementara aku mulanya sedikit merasa tak nyaman tidur beramai-ramai dalam satu kamar kecil. Sempit, gerah, dan bau keringat.

Tapi entahlah, sikap keakraban dan kesederhanaan para santri semenjak aku tiba, membuatku terkaget-kaget. Padahal ini adalah pertemuan pertamaku dengan mereka, tapi sikap mereka jauh dari kesan itu. Mereka membuatku nyaman dan tidak sebagai orang baru. Sebaliknya, aku merasa menjadi spesial berada di tengah-tengah mereka.

“Tinggal di rumah keluarga pendeta, artinya aku akan mendapatkan data-data langsung dari sumber primer, Jum, hehehe. Oh ya, betewe, bagaimana pengalaman pertamamu tidur di pesantren, Sayang? Hihihi” pesanmu kembali masuk. “Dinikmati ya…. Setidaknya dalam semalam kamu bisa merasakan apa yang aku rasakan selama delapan tahun lalu sayang. Wkwkwk!”

Pesanmu hanya kubalas dengan emoticon, makhluk lucu walaupun digambarkan sambil melet-melet. Tapi diam-diam aku merasa mulai memahami mengapa dari pesantrenlah orang-orang hebat itu lahir. Banyak pemikiran tokoh-tokoh Islam yang aku sepakati. Sangat humanis dan mengandung kehatian-hatian, sarat pertimbangan. Dan aku temukan, muaranya adalah kedamaian. Bagaimana keheningan sejati akan kami dapatkan tanpa kedamaian bukan?

Rupanya, semua itu lahir dari tempat ini, di mana kehidupan para santri dijalani dengan beriringan dan kebersamaan. Sebagaimana salah-satu tujuh kewajiban suci yang aku imani: Menolong siapa saja tanpa pamrih, melainkan atas dasar cinta kasih. Bukan seperti hidup yang selama ini aku tahu: Sendiri-sendiri, dan untuk diri sendiri. Juga Islam yang keras dan merusak seperti yang sering aku dan keluargaku temukan di televisi.

“Resapi, Jum. Resapi semua keterbatasan yang ada di duniaku itu, sungguh kau akan bertemu Tuhanmu juga berada di sana. Tuhan ada di segala keterbatasan, Jum. Biarkan keterbatasan menjamah ragawimu, maka Tuhan akan menyentuh sukmamu, jiwamu…”

“Kau mencari hening, Jum? Di sana hening juga bersemayam, Jum. Bahkan, saat para santri mulai riuh mengaji, membaca nazam-nazam, atau saling melempar canda, hening dengan terang-terangan ada di antara itu semua, Jum. Dia berdiri, bersiap kau peluk, Jum…”

Pesan terakhirmu ini seakan membawa desir angin ke dalam jantungku, aliran darahku. Dan pagi hari aku terbangun dengan suara para santri yang tengah melantunkan kitab suci Alquran dengan suara sama-sama lirih. Ada yang bergetar dalam diriku.

***

“Mengapa kamu bisa berpikir bahwa pesantren selalu mengambil santrinya yang cantik untuk diambil mantu?” aku mengejarmu yang tengah naik menuju Vihara cepat sekali.

“Ini melampaui berpikir, Jum. Ini menyatakan sebuah kenyataan. Kebanyakan. Hampir semua… khususnya di Jawa Timur.” Katamu berhenti sebentar menoleh padaku, lalu kembali mengamati patung Dewi Kwan Im yang berada di ujung tangga ini. Kita memang sengaja mampir di Vihara Solo setelah menyelesaikan keperluan risetku tentang perempuan-perempuan Tionghoa di kota ini.

Program interfaith pilgrimage yang mengantarkan pertemuan kita memang sudah selesai. Tapi pertemanan kita menjadi jalinan sahabat, bahkan seperti saudara. Kamu tidak hanya dengan brengsek tidur di ranjangku saban akhir pekan, menghabiskan masakanku yang belum kusentuh, tapi juga sering mengajakku turut menyampaikan materi ‘Perempuan dan Sejarah Agama-agama’ dalam programmu bersama Organisasi Fatayat saat roadshow ke Pesantren-pesantren se-Jawa.

“Kamu itu mantan santri yang brengsek kepada teman, untung saja kamu memiliki kepedulian sosial yang tinggi hingga aku mau berbaikan denganmu.” Dan kamu hanya tertawa lepas setiap aku mengumpatmu. Tak sekali pun, aku mendengarmu berbalik mengumpatku. Padahal aku ingin tahu, bagaimana seni mengumpat oleh santri.

“Tapi bukankah santri, pesantren, dan ulama itu identik dengan kesederhanaan ya?” tiba-tiba meluncur begitu saja pertanyaan itu dari mulutku. Dan kamu menoleh dengan wajah brengsek seperti biasa ke arahku. Seolah pertanyaan yang muncul dari alam pikirku ini kurang berkualitas

“Lalu?” sikap cuekmu memuakkan meningkahi pertanyaanku dengan mencomot chocolate cake yang tampak sangat legit, selegit ide-idemu tentang perempuan dan masa depan bangsa. Iya, yang diam-diam kukagumi itu.

“Kemarin, saat kita roadshow di Pesantren-pesantren Jawa Timur, aku tidak melihat kesederhanaan yang biasa aku temukan di pesantren-pesantren Jawa Tengah misalnya. Rata-rata, penampilan santri di sana sangat glamour. Kita-kita yang di depan saja kalah, Non!” jelasku yang langsung disambut tawa ngakakmu, salah-satu sikap brengsekmu.

Bergaya membenahi kerudungmu yang mencong sana-sini, kamu menghadapkan tubuhmu padaku, dengan wajah yang sok dimanis-maniskan kamu berkata, “Oh, sang pemateri Nona Juminten, itu adalah salah-satu akibat yang pernah saya katakan padamu. Saat bukan santri cerdas nan penuh prestasi yang diambil mantu oleh pesantren, melainkan santri yang cuantik-cuantik, otomatis…..”

“Oke, stop, stop. Aku ngerti. Tapi masa iya, hanya itu?”

“Oh, tentu tidak! Banyak faktor yang saling kelindan tentu saja. Selain bentukan budaya tentang bagaimana perempuan cantik itu, menurutmu apa lagi?”

“Gaya hidup? Hedonisme yang arusnya kuat itu sudah sampai ke pesantren, sebuah lembaga pendidikan di mana menurutmu semestinya menjadi alat terbesar bangsa ini yang bisa mendorong paham terkutuk itu ke luar dari tubuh bangsa ini?”   

“Cerdas! Itu masyuk, Nona Juminten yang manis…”

“Aku masih tidak mengerti. Lalu, kaitannya dengan tradisi pesantren dalam mengambil mantu santri yang cantik?”

“Andaikan, Jum. Andaikan. Santri mendapati kesadaran bahwa pesantren mengambil mantu yang cerdas dan sederhana, alam sadar mereka tidak akan disibukkan dengan hal-hal yang bersifat fisik, materil. Mereka akan melampaui hal materil itu, dan dapat menjangkau hal-hal yang lebih bernilai dan lebih luhur dari itu,”

“Mereka akan dihantarkan pada sebuah titik bernama ‘kesadaran hidup’. Bila sudah sampai pada titik ini, jangankan monster hedonisme, monster Nazi sekalipun para santri siap meghadapi!”

“Wuih…mantap nian temanku yang mantan santri satu ini.”

“Iya dong. Aisyah, seperti Ummul mukminin yang bahkan para lelaki takluk dengan kecerdasan dan keberaniannya!”

“Wuih!!! Hebat-hebat! Eh, tapi apa benar, analisismu tadi itu murni muncul objektif dari pemikiranmu?”

“Maksudnya?”

“Ya … maksudnya, apa iya pemikiran itu berdiri sendiri? Tidak berkelindan dengan alasan lain?”

Matamu menatapku tajam, jelas sekali mulai berpikir. Ini pertama kali kamu meresponku dengan tidak celele’an. “heh! Misalnya?”

“Misalnya … karena kamu masih sakit hati sama Ilyas, mantan pacarmu yang menikah dengan perempuan yang dijodohkan oleh abahnya? Yang kiai pesantren di Jombang itu? Yang lebih cantik darimu itu?” kataku sambil mengangkat alis dan tersenyum tipis menggodanya. Eh, lebih pas, meledeknya.

Sejenak Aisyah terbelalak menatapku, lalu dengan kecepatan yang tak dapat kuhindari, kedua tangannya melemparkan bantal beruang ke mukaku sambil berteriak sekencang-kencangnya, “Assseeemmmm…. Jumintennnnnnnn…. Kamprreeeetttt!!!!!!!!’

Perpustakaan Kota Malang

             18 November 2016

Sumber gambar: JMW Turner
Powered by Blogger.

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top