Tuesday, January 26, 2016

Tradisi Intelektual


Oleh: Muhammad Ilyas

“Definisi Islam yang totalistik adalah definisi modern. Lahir dari sisi gelap modernitas yang telah membesarkan ideologi-ideologi totalistik. Walaupun pemahaman totalistik itu menyerukan semangat, gemuruh dan spirit perjuangan tetapi ia tidak mempunyai akar dalam sejarah Islam. Secara historis keseluruhan rentan tradisi intelektual, filsafat, fiqh, kalam, tasawuf, thariqat, seni dan budaya Islam adalah fenomena majemuk hasil dari berbagai pengaruh kebudayaan. Seperti sungai besar yang dialiri oleh banyak anak sungai. Bagaimana kemajemukan tradisi-tradisi itu raib sejengkal demi sejengkal, mengarus menjadi seragam dan tunggal?” (Farhad Daftary, ed. 2001).

Pada abad pertengahan dunia Eropa mengalami zaman kegelapan (Dark Age). Masyarakat Eropa mengalami kemunduran dalam peradaban. Masyarakat yang dipenuhi oleh tahayul, tidak rasional dalam bertindak, serta pengekangan dalam berpikir. Mitos-mitos berkembang, tanpa adanya filter untuk membendungnya. Masyarakat berada dalam ketidaktahuan dan berada dalam lingkaran kebodohan. Hal inidikarenakan dominasi gereja dalam bidang ilmu pengetahuan terlalu mengikat. Segala hal yang bertentangan dengan doktrin gereja maka tidak akan diterima. Ketertutupan gereja dari aspek-aspek yang ada membuat peradaban Eropa berada dalam titik nadzir.

Pada masa yang sama peradaban Islam menjadi rujukan ilmuwan dunia. Peradaban Islam begitu pesatnya sehingga bisa menyebar ke santero dunia. Bahkan menjadi kiblat ilmu pengetahuan pada zamannya. Banyak para filsuf dan ilmuwan yang lahir pada masa ini, diantaranya adalah Ibnu Rusyd (Averous), Al-Kindi, Al-Khawarizmi, Al-Ghazali dan lainnya.

Sosok filsuf dan ilmuwan seperti Ibnu Rusyd dan al-Ghazali memberikan sumbangsih yang besar terhadap khasanah keilmuan dan peradaban. Beliau adalah ilmuwan yang luar biasa, mereka hidup dalam bingkai kultur keintelektualan tinggi, yang bisa menguak keilmuan sebegitu dalamnya. Kultur akademik dan kultur keintelektualan tingkat tinggi itulah yang membawa peradaban dunia kepuncak kejayaan.

Beliau sangat produktif dalam membuat karya intelektual yang hebat. Al Ghazali mengarang kitab kurang lebih 28, diantaranya kitab yang terkenal adalah Ihya’ Ullumuddin, Tahafut al-Falasifah, al-Risalah al-Ladunniah, Mi’yar al-Ilmi, Fadhaih al-Bathiniah, Minhaj al-Abidin, dan lain-lain. Sedangkan Ibnu Rusyd menghasilkan karya Bidayah al-Mujtahid (kitab ilmu fiqih), Fasl Al-Maqal fi Ma Bain Al-Hikmat Wa Asy-Syari’at min al-Ittisal, serta kitab yang fenomenal yaitu Tahafut at-Tahafut.

Tradisi intelektual ini terjadi berabad-abad yang lalu, dengan keterbatasan teknologi kepenulisan, transportasi yang masih tradisional, alat komunikasi yang terbatas, akses informasi yang serba susah, media untuk menulis masih terbatas, dan keadaan yang masih serba kekurangan. Tetapi tidak ada alasan untuk tidak membuat karya bagi filsuf ini. Beliau dengan semangatnya menjaga tradisi keilmuan ini dengan menghasilkan karya-karya besar.

Bahkan al-Ghazali juga menulis kata mutiara yang patut ditiru oleh generasi Islam sekarang, yaitu “ jika engkau bukan anak raja, atau anak seorang ulama besar maka menulislah.”  Hal ini menunjukan bahwa pentingnya menjaga tradisi Islam dengan menulis. Menuangkan ide-ide besar dalam tulisan, menjaga tradisi yang memang harus dilindungi. Jika tradisi ini lebih diintenskan lagi maka khasanah pengetahuan Islam juga akan bertambah, tidak mandek, dan terus berdialektika.

Perbedaan pendapat antara filsuf satu dan filsuf yang lain merupakan hal yang biasa. Perbedaan-perbedaan tersebut cukup mencolok, tetapi yang perlu diteladani dari para filsuf ini adalah membuat berdialektikanya ilmu pengetahuan, dan saling melengkapi teori satu dengan teori yang lain. Hal ini bisa diketahui dari dua filsuf besar yaitu al-Ghazali dan Ibnu Rusyd. Keduanya merupakan pemikir ulung, dan beberapa teori-teori telah mereka buat, baik dibidang keagamaan maupun filsafat. Keduanya mempunyai pemikiran yang berbeda, Al-Ghazali mengarang kitab Tahafut al Falasifah (incorehable of philosopher), kemudian Ibnu Rusyd tidak sependapat dengan al Ghazali dan pada akhirnya ia menulis kitab yang berjudul Tahafut at Tahafut.

Ada nilai-nilai yang patut kita ambil dari tradisi tersebut, di antaranya yang pertama adalah tradisi menulis. Al Ghazali dan Ibnu Rusyd sudah melakukannya, walaupun keduanya berbeda pendapat tetapi disikapi secara bijak yang berlandaskan keintelektualan. Mereka berdua menyadari bahwa menulis merupakan senjata utama untuk memperbaiki peradaban yang ada. Dengan menulis mereka menuangkan ide-ide yang ada dalam pemikirannyadan bisa terdokumentasi dengan baik, sehingga bisa dipelajari oleh generasi selanjutnya.

Yag kedua adalah peningkatan budaya intelektual yang mereka pegang teguh. Dengan mempertahankan budaya intelektual mereka mampu menjawab permasalahan sosial masyarakat yang ada pada zamannya, bahkan ada yang masih relevan hingga saat ini. Tradisi intelektual yang sudah lama ada ini harus kita pertahankan, al-muhafadzah ala al-qodimi al-sholih, harus kita amalkan, bukan hanya menjadi jargon-jargon saja, atau hanya digunakan untuk kepentingan yang pragmatis, (menanggapi HTI, Teror, dan lain sebagainya). Tetapi kita lupa ruh dari menjaga tradisi yang baik tersebut. Menjaga tradisi hanya digunakan untuk mempertahankan hal-hal yang bersifat sekunder (tahlilan, sholawatan, dan tradisi lainnya). Kita merasa terhina dan terinjak-injak harga diri ketika ada beberapa kelompok melecehkan tradisi tersebut, dan kita merasa tenang-tenang saja ketika kita kehilangan tradisi keintelektualan yang diwariskan oleh para ulama besar.

Yang paling disayangkan lagi dari generasi saat ini adalah ketika berbeda pendapat antara kelompok satu dengan kelompok yang lain tidak lagi disikapi secara dewasa dan secara intelektual, melainkan disikapi secara negatif, misalnya dengan fitnah, dan hate speech. Hal ini dibuktikan dengan beberapa kelompok yang mengatas namakan “garis lucu, garis tegak, garis miring dan garis-garis lainnya” tetapi kelompok tersebut tidak didasari oleh landasan intelektual yang kokoh. Sehingga yang ada adalah konflik-konflik yang seharusnya tidak perlu terjadi.

Tugas kita bersama adalah meningkatkan budaya menulis yang berdasarkan budaya intelektual yang tinggi. Dengan menerapkan kedua nilai tersebut secara istiqomah akan membuat generasi sekarang dan generasi selanjutnya akan lebih berkualitas, serta mampu untuk membuat peradaban lebih maju. Jangan sampai kita terjerumus pada zaman kegelapan lagi, yang membuat masyarakat dalam titik nadir  peradaban.

“Warisilah apinya bukan abunya” (Soekarno).

sumber gambar: resplashed.com

Daftaf Bacaan
Farhad, Daftary. 2001. Tradisi-tradisi Intelektual Islam. Jakarta: Erlangga
Badri, Yatim. 2011. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Raja Grafindo
Susmihara dan Rahmat. 2013. Sejarah Klasik Islam. Yogyakarta: Ombak
Khudori, Sholeh. 2014. Filsafat Islam. Arruz Media: Yogyakarta

Wednesday, January 13, 2016

Bagaimana Sampeyan Ini


Oleh: Muhammad Madarik

Ketika penulis menyaksikan mulai banyak para penuntut ilmu terbuai dengan pengaruh-pengaruh yang terjadi di luar konteks belajar, maka muncul dalam benak penulis untuk menggores tinta, lalu menyusun kata-kata yang, setidaknya, menggambarkan kondisi itu. Puisi ini secara khusus membidik kaum pesantren yang tengah bergelut dengan ilmu pengetahuan di penjara suci. Kenapa para santri yang menjadi sasaran puisi ini ? Minimal ada dua alasan yang bisa dikemukakan oleh penulis. Pertama, selama ini, dalam pandangan Nurcholish Madjid, pesantren masih dianggap sebuah lembaga pendidikan yang lebih indigenous, asli Indonesia dan berakar kuat di masyarakat. Kedua, di tengah keberadaan pesantren yang dikenal sebagai benteng terakhir pembinaan akhlak bangsa karena tetap survive dengan pendidikan moralitasnya, ternyata perilaku sebagian anak-anak santri sudah mulai kehilangan konsistensinya. Akumulasi dua hal ini dan ditambah dengan berbagai fakta yang seringkali ditemukan penulis tentang gaya hidup kaum "sarungan" itu yang cenderung mereduksi status kesantrian, melatarbelakangi puisi ini.

Tidak penting, terciptanya puisi yang bejudul "Bagaimana Sampeyan Ini" merupakan ekspresi keprihatinan pribadi penulis yang notabene terlahir dari rahim dunia pesantren merespon fenomena-fenomena yang menguap di kalangan santri, atau secara spontanitas hanya sekadar upaya eksplorasi ketajaman intuisi dalam diri penulis. Tetapi hal terpokok, dengan bermaksud santun penulis mengajak para santri untuk melakukan upaya evaluasi diri terhadap tingkah laku yang selama ini dilakukan.

Sesuai pengalaman penulis, jika puisi ini dipublis dengan menggunakan langgam Jawa disertai irama musik yang senada, mungkin pembacaan puisi ini akan mudah mengena dan lebih mengurai makna dibaliknya.

Bagaimana sampeyan ini.

Penulis memulai puisi ini dengan pertanyaan sebagaimana judulnya. Tentu tidak sembarangan penulis mengajukan tanya itu, terdapat tujuan tertentu. Bagi penulis, pertanyaan tersebut bukan hanya sekedar bermakna penekanan dalam pelafalan dan intonasi ketika dibacakan, tetapi lebih dari itu dimaksudkan sebagai ransangan agar objek dalam puisi ini (baca: santri) benar-benar menaruh perhatian lebih terhadap kontennya. Sehingga dengan konsentrasi yang diharapkan penulis, muatan-muatan dibalik kalimat-kalimat secara substansial mampu diserap, dipikirkan dan semaksimal mungkin dihayati.

Katanya sampeyan santri.
Tetapi kata-kata sampeyan sering tidak hati-hati.
Batas norma acapkali dilewati.

Dalam bait ini kembali penulis menoreh sebuah kata bernada tanya yang berbeda dengan sebelumnya. Seakan penulis ingin meminta penegasan dari santri tentang identitasnya. Betulkah dia bagian dari sekelompok orang dalam komunitas kaum pesantren ? Tentu kata-kata penulis ini tanpa jawaban. Tetapi tanpa sebuah respon sekalipun, jika dia telah benar-benar memproklamirkan diri sebagai santri, maka kalimat berikutnya akan mampu membuat dirinya terperangah. Betapa tidak, ucapan yang tidak terkontrol, baik dari sisi dampak maupun dari segi isi, pasti kontra produktif dengan status kesantriannya.

Selama ini kaum santri dikenal sebagai golongan masyarakat yang sangat santun, ramah dan toleran dalam setiap aspek kehidupan. Ujaran-ujaran yang diungkapkan para santri selalu saja sarat makna dan hikmah, sebagaimana perilaku dan tindakannya yang selaras dengan kata-katanya. Inilah salah satu faktor animo sebagian besar masyarakat terhadap lembaga tertua di Indonesia ini.

Memang diakui oleh para ahli bahwa arah pendidikan pesantren dibangun atas kesadaran tauhid yang kemudian mengejawantah dalam praktik-praktik moralitas dalam kehidupan sehari-hari. Sejak awal pertumbuhan dan perkembangan dalam sejarah pesantren di tanah nusantara, akhlak agung kaum santri menjadi rujukan dan barometer moralitas bangsa ini.

Namun keberhasilan arah pendidikan lembaga pesantren belakangan mulai dikotori oleh perilaku sebagian personal (baca: oknum) santri yang menyimpang. Indikasi yang mencolok ialah seringkali perkataan-perkataannya sudah tidak mencerminkan profil santri. Banyak isi ucapannya hanya menggambarkan pemuda jalanan yang tidak pernah mengenal pendidikan agama. Ditambah cara penyampaian yang tidak lagi mengindahkan tatakrama orang-orang pesantren. Begitu pula keberanian dalam hal gerak-geriknya menabrak garis normatif yang pernah diserap pada pengajian-pengajian di pesantren sudah berada diambang batas mengkhawatirkan. Ucapan-ucapan segelintir santri yang diasumsikan kontras dengan hakikat profil pesantren inilah inti pertanyaan yang diajukan penulis.

Seakan menyembah, saat sang Guru mendatangi.
Namun perintahnya tak ditaati.

Tradisi menghormati pendidik; kiai atau ustadz memang bagian dari doktrin yang diajarkan di dunia pesantren berdasarkan referensi kitab-kitab klasik. Nilai-nilai tatakrama yang meliputi aspek metode belajar, ikhtiar dan relasi guru-murid, serta interaksi sesama sahabat senantiasa didengungkan oleh pengasuh dan dewan asatidz dalam setiap kesempatan tatap muka. Tentu ajaran dan doktrin ini bukan hanya pola pergaulan secara lahir belaka, apalagi cuma sekadar menjadi ilmu pengetahuan bagi para santri, tetapi lebih jauh dimaksudkan agar mereka betul-betul mengaplikasikannya dalam praktik-praktik sehari-hari yang sedapat mungkin bisa berdampak pada gerak batin mereka. Walhasil, eksistensi pesantren diancang sebagai pusat pengembangan yang berorientasi pada nilai (value-oriented development). Oleh karenanya, pengajaran tentang etika dilakukan begitu komprehensip dan simultan, sehingga akhlak terkait dengan pergaulan ini benar-benar menjadi tabiat yang muncul dari nurani.

Tetapi belakangan disinyalir mulai ada fenomena kepura-puraan pada setiap tingkah laku atas nama penghormatan yang dilakukan oleh sebagian santri terhadap gurunya. Hal ini dapat dicermati dari sikap menundukkan kepala saat dihadapan sang guru misalnya, hanya sebatas "unggah-ungguh" lahir belaka. Tetapi ketika dibelakang kiai, sebagian santri tersebut dengan sengaja menelikung dan telah berani membangkang peraturan-peraturan pesantren. Padahal kiai mengajarkan norma-norma dan tatakrama pada setiap santri dengan metode pembiasaan dicitakan menjadi tabiat sehingga dikemudian hari saat mereka kembali ke pangkuan masyarakatnya mampu tampil sebagai jangkar-jangkar pesantren bagi penyemaian generasi muslim bermoral mulia dan berkepribadian luhur.

Sekarang sampeyan jarang mengaji.
WA, FB, BB dan Twiter jadi makanan sehari-hari.

Sebagai lembaga Islam yang menerapkan sistem pendidikan yang bersifat kontinyu dan integreted, pesantren mempunyai rutinitas pengajaran dan ritual yang cukup padat. Salah satu ciri khas pendidikan ala pesantren ialah pendalaman agama lewat pembelajaran materi kitab-kitab klasik (kutub al-turats) dengan segala metode belajar yang sudah dipraktikkan secara turun-temurun. Pembelajaran itu dikenal dengan istilah "mengaji kitab kuning".

Namun gegap gempita arus modernisasi yang ditandai dengan kian membanjirnya kecanggihan teknologi, menjadikan tradisi santri mengaji mulai tergerus dan secara perlahan tergantikan oleh IT terbarukan. Perkenalan sebagian kalangan santri dengan dunia teknologi membentuk mereka "melek" kemajuan zaman, sehingga pagar doktrinasi pesantren tidak mampu lagi mengisolir mereka dari dampak negatif globalisasi.

Kesenangannya berdebat dan diskusi.
Diarahkan malah menasehati.
Kesalahan orang lain dikuliti.
Dosa sendiri tak sempat ditobati.

Sebetulnya keterlibatan santri di dalam kegiatan-kegiatan berupa kajian dan diskusi ilmiah merupakan bagian dari aktifitas yang diprogramkan dan dikembangkan di dunia pesantren. Banyak pesantren yang tetap teguh mempertahankan kegiatan musyawarah kitab, baik dalam skala perkelas, pertingkat komunitas maupun antar pesantren, sebagaimana kegiatan bahtsul masail yang terus dilestarilan eksistensinya hingga sekarang. Kedua program ini ditujukan sebagai wahana agar para santri mempunyai keterampilan menyampaikan dan melontarkan wacana-wacana secara argumentatif, disamping memiliki kepiawaian menjawab persoalan-persoalan masyarakat kekinian dengan dasar-dasar hukum dan referensi yang tingkat validitasnya bisa dipertanggungjawabkan secara moral.

Tetapi tatkala kepandaian yang tampak pada diri seorang santri dalam hal bersilat lidah itu hanya dimotivasi oleh dominasi niatan mengalahkan lawan apalagi cuma untuk membusungkan dada, maka keunggulan tersebut menjadi perkara yang sama sekali tidak terpuji. Lebih-lebih apabila bakat berargumentasi itu dijadikan tameng dari setiap nasihat dan petuah, maka tentu status kesantriannya perlu dipertanyakan.

Predikat santri yang disandang kaum pesantren juga wajib diragukan, jika sikap yang menonjol dalam dirinya selalu memposisikan sebagai dewa suci tanpa cacat, sementara orang lain senantiasa dinilai lalai penuh kedurhakaan.

Pada bagian ini, seorang santri diharapkan bisa menjaga nurani dari segala macam penyakit batin, sehingga ia mampu tampil sebagai sosok yang rendah hati dan santun (al-tawadlu' wa al-khudlu') tanpa senoktah kesombongan yang melekat dalam sanubarinya, sekalipun kealimannya telah melangit. Di dalam rumus kesufian kalangan pesantren, santri ideal ialah seorang pribadi yang rela mengevaluasi diri sendiri sembari merasa enggan mengorek borok pihak lain. Di sinilah kenapa mayoritas pesantren pasti menyisipkan materi akhlak dan tasawuf sebagai bahan ajar dalam struktur kurikulum pendidikannya.

Lawan jenis terlarang, malah didekati.
Bukan mahram, justru diembati.

Tata tertib yang sudah kaprah diundangkan di lingkungan pesantren memuat, salah satunya, soal hubungan santri putra-putri. Batasan hubungan antar lawan jenis yang dimaksud meretas dari garis-garis hukum yang ditetapkan dalam syariat Islam. Hanya implementasi pelaksanaan teknis saja yang kadang-kadang berbeda antar pesantren sesuai kebijakan pengasuh atau kesepakatan semua elemen di dalam sebuah pesantren. Ada pesantren yang menerapkan sanksi dari pelanggaran tatib tersebut dengan berupa ta'zir, sanksi bertahap, skorsing, dan ada pula yang dengan keras melaksanakan pengusiran. Meskipun cara pelaksanaan hukuman atas pelanggaran etika pergaulan putra-putri bervariasi di masing-masing pesantren, tetapi secara substansial tujuan yang didamba sama, yakni ingin mentasbihkan nama baik santri, baik dari segi hukum syariat maupun dalam pandangan masyarakat, dengan sekuat mungkin melakukan upaya meminimalisir dekadensi moral.

Menjadi fakta yang sangat ironis bagi dunia pesantren, apabila seorang santri telah lama berjibaku dengan materi-materi agama beserta setumpuk problemnya, lalu dilunturkan dengan sekadar mengumbar hawa nafsunya. Padahal kalau hanya untuk "mengangkangi" lawan jenis, jelas tidak perlu jauh-jauh dan bersusah-payah bersemedi di bilik-bilik pesantren dengan ongkos yang tidak murah.

Mengaku berada di penjara suci.
Tapi ikrar santri tak ditepati.

Sebagaimana layaknya lembaga pendidikan yang menyelenggarakan sistemnya dengan segala macam mekanisme dan prosedur, para santri di dalam pesantren juga dikelilingi dengan aturan yang mengikat gerak mereka. Secara garis besar pesantren mengurung seluruh peserta didik dengan seperangkat program dan tatanan yang bersumbu dari nilai pembentukan karakter (character building value). Oleh karenanya, pesantren bagi kebanyakan santri, terutama yang pernah menghirup udara kebebasan, terkesan seperti bui yang memasung kemerdekaan segenap pemuasan. Padahal, hakikat keberadaan pesantren di Nusantara ini merupakan sebentuk kawah bagi penanaman benih-benih kebaikan dan keteguhan, terbukti dalam orientasi pendidikan pesantren, di samping terdapat metode musyawarah, mudzakarah, muhafadzah dan lain-lain, juga diterapkan riyadlah, ubudiyah dan semacamnya.

Tetapi tatkala seorang santri mulai enggan pada seluruh aspek kewajiban, larangan, dan program kegiatan pesantren, maka sesungguhnya ia telah mendustakan janji-janji yang dipersaksikan, baik secara personal maupun kolektif pada saat awal-awal menginjakkan kaki di lingkungan pesantren.

Titah sang Kiai tidak dituruti.
Pulang nanti mengemis diberkahi.

Pada umumnya kiai merupakan tokoh sentral yang menjadi kiblat di lingkungan pesantrennya. Meskipun dunia pesantren sudah mulai bersentuhan dengan manajemen modern dalam segala hal, tetapi senyampang itu masih berkaitan dengan penanganan secara internal dan bahkan eksternal sekalipun, maka eksistensi dan dominasi keikutsertaan kiai masih sangat diperlukan.

Di luar tipologi leadership yang sering diperbincangkan para ahli manajemen, gaya kepemimpinan kiai dapat dikategorikan sebagai model kharismatik; sebuah kepemimpinan hasil karunia diinspirasi Ilahi (devinely inspired gift). Kharisma yang melekat pada sosok kiai muncul akibat kedalaman ilmu pengetahuan tentang agama yang dibarengi tingkat kesempurnaan pengamalannya, sehingga bertitik dari sini, seorang kiai mempunyai hak otoritas yang tak terbatas terhadap pengelolaan, dan kebijakan pada keberlangsungan pesantrennya. Bahkan segenap kalangan dalam pesantren dan semua lapisan masyarakat mempercayai bahwa sang kiai memiliki derajat yang tinggi di sisi Tuhannya yang mampu dijadikan rujukan atas segala keluh kesah.

Oleh karena itu, menjadi sangat janggal pengakuan dari anak pesantren bahwa dirinya seorang santri, apabila peraturan, tata tertib, dan pengurus pesantren yang merepresentasikan keterwakilan kiai, atau sosok kiai sendiri, seringkali dilanggar dan justeru dilawan. Lebih miris lagi, jika ia hendak berpamitan pulang (boyong) dengan entengnya mencium tangan kiai sembari memohon doa restu tanpa beban sama sekali. Seakan-akan mengiba, seribu maaf atas segala salah betul-betul dipinta, bahkan tak jarang tangis tanda penyesalan benar-benar ditumpahkan. Padahal kepergiannya dari pesantren masih menyisakan setumpuk kesalahan dan tanggungan tak tertebus.

Bagaimana sampeyan ini.
Biaya hidup masih minta dikirimi.
Tapi pada orang tua kurang berbakti.
Pengorbanan mereka tidak diimbangi.
Malah perasaannya selalu disakiti.

Dalam bait ini, penulis mulai mengarahkan pembaca sasaran (santri) untuk membincang kedua orang tuanya setelah sebelumnya mengkaji persoalan-persoalan kepesantrenan. Di awal bait, kembali penulis melontarkan pertanyaan yang diulang. Tentu tujuan kata tanya tersebut memuat semangat agar pembaca sasaran lebih menaruh perhatian terhadap isi berikutnya.

Sebagaimana lazimnya anak-anak sekolah yang masih dibawah tanggungan kedua orang tua, mayoritas keberadaan para santri di komplek pesantren juga tak lepas dari cucuran keringat ayah-ibunya. Seluruh kebutuhan sehari-hari, baik sandang maupun pangan, secara penuh digelontorkan oleh orang tua tanpa pamrih sedikitpun. Kebanyakan fakta yang terjadi menggambarkan betapa anak muda, termasuk kalangan santri, benar-benar menggantungkan diri dari usaha keduanya sekalipun para santri itu telah melewati masa kanak-kanak.

Tentu kedua orang tua tidak akan mengemis balasan apapun dari putranya, tetapi tatkala mereka seringkali memperlihatkan sikap keengganan saat melayani keduanya, apalagi menampakkan perilaku perlawanan dalam mensikapi titah-titah keduanya, maka pasti status kesantrian mereka kurang elok disematkan di pundaknya.

Belum lagi jika secara psikologis, kebaikan yang telah dijulurkan kedua orang tua hanya dibalas dengan respon melukai kalbu keduanya. Menjadikan keduanya bersedih tidak harus disimbolkan dengan sikap melawan keduanya secara fisik saja, tetapi gaya hidup tirani yang menunjukkan keangkuhan di hadapan pengurus, peraturan pesantren atau malah kiai sudah lebih dari cukup untuk menjadikan air mata keduanya menetes. Sebab bagi kedua orang tua, putra yang digadang-gadang bakal menjadi generasi yang pantas dibanggakan, ternyata hanya mewujud menjadi makhluk yang patut dilecehkan.

Tidak ingat sampeyan sering ditangisi.
Justru tertawa, merokok sambil ngopi.
Jarang berdoa dan memfatihai.
Ternyata kepercayaannya dikhianati.

Tak akan ada seorangpun dari setiap anak bakal terputus hubungan batin dengan kedua orang tuanya sekecil apa saja, tidak pula ruang dan waktu mampu memisahkan ikatan keduanya. Se-lama apapun masa yang mengucilkan diantara keduanya, atau se-jauh apapun jarak yang mengasingkan diantara keduanya, tak kan pernah mampu memenggal tali ruh keduanya. Oleh karena itu, tidak heran banyak kasus yang mencontohkan betapa seorang ibu tersedu-sedu meskipun sang suami tetap setia disampingnya, gara-gara ia tengah teringat putra yang berada di rantau non jauh di sana.

Bayangan raut wajah sang putra kian menghiyang di pelupuk mata ibu, tatkala ia telah benar-benar meringkuh dengan nasibnya di teras-teras pesantren. Tentu pada saat-saat demikian ini, tangan kedua orang tua seringkali tengadah di malam yang makin kelam, sementara bibir-bibir keduanya bergetar menyebut nama putranya diantara nama Tuhannya, dan butiran air mata di pipi keduanya tak lagi terhitung. Disertai rasa sangat percaya terhadap keberadaan anaknya di pesantren yang sedang tekun belajar, patuh kepada guru dan peraturannya, serta selalu bergumul dengan kegiatan keilmua, setiap orang tua menaruh harapan besar kelak buah hatinya dapat memperoleh ilmu pengetahuan yang bisa ditebarkan buat sekelilingnya.

Tetapi di tempat jauh di sana, seorang anak yang berstatus santri tenggelam dalam gemerlap fatamorgana kabahagiaan bersama komunitasnya. Ia telah terjebak ke dalam gaya hidup hedonisme. Ia lupa bahwa di kejauhan sana terdapat sosok yang sedang tertindih oleh keprihatinan mendalam akibat membayangkan kondisi putranya di rantau. Seperti ia sedang alpa merangkai doa-doa untuk keduanya, ia juga telah lalai menghadiahkan seuntai um al-kitab untuk dipersembahkan kepada keduanya. Sang anak santri, kini, sudah benar-benar menjadi anak durhaka dengan berlaku khilaf dan berkhianat atas amanah yang dipercayakan oleh  bapak-emaknya.

Mereka keramat yang harus dihormati.
Ee, dihadapannya sampeyan malah berani.

Padahal sebetulnya, kedudukan orang tua bagi seorang anak seperti kunci pembuka pintu kebahagiaan di dunia sekaligus jendela keselamatan di alam akhirat. Bukankah Rasulallah SAW telah memberikan gambaran kongkrit: "Surga berada dibawah telapak kaki ibu." ?

Banyak orang, termasuk kalangan santri, yang acapkali mencari berbagai macam kebaikan, kemuliaan, kemudahan, atau keberkahan dengan melalui perantara orang-orang shalih dan para wali. Tidak jarang dana rela dikeluarkan, dan tenaga dikuras habis demi untuk bisa bertawasul di atas batu nisan makam-makam mereka. Namun mereka lupa bahwa sejatinya terdapat sosok pribadi agung di sisi Tuhan yang sepantasnya didahulukan sebelum menziarahi orang-orang shalih dan para wali tersebut, yaitu kedua orang tua.

Ghalib terjadi bagi kebanyakan santri, keberadaan kedua orang tua dirasa begitu diperlukan hanya untuk menopang hajat hidup sehari-harinya belaka. Dan yang lebih mencengangkan, bahkan demi untuk memenuhi kepuasan nafsu-syahwat dan keinginan-keinginan pribadi, tak jarang sebagian mereka memeras kedua orang tua sembari tampil bak raja tega. Seakan ujaran "menari di atas penderitaan orang lain" menjadi corak dari gaya hidup kebanyakan santri belakangan ini.

Di tengah moralitas yang kian luntur di kalangan santri, disinyalir etika berinteraksi dengan orang tua sebagaimana ajaran Al-Quran dan hadits, serta tuntunan kiai pesantren juga mulai tidak dinomor-wahidkan.

Apa mungkin selamat akan didapati.
Jika di kakinya tak pernah menciumi.

Padahal sejatinya, wujud kedua orang tua bagi pencari ilmu justeru sangat diperlukan pada aspek terwujudnya pengetahuan yang bermanfaat, dan tergapainya sebuah cita-cita.

Tetapi sayangnya, keagungan orang tua tak urung tercecer oleh kelalaiannya sendiri,

sehingga kaprah terjadi lulusan pesantren cuma menjadi "sampah masyarakat" di tengah-tengah warga kampungnya kendati kealiman yang dimilikinya mengundang decak kagum setiap orang.

Tanpa menafikan banyak faktor, tetapi keramat kedua orang tua termasuk bagian dari penyebab utama yang menentukan peruntungan seseorang dalam segala aspek kehidupan.

Jargon yang seringkali diungkapkan kiai dalam untaian nasihat-nasihatnya kepada para santri, "andai ilmu yang kalian peroleh telah menyentuh ujung langit sekalipun, tidak akan terasa manfaatnya apabila kalian tidak mampu membuat kedua orang tua tersenyum," memang sahih sekali.

Bagaimana sampeyan ini.
Duh, bagaimana sampeyan ini.

Dua bait ini merupakan bagian terakhir dari puisi penulis. Di sini, penulis menutup dengan dua pertanyaan yang sama dengan judulnya. Tetapi tidak sebagaimana maksud penulis di awal yang menginginkan agar terdapat penekanan dan perhatian, pertanyaan-pertanyaan ini lebih cenderung sebagai ungkapan ketercengangan penulis (bahkan mungkin juga mewakili setiap orang tua) atas fenomena-fenomena seperti diungkapkan penulis yang hampir-hampir sudah terlihat menggejala di lingkungan pesantren. Lewat dua pertanyaan ini, penulis seakan nyaris tidak mempercayai fakta sebagian santri yang kontradiktif dengan eksistensi pesantren itu sendiri. Pesantren yang diakui oleh semua pihak sebagai lembaga pendidikan Islam yang sarat dengan pengajaran nilai-nilai akhlak, ternyata tercemari oleh perilaku sebagian santri yang bermodel seperti tersebut.

Absah saja penulis (dan para orang tua) terbelalak menyaksikan kenyataan yang meletup. Tentu saja kondisi semacam ini menyebabkan semua pihak mengelus dada dan merasa prihatin yang mendalam, bahkan tidak menutup kemungkinan para orang tua akan meneteskan air mata. Alhasil, pertanyaan-pertanyaan bait terakhir ini dapat dimaknai sebagai simbol kegelisahan akibat tersentak oleh fenomena yang mecuat.[]

sumber gambar: resplashed.com

Sunday, January 10, 2016

Sebuah Monolog Tentang Usia


Oleh: Muhammad Zeini

Semuanya dimulai dari titik nol dalam hitungan waktu dan semakin hari kian bertambah dalam penghabisan yang sebenar-benarnya sangat nyata. Detik demi menit menghitung jam berganti hari muncul bulan melewati tahun, semuanya akan terlihat amat sangat jelas, betapa hidup ini hanyalah menanti keputusan sang waktu yang selalu berlalu menghitung mundur.

Keberadaan insan di muka bumi mempunyai keterikatan yang sangat erat dalam dimensi ruang dan waktu, tidak ada seorangpun yang dapat menghindarinya dan menunda kedatangannya, suka atau tidak, siap atau tidak. Usia bertambah seiring tahun berganti menjadikan sebuah ketegasan didalam kehidupan yang sudah kita jalani, berdasarkan hitungan waktu dan masa. Usia menjadi pembeda yang nyata, bukan membeda-bedakan sebagai tujuan, semuanya kembali pada pengelompokan sebagai dasar hitungan dalam setiap awalan yang selalu berbeda, namun itu bukanlah menjadi sebuah keutamaan dalam ukuran hidup dan kehidupan itu sendiri.

Usia bisa menjadi kebanggaan dan juga dapat menjadi kesia-siaan, kita semua tahu siapa manusia yang pertama diciptakan, jadi untuk selanjutnya bukan persoalan siapa yang terlahir duluan dan belakangan, karena itu hanyalah sebuah risiko dari sebuah eksistensi, hanya sebuah tatanan budaya sesuai perintah untuk menghormati yang lebih tua dalam ruang waktu tertentu.

Adalah sebuah kenyataan bahwa usia bukanlah penentu segalanya, bukan hanya dalam kematangan dan kemapanan, tetapi lebih dari itu mampu menjadi motivasi dan memberi inspirasi dalam menjalani serta memaksimalkan rentang waktu kehidupan yang telah ditentukan bagi masing-masing diri, juga mampu menjadi soko guru untuk mengejar ketertinggalan dan membangun sebuah kehidupan yang lebih ideal dengan norma dan tatanan etika budaya yang beragama ditengah-tengah perbedaan dan kemajemukan ciptaan.

Istilah USIA biasanya identik dengan kepanjangan “jika tidak Untung pasti SIA-sia,” sementara manusia dijelaskan menjadi “MANfaatkan USIA” semaksimal mungkin untuk kepentingan diri sendiri, sesama dan alam. Salahkah jika yang muda lebih mendapat restu dan rida dari yang tua? Di manakah letak kesalahan yang sesungguhnya, jika itu memang sebuah kesalahan yang jadi permasalahan? Usia bukanlah jaminan kebijakan dan kebajikan, semua akan terlihat jelas dari niatan mengolah kata dalam wujud lakon yang nyata yang memerlukan bukti.

Sebuah cerita tidak pernah salah, karena kesalahan itu terjadi saat kita dengan serta merta mempercayai cerita tanpa membuktikan kebenaran cerita yang bisa saja itu adalah sebuah dongeng sebelum tidur atau cerita dari sebuah keputusasaan dan kegagalan yang dikemas sebagus mungkin untuk menjadi sarana keakuan dan kesombongan bagi si pencerita yang sebenarnya telah menipu dirinya sendiri, kita boleh menipu orang lain, tetapi kita tidak akan mungkin sedikitpun berhasil menipu diri sendiri.

Untuk kita para kaum yang muda, bersemangatlah dalam kehidupanmu, banyak harapan dan kerinduan digantungkan pada pundakmu, jagalah setiap derap langkahmu agar tetap kokoh dan pasti, dunia sangat membanggakanmu dan hormatilah yang lebih tua dalam usianya dan kelebihannya.

Wahai engkau manusia yang lebih tua, jadikanlah diri Anda sebagi orang tua yang sebenarnya yang harus selalu memberikan semangat lahir-batin kepada generasimu sebagai penerus perjuangan yang mulia yang masih dan akan harus selalu terus diperjuangkan untuk sebuah cita-cita yang dapat memuliakan semua kemuliaan di semesta alam dan seisinya.[]

sumber gambar: lifeofpix.com

Wednesday, January 6, 2016

Selingkuh


Oleh: Khozin Badri

Hujan meliukkan tubuhnya. Terpaan angin membuatnya seakan menari. Dan dedaunan palm di belakang rumahku juga bergoyang. Aku menyaksikannya dari balik jendela di ruang makan. Suasana yang dingin dan basah itu pasti ada yg menemaniku--kopi hitam yang masih mengepulkan asap dan aroma magisnya dan satunya lagi pasti kau sudah tahu. 

Ponselku menjerit. Kulihat. Ternyata R, selingkuhan temanku. 

Aku tidak tahu kenapa R menelponku. Aku menjawabnya. R bilang ingin berselingkuh denganku. Aku kaget dan tersanjung dan terpesona. Suaranya begitu suci, sangat syahdu, seperti tarian Rumi. Membuatku berputar-putar memasuki ruang imaji. Seakan aku tak bisa keluar lagi untuk mengatakan tidak akan ajakannya. Kau tahu aku. Aku tak mungkin lakukan itu. Aku tak suka perselingkuhan karena perselingkuhan adalah kemunafikan.

Aku mengenalnya seminggu yang lalu di rumah temanku. Aku harus kesana untuk mengambil novel pinjamanku yang tercecer seminggu yang lepas. Dan R juga kesana. Sebelum pintu dibuka oleh temanku, aku dan R sempat berbincang ala kadarnya untuk mengisi jeda karena temanku agak lama membuka pintu. Dari situ R bilang selingkuhan temanku. Aku percaya karena setahuku pacar temanku bukan R. Dari obrolan itu pula aku dan R bertukar nomor ponsel. "Siapa tahu nanti aku memerlukan kamu," kata R. Matanya mengerling. Aku mengangguk dan tersenyum.

Sehari setelahnya, R mengajakku bertemu. Aku tidak bisa menolak. "Kamu ada waktu?" Kebetulan aku memang sedang tidak sibuk. Aku sedang santai. Aku baru selesai menamatkan Kho Ping Hoo setelah setahun membacanya. Kuliah sedang libur semester.

Ketika kutanya maksudnya, R ketawa. "Aku ingin mengenal kamu lebih jauh."

"Tujuannya?"

"Jangan terlalu detail karena tidak semua tujuan mesti diumbar."

R seakan tersinggung. Apakah menurutmu aku salah? Aku rasa tidak. Tapi, aku setuju dengan R karena terkadang orang-orang yang suka mengekspos niat baiknya sering tidak sejalan dengan hasil lahirnya. Kau juga pasti sering lihat orang-orang yang kampanye berteriak-teriak bertujuan ingin menyejahterakan rakyat kecil. Suaranya sampai serak. Dan akhirnya, mereka seperti orang berak meninggalkan bau saja. Tapi, jujur saja aku tak nyaman bertemu dengan R. Bagaimana kalau temanku tahu? Bagaimana juga kalau aku menjadi suka pada R?

R mengajakku bertemu di sebuah kafe. Ketika aku sampai, R belum ada di sana. Aku tersenyum kecut karena seakan aku begitu bersemangat. Aku menjadi curiga pada diriku sendiri. Dan bagaimana kalau R juga menafsiriku seperti itu. Tentu aku tak bisa menjawabnya. Ruangan kafe tidak penuh. Di pojok kananku ada perempuan cantik dengan muka yang sembab seperti baru menangis. Atau sedang menangis? karena matanya masih basah. Mungkin dia baru putus dari pacarnya. Atau sedang menunggu seseorang yang tak kunjung datang. Di pojok kiri, ada lelaki setengah baya dengan koran sedang dibacanya. Mungkin dia itu seorang pejabat yang cerdas atau rajin baca atau hanya karena sedang membunuh sepi. Bisa juga pekerjaannya membuatnya jenuh. Dan dia ke kafe untuk mengusirnya. Apakah dia berhasil? Tidak mungkin. Atau bisa jadi dia baru habis korupsi dan kebingungan takut tersadap K*K. Maklum K*K sedang gencar memburu pejabat-pejabat yang bukan dari partai penguasa.

Aku melihat ke pojok atas, ada cicak tertawa mengejek. Siapa? Pasti sedang menertawakan buaya. Aku memesan kopi hitam. Aku menghirup aromanya. Aromanya saja begitu nikmat. Aku seruput. Pintu kafe terbuka. R tersenyum. Setelah duduk di hadapan, R melambaikan tangannya pada pelayan dan meminta kopi hitam. Kuperhatikan R Gerakannya luwes. Cekatan. Lincah. R berdehem. Aku celingukan refleks karena telah tertangkap basah. Mungkin wajahku memerah seperti udang goreng. Aku tersenyum semampuku. Senyum R seperti mengejekku.

"Kuliah jurusan apa?" kuajukan pertanyaan untuk memalingkan R. 

R mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah buku filsafat diletakkan di meja. Nama Karl Mark dapat kubaca.

"Kuliah filsafat?" 

R mengiyakan.

"Kamu pasti suka baca." Aku menatap R dengan tatapan tanya.

"Zarnuji pernah bilang kalau ingin tahu seseorang lihatlah dengan siapa dia berteman. Dan kamu mengambil bukumu di rumah pacarku," jelas R.

"Aku tidak tahu siapa Zarnuji."

R meminum kopinya. Aku mengikuti air hitam itu. Memasuki leher R yang sangat putih. "Berarti kamu enggak pernah mondok, ya?"

Aku mengangguk. "Kamu santri?"

R tertawa lepas membiarkannya mengganggu pengunjung lain. Mata-mata memandang kami.
"Aku pernah jadi santri. Selepas SD orang tuaku berinisiatif memondokkan aku. Enam tahun aku di sana." Aku menerka pikiranku tentang perubahan dan kebebasan. Aku akui aku memang heran.

"Jangan heran. Perubahan itu bukan sesuatu yang dosa." Memang. R. benar.

"Tapi kenapa mesti berubah?"

"Kita mesti bebas."

"Kebebasan itu sesuatu tindakan untuk...."

"Melepaskan diri dari tirani," R. memotong kalimatku.

Aku melihat jam tanganku sudah menunjukkan setengah tiga. 20 menit lagi Ashar tiba. "Menarik. Tapi mesti kita akhiri."

"Aku belum selesai."

"Kita lanjutkan kapan-kapan."

Aku tahu kita mesti bebas dari segala sesuatu yang tidak benar. Dan kita tidak seharusnya membebaskan diri dari kebenaran. Dari Allah dan nilai-nilai kebenaran seperti agama. Aku memang tidak pernah nyantri. Tapi ibuku selalu bilang bahwa jangan sekali-kali aku meninggalkan salat. Sepintar apapun. Setinggi apapun aku sekolah. Dan R aku rasa telah membebaskan dirinya sebebas-bebasnya. Tidak apa. Itu baik asal dia terus memelajari. Terus meneliti dan membandingkan dan merasakan kebenaran-kebenaran yang dianggapnya telah menelikungnya. Tirani.

R mengajakku selingkuh. R mengajak aku untuk mengkhianati temanku. Dengan nada terkejut aku menanyainya, "Bagaimana dengan temanku?"

R di ujung ponselnya cekikikan. "Santai aja kali. Aku menjadi selingkuhan temanmu dan kamu menjadi selingkuhan temanmu." R mengatakannya dengan enteng sekali seakan teman dan menyelingkuhinya itu bukan apa-apa.

"Bisa begitu, ya?"

"Kita ini sudah hidup di negara yang penuh dengan perselingkuhan."

"Maksudnya?"

"Jangan pura-pura buta. Pemerintah kita sudah sejak dulu menyelingkuhi rakyat. Menyelingkuhi kita di depan mata kita." Suara R begitu tinggi. Begitu tegas seakan sedang berorasi.

Mungkin baginya mesti berselingkuh untuk menumpas perselingkuhan. Untuk membunuh api, bakar sekalian sampai habis, sampai api tak menemukan lagi yang mau dibakar. Menurutmu bagaimana?[]

sumber gambar: gratisography.com

Sunday, January 3, 2016

Mana Yang Bahasa Asing?


Oleh: Yusroful Kholili

Pelaksanaan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) telah selesai saya jalani di MA Raudlatul Ulum Ganjaran Gondanglegi Malang. Banyak pengalaman menarik yang saya temui selama Praktik di Sekolah Berbasis Pesantren tersebut. Memang, pendiri awal sekolah ini adalah para kiai pesantren seperti KH. Bukhori Isma’il, KH. Yahya Syabrowi, dll. Tradisi belajar a la pesantren, seperti bandongan dan sorogan, masih dipertahankan sampai kini.

Sebagai informasi, siswa MA Raudlatul Ulum berasal dari berbagai daerah, di antaranya Malang, Surabaya, Madura, Pontianak, dll. Bahkan Pontianak, daerah terjauh dibanding daerah asal lain, menjadi daerah terbanyak penyuplai siswa di sekolah ini. Dengan asal daerah yang beda, bahasa sehari-hari siswa beragam pula. Ada Madura, Jawa, dan Melayu. Meskipun bahasa paling belakang disebutkan paling jarang terdengar. Ya, satu lagi bahasa yang sering didengar, biasanya kita sebut saja dengan bahasa Jawa Sasa’an. Bahasa ini sangat akrab dengan siswa karena satu-satunya bahasa yang digunakan saat memaknai kitab kuning. Bahasa ini dipahami, namun dari mana bahasa ini berasal, saya yakin tidak sedikit dari siswa MA RU yang tidak tahu, yang berasal dari suku Jawa sekalipun. Termasuk penulis sendiri.

Nah, terkait dengan masalah bahasa, pengalaman ‘menarik’ penulis temui saat pelakasanaan PPL di MA RU. Jika disusun, kira-kira ceritanya begini:

Suatu kali, saya masuk kelas X (identitas khususnya tidak perlu disebutkan di sini) yang sedang tidak ada gurunya. Saya nyelonong masuk, tahu-tahu ketepatan waktunya jam pelajaran Bahasa Inggris. “Wah, saya jurusan PAI, orang madura lagi. bagaimana mungkin ‘menggurui’ pelajaran bahasa inggris?” pikirku sesaat. Tapi saya terlanjur memperlihatkan muka, lengkap dengan atribut Mahasiswa Praktikan. Apa boleh buat, saya harus mengisi. Tidak bisa tidak.

Secepat kilat, saya paksa otak searching jalan. Tidak lama kemudian permainan yang saya sebut dengan‘ Kereta Kata’ muncul sebagai jalan alternatifnya. Paling tidak bisa mengisi sampai bel pergantian jam. Pembelajaran dengan menggunakan  aturan main Kereta Kata saya tawarkan, meskipun ujung-ujungnya tidak bisa ditawar-tawar.  Saya aturkan peraturan mainnya. Di depan mereka saya jelaskan, “Saya akan menunjuk seseorang untuk menyebutkan satu kata, kemudian saya akan menunjuk peserta yang lain untuk menyebutkan kata yang huruf awalnya merupakan huruf akhir dari kata yang disebutkan oleh peserta yang saya tunjuk sebelumnya.” Misalnya, peserta yang ditunjuk pertama menyebutkan kata “aku”, peserta kedua akan meneruskan dengan menyebut kata “ujian”, peserta ketiga meneruskan dengan “ nasi”, dan begitu pun selanjutnya sampai masing-masing peserta menyebutkan kata lanjutannya. Dari kata “aku” diteruskan menjadi “ujian”,  dari “ujian” dilanjutkan menjadi “nasi”, dan seterusnya”. Tidak ketinggalan, sanksi akan diberikan kepada siswa yang tidak dapat melanjutkan kata.  Semua paham dan sepakat.

Untuk percobaan, permainan kata Bahasa Indonesia pun dimulai. Permainan berjalan lancar, tidak satupun peserta yang kesulitan untuk meneruskan kata-kata peserta sebelumnya. Selanjutnya permainan dilanjutkan dengan kosakata Bahasa Inggris. Misal kata “say” menjadi “you” kemudian “uncle” dan seterusnya. Di awal-awal sesi, permainan berjalan agak lambat. Setiap peserta yang ditunjuk terlihat ada jeda berpikir huruf akhir peserta sebelumnya (misal, huruf “i” ataukah “e” akhir dari kata “see” itu?), sebagai penentu kata selanjutnya yang akan disebutkan. Sekitar  30 menit “Kereta Kata” Bahasa Inggris berputar dengan lancar. Bahkan peserta antusias sekali melanjutkan deretan kosakatanya. Harapan permainan untuk segera terputus tidak nampak. Terkejut dan senang terpancar dari air muka peserta saat aku menunjuknya untuk melanjutkan “kata” sebagai deret gerbong kereta selanjutnya. Asyik.

Permainan kata sudah berjalan di putaran ketiga. Namun, tidak satupun hukuman dibagian, lantaran kata demi kata dilanjutkan dengan baik. Saya pun berpikir untuk mengubah kosakata permainan. Dari Bahasa Inggris ke bahasa lokal.  Melihat  daerah asal peserta didik berbeda, ada dua bahasa daerah yang mereka kuasai. Mereka yang berbahasa Madura paham dengan bahasa Jawa, yang berbahasa Jawa paham dengan bahasa Madura, meskipun sebatas pendengaran. Dalam berucap, hanya sebagian kecil yang sudah menguasai. Dengan itu, Bahasa Jawa dan Bahasa Madura sekaligus, menjadi bahasa permainan yang saya pilih. Aturan main lebih dikendorkan, yang biasa berbahasa Madura menyebutkan kata lanjutan dengan kosakata Madura, begitupula bagi yang berbahasa jawa.

Aturan  saya utarakan. Sebagian siswa masih belum yakin akan keseriusan saya untuk melakukan permainan itu. Komentar “malu, pak” terlontar dari salah satu siswa, kemudian bersambut gelak tawa mengiyakan dari  yang lain—kebanyakan suara tawa ini bermuasal dari siswa yang duduk di kursi belakang. Sebagian lain—sebagian besar dari mereka duduk di kursi depan, mejanya berdekatan dengan meja guru—hanya memilih diam. Saya jelaskan bahwa permainan terakhir ini diniati  untuk  menghormati Bahasa warisan nenek moyang. Karena itu, tidak ada sanksi bagi yang gagal melanjutkan dengan bahasa daerah masing-masing. “Pola permainan terakhir ini juga bertujuan untuk mengasah kosakata bahasa daerah,” saya meyakinkan mereka. Dan mereka sepakat.

Saya mulai permainan dengan menyebutkan kata “tak ollé agejek” sebagai kata permulaan, kemudian dilanjutkan oleh siswa yang ditunjuk. Lanjutan kata yang munculpun bervariasi, kadang berbahasa Madura, kadang bahasa Jawa, tergantung bahasa asal peserta yang ditunjuk. Kadang kata “agejek” bersambut kata “konco”, lalu berlanjut dengan kata “ongguen” dan seterusnya. Jangan dibayangkan lanjutan kata keluar dengan mulus. Lanjutan kata akan muncul setelah menunggu kejelasan huruf akhir kata sebelumnya. Setelah jelas huruf akhirnya, permainan masih harus mandek di lampu merah selanjutnya, siswa yang ditunjuk mengernyutkan dahi, cerminan  otaknya berputar-putar mencari kata yang berasal dari huruf akhir kata yang baru saja di sebut. Saya pun harus sabar menunggu kata yang akan diucapkan, lebih sabar dibanding menuggu lanjutan kata di  permainan sebelumnya. Permainan Kosakata bahasa Indonesia bahkan bahasa Inggris sekalipun.

Permainan kata berjalan terseot-seot. Tambah lama, lanjutan kata muncul tambah alot. Hanya saat bel pergantian jam berbunyi, permainan saya akhiri. Kealotan ikut terhenti. Saya beranjak keluar kelas. Rekaman permainan yang baru saja di akhiri masih berputar di otak. “Kenapa bahasa sendiri  lebih sulit pencarian kosakatanya di banding dengan bahasa Indonesia bahkan bahasa Inggris? Aneh!” pikirku sambil terus meyeret kaki menuju kantor madrasah. Masuk kantor pikiran lebih tertarik pada secangkir kopi. Sedang rekaman permainan kata di kelas, perlahan musnah bersama asap rokok yang aku kepulkan.

Di lain waktu, saya berkesempatan masuk kelas lain untuk mengisi mapel bahasa Inggris. Permainan di atas aku mainkan kembali. Sama persis. Jalannya dan antusiasmenya. Hanya saja saat aku utarakan untuk berpindah ke bahasa daerah, lontaran kata ‘malu’ dan kurang ‘seru’ menanggapi ajakan saya. Khawatir kejadian serupa —menunggu dan alot jalannya—di kelas sebelumnya terulang. Aku turuti permainan kata bahasa daerah tidak terjadi.

Dari pengalaman itu, aku mulai bertanya pada pikiran sendiri, “Apakah mereka mulai malu untuk menggunakan bahasa sendiri dalam forum formal? Atau, minimnya pengetahuan kosakata dan gramatikal bahasa daerah mereka alami? Aneh!” bisikku pada angin. Pikirku mulai berjejal untuk menghakimi mereka. Sebelum penghakiman semakin mendalam ke arah mereka, kubanting setir untuk menghakimi diri sendiri. Sesaat, khayalanku berputar dalam ingatanku tentang perkenalanku dengan bahasa.

Seingatku, bahasa Madura merupakan satu-satunya  bahasa yang aku dengar sejak di lingkungan keluarga. Lebih dari itu, Bahasa Madura merupakan bahasa sehari-hari bapak dan ibu.  Selanjutnya saat bersama dengan teman sebaya, tetangga dan keluarga di perantauan, bahasa Jawa juga mulai akrab terdengar. Meskipun di masa ini bahasa Madura masih menempati peringkat satu. Di saat memasuki dunia sekolah dasar kedudukan bahasa Madura dan Jawa berimbang. Bahasa Indonesia, masih asing sama sekali.

Baru saat masuk bangku Madrasah Ibtidaiyah (MI) saya mulai bertemu dan berkenalan dengan bahasa Indonesia.  Bahasa Indonesia berangsur akrab di telinga sebatas di dalam kelas saja. 6 tahun di sekolah dasar Bahasa Indonesia mulai sering diperdengarkan baik oleh guru atau TV.

Kini bahasa Indonesia telah akrab didengar sehari-hari, bahkan berposisi sebagai bahasa  utama saat berkomunikasi. Gramatikal-nya  telah dipelajari—dari MI sampai bangku kuliah—sampai  titik penyempurnaan, meskipun tidak sempurna betul. Posisinya sebagai bahasa utama di media sosial dan media lain, setidak-tidaknya telah nyenggol  bahasa Madura dan Jawa sebagai bahasa ibu. Khususnya bagi penulis.

Saat-saat akhir belajar di MI, bahasa Inggris datang sebagai bahasa asing kedua dalam hidupku. Di MI, saya tidak punya waktu panjang untuk mengenal lebih bahasa asing ini. Baru saat duduk di bangku SMP (Sekolah Menengah Pertama) kesempatan untuk mengenal bahasa Ingris mulai saya dapatkan. Cara bacanya, gramatikalnya memang salah satu pelajaran wajib di SMP. Bahkan kategori pelajaran yang di ujikan di UN (ujian Nasional). Saya  harus mempelajari. Mau tidak mau.

Saat SMP, Gramatikal bahasa Jawa lengkap dengan aksaranya baru saya dapati. Pembelajaran bahasa sendiri (Jawa), dan bahasa asing (Inggris) sama-sama baru dapat saya pelajari di bangku yang sama. Hebatnya lagi, pembelajaran bahasa ibu berada  di muatan lokal, dan bahasa Inggris berposisi sebagai penentu kelulusan. Saat mengingat hal ini, pikiran”aneh, bukan?” mengusikku.

Bahasa Inggris juga aku dekati bagian-bagiannya. Kosakatanya, sedikit-banyak bisa penulis raba-raba untuk dibaca dan diterjemah. Meskipun untuk mengucap  dan mendengar masih sulit. Meskipun begitu, setidaknya bentuk-bentuk regular-irregular verb-nya masih mudah dikenali dibanding saat berhadapan dengan aksara Jawa.

Sedang bahasa Jawa sendiri, hanya sebatas digunakan saat komunikasi dengan teman sebaya, itupun dengan bahasa ngoko. Kromo Alus, Kromo Inggil, bahkan Tembung Lingga dan Andhahan sudah lenyap dalam ingatan. Jangankan untuk memahami aksaranya, ater-ater-nya dan kaidah-kaidahnya pun musnah. Istilah-istilah gramatikalnya saja betul-betul tidak paham. Meskipun pernah kenal, mungkin hanya sebatas istilah untuk hafalan semata. Tulodho-nya, tembang-tembang sastranya sulit ditemui di bangku sekolah. Lain halnya dengan bahasa Madura yang hanya ambil bagian untuk dipakai untuk komunikasi lisan sehari-hari. Lain tidak.

Inilah yang dialami penulis. Mungkin, juga dialami pelajar di sekitar kita. Jika demikian adanya, tidak dapat kita sangkal bahwa yang asing (bahasa Inggris) makin dekat, bahasa pribumi—warisan nenek moyang semisal bahasa Jawa, Madura, Melayu, dan lainnya—makin asing. Lantas, bahasa manakah yang lebih asing?

Penuturan  di atas sebagai bahan refleksi atas  pengalaman pribadi. bukan hendak mengurangi ghiroh membekali diri dan memahami bahasa Inggris. Apalagi bahasa Indonesia. Sama sekali tidak.[]


sumber gambar: aboutworldlanguages.com
Powered by Blogger.

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top