Wednesday, January 6, 2016

Selingkuh

11:42 AM


Oleh: Khozin Badri

Hujan meliukkan tubuhnya. Terpaan angin membuatnya seakan menari. Dan dedaunan palm di belakang rumahku juga bergoyang. Aku menyaksikannya dari balik jendela di ruang makan. Suasana yang dingin dan basah itu pasti ada yg menemaniku--kopi hitam yang masih mengepulkan asap dan aroma magisnya dan satunya lagi pasti kau sudah tahu. 

Ponselku menjerit. Kulihat. Ternyata R, selingkuhan temanku. 

Aku tidak tahu kenapa R menelponku. Aku menjawabnya. R bilang ingin berselingkuh denganku. Aku kaget dan tersanjung dan terpesona. Suaranya begitu suci, sangat syahdu, seperti tarian Rumi. Membuatku berputar-putar memasuki ruang imaji. Seakan aku tak bisa keluar lagi untuk mengatakan tidak akan ajakannya. Kau tahu aku. Aku tak mungkin lakukan itu. Aku tak suka perselingkuhan karena perselingkuhan adalah kemunafikan.

Aku mengenalnya seminggu yang lalu di rumah temanku. Aku harus kesana untuk mengambil novel pinjamanku yang tercecer seminggu yang lepas. Dan R juga kesana. Sebelum pintu dibuka oleh temanku, aku dan R sempat berbincang ala kadarnya untuk mengisi jeda karena temanku agak lama membuka pintu. Dari situ R bilang selingkuhan temanku. Aku percaya karena setahuku pacar temanku bukan R. Dari obrolan itu pula aku dan R bertukar nomor ponsel. "Siapa tahu nanti aku memerlukan kamu," kata R. Matanya mengerling. Aku mengangguk dan tersenyum.

Sehari setelahnya, R mengajakku bertemu. Aku tidak bisa menolak. "Kamu ada waktu?" Kebetulan aku memang sedang tidak sibuk. Aku sedang santai. Aku baru selesai menamatkan Kho Ping Hoo setelah setahun membacanya. Kuliah sedang libur semester.

Ketika kutanya maksudnya, R ketawa. "Aku ingin mengenal kamu lebih jauh."

"Tujuannya?"

"Jangan terlalu detail karena tidak semua tujuan mesti diumbar."

R seakan tersinggung. Apakah menurutmu aku salah? Aku rasa tidak. Tapi, aku setuju dengan R karena terkadang orang-orang yang suka mengekspos niat baiknya sering tidak sejalan dengan hasil lahirnya. Kau juga pasti sering lihat orang-orang yang kampanye berteriak-teriak bertujuan ingin menyejahterakan rakyat kecil. Suaranya sampai serak. Dan akhirnya, mereka seperti orang berak meninggalkan bau saja. Tapi, jujur saja aku tak nyaman bertemu dengan R. Bagaimana kalau temanku tahu? Bagaimana juga kalau aku menjadi suka pada R?

R mengajakku bertemu di sebuah kafe. Ketika aku sampai, R belum ada di sana. Aku tersenyum kecut karena seakan aku begitu bersemangat. Aku menjadi curiga pada diriku sendiri. Dan bagaimana kalau R juga menafsiriku seperti itu. Tentu aku tak bisa menjawabnya. Ruangan kafe tidak penuh. Di pojok kananku ada perempuan cantik dengan muka yang sembab seperti baru menangis. Atau sedang menangis? karena matanya masih basah. Mungkin dia baru putus dari pacarnya. Atau sedang menunggu seseorang yang tak kunjung datang. Di pojok kiri, ada lelaki setengah baya dengan koran sedang dibacanya. Mungkin dia itu seorang pejabat yang cerdas atau rajin baca atau hanya karena sedang membunuh sepi. Bisa juga pekerjaannya membuatnya jenuh. Dan dia ke kafe untuk mengusirnya. Apakah dia berhasil? Tidak mungkin. Atau bisa jadi dia baru habis korupsi dan kebingungan takut tersadap K*K. Maklum K*K sedang gencar memburu pejabat-pejabat yang bukan dari partai penguasa.

Aku melihat ke pojok atas, ada cicak tertawa mengejek. Siapa? Pasti sedang menertawakan buaya. Aku memesan kopi hitam. Aku menghirup aromanya. Aromanya saja begitu nikmat. Aku seruput. Pintu kafe terbuka. R tersenyum. Setelah duduk di hadapan, R melambaikan tangannya pada pelayan dan meminta kopi hitam. Kuperhatikan R Gerakannya luwes. Cekatan. Lincah. R berdehem. Aku celingukan refleks karena telah tertangkap basah. Mungkin wajahku memerah seperti udang goreng. Aku tersenyum semampuku. Senyum R seperti mengejekku.

"Kuliah jurusan apa?" kuajukan pertanyaan untuk memalingkan R. 

R mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah buku filsafat diletakkan di meja. Nama Karl Mark dapat kubaca.

"Kuliah filsafat?" 

R mengiyakan.

"Kamu pasti suka baca." Aku menatap R dengan tatapan tanya.

"Zarnuji pernah bilang kalau ingin tahu seseorang lihatlah dengan siapa dia berteman. Dan kamu mengambil bukumu di rumah pacarku," jelas R.

"Aku tidak tahu siapa Zarnuji."

R meminum kopinya. Aku mengikuti air hitam itu. Memasuki leher R yang sangat putih. "Berarti kamu enggak pernah mondok, ya?"

Aku mengangguk. "Kamu santri?"

R tertawa lepas membiarkannya mengganggu pengunjung lain. Mata-mata memandang kami.
"Aku pernah jadi santri. Selepas SD orang tuaku berinisiatif memondokkan aku. Enam tahun aku di sana." Aku menerka pikiranku tentang perubahan dan kebebasan. Aku akui aku memang heran.

"Jangan heran. Perubahan itu bukan sesuatu yang dosa." Memang. R. benar.

"Tapi kenapa mesti berubah?"

"Kita mesti bebas."

"Kebebasan itu sesuatu tindakan untuk...."

"Melepaskan diri dari tirani," R. memotong kalimatku.

Aku melihat jam tanganku sudah menunjukkan setengah tiga. 20 menit lagi Ashar tiba. "Menarik. Tapi mesti kita akhiri."

"Aku belum selesai."

"Kita lanjutkan kapan-kapan."

Aku tahu kita mesti bebas dari segala sesuatu yang tidak benar. Dan kita tidak seharusnya membebaskan diri dari kebenaran. Dari Allah dan nilai-nilai kebenaran seperti agama. Aku memang tidak pernah nyantri. Tapi ibuku selalu bilang bahwa jangan sekali-kali aku meninggalkan salat. Sepintar apapun. Setinggi apapun aku sekolah. Dan R aku rasa telah membebaskan dirinya sebebas-bebasnya. Tidak apa. Itu baik asal dia terus memelajari. Terus meneliti dan membandingkan dan merasakan kebenaran-kebenaran yang dianggapnya telah menelikungnya. Tirani.

R mengajakku selingkuh. R mengajak aku untuk mengkhianati temanku. Dengan nada terkejut aku menanyainya, "Bagaimana dengan temanku?"

R di ujung ponselnya cekikikan. "Santai aja kali. Aku menjadi selingkuhan temanmu dan kamu menjadi selingkuhan temanmu." R mengatakannya dengan enteng sekali seakan teman dan menyelingkuhinya itu bukan apa-apa.

"Bisa begitu, ya?"

"Kita ini sudah hidup di negara yang penuh dengan perselingkuhan."

"Maksudnya?"

"Jangan pura-pura buta. Pemerintah kita sudah sejak dulu menyelingkuhi rakyat. Menyelingkuhi kita di depan mata kita." Suara R begitu tinggi. Begitu tegas seakan sedang berorasi.

Mungkin baginya mesti berselingkuh untuk menumpas perselingkuhan. Untuk membunuh api, bakar sekalian sampai habis, sampai api tak menemukan lagi yang mau dibakar. Menurutmu bagaimana?[]

sumber gambar: gratisography.com

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top