Monday, March 7, 2016

Pancasila Mati Suri


Oleh: Ahmad Rudi

Pancasila adalah ideologi terbuka. Sebagai ideologi bangsa dan negara, Pancasila diangkat dari nilai-nilai adat istiadat, nilai-nilai kebudayaan serta nilai relijius yang terdapat dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia sebelum membentuk negara.  Dengan kata lain,unsur-unsur yang merupakan materi Pancasila diangkat dari pandangan hidup masyarakat Indonesia sendiri. Sebagai contoh kebiasaan gotong-royong dan musyawarah adalah nilai-nilai luhur budaya yang terdapat dalam Pancasila. Pancasila sebagai ideologi berarti Pancasila dijadikan sebagai perspektif hidup bagi bangsa Indonesia.

Pancasila adalah ideologi Negara Indonesia dan sebagai asas kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia merupakan negara yang mempunyai beragam suku, ras dan agama. Oleh karenanya, untuk menyatukan keberagaman tersebut diperlukan adanya satu kesepakatan bersama dan kesepakatan yang mengikat yang pada akhirnya ditetapkan sebagai ideologi, yakni Pancasila.

Negara Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam (SDA) yang melimpah. Dengan kekayaan alam tersebut tidak heran negara-negara luar banyak yang melirik ingin menguasai sumber daya alam Indonesia tercinta ini untuk memperkaya negaranya masing-masing. Maka dari itu, untuk mempertahankan semua itu diperlukan penanaman semangat nasionalisme bangsa Indonesia yang kuat pada diri generasi bangsa.

Kita ketahaui bahwa Pancasila adalah dasar Negara Republik Indonesia,  tapi Pancasila bukan sekadar dasar negara saja bukan pula harus difahalkan diluar kepala. Pancasila adalah sesuatu yang harus diamalkan oleh kita sebagai warga Negara Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu juga Pancasila anti kapitalisme dan kolonialisme. Maka kaum kapitalis benar-benar mengubah paham Pancasila dengan mengubah cara berpikirnya. Contohnya terlihat dari sistem pendidikan, ekonomi, politik, dan sosial. Sungguh miris sekali bangsa kita diperbudak oleh kaum-kaum bangsat itu dan bisa mempropagandakan paham Pancasila menjadi paham kaptalis-leberal. Nilai-nilai Pancasila sudah hilang ditelan oleh ombak samudra. Dan nilai-nilai Pancasila sudah tidak ternilai lagi di mata dunia. Siapakah yang bersalah? Pemerintahkah? Atau masyakaratnya? Kehidupan pejabat negara kita dan masyakarakat sudah keluar dari nilai-nilai Pancasila. Gaya hidup mereka pragmatis.

Masyarakat Indonesia dalam sehari-harinya sudah keluar dari norma-norma Pancasila. Masyarakat sekarang dengan masyarakat dulu jauh berbeda cara mengaplikasikan Pancasila dalam tatanan kehidupan sosial. Kehidupan yang hidonis dan pragmatis membutakan masyarakat bangsa ini, dan bagaimana kehidupan masyarakat Indonesia enak dan nyaman dalam semboyan mereka.  Sifat gotong royong dalam masyarakat sudah hilang. Mereka lebih mementingakan golongan saja, tanpa memikirkan orang-orang di sekitarnya. Banyak perilaku masyarakat Indonesia yang tidak sewajarnya dilakukan dan sudah tidak berperikemanusiaan lagi. Dalam kehidupan bermasyarakat seharusnya lebih terbuka dalam bersosial. Dan maraknya kasus-kasus seperti kejahatan sudah merajarela di negara kita. Masyarkat sudah hilang rasa kebersamaan dan kenyamanan sudah tidak ada lagi dalam benak diri masyarakat Indonesia.

Pendidikan adalah wadah untuk mencerdaskan anak bangsa dan belajar agar bisa membuat sebuah gagasan-gasasan baru bagi para intektual. Ironisnya pendidikan di Negara Indonesia sudah tidak sesuai lagi dengan norma-norma Pancasila sebagai landasan untuk mencapai pendidikan yang layak untuk warganya sendiri. Pendidikan juga membentuk pribadi yang berilmu pengatahuan dan berwawasan luas. Memang tidak bisa dimungkiri lagi bahwa pendidikan merupakan alat yang dapat meningkatkan kualitas hidup, dan menjadi jaminan hidup yang layak dan berinteraksi dalam percaturan global. Di negara kita pendidikan tidak merata dan banyak anak bangsa yang tidak bisa bersekolah dikarenakan biaya yang sangat mahal. Dampak dari sistem itu banyak orang-orang bodoh berkeliaran di mana-mana. Padahal menurut UUD 1945 pasal 31 ayat 2 “setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.” Undang undang tersebut dipertegas oleh undang-undang nomor 20 tentang Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) pasal 46 yang mengatakan bahwa “pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat.” Pada undang-undang yang sama pasal 34 ayat 2 juga disebutkan bahwa pemerintah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal jengjang pendidikan  dasar tanpa biaya.

Namum sepertinya pendidikan yang ada di Indonesia telah terjebak dalam jurang yang paling dalam, yakni pendidikan dijadikan ladang bisnis bagi pemegang modal. Dengan itu pendidikan hanya menjadi alat pekerjaan yang melulu dimanfaatkan oleh antek-antek kapitalis lembaga. Dapatlah kita menarik kesimpulan bahwa Negara Indonesia seharusnya tidak membatasi lembaga dan tidak mencampur-aduk sistem penddikanya, baik dari sektor swasta atau negeri.

Ekomoni sangat diperlukan dalam memenuhi kebutuhan. Oleh karenanya ekomoni merupakan salah satu ilmu yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Selain itu ekonomi sebagai alat untuk mengukur tingkat kemajuan dalam seatu negara, apakah keadaannya baik atau semakin memburuk. Sedangkan sistem ekonomi di Negara Indonesia sudah tidak bisa dikatakan ekonomi kerakyatan, yang mana tertuang dalam UUD tentang kekayaan yang di miliki oleh Negara Indonesia. Pasal 33 UUD 1945 merupakan salah satu undang undang yang mengatur tentang pengertian perekonomian dan pemanfaatannya secara nasional.  Ayat (10 berbunyi, “perekonomian disusun bersama berdasarkan atas azaz kekeluargaan”; ayat (2) berbunyi “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”;  ayat (3) berbunyi “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”; ayat (4) berbunyi, “pereokonomian nasional diselenggrakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan berwawasan lingkungan, kemandiran, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekomoni nasional”; dan ayat 5 “mengenai ketentuan pelaksanaan diatur dalam undang-undang”.

Undang undang dasar 1945 merupakan aturan dasar pemerintah maupun rakyatnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tapi apa daya, sistem ekonomi kita sudah tidak sesuai dengan UUD. Semua kekayaan alam ini diizinkan dikuasai oleh bangsa-bangsa luar dan ini mengakibatkan negara indonesia miskin. Banyak orang-orang mati karena kelaparan, tapi apa daya nasib sudah menjadi bubur disebabkan oleh razim yang tidak bertanggung jawab. Dalam hal hajat hidup orang banyak rakyat tidak tahu apa-apa, malah dikagetkan dengan hutang negara yang sangat besar. Maka diperlukan sistem ekonomi yang lebih adil. Hanguskan kapitalisme-liberalisme-feodalisme di tanah pertiwi ini. Kembali ke sistem ekonomi kerakyatan.

Politik adalah proses membentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat. Politik juga adalah seni dan ilmu untuk meraih kekuasaan. Tujuan yang riil politik adalah untuk kebaikan dan kepentingan bersama. Tapi sekarang politik dijadikan sebuah pemahaman untuk membawa keuntungan sepihak dan bukan untuk kepentingan bersama. Maka konsep Bung Karno terkait politik di bangsa ini sudah hilang. Terkait masalah kemandirian politik, Soekarno telah berhasil memperjuangankan Pancasila sebagai fondasi kemandirian bangsa Indonesia dengan memiliki ideologi sendiri. Soekarno juga mengkritik demokrasi politik yang diterapkan di negara luar yang penuh tipu daya oleh kaum kapitalis dan borjuis dalam menindas kaum yang lemah. Sedangkan para pejabat yang ada di negara Indonesia untuk bisa duduk di sebuah kedudukan yang sangat tinggi memerlukan uang. Politik di negara indenesia sudah hilang—sebuah cita-cita yang pernah diidamkan oleh bapak kita yang memproklamirkan negara Indonesia ini. Politik sudah keluar dari norma-norma Pancasila. Sungguh miris sekali kalau sistem seperti ini terus merajarela di Negara Indonesia. Indonesia akan menjadi sejarah seperti kerajaan-kerajaan masa lalu.


Saya menyimpulkan bahwa Pancasila hanya formalitas saja. Saya teringat pada sebuah pepatah yang mengatakan, adanya seperti tidak ada. Orang-orang yang mengaku Pancasilais telah mengkhianati Pancasila itu sendiri. Maka dari itu perlu penyadaran kepada generasi muda. Kalau dibiarkan seperti ini akan hilang roh Pancasila itu di dalam jiwa manusia, dan sudah tidak keramat lagi. Negara kita hanya akan menjadi sejarah yang  pernah menganut ideologi Pancasila, dan akan hancur di tangan-tangan kaum kapitalis dan antek-anteknya.[]

sumber gambar:
Soekarno, by Tytton Sishertanto

Tuesday, March 1, 2016

Bisakah Media Bebas Nilai?


Oleh: Irham Thoriq

Apa hubungan antara jurnalisme dan filsafat? Sebagai induk segala ilmu, filsafat tentu berkaitan dengan apapun termasuk dengan jurnalisme. Salah satunya tentang proses mencari kebenaran, fisafat dan jurnalisme sejatinya adalah ikhtiar terus menerus untuk mencari kebenaran.

Jika filsuf mencari kebenarannya mungkin dengan merenung, wartawan mencarinya dengan mencari data lalu memverifikasinya dan setelah itu merangkai fakta-fakta itu. Karena tidak ada kebenaran yang hakiki, dalam proses mencari kebenaran itu bisa diibaratkan kita sedang mengetuk-ketuk pintu. Kita harus terus mengetuk pintu agar kita semakin dekat dengan kebenaran.

Mula-mula saya ibaratkan jurnalisme dengan filsafat karena dalam proses mencari kebenaran itu biasanya kita dipenuhi dengan aneka macam kepentingan. Oleh karenanya, dalam judul saya ajukan pertanyaan mendasar; Bisakah media bebas nilai?

Bebas nilai yang dimaksud adalah bebas dari kepentingan atau tidak ada nilai­nilai yang diperjuangkan wartawan ketika menulis berita. Jika itu pertanyaannya, maka jawabannya tentu tidak ada yang bebas nilai. Tidak hanya media sebenarnya, hidup kita pun sebenarnya tidak ada yang bebas nilai.

Dalam kehidupan kita banyak yang memengaruhi, mulai dari orang tua kita, tetangga, teman, kerabat dan juga agama kita. Karena yang memengaruhi inilah, segala sikap kita sejatinya selalu penuh dengan kepentingan atau tidak ada yang bebas nilai.

Begitu juga dengan media, karena tidak ada yang bebas nilai maka produk yang ada di media adalah produk yang subjektif. Tidak ada yang objektif. Kenapa tidak ada yang objektif ? karena serangkaian proses kerja jurnalistik itu hasil dari aneka macam subjektivitas.

Mari kita runut dari awal. Ketika pagi hari wartawan mencari berita di lapangan, tentu saja wartawan akan mencari data yang sesuai dengan ‘selera’ media tempat mereka bekerja. Jika kita bekerja di media khusus ekonomi, tentu wartawan itu tidak akan mengambil kejadian sebesar apapun tentang krimanilitas.

Selain itu ketika ada undangan peliputan, bisa saja wartawan itu tidak mau datang karena menganggap acaranya tidak menarik. Itulah keputusan subjektif wartawan yang memilah mana yang menarik dan tidak menarik.

Setelah itu subjektivitas selanjutnya ada dalam rapat redaksi yang dilakukan redaktur. Untuk media massa seperti koran yang terbit harian, biasanya ada rapat redaksi pada sore hari atau sebelum redaktur mengedit berita. Saat inilah redaktur memilih berita mana yang akan dibuat halaman utama dan berita mana yang akan dijadikan berita utama atau Headline.

Tentu saja pemilihan itu adalah subjektivitas redaktur meskipun setiap media memunyai ukuran mana yang penting dan yang menarik. Tidak berhenti di situ, subjektivitas itu masih berlanjut di pagi hari selanjutnya ketika koran tiba di tangan pembaca. Para pembaca memilih mana yang hendak mereka baca dan yang tidak. Nah, di situlah pembaca juga memunyai subjektivitas.

Dari contoh-contoh itu, saya hendak mengatakan kalau dalam hidup ini sebenarnya tidak ada yang bebas nilai. Kalau kita ikut Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) tentu kita akan membela PMII. Jika kita Islam, kita lebih memunyai kecenderungan membela Islam daripada agama lain.

Hati Nurani
Lalu bagaimana jika semuanya sudah tidak ada yang bebas nilai. Kita sebenarnya memunyai satu pegangan yakni hati nurani. Dari hati kecil kita itulah kita bisa menilai mana yang sebaiknya kita bela dan mana sebaiknya kita tinggalkan. Hati nurani adalah penilai di tengah subjektivitas itu.

Oleh karenanya, subjektivitas yang dilakukan wartawan, filsuf atau aktivis sebaiknya berdasarkan hati nurani. Untuk media misalnya, subjektivitas yang dipilih itu bukan berdasarkan uang, kepentingan media atau kepentingan pemilik media.

Apakah bisa? Tentu bisa, meski itu sangat sulit. Sebagai entitas bisnis yang harus menggaji karyawan dan menutupi biaya operasional, media harus menjaring iklan dari penguasa dan pengusaha. Nah, karena berbenturan dengan iklan inilah atau kepentingan pemilik media.

Pada pemilu 2014 lalu, misalnya, bagi kalangan wartawan pemilu tersebut menjadi momen turunnya kepercayaan masyarakat terhadap televisi. Kita tahu, dua stasiun televisi yang pemiliknya sama-sama memimpin partai politik dengan terang-benderang mendukung calon presiden dengan membabi-buta. Atas fenomena tersebut tentu masyarakat dan juga wartawan banyak yang prihatin. Tapi mau bagaimana lagi kita bukan pemilik media.

Peran Aktivis PMII
Di tengah subjektivitas itu, sebagai aktivis kita harus tetap mewarnai wacana publik atau kalau perlu menguasainya. Sebagai aktivis kita harus bisa menganalisa dan memproduksi wacana. Apa yang diperjuangkan PMII harus diproduksi dalam bentuk wacana agar bisa diketahui dan memberi manfaat banyak orang.

Media untuk memproduksi wacana itu bisa dengan membuat buletin, mengaktifkan website dan lain-lain. Jika hal tersebut tak dilakukan aktivis PMII, bisa jadi aktivis PMII hanya menjadi penonton bukan pelaku.


Artikel ini disampaikan dalam Pelatihan Kader Dasar (PKD) Komisariat Ibnu Rusyd atau PMII Universitas Kanjuruhan Malang (Unikama) Cabang Kota Malang, Sabtu 21 Februari 2016.

sumber gambar:

Bermain Dalam Miniatur Negara


Oleh: Muhammad Madarik

Iftitah
Momentum Musma (Musyawarah Mahasiswa) BEM (Badan Ekskutif Mahasiswa) IAI Al-Qolam Gondanglegi tahun 2016 ini saya manfaatkan untuk menumbuhkan dan menghidupkan satu lembaga baru, yaitu DPM (Dewan Perwakilan Mahasiswa) di lingkungan kampus hijau. Langkah taktis yang saya lakukan pertama-pertama ialah mengidentifikasi mahasiswa yang memiliki intensitas tinggi di dalam organisasi kemahasiswaan, mempunyai kemampuan keorganisasian dan berpandangan luas tanpa sekat fanatisme. Dengan pertimbangan beberapa orang di kampus Al-Qolam, akhirnya saya mengundang beberapa mahasiswa yang dinilai senior dengan ragam latarbelakang organisasi mahasiswa untuk berkumpul di rumah saya.

Memang agak disayangkan, komposisi keanekaragaman mahasiswa aktivis yang bisa dikumpulkan kurang berimbang. Tak terbantahkan bahwa ketimpangan tersebut lebih banyak diakibatkan faktor teknis, diantaranya karena pulang ke kampung halaman, atau secara pribadi enggan terlibat aktif dalam kancah keorganisasian, tetapi tetap saja kesenjangan nampak sangat terasa dalam mengusung kepentingan-kepentingan.

Apapaun faktanya, rapat yang kemudian kita sebut "Tim Sembilan" dengan dasar Surat Tugas dari Warek III berhasil mengevaluasi dan merevisi buku Pedoman Kemahasiswaan

Tulisan singkat ini mencoba mengulas sekilas tentang masa depan organisasi kemahasiswaan dan kemungkinan-kemungkinan benturan kepentingan antar organisasi intera dan ekstera lewat pintu DPM dan BEM di perguruan tinggi Malang selatan.

Bercatur dalam DPM
Sementara ini ada yang mengungkapkan bahwa dalam ranah organisasi kemahasiswaan, perguruan tinggi merupakan miniatur dari cara berpandangan, berinteraksi dan berkehidupan politik sebuah negara. Pada statemen itu saya tidak sepakat seratus persen, tetapi pada aspek pengembangan kreatifitas berserikat bagi mahasiswa seperti dalam sistem organisasi dan politik negara, saya juga tidak menolak seratus persen. Sebab, kemunculan organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi tidak bisa dipungkiri berkiblat pada tatacara berorganisasi dan berpolitik dalam negara. Bahkan perkembangan  perpolitikan dalam negara banyak mengilhami cara berorganisasi para aktivis mahasiswa dalam mengelola tatakelola dan relasi organisasi kemahasiswaan.

Oleh sebab itulah, perkembangan organisasi kemahasiswaan di lingkungan IAI Al-Qolam sengaja diarahkan kepada tata kehidupan berorganisasi dan berpolitik seakan-akan layaknya negara. Makanya tidak heran, jika secara umum ada dua hal penting yang berhasil diputuskan oleh "Tim Sembilan" setelah menelaah dan mengkaji buku Pedoman Kemahasiswaan yang dibuat oleh Warek III. Dua hal di atas, yaitu; 1- membentuk DPM pada tahun ini, dan 2- pembentukan KPU (Komisi Pemilihan Umum.

Sebagai organisasi legislatif di tataran institusi, DPM merupakan lembaga yang secara umum bertugas membuat perundang-undangan serta mengawasi kinerja BEM selama satu periodik. Layaknya DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) di negara, lembaga ini diharapkan berisi mahasiswa yang merepresentasi keterwakilan setiap unsur kepentingan atau organisasi kemahasiswaan dengan menduduki kursi yang disediakan. Wewenang legislasi yang dimiliki, memberikan peluang kepada DPM untuk membuat garis-garis besar yang mengatur pengelolaan BEM, dan hak monitoringnya menjadikan DPM berkuasa mengawasi, mengevaluasi dan bahkan mengusulkan pemakzulan Presma dan/atau Wapres BEM.

Dari sini sebetulnya pergolakan antar kepentingan mulai dimainkan. Sebab kekuasaan luas yang dipunyai DPM merupakan "surga" bagi satu kelompok untuk memenggal kepentingan golongan lainnya. Oleh karena itu di banyak perguruan tinggi, DPM (atau lembaga dengan istilah berbeda tetapi substansi yang sama) menjadi perebutan awal untuk mendominasi kursi agar eksistensi sebuah golongan/organisasi tetap terjaga. Apabila dominasi kursi di DPM dipandang tidak akan tergapai, maka setiap unsur melakukan lobi-lobi agar koalisi antar kepentingan (lebih ringkas saya sebut golongan/organisasi) dapat dilaksanakan. DPM yang keanggotaannya diwarnai oleh keterwakilan masing-masing kelompok merupakan ajang diskusi sengit dan perdebatan alot karena masing-masing golongan menyimpan kehendak membonsai kepentingan lawan pada saat yang sama mempunyai keinginan menyuburkan kepentingan dirinya. Pada dasarnya kepentingan yang bermain di tubuh DPM hanya berkisar pada dua kepentingan, yakni mempertahankan status quo BEM berkuasa  atau merobohkan BEM itu sendiri. Itulah potret wujud DPM di banyak perguruan tinggi.

Ada satu hal menarik untuk dicermati dari diskusi "Tim Sembilan", yaitu persoalan persyaratan menjadi Ketua/anggota DPM. Meskipun melalui perdebatan panjang, akhirnya "Tim Sembilan" tidak mempesoalkan DPM diisi oleh mahasiswa yang belum pernah duduk di BEM. Kesepakatan ini tentu manjadi angin segar bagi semua unsur kepentingan, karena kran memperebutkan lembaga yang berfungsi sebagai pembuat legislasi dan pengawas BEM itu betul-betul menganga.

Saling Mengunci dalam KPU
Di lingkungan IAI Al-Qolam tidak saja diwacanakan terwujudnya DPM, tetapi sesuai diskusi "Tim Sembilan" menyebutkan pentingnya ada KPU yang diancang bisa mengatur pengelolaan Pamira. Di tangan KPU, diangankan Pamira benar-benar menjadi panggung bebas bagi para pemangku kepentingan untuk sedapat mungkin mengusung duta-dutanya agar bisa bertengger di DPM atau semaksimal mungkin mampu mengapit Presma BEM dalam genggemannya. Dengan kata lain, semua pihak yang berkepentingan dengan organisasi internal punya peluang sama terhadap BEM dan DPM.

Kondisi demikian ini hanya bisa nyata, jika tingkat netralitas pelaksana Pamira benar-benar tinggi dan teruji. Inilah hal baru yang diimpikan oleh beberapa mahasiswa aktivis belakangan ini agar supaya pelaksana Pamira tidak terjamah oleh dominasi atau intervensi satu kelompok, maka sudah saatnya dibentuk KPU.

Seperti yang kita saksikan selama ini bahwa pelaksanaan Pamira BEM Al-Qolam diselenggarakan oleh Panitia Musma hasil bentukan BEM yang notabene terdiri dari mahasiswa dalam unsur kepengurusan BEM itu sendiri. Bagi sebagian mahasiswa aktivis, fenomena ini dinilai sebagai pertanda demokratisasi dalam organisasi intera kampus Al-Qolam bagai telur yang berada di ujung  tanduk karena tendensi kepentingan dibalik pelaksana Pamira sangat kentara di depan mata. Kondisi yang selama ini berjalan menjadikan sebagian mahasiswa aktivis meradang, oleh karenanya kehadiran KPU yang steril dari bias kepentingan begitu didamba.

Penyelenggaraan Pamira yang bebas dari kekuatan pemegang otoritas yang terwakili KPU meniscayakan wadah bersifat inklusif. Oleh karena itu, "Tim Sembilan" menyuarakan tentang urgensitas "partai kampus" yang diancang mampu menyerap aspirasi mahasiswa lintas kelompok, jurusan dan kepentingan. "Partai kampus" nantinya menjadi kendaraan bagi mahasiswa yang memiliki hajat masuk di DPM sekaligus menjadi tempat bersyerikat bagi mereka yang sepemahaman, meskipun latar jurusan atau organisasi ekstranya berbeda. Di babak ini kepandaian lobi-lobi dan daya tawar seseorang lewat program harus betul-betul diperlihatkan.

Walaupun KPU sudah dibentuk, bukan berarti saling jegal sama sekali higenis dari unsur-unsur kepentingan. Justeru KPU merupakan kunci emas yang akan selalu diperebutkan, karena wewenangnya membuat aturan Pamira merupakan pion mematikan bagi kelompok lawan.

Apabila disederhanakan alur permainan di dalam panggung intera kampus, maka komposisi di KPU wajib dikusai terlebih dahulu, setelah itu, menggerakkan partai kampus guna membasmi musuh di pelataran DPM, lalu percaturan tinggal men-skak rival dari kursi Presma dan Wapres BEM, dan akhirnya bendera kelompoknya akan berkibar di bawah naungan organisasi intera kampus.

Ikhtitam

Sebagai ulasan penutup, saya yakin bahwa dinamika organisasi intera kampus tidak akan menemukan gebyar yang sesungguhnya dan ketajaman mahasiswa dalam hal berorganisasi layaknya negara tetap tumpul, jika keberadaan organisasi ekstra kampus hanya bagai singa melawan kucing.[]

sumber gambar:
Powered by Blogger.

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top