Monday, May 30, 2016

Restorasi Pendidikan Indonesia, Kilas Balik Pemikiran Ki Hadjar Dewantara


Oleh: M Yasin Arief

Mendidik artinya memupuk pikiran murid, bukan menanamkan pikiran guru, jika sekolah tidak paham, maka sikap permisif pada kedunguan justru tumbuh dari sekolah. Seperti Ki Hadjar Dewantara, Guru seharusnya memberi ruang pada anak didiknya untuk mengembangkan ide dan pemikirannya sendiri.

Akal adalah anugerah terbesar yang dimiliki oleh manusia untuk memaknai entitasnya sebagai satu-satunya makhluk yang memiliki kemauan dan kemerdekaan dalam hidup. Maka kegiatan manusia paling utama dalam hidupnya adalah memanfaatkan anugerah itu dengan melaksanakan kegiatan berfikir dalam rangka menelurkan ilmu-ilmu pengetahuan baru dalam arti seluas-luasnya dan mewariskannya pada generasi ke generasi selanjutnya. Untuk mencapai satu visi yang luhur itu, maka pendidikan menjadi instrumen paling asasi dan menjadi teramat naif untuk diabaikan dan tidak diperbincangkan.

Pendidikan dalam perjalanannya merupakan sesuatu yang telah menjadi nadi dan nafas dalam sejarah panjang kemajuan peradaban manusia. Pendidikan telah mengantarkan manusia dari gerbang ke gerbang yang lebih bersinar dan bermatabat, dari zaman ke zaman yang lebih maju dan beradab. Kendatipun pendidikan juga adalah pelaku kekejaman terbaik, saat institusi-institusi pendidikan menenggelamkan manusia pada lembah jiwa yang bukan jiwanya, menyeragamkan kodrat manusia yang bhineka hanya pada satu warna, dan membunuh potensi unik yang sangat berharga dalam tiap-tiap diri manusia.

Semua manusia dilahirkan dalam keadaan unik secara kecerdasan, psikologi maupun fisik. Maka definisi pendidikan yang dewasa dan bijaksana adalah, satu instrumen yang bertujuan untuk membangun karakter manusia dari keunikan-keunikannya, memupuk gagasan dan pemikiran serta menumbuhkembangkan potensi yang sudah ada dalam tiap-tiap diri manusia.

Tidak ada satu peradaban maju di dunia yang tidak dibangun oleh keterlibatan pendidikan, kemapanan sistem pendidikan adalah kunci utama untuk mencapai cita-cita sebagai bangsa yang maju. Indonesia adalah satu-satunya dari sekian banyak bangsa di dunia yang memiliki keanekaragaman yang paling kompleks. Wajah geografis yang terdiri dari ribuan pulau terbentang luas dari semenanjung sumatra sampai papua sangat mempengaruhi pada unsur demografi-antropologi manusia-manusia Indonesia, realitanya tidak dapat terbantahkan bahwa Indonesia memiliki kekayaan budaya yang luar biasa yang terbangun secara hukum alam dari antropologi manusianya yang bersuku-suku, faktor geografi, dan perjalanan sejarah panjang. Dengan kata lain, fakta menyatakan bahwa Indonesia adalah negara bangsa yang paling memiliki keanekaragaman karakter manusia diantara negara-negara lain di dunia.

"Anak-anak hidup dan tumbuh sesuai kodratnya sendiri, pendidik hanya dapat merawat dan menuntun tumbuhnya kodrat itu, sistem pendidikan dan pengajaran di Indonesia harus disesuaikan dengan kepentingan rakyat, nusa dan bangsa, kepentingan kebudayaan dan kemasyarakatan dalam arti seluas-luasnya."

Pernyataan itu pernah disampaikan oleh Ki Hadjar Dewantara, salah satu tokoh penting penggagas, peletak fondasi sistem pendidikan di Indonesia. Memahami pemikiran Ki Hadjar dari pernyataannya sebetulnya tidak sulit, beliau sadar betul bahwa Bangsa Indonesia memiliki keunikan, keunikan tersebut terletak pada kompleksitas keragaman manusianya, dan keragaman akan hancur bila dipaksa untuk diseragamkan. Ada dua kesimpulan yang dapat diambil dari pernyataan Ki Hadjar di atas; Pertama, Ia menegaskan bahwa semua anak diciptakan dengan potensi diri yang berbeda, maka Ia menginginkan sistem pendidikan yang tidak merusak potensi-potensi unik itu, pendidikan justru seharusnya memupuk serta mengembangkan potensi asli yang ada pada anak didik. Kedua, Ia menginginkan sistem pendidikan Indonesia harus sadar pada asas kebutuhan dan kepentingan masyarakat dalam arti seluas-luasnya, sistem pendidikan harus lebih jeli melihat Republik Indonesia ini secara utuh, dari sudut geografis, keragaman ras, suku, agama dan budaya, sehingga terapan kurikulum pendidikan di Indonesia tidak boleh digeneralisir, disamaratakan atau diseragamkan. Dari sisi geografi-demografi kondisi anak-anak yang ada dipusat kota Jakarta misalnya, tidak akan sama dengan kondisi anak-anak yang ada di wilayah-wilayah pedalaman. Dari sisi budaya kondisi tradisi anak-anak madura misalnya, tidak akan sama dengan kondisi tradisi anak-anak papua/sulawesi. Pada abad itu, Ki Hadjar Dewantara sudah memiliki gagasan cerdas, dengan tidak melihat kondisi bangsa Indonesia secara sepotong-potong. Ki Hajar melihat dengan amat jeli kondisi sosio-geografis Indonesia secara utuh dan menggagas sistem pendidikan yang paling sesuai dengan kondisi itu.

Waktu berjalan zaman terus berubah dengan sangat cepat, menuntut apa saja yang ada di sekitarnya untuk ikut berkembang. Ironisnya, zaman terus maju tetapi sistem pendidikan di Indonesia makin kesini makin kehilangan arah, gagasan pemikiran Ki Hadjar dewantara kala itu justru tidak serius dikembangkan. Sistem pengajaran dan kurikulum pendidikan pasca itu menjadi kian rapuh, tergerus arus dan menjadi alat pelbagai pergolakan politik dan kepentingan kapital. Kebebasan bependapat dan berpikir dalam dunia pendidikan mulai terpasung, lalu penyeragaman karakter potensi dan pemikiran dilakukan sekolah kepada anak didik melalui sistem kurikulum pengajaran menjadi hal yang lumrah, bahkan sebagian pelajaran direkayasa dan sengaja diatur sedemikian rupa demi kepentingan yang tidak berpihak pada kebutuhan masyarakat. Eksesnya, beberapa puluh tahun kemudian sangat dirasakan dampaknya oleh kita, masyarakat Indonesia seakan kehilangan pijakan dalam memahami siapa dirinya, para mahasiswa dan sarjana yang dianggap kaum terpelajar menjadi seolah dungu layaknya gerombolan ternak yang mau digiring kemana saja oleh si tuan asal mendapat jatah makan.

Keadaan rakyat Indonesia saat ini tragis dan sakit kronis, dalam keadaan sekarat namun rakyat tak paham jenis penyakit apa yang di deritanya, nalar berfikir anak muda yang tidak kritis terhadap lingkungan sekitarnya, tidak pernah bertanya "kenapa" pada sebuah teori, "pasrah bongko'an" dan manut nurut pada siapapun, kreatifitas mereka yang mati, budaya mereka latah dan menggandrungi budaya bangsa lain, dan semangat belajar mereka yang semu. Ini semua tentu terjadi bukan semata-mata kebetulan saja, ini terjadi setidaknya karena sekian lama negara pernah memasung kebebasan berpendapat dan berpikir.

Kemiskinan bangsa Indonesia terletak pada miskinnya Sumber Daya Manusianya, sehingga semelimpah apapun potensi alam Indonesia pada akhirnya juga hanya menjadi fosil-fosil yang begelimpangan yang tiada guna bila Sumber Daya Manusia Indonesia tidak segera dibangun. Ribuan hektar tanah yang dikeruk dan lautan yang ditelanjangi tidak akan menuai kemakmuran dan kesejahteraan bagi Rakyat Indonesia bila Sumber Daya Manusianya tidak dibenahi. Pembangunan Sumber Daya Manusia adalah keniscayaan bila semuanya menginginkan perubahan, pembangunan Sumber Daya Manusia itu dapat berjalan dengan baik bila sistem pendidikan di negeri ini baik, karena pendidikan adalah gerbang utama menuju pembangunan manusia yang utuh.

Kesadaran dan keinsafan kolektif harus tumbuh dari hati semua kalangan, terutama para pegiat pendidikan di negeri ini, dari Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan sampai pada guru madrasah di pelosok negeri harus ikut berbenah. Pendidikan Indonesia harus dipugar, direstorasi pada keadaan yang pernah baik sebelumnya, menengok kembali pada sejarah pendidikan nusantara yang bersahaja, meminjam kembali gagasan Ki Hadjar Dewantara dan para pakar pendidikan Indonesia lainnya, dan harus menelurkan gagasan serta inovasi baru yang lebih baik. Pendidikan Indonesia harus lebih bijaksana memandang kearifan lokal, menghargai kebhinekaan dalam multiperspektif, memupuk serta mengembangkan karakter manusia, dan harus menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Secara ideal dapat dikatakan pendidikan Indonesia harus bisa membangun manusia yang lebih berdaya, berbudaya, cerdas-bijaksana, produktif, dan kreatif-inovatif dalam rangka membangun Indonesia yang lebih bermartabat.

2 Mei 2016.
Sumber gambar:

Monday, May 23, 2016

Umat Muslim Akan Dipimpin Oleh Seorang Khalifah?

UMAT MUSLIM AKAN DIPIMPIN OLEH SEORANG KHALIFAH?

Catatan Kritisi Terhadap Pemikiran Taqiyuddin an-Nabhani (Pendiri Hizbut Tahrir Indonesia)

Oleh Abdurrasyid

Sekilas Tentang Hizbut Tahrir dan Pendirinya

Syaikh Taqiyyuddin al-Nabhani, (pendiri Hizbut Tahrir) dilahirkan  di desa Ijzim, Haifa, Palestina, tahun 1909. Beliau menamatkan pendidikan dasarnya didaerah kelahirannya, setelah itu beliau melanjutkan pengembaraan studinya ke al-Azhar dan Darul Ulum Mesir. Pada tahun 1953 Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani mendirikan sebuah partai politik yang dinamai dengan Hizbut Tahrir.  Gerakan ini menitikberatkan perjuangan membangkitkan umat di seluruh dunia untuk mengembalikan kehidupan Islam melalui tegaknya kembali Khilafah Islamiyah.

Hizbut Tahrir adalah sebuah partai politik yang berideologi Islam. Politik merupakan kegiatannya, dan Islam adalah ideologinya. Hizbut Tahrir bukan organisasi kerohanian (seperti tarekat), bukan lembaga ilmiah (seperti lembaga studi agama atau badan penelitian), bukan lembaga pendidikan (akademis), dan bukan pula lembaga sosial (yang bergerak di bidang sosial kemasyarakatan). Hizbut Tahrir masuk ke Indonesia pada tahun 1980-an dengan merintis dakwah di kampus-kampus besar di seluruh Indonesia. Pada era 1990-an ide-ide dakwah Hizbut Tahrir merambah ke masyarakat, melalui berbagai aktivitas dakwah di masjid, perkantoran, perusahaan, dan perumahan.

Misi Hizbut Tahrir

Salah satu ajaran yang sangat ditekankan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah memperjuangkan kebangkitan umat Islam di dunia untuk mengembalikan kehidupan Islam melalaui tegaknya kembali Khilafah Islamiyah. Argumentasi legalistis yang dijadikan dasar oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani adalah hadist Hudzaifah yang berbunyi;[1]

حدثنا أبو بكر محمد بن الحسن بن فورك رحمه الله ، أخبرنا عبد الله بن جعفر الأصبهاني ، حدثنا يونس بن حبيب ، حدثنا أبو داود الطيالسي ، حدثنا داود الواسطي ، قال : وكان ثقة ، قال : سمعت حبيب بن سالم ، قال : سمعت النعمان بن بشير بن سعد ، في حديث ذكره قال : فجاء أبو ثعلبة فقال : يا بشير بن سعد ، أتحفظ حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم في الأمراء ، وكان حذيفة قاعدا مع بشير ، فقال حذيفة : أنا أحفظ خطبته ، فجلس أبو ثعلبة فقال حذيفة : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « إنكم في النبوة ما شاء الله أن تكون ، ثم يرفعها إذا شاء ، ثم يكون خلافة على منهاج النبوة تكون ما شاء الله أن تكون ثم يرفعها إذا شاء ، ثم تكون جبرية (1) تكون ما شاء الله أن تكون ، ثم يرفعها ، إذا شاء أن يرفعها ، ثم تكون خلافة على منهاج (2) النبوة »
Hudzaifah berkata: Sesungguhnya Nabi bersabda: “Kenabian akan menyertai kalian selama Allah menghendakinya, kemudian Allah mengangkat kenabian itu bila menghendakinya. Kemudian akan datang khilafah sesuai dengan jalan kenabian dalam waktu Allah menghendakinya. Kemudian Allah mengangkatnya apabila menghendakinya. Kemudian akan datang kerajaan yang menggigit dalam waktu yang Allah kehendaki. Kemudian Allah mengangkatnya apabila menghendakinya. Kemudian akan datang khilafah sesuai dengan jalan kenabian..

Menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, hadits Hudzaifah di atas telah membagi kepemimpinan umat Islam pada 5 fase. Pertama, fase kenabian yang dipimpin langsung oleh NabiKedua, fase khilafah yang sesuai dengan minhaj al-nubuwwah yang dipimpin oleh Khulafaur Rasyidin. Ketiga dan keempat, fase kerajaan yang diktator dan otoriter. Kelima, fase Khilafah Al-Nubuwwah yang sedang dinanti-nantikan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani.

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani berasumsi bahwa Khilafah Al-Nubuwwah pada fase ke-5 tersebut belum terjadi, sehingga harus ditegakkan dan masih harus diperjuangkan.

Pertanyaannya, Apakah Khilafah Islamiyyah yang dicita-citakan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhaniy bisa tercapai secara faktual ataukah hanya angan-angan yang hanya dalam khayal? Untuk menjawab pertanyaan ini maka kita harus meninjaunya masalah ini dari dua sudut pandang, pertama: sudut pandang teoritis, kedua: sudut pandang faktual. 

Sudut Pandang Teoritis

Secara teoritis asumsi Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani tentang hadist Hudzaifah yang dijadikan argumentasi legalistis mengenai Khilafah Nubuwwah  tidaklah benar. Hal ini dikarenakan beberapa aspek. Pertama:  beliau menafsirkan hadits tanpa merujuk terhadap penafsiran Ulama Ahli Hadits yang otoritatif (mu’tabar), padahal beliau belum memiliki kapasitas untuk menafsirkan hadits. Kedua:  dalam semua jalur riwayat hadits tersebut dikemukakan bahwa Habib bin Salim, salah satu perawi hadits di atas, berpendapat bahwa yang dimaksud dengan Bisyarah Khilafah Al-Nubuwwah pada fase kelima dalam hadits di atas adalah khilafahnya Umar bin Abdul Aziz. Kemudian penafsiran Habib bin Salim ini diakui oleh para Ulama‘ perawi hadits. Bahkan Syaikh Yusuf bin Isma’il al-Nabhani (kakek Taqiyyuddin al-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir) dalam karya monumentalnya, Hujjatullah ‘ala al-’Alamin fi Mu’jizat Sayyid al-Mursalin, memberikan paparan yang sama dengan para Ulama hadits bahwa yang dimaksud dengan Khilafah Al-Nubuwwah dalam hadits Hudzaifah tersebut adalah khilafahnya Umar bin Abdul Aziz.[2]

Bahkan lebih lanjut lagi, al-Hafidz Ibnu Rajab al-Hambali berkata:

فنص رسول الله صلى الله عليه و سلم في آخر عمره على من يقتدي به من بعده والخلفاء الراشدون الذين أمرنا بالاقتداء بهم أبو بكر وعمر وعثمان وعلى رضي الله عنهم فإن في حديث سفينة عن النبي صلى الله عليه و سلم والخلافة بعدي ثلاثون سنة ثم يكون ملكا وقد صحيح الإمام أحمد واحتج به على خلافة الأئمة الأربعة ونص كثير من الأئمة على أن عمر بن عبد العزيز خليفة راشد أيضا ويدل عليه ما خرجه الإمام أحمد من حديث حذيفة رضي الله عنه عن النبوة صلى الله عليه و سلم قال تكون النبوة فيكم ما شاء الله أن تكون ثم يرفعها ثم تكون خلافة على منهاج النبي فتكون ما شاء الله أن تكون ثم يرفعها الله ثم تكون ملكا عاضا ما شاء الله أن تكون ثم يرفعها إذا شاء أن يرفعها ثم تكون ملكا جبرية فتكون ما شاء الله أن تكون ثم إذا شاء الله أن يرفعها ثم تكون خلافة على منهاج نبوة
Rosululloh pada penghujung usianya secara eksplisit telah menjelaskan orang-orang yang dapat diikuti setelah beliau. Adapun Khulafa’ur Rasyidin yang Nabi perintahkan untuk mengikuti mereka adalah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali, karena dalam hadits Safiinah dari Nabi: “Khilafah sesudahku selama 30 tahun, kemudian kerajaan“[3]. Imam Ahmad bin Hambal telah mensahihkan hadits tersebut dan menjadikannya sebagai hujjah atas kekhalifahan  para imam yang empat. Banyak para Imam yang memastikan bahwa Umar bin Abdul Aziz juga seorang khalifah yang rasyid (memperoleh petunjuk), hal tersebut ditunjukkan oleh hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari hadisnya Hudzaifah, dari Nabi saw bersabda: “Kenabian akan ada ditengah-tengah kamu selama Allah menghendaki kemudian Allah mengangkat kenabian itu bila menghendakinya. Kemudian akan datang khilafah sesuai dengan jalan kenabian dalam waktu Allah menghendakinya. Kemudian Allah mengangkatnya apabila menghendakinya. Kemudian akan datang kerajaan yang menggigit dalam waktu yang Allah kehendaki. Kemudian Allah mengangkatnya apabila menghendakinya. Kemudian akan datang khilafah sesuai dengan jalan kenabian.“[4] 

Sudut Pandang Faktual

Secara Faktual diakui atau tidak kita selaku umat Islam kesulitan atau bahkan tidak mampu mengangkat Pemimpim Tunggal (Khilafah Islamiyyah), sebab realitas politik tidak memungkinkan untuk melakukan hal itu. Kalau kita telisik dari sisi sejarah, konsep khilafah terbentuk pada saat belum ada negara bangsa seperti sekarang, pada saat didunia sudah terbentuk negara bangsa, maka keinginan untuk menjadikan umat Islam dipimpin oleh pemimpin tunggal adalah hal yang tidak rasional.

Ketika realitas politik tidak memungkinkan dan umat Islam terpecah-pecah menjadi banyak negara yang berdaulat seperti dewasa ini, maka umat Islam tidak memiliki kewajiban untuk memperjuangkan Khilafah (Kepemimpinan Tunggal). Al-Imam al-Hafidz Abu Amr ad-Dani al-Maliki al-Asy’ariy, seorang pakar hadits dan qiroat dari Andalusia dalam karyanya Ar-Risalah al-Wafiyah, berkata yang artinya: “mengangkat seorang imam ketika mampu dan memungkinkan dihukumi wajib bagi umat Islam, yang harus mereka ketahui dan tidak boleh ditinggalkan. Pengangkatan tersebut berdasarkan keputusan Ahlu al-Halli wa al-Aqdi dari Umat, bukan berdasarkan nash dari Rasulullah.“[5]

Ketika umat Islam tidak mampu mengangkat seorang Pemimpin Tunggal karena struktur sosial dan politik umat Islam yang telah berubah dan tidak memungkinkan terangkatnya seorang Pemimpin Tunggal seperti yang terjadi pada zaman sekarang, maka para Ulama membenarkan terjadinya banyak Pemimpinan politik di setiap daerah yang memungkinkan. Dalam kasus ini Imam al-Haramain al-Juwainiy berkata: “Sebagian Ulama‘ berkata: “Apabila suatu masa mengalami kekosongan dari penguasa tunggal, maka penduduk setiap daerah dan setiap desa mengangkat diantara orang-orang yang memiliki kecerdasan dan pemikiran, seseorang yang dapat mereke patuhi perintahnya dan mereka jauhi larangannya. Karena apabila mereka tidak melaksanakan hal tersebut, mereka akan ragu-ragu ketika menghadapi persoalan penting dan tidak mampu menyelesaikan masalah yang sudah terjadi.“[6]

Alasan lain, realitas yang ada sekarang, pemeluk agama Islam sudah menyebar keseluruh penjuru dunia, dan jarak antara negara satu dengan nagara lain saling berjauhan. Tatkala daerah Islam berjauhan antara satu dengan yang lain, dan kemudian diangkat seorang Pemimpin Tunggal lalu kita diwajibkan untuk mentaatinya adalah sebuah hal yang Sangat Tidak Logis. Karena sangat mungkin orang yang berada di daerah yang jauh dari tempat di mana seorang Pemimpin Tunggal bertakhta tidak mengetahui apa yang telah diperintahnya dan apa yang dilarangnya, bahkan mungkin saja mereka (baca: orang yang berada di daerah yang jauh dari tempat di mana seorang Pemimpin Tunggal bertakhta) tidak tahu siapa Pemimpin Tunggal mereka. Kalau dalam keadaan yang demikian ini mereka diwajibkan untuk taat terhadap Pemimpin Tunggal, maka termasuk katagori Taklif Ma Lam Yuthoq (membebankan hukum yang tidak mampu dilakukan) dan itu sangat mustahil.[7]

Terkait dengan hal ini Imam as-Syaukaniy[8] menjelaskan.

فاعرف هذا فإنه المناسب للقواعد الشرعية والمطابق لما تدل عليه الأدلة ودع عنك ما يقال في مخالفته فإن الفرق بين ما كانت عليه الولاية الإسلامية في أول الإسلام وما هي عليه الآن أوضح من شمس النهار ومن أنكر هذا فهو مباهت لا يستحق أن يخاطب بالحجة لأنه لا يعقلها
“Ketahuilah hal ini (Tidak memungkinkannya mengangkat seorang Pemimpin Tunggal [Khilafah Islamiyyah] dan seluruh umat Islam wajib taat dan patuh kepadanya), karena inilah yang lebih relevan dengan kaidah-kaidah syariat dan cocok dengan argumentasi legal-formal (al-Adillah). Tinggalkanlah statemen-statemen yang dilontarkan oleh orang-orang yang isinya kontardaiktif dengan apa yang aku katakan, karena perbedaan kekuasaan pada masa awal-awal Islam dengan zaman sekarang lebih terang dari matahari di waktu siang. Orang yang mengingkari hal ini adalah para pembohong, tidak perlu mematahkan argumentasi yang dipaparkan mereka, karena mereka tidak punya otak.“[]


Sumber gambar:



[1] Al-Bahaqiy, Abu Bakr Ahmad bin al-Husaian, Dalail an-Nubuwwah wa Ma’rifati Ahwali Shohib as-Syari’ah, (Vol. VI. Hal. 491)
[2] Syaikh Yusuf bin Isma’il al-Nabhani, Hujjatullah ‘ala al-’Alamin fi Mu’jizat Sayyid al-Mursalin, hal. 527
[3] Secara lengkap redaksi Hadits tersebut berbunyi:

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ مَنِيعٍ حَدَّثَنَا سُرَيْجُ بْنُ النُّعْمَانِ حَدَّثَنَا حَشْرَجُ بْنُ نُبَاتَةَ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُمْهَانَ قَالَ حَدَّثَنِى سَفِينَةُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الْخِلاَفَةُ فِى أُمَّتِى ثَلاَثُونَ سَنَةً ثُمَّ مُلْكٌ بَعْدَ ذَلِكَ ». ثُمَّ قَالَ لِى سَفِينَةُ أَمْسِكْ خِلاَفَةَ أَبِى بَكْرٍ وَخِلاَفَةَ عُمَرَ وَخِلاَفَةَ عُثْمَانَ. ثُمَّ قَالَ لِى أَمْسِكْ خِلاَفَةَ عَلِىٍّ. قَالَ فَوَجَدْنَاهَا ثَلاَثِينَ سَنَةً. قَالَ سَعِيدٌ فَقُلْتُ لَهُ إِنَّ بَنِى أُمَيَّةَ يَزْعُمُونَ أَنَّ الْخِلاَفَةَ فِيهِمْ. قَالَ كَذَبُوا بَنُو الزَّرْقَاءِ بَلْ هُمْ مُلُوكٌ مِنْ شَرِّ الْمُلُوك

“Sa’id bin Jumhan berkata: safinah menyampaikan hadits kepadaku bahwa Rosulullah saw bersabda: “Pemerintahan Kholifah pada umatku selama 30 tahun, kemudian setelah itu dipimpin oleh pemerintahan kerajaan”. Lalu safinah berkata kepadaku, “hitunglah masa kholifah Abu Bakar (2 tahun), Umar (10 tahun), Ustman (12 tahun)”. Safinah berkata lagi kepadaku, “tambahkan dengan masa kholifahnya Ali (6 tahun)”. Ternayata semuanya 30 tahun. Sa’id berkata: “aku berkata pada safinah, sesungguhnya Bani Umayyah berasumsi bahwa Kholifah ada pada mereka”. Safinah menjawab: “mereka (Bani Umayyah) berbohong, justru mereka adalah raja, yang tergolong seburuk-buruknya raja” (HR. Ahmad, 20910) dan (at-Tirmidzi, 2152)

[4] Ibnu Rajab, Jami’ al-Ulum wa al-Hikam, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah), hal. 231.
[5] Al-Hafidz Abu Amr ad-Dani, Ar-Risalah al-Wafiyah, (Dar Ibn al-Jauziy, Riyadh), hal. 130
[6] Imam Al-Haramian al-Juwainiy, Ghiyats al-Umam fi Iltiyas al-Dzulam, (Maktabah Imam al-Haramain, Kairo), hal. 386-387
[7] Kepemimpinan sangatlah erat kaitannya dengan masalah ketaatan, karena Allah telah berfirman berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kalian semua pada Allah, Kepada Utusan-Utusaan Allah dan Pemimpin diantara kalian semua.”
[8] As-Syaukaniy, Syaikh Muhammad bin Ali Bin Muhammad, as-Sailul Jaror, Vol. IV, hal 512.

Saturday, May 21, 2016

Bersama Para Penggerak Buku


Oleh: Irham Thoriq

Ini semacam cinta yang keras kepala. Kalau bukan karena kecintaan mereka pada buku, dan juga kepedulian agar semua orang bisa baca buku gratis, mungkin mereka sudah meninggalkan kegiatan ’setengah gila’ ini. Mereka tidak dibayar. Dan juga tak terlalu berharap pada bantuan pemerintah. Umumnya berada di pelosok kelurahan dan desa.

Mereka adalah relawan pengelola taman baca yang ada di Malang Raya. Pada peringatan Hari Buku Nasional pada Selasa 17 Mei lalu, sekitar 30 pustakawan berkumpul di Perpustakaan Anak Bangsa, di Desa Sukopuro, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang. Yang mengumpulkan adalah dedengkot perpustakaan gratis di Malang: Eko Cahyono.

Pria 36 tahun ini sudah 18 tahun mendirikan dan mengelola perpustakaan gratis. Bukunya sudah ribuan. Di kalangan pustakawan di Indonesia, nama Eko sudah sangat dikenal. Dia beberapa kali tampil di Kick Andy, dan mendapatkan penghargaan dari program ini.

Saya yang hadir dalam pertemuan ini, merasa terharu pada keikhlasan dan semangat mereka mengembangkan perpustakaan gratis. Apa yang mereka lakuan seolah menjadi ’lilin’ di tengah lesunya minat baca di Indonesia. Berdasarkan data Central Connecticut State University yang dirilis April lalu, peringkat literasi Indonesia berada di urutan kedua dari bawah. Dari 61 negara yang di-ranking, Indonesia peringkat 60. Angka yang miris bukan? 

Dalam pertemuan di ruang perpustakaan yang luasnya sekitar separo lapangan futsal ini, saya duduk di sebelah mahasiswi Strata Dua (S-2) Universitas Negeri Malang. Dia mengelola perpustakaan gratis di Dusun Pandanrejo, Desa Sukopuro. Dari perpustakaan Eko, jaraknya hanya sekitar 15 menit.
Perempuan ini sangat bersemangat ketika membicarakan buku dan juga perpustakaan. Dia datang pagi sekali. Sekitar setengah delapan, padahal acara baru dimulai jam sebelas. Kepada para pustakawan lain, dia juga bertanya-tanya cara mendapatkan buku gratis. ”Koleksi perpustakaan saya hanya sekitar seratus buku,” kata Yuyum, panggilan perempuan itu.

Ketika seorang pustakawan lain memberi informasi kalau ada pengajuan buku gratis, dia langsung membuka website yang memuat informasi tersebut.

Saat saya tanyakan motivasinya mendirikan perpustakaan gratis, dia menjawab sederhana. ”Anak-anak di kampung saya sedikit sekali yang sekolah, dan juga banyak premannya,” kata dia. ”Makanya sejak SMA saya pinjamkan buku-buku saya ke anak-anak sekitar,” tambahnya.

Rupanya, sedikitnya buku yang dia miliki bukan satu-satunya masalah. Menurut dia, masalah paling utama adalah mendatangkan anak-anak dan juga orang dewasa ke perpustakaannya. ”Agar banyak yang datang, saya adakan kegiatan seperti lomba-lomba,” imbuhnya.

Ada lagi seorang perempuan bernama Sri Mulyani. Umur perempuan yang tinggal di daerah Gadang, Kota Malang ini kira-kira sudah kepala lima. Dia membuka perpustakaan gratis di perumahannya. Awalnya, perpustakaan itu dikelola oleh pendidikan anak usia dini (PAUD). Tapi belakangan karena sudah tidak ada yang mengelola lagi, dia kelola sendiri. ”Bukunya masih sedikit,” kata dia.
Dia lantas bertanya-tanya dengan pemuda yang ada di sampingnya. Namanya Ragil, mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) yang juga pendiri komunitas Gubuk Cerita. Komunitas ini mempunyai sekitar seribu tiga ratus judul buku. Perpustakaannya beda dengan biasanya, yakni meminjamkan buku dengan sistem delivery order.

Ketika ada orang yang mau pinjam, tinggal mengirim pesan singkat. Buku diantar, si peminjam meninggalkan KTP. Dan setelah baca buku, relawan Gubuk Cerita mengambil. ”Saya bisa pinjam ya Mas, untuk perpustakaan saya yang bukunya masih sedikit,” kata perempuan ini. Ragil manggut-manggut.

Sedangkan Eko, si tuan rumah terlihat sibuk dalam acara itu. Dia hilir mudik, sesekali memberi pengarahan. ”Kalau Anda mengelola perpustakaan, Anda sendiri harus suka baca buku,” kata Eko. ”Anda pernah baca Laskar Pelangi, novel Ronggeng Dukuh Paruk, harus pernah karena ini novel ini sangat berpengaruh di Indonesia,” kata dia.

Karena inilah, Eko meminta para pustakawan untuk sering berkunjung ke toko buku dan juga perpustakaan Kota Malang. ”Karena Anda harus tahu buku yang update, dan biasanya itu dibutuhkan warga, semisal sekarang sedang booming novel Ayat-Ayat dengan Cinta 2. Anda harus punya agar orang yang ingin baca buku ini ke perpusatakaan Anda,” kata dia.

Siang mulai beranjak pergi. Pertemuan tersebut ditutup dengan deklarasi Forum Taman Baca Masyarakat Malang Raya dan makan nasi jagung bersama. Eko berharap, forum ini bisa mempercepat perkembangan perpustakaan-perpustakaan gratis yang ada di kelurahan dan di desa-desa. ”Saya yakin, dengan adanya forum ini, taman baca Anda bisa berkembang lebih pesat daripada ketika saya mengembangkan perpustakaan saya ini dulu,” kata Eko.

Keyakinan agar perpustakaan gratis ini berkembang cepat memang perlu terus dikumandangkan. Sebagaimana buku The Secret yang dikutip Eko dalam pertemuan itu bahwa semesta akan mendukung mewujudkan apa yang kita yakini. Eko ingin perpustakaannya menjadi besar, punya buku banyak, dan rak yang bagus. Menurut Eko, itu semua terwujud karena keyakinan dalam buku tersebut yang dia pegang. Ya ya, mewujudkan cinta yang keras kepala memang butuh keyakinan yang berlipat-lipat. []


Tulisan ini terbit pertama kali di Radar Malang edisi 19 Mei 2016
Sumber gambar:
Book by Sam

Wednesday, May 18, 2016

Renungan Bulan Sya'ban


Oleh: Muhammad Zamzami

Malam itu saya nongkrong bareng teman-teman di salah satu kedai kopi yang terletak di kota Jogja, salah satu tempat tongkrongan favorit anak-anak mahasiswa di sana, Kopas Coffee. Suasana yang ramai dengan hiasan lampu yang agak remang-remang mewarnai kenikmatan ngopi dan mengobrol kami. Areanya yang sangat strategis menjadi lahan yang tepat bagi pemiliknya untuk membuka usaha, karena memang peminatnya yang banyak dari kalangan mahasiswa di kota istimewa ini.

Namun bukan itu inti dari tulisan ini. Saya kira sudah banyak sekali tulisan-tulisan yang mengupas secara tuntas tentang keistimewaan kedai ini layaknya keistimewaan kota yang terkenal dengan sebutan kota pelajar tersebut. Ada hal menarik yang bisa kita ambil pelajaran khususnya bagi saya pribadi. Nah, sebelumnya mari kita seruput dulu kopinya sebelum melanjutkan menyimak tulisan ini.

Saat itu, ketika kami berempat sedang menenangkan suasana dan sibuk dengan pekerjaan tangan masing-masing (alias sibuk dengan gawai masing-masing), dan ketika saya membuka akun Facebook, saya temukan sebuah postingan dari salah satu saudara sepupu saya yang kini menjadi seorang tokoh agama di kota Surabaya. Beliau mosting tentang keutamaan malam Nishfu Sya’ban beserta dalil-dalilnya.

Dari beberapa hadis yang beliau bagikankan, ada satu yang artinya adalah sebagai berikut:

"Sesungguhnya Allah melihat hamba-hambanya di malam Nishfu Sya’ban, maka Allah memberikan ampunan kepada semua makhluk-Nya, kecuali orang-orang yang menyekutukan Allah dan orang-orang yang menebar kebencian(HR Ibnu Majah dari Abu Musa)
Nah, dari yang saya tulis tebal di hadis tersebut, ada hal yang sukses mengercitkan dahi saya sampai-sampai salah satu teman saya mengagetkan saya dengan pukulan ringan di pundak bareng dengan ucapan, “Hayo, nyapo kui kok ketok mikir barang!” Saya balas hanya dengan senyum sembari berkata, “Hehe… Ora, om. Iki lo ono postingan seng apik soal Nishfu Sya’ban. Tapi jarke wae wes. Raurus.” Dan akhirnya mata kami kembali ke  gawai masing-masing. Nah, Dalam benak saya bertanya-tanya kenapa orang-orang yang saling membenci, dalam hadis di atas, dibahasakan dengan kata محاشن, atau bahkan orang yang bermusuhan nasibnya sama dengan orang-orang yang menyekutukan Tuhan? Lalu tanpa pikir panjang, saya ajukan pertanyaan itu di kolom komentar.

Tak lama kemudian gawai saya berbunyi nada notifikasi, segera saja saya buka notifikasinya dengan sedikit sentuhan lembut ke area notifikasi. Setelah saya seret ke bawah, saya baca balasan beliau, lalu saya melihat di sana belau hanya menuliskan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban yang bunyinya demikian:

عن أبي هريرة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال "تعرض أعمال الناس في كل جمعة مرتين: يوم الاثنين ويوم الخميس، فيغفر لكل مؤمن إلا عبدا بينه وبين أخيه شحناء، فيقال: أتركوا هذين حتى يفيئا" رواه ابن حبان.

Lalu beliau menambahkan dengan kata-katanya yang khas banget: “agar saling memaafkan Gus”. Lalu saya balas kembali dengan ucapan terima kasih yang kemudian diberi tanda suka oleh beliau.

Dari balasan beliau tersebut, logika saya bangkit berusaha meraih suatu kesimpulan bahwa Tuhan tidak akan mengampuni dosa seorang hamba terhadap-Nya selama dalam hatinya masih menyimpan rasa benci, memusuhi atau hal-hal negatif yang lain dengan saudaranya, alias Haqqullah akan menjadi bermasalah birokrasinya jika masih ada masalah birokratis dalam Haqqul Adami. Wah, jadi ingat sistem perkuliahan yang berlaku di kampus, bahwa mahasiswa tidak dapat mengambil mata kuliah keagamaan jika belum lulus dari ma’had.

Dari sini, barangkali dapat kita petik sebuah pelajaran untuk diri kita agar kita dapat saling memaafkan dan bisa sadar untuk mengambil langkah yang bijaksana agar tidak mudah membenci dan bahkan memusuhi saudara-saudara dan sahabat-sahabat kita, atau bahkan orang lain, meski permasalahan dan perbedaan tak dapat dihindari selalu mewarnai kehidupan kita. Bukankah setiap orang pasti memiliki arah pikirannya masing-masing dan tidak dapat kita salahkan begitu saja sesuai keinginan dan kepentingan kita sendiri atau kepentingan kolektif yang sifatnya merugikan yang lain? Bukankah kita sebagai manusia diperintahkan agar lita’ârafû (saling memahami) dan mencari jalan sempit penyelesaian untuk memecahkan permasalahan tanpa harus saling membenci toh?

Yah, mungkin sebelum saya akhiri tulisan ini, ada baiknya jika saya sebagai penulis meminta maaf kepada para pembaca sekalian dan siapa tahu dengan saling memaafkan kita bisa terhindar dari klaim Tuhan kalau kita termasuk dari dua golongan dalam hadis di atas yang tidak mendapat ampunan di malam Nishfu Sya’ban, amin.[]

sumber gambar:

Tuesday, May 10, 2016

Seandainya Rangga Menikah Dengan Gadis Desa di AADC 2


Oleh: Irham Thoriq

Di tengah hingar bingar film Ada Apa dengan Cinta (AADC) 2, kita mungkin lupa membiji dua hal. Kenapa film ini kembali dibuat setelah 14 tahun film pertama berlalu? Dan kenapa Rangga ingin kembali kepada Cinta setelah sekian lama berpisah?

Pertanyaan pertama mungkin bisa dijawab mudah saja oleh penggarap film yakni karena di sinilah hukum bisnis berlaku. Film pertama yang sukses, pada film kedua tentu kesuksesan sudah menanti, entah seperti apa kualitas film kedua. Mungkin alasan ini jugalah yang membuat Habiburrahman El Shirazy mengeluarkan novel Ayat-Ayat Cinta 2, setelah novel pertamanya sukses di pasaran.

Bagi genarasi 1990-an kebawah, AADC 2 memang seolah memanggil-manggil kenangan yang mengendap 14 tahun lamanya. Ketika film ini memanggil kenangan yang mengendap itu, dengan mudah kita tergugah serta bernostalgia. Hingga akhirnya, AADC 2 memecahkan rekor dan film ini kini bersaing dengan film Holywood Civil War.

Nah, untuk menjawab pertanyaan kedua ini kita harus sedikit berimajinasi karena Rangga dan Cinta adalah tokoh rekaan. Cerita ini tidak diambil dari kisah heroik sepasang pemuda, tidak pula diambil dari kisah negeri seribu satu malam yang penuh dengan keajaiban.

Mari kita berandai-andai Rangga dan Cinta tidak pernah bertemu lagi. Dan menurut saya banyak alasan untuk bisa mewujudkan hal tersebut. Dalam film AADC 2, Rangga digambarkan sebagai pemuda sukses yang menjadi pemilik sebuah kafe di New York, Amerika Serikat. Tentu mendirikan cafe di New York butuh modal yang besar, bukan? Apalagi jika dibandingkan mendirikan cafe di Zimbabwe atau di Madagaskar.

Sedangkan Cinta pada awal-awal cerita AADC 2 sudah bertunangan dengan pengusaha muda yang tajir. Di sinilah sebenarnya kisah Cinta hampir mirip dengan kehidupan asli pemerannya Dian Sastrowardoyo. Pada kehidupan nyata, Dian Sastro mempunyai suami pengusaha muda tajir.

Sebenarnya, agar film ini mendekati dengan kenyataan, Cinta baiknya menikah dengan pemuda tajir itu. Tidak malah menyusul Rangga ke New York, mereka lalu balikan dan berciuman di sebuah taman.

Lalu Rangga sama siapa? Dengan uang yang melimpah di New York, sebenarnya mudah saja bagi Rangga mencari paras perempuan yang sama manisnya dan aduhainya dengan Cinta. Dia bisa berkenalan dengan bule yang menyeruput kopi di kafenya, jalan-jalan menikmati sego angkringan di New York, lalu jadian. Dengan demikian, Rangga bisa melakukan hal lebih dengan apa yang dilakukan dengan Cinta selama ini yakni mereka berdua hanya bisa berciuman.

Atau kalau tidak terbiasa dengan perempuan berkulit putih langsat, Rangga bisa memilih gadis desa di ujung Jawa Tengah yang berkulit sawo matang. Dengan uang yang melimpah, tentu akan sulit sekali gadis desa itu menolak Rangga.

Tapi ini film yang ditunggu penggemarnya 14 tahun, masa ceritanya  memilukan?

Pertanyaan ini biar saja dijawab oleh penggarap film. Tapi, mungkin karena alasan ini jugalah kisah ini berakhir dengan happy ending. Menurut saya karena Happy Ending inilah yang membuat AADC 2 kalah heroik dengan AADC pertama. Ketika saya melihat AADC pertama saat masih SMP, saya tiba-tiba ingin segera SMA. Sedangkan ketika baru-baru ini kembali melihat AADC, saya malah ingin kembali SMA. Tapi, ketika sudah melihat AADC-2, saya tidak ingin menjadi tua sebagaimana Dian Sastro dan Nicholas Saputra (Rangga) yang kini sudah berumur. Perasaan subjektif inilah yang membuat saya menilai kalau AADC pertama lebih bagus dari AADC-2.

Selanjutnya, jika boleh mereka-reka lagi kenapa dalam AADC-2 Rangga begitu ngebet balikan sama Cinta dan kenapa Cinta begitu mudahnya luluh?  Menurut saya karena Rangga sudah lama jomblo.
Pada suatu scane di AADC 2, ketika Cinta bertanya apakah Rangga selama berpisah dengan Cinta pernah pacaran. ”Masa selama itu tidak pernah pacaran,” kata Cinta bertanya. Wajah Ragga tiba-tiba nanar, dan dia menjawab pernah pacaran tapi sudah putus dua tahun lalu.

Nahlo, sebelum Rangga memutuskan terbang dari New York ke Jakarta lalu Jogjakarta untuk menemui Cinta dan Ibunya, Rangga sudah jomblo dua tahun. Saya malah menebak-nebak kalau selama dua tahun itulah sebenarnya Rangga mengalami masa-masa galau.

Rangga galau karena setelah putus dengan pacar terakhirnya, dia menembaki banyak bule tapi celakanya Rangga ditolak terus. Dia juga ingin balikan kepada mantan pacar terakhirnya, tapi apa daya si pacar ternyata sudah menikah dengan bule yang lebih perkasa dari Rangga.

Hingga pada akhirnya Rangga menggunakan line, mungkin sebelumnya dia pakai Whatsapp. Dan di line dia bertemu dengan nama Cinta, dan setelah dilihat foto profilenya, ternyata Cinta yang sudah berpisah dengannya bertahun-tahun. Hanya saja, wajah Cinta kali ini lebih putih, dan tidak ada keriputan meski Rangga sudah tidak bertemu empat belas tahun lamanya.

Karena kegelisan jomblo selama dua tahun inilah lantas Rangga menambahkan Cinta lalu berkomunikasi, bertemu secara tidak sengaja disebuah pameran di Jogjakarta, jalan seharian penuh, dan berciuma di akhir pertemuan itu. Lalu, setelah beberapa hari Cinta menyusul Rangga ke New York, dan lagi-lagi mereka berciuman. Ah, kisah asmara memang sesederhana itu ternyata.

Di tengah kesederhanaan cerita yang ada di AADC, sebenarnya Rangga ingin memberi pelajaran kepada para jomblo kalau jalan selalu terbuka jika kita punya kemauan. Meski kemauannya itu adalah balikan dengan mantan yang sudah bertahun-tahun dilupakan. Andai saja, Cinta tidak dengan mudahnya menerima Rangga dan terus menyueki Rangga, ada baiknya judul film ini berubah menjadi: Ada Apa dengan Jomblo? Dan yang paling pas berduet dengan Rangga adalah orang-orang jomblo disekitar kita.[]


Penulis tinggal di www.irhamthoriq.com
Sumber gambar:

Thursday, May 5, 2016

Menyederhanakan Gramatika Arab


Oleh: Muhammd Madarik

Penulis: Khoiron ibn Bdr. H. Busri Abdul Halim
Judul: Tashil al-Mubtadi' fi Fahm al-Ilm al-Nafi' bi al-Ilm al-Nahw
Penerbit: Kirisufi, Jogjakarta
Tahun Terbit dan Cetakan: 2016, 1
Tebal Buku: 185 Halaman

Sesuai dengan namanya, buku ini menyimpan banyak hal positif bagi pembacanya, di antaranya memudahkan para pelajar pemula memahami Ilmu Nahwu. Bahasa Arab dengan seluruh disiplinnya, termasuk Ilmu Nahwu itu sendiri, merupakan sesuatu yang dibutuhkan setiap orang (dan di dalamnya kalangan santri). Tetapi ketidakmampuan menyelami ilmu-ilmu yang bermutiara bahasa Arab bagi para pemula, seperti diakui oleh penulis buku ini, membuat enggan untuk berusaha. Bahkan, klaim salah satu santri Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I Ganjaran Gondanglegi Malang itu, tidak sedikit dari mereka berputus asa.

Latar inilah yang melandasi buku ini disusun. Tentu faktor keterpanggilan lubuk penulisnya, menjadikan buku ini diberi judul "Tashil al-Mubtadi' fi Fahm al-Ilm al-Nafi' bi Ilm al-Nahw," di mana makna yang terkandung di dalamnya tidak terlalu berjarak dengan keinginan penulis. Sekilas membaca, penikmat buku ini yang dengan gampang menemukan benang merah antara judul dan isi akan berani menyematkan kecerdikan penulisnya.

Tema Nahwu sebetulnya bagian dari pokok pembahasan klasik dalam dunia pesantren. Tanpa mengurangi azas manfaat buku ini, orang-orang pesantren telah mengenal materi nahwu sejak awal. Di dunia pesantren dikenal kitab-kitab yang menguraikan tentang gramatika Arab semisal Al-Jurumiyah, Mutammimah, Al-Amrithi, atau kitab kelas atas seperti Alfiyah dan kitab-kitab syarh-nya. Namun, kehadiran buku ini tidak saja menambah perbendaharaan khzanah kitab kuning, tetapi menjadi salah satu pilihan para pemula memahami Ilmu Nahwu. Karena buku cetakan pertama ini menyuguhkan ringkasan materi Nahwu yang sangat mudah dimengerti.

Kemudahan-kemudahan yang terdapat dalam buku ini bisa dilihat dari uraian-uraian yang begitu singkat tetapi memuat definisi yang padat. Sehingga para pemula cepat menangkap isi dan pengertian-pengertian, bahkan bentuk penjelasan yang simpel ini mampu menghantarkan mereka untuk mengingat-ingat isi materi.

Kemudahan itu juga dapat ditilik dari skema-skema yang dibuat penulisnya. Melalui skema tersebut hafalan inti-inti materi dengan gampang dilakukan tanpa harus diangan-angan terlebih dahulu. Tentu cara begini sangat membantu para pemula lebih mengerti.

Di samping itu, contoh-contoh yang ada cukup melengkapi uraian-uraian. Apalagi tamsil yang dimaksud (محل الشهيد) diberi garis bawah, sehingga dengan enak para pemula menunjuk lafadz yang dituju. Seperti soal salah satu dari macam-macam isim yang menjadi fa'il yaitu isim mufrod dengan contoh: يتعلم محمد النحو [Hal. 36].

Buku ini kian bertambah bobot ilmiahnya setelah dicermati terdapat beberapa contoh-contoh yang diambil dari ayat al-Qur'an atau syair Arab. Hal ini misalnya bisa dibaca pada contoh:

قل إن كنتم الله فاتبعوني يحببكم الله [Hal. 138].

قد كنت احجو ابا عمرى اخا ثقة # حتى المت بنا يوما ملمات
[Hal. 87].

Penulis buku ini juga tidak memperkering penjelasan materi Nahwunya dengan mengambil landasan uraian dari dasar-dasar lain. Cara yang pasti memperkokoh validilitas dalam buku ini bisa diteropong, misalnya, dari penjelasan tentang lafadz-lafadz yang bisa menjadi maf'ul bih:

في ظاهر اشارة ومضمر # مصدر او موصول او مجرور
[Hal. 105].

Dari sisi pendidikan, contoh-contoh yang dituangkan dapat disisipkan manjadi bahan penanaman moralitas, motivasi, atau tema lain yang berkaitan dengan pendidikan karakter.

Ini bisa ditemukan misalnya dari contoh:

ما كسول طلبة العلم في المعهد
[Hal. 35].

فلا تعدد المولى شريكك في الغنى # ولكنما المولى شريكك في العدم
[Hal. 87].

اراد الأستاذ ان يقرا تلاميذه القرآن كل يوم
[Hal. 105].

Tambahan keterangan yang terselip di beberapa bab memperkuat penjelasan semakin terang bagi para pemula. Tambahan demikian diperlukan pada penjelasan yang kurang memadai untuk dimengerti, apalagi penjelasan-penjelasan yang diuraikan dinilai memuat materi agak sulit. Hal ini seperti contoh:

Keterangan tentang lafadz "ajma'u" (اجمع) [Hal. 98].

Keterangan tentang munada jumlah yang terletak setelah "ya" [Hal. 128].

Satu hal yang sering dijumpai oleh para pemula, dan termasuk juga santri lama, adalah persoalan yang berhubungan dengan jamak taksir. Dengan buku ini, persoalan jamak katsrah, qillah, qiyasi dan sima'i yang seringkali menjadi problem tersendiri sedikit bisa terjawab. Lebih-lebih lagi, penulis buku ini menguraikan jamak taksir dalam bentuk skema yang praktis [Hal. 165-172] diharapkan mampu menolong para pemula memahami lebih dalam lagi.

Hal yang menjadi sebuah daya tarik tersendiri ialah buku ini dilengkapi dengan "Rumus I'rab dan Makna-makna Jawa/Madura/Indonesia" [Hal. 174-179]. Uraian rumus-rumus diskemakan secara teratur, sehingga para pemula dapat menelisik poin per poin secara mudah, ketika membutuhkannya. Seperti sudah maklum, pemaknaan lafadz per lafadz (istilah dalam pesatren: ngesahi) merupakan bagian dari kegiatan memahami isi kitab kuning hampir di semua pesantren. Sementara ini banyak santri menggunakan simbol untuk menandai kedudukan lafadz dari posisi nahwu diinspirasi oleh kreativitas masing-masing, sehingga rasa bingung terkadang dialami oleh santri baru tatkala menghadapi kondisi demikian. Buku ini tampil menyuguhkan alternatif cara pemaknaan lafadz bagi santri yang belum kenal sama sekali terhadap seluk beluk memaknai teks dalam kitab kuning.

Buku ini nyaris tidak memiliki kekurangan, terutama bagi para pemula, dalam memahami ilmu alat membaca kitab kuning. Tetapi seandainya buku ini ditulis dengan huruf latin bahasa Indonesia, maka tentu tidak saja lingkungan pesantren yang menikmati sajian dalam buku ini, namun penuntut ilmu di luar pagar pesantren bisa mempelajari Ilmu Nahwu dari buku ini.

Kemudian pada beberapa halaman, terdapat tulisan menumpuk, baik garis skema maupun huruf-hurufnya. Tentu hal ini cuma kesalahan non teknis yang merupakan bagian dari pekerjaan percetakan, tetapi cetakan kedua dan seterusnya bisa dijadikan pertimbangan untuk diperbaiki karena beberapa kesalahan ini cukup mengganggu bagi para pemula.


Di luar itu semua, kehadiran buku ini lebih dari cukup untuk membuat keluarga besar pondok pesantren Raudlatul Ulum I Ganjaran Gondanglegi Malang merasa bangga dan bahagia. Sebab setidak-tidaknya buku ini diandaikan mampu melecut kalangan para santri untuk termotivasi melahirkan karya ilmiah yang terbukukan. Buku ini merupakan tonggak awal bagi kalangan pesantren mengikuti jejak sang penulis. Alhasil, buku ini diimpikan mampu menjadi pancingan di dalam lingkungan PPRU I dan pesantren seputar desa Ganjaran agar aktivitas menulis bagi para santri lebih bergairah lagi.[]

Monday, May 2, 2016

Eka Kurniawan


Oleh: Irham Thoriq

Suatu ketika Eka Kurniawan membaca sebuah koran lokal. Eka mendapati berita yang menurutnya menarik. Berita tersebut tentang tempat penitipan sepeda motor, di tempat itu banyak sepeda motor yang ditinggal pemiliknya bertahun-tahun.”Bahkan ada yang dua tahun, tidak tahu kemana itu pemiliknya,” kata Eka ketika mengisi kuliah tamu di Universitas Negeri Malang (UM), Kamis (21/4) lalu.

Eka melanjutkan, ketika membaca koran dia senang membaca berita kecil yang ada di halaman dalam. ”Kalau berita utama tentang Jokowi atau Ahok, mendengarkan obrolan tetangga juga bisa,” kata Eka disambut tawa para audiens.

Eka hendak menjelaskan kalau cerita memang bisa dilahirkan dari kejadian sehari-hari yang sederhana. Dari hal kecil itu, ketika diramu bisa menjadi cerita yang menarik. ”Berita seperti penitipan sepeda motor itu kan menimbulkan pertanyaan kemana orangnya, dari situ bisa kita dalami untuk menjadi cerita,” imbuhnya.

Lalu Eka bercerita tentang buku kumpulan cerita pendeknya berjudul Corat-Coret di Toilet. Eka memberi judul salah satu cerita pendeknya seperti itu karena terinspirasi dari banyaknya corat-coret di toilet umum. Dan yang membuatnya tertarik, corat-coret itu menyambung satu sama lain, padahal yang buat bukan satu orang.

Guru Besar Universitas Negeri Malang (UM) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd., yang menjadi moderator bertanya, kenapa dia selalu mengambil cerita-cerita sederhana dengan latar Indonesia. Padahal, Eka beberapa kali pernah ke luar negeri, di antaranya ketika dia menjadi salah satu penulis yang dibawa pemerintah dalam Frankfurt Book Fair. Saat itu, Indonesia menjadi tamu kehormatan.

Eka menjawab kalau dia ingin mengenalkan Indonesia dan juga kehidupan orang-orangnya. ”Itu saja mungkin alasannya kenapa saya bercerita dengan latar Indonesia.”

****

Saya membaca karya-karya Eka Kurniawan baru-baru saja, meski dia sudah menerbitkan novel pertamanya berjudul Cantik Itu Luka pada 2002 silam. Dari karya-karyanya, saya menyimpulkan kalau cerita Eka memang bermula dari hal-hal sederhana. Novel O yang sedang saya baca misalnya, hanya bercerita tentang monyet yang menjadi tokoh utama.

Monyet itu bernama O. Dia harus bersusah payah meladeni kemauan sang pawang monyet untuk berakrobat di Jalanan Jakarta. Uang hasil jerih payah O itu lalu dibuat mabuk-mabukan oleh sang pawang.

Meski tokoh utamanya adalah Monyet, Novel O sebenarnya bukan melulu cerita tentang fabel. Membaca novel ini saya justru sadar kalau hewan kadang lebih manusiawi daripada manusia. O, meski selalu dipecuti oleh pawangnya, pada momen-momen tertentu O merasa kasihan dengan pawangnya. Semisal ketika sang pawang tiba-tiba diam, atau ketika teler habis menenggak minuman keras.

Pada salah satu gumamnya, O mengatakan kalau kehidupan Jakarta sangat keras. Orang hidup hanya untuk saling memakan satu sama lain. Dan itu menurut saya sangat manusia sekali. Jakarta memang keras, dan karena kekerasan itu orang terbiasa berlaku tidak manusiawi. Saling memakan dan menerkam satu sama lain.

Karena novel yang memukau itu, ketika tahu Eka Kurniawan menghadiri dua acara di Malang, saya usahakan untuk datang ke dua acara tersebut. Di sela-sela acara, saya membeli novelnya yang lain berjudul Seperti Rindu, Dendam Harus Dibayar Tuntas. Lagi-lagi, ceritanya sederhana. Pada pembuka novel ini, Eka menulis tentang seseorang yang tidak bisa ngaceng atau kemaluannya tidak bisa berdiri. ”Hanya orang yang enggak bisa ngaceng, bisa berkelahi tanpa takut mati,” kata Iwan Angsa sekali waktu perihal Ajo Kawir. Begitu pembuka itu, yang memikat dan tentu saja memancing rasa penasaran.

***

Nama Eka Kurniawan belakang memang menjadi buah bibir. Pada Maret lalu, Eka mendapatkan penghargaan World Reader’s Award yang disponsori oleh Hong Kong Science and Technology Parks Corporation. Sebelumnya, dia masuk nominasi The Man Booker International Prize. Dalam nominasi ini, Eka bersaing dengan penulis kenamaan di dunia, salah satunya sastrawan asal Turki yang pernah meraih nobel sastra, Orhan Pamuk.

Karena inilah, ketika pada kuliah tamu tersebut saya diberi kesempatan bertanya, saya menyatakan kalau tahun ini adalah tahun Eka. Lantaran, tahun lalu nama penulis yang ramai dibicarakan adalah Laksmi Pamuntjak dan Leila S Chudori. Keduanya menjadi bintang dalam Frankfurt Book Fair 2015 karena buku keduanya membahas isu kesewenang-wenangan negara terhadap PKI (Partai Komunis Indonesia). Isu ini sedang hangat di Jerman, karena negara ini pernah punya sejarah kelam yang sama.

Waktu itu saya bertanya tentang proses Eka dalam melakukan riset sebelum menulis. Dia menjawab, dari kisah sederhana itu biasanya dia kembangkan sendiri. Dalam novel O misalnya, dia tertarik setelah anaknya suka pertunjukan topeng monyet. Dari situlah lantas dia kembangkan menjadi cerita.

Eka juga mengatakan kalau dalam menulis sebenarnya kita hanya mengembangkan apa yang pernah kita lihat, kita alami dan juga yang pernah kita baca. Karena inilah, untuk menghasilkan karya bagus orang harus banyak membaca, juga harus mengasah rasa keingin tahuan.

Karena inilah, Eka menyampaikan kalau dia lebih banyak membaca daripada menulis. Dia membaca setiap hari, tapi tidak menulis setiap hari.”Tidak mungkin saya menulis tiap hari, saya menulis kalau perlu menulis saja,” kata dia.”Ketika kuliah, saya sering bolos hanya untuk baca novel,” imbuhnya, kali ini disambut ger-geran para peserta.

Penulis tinggal di www.irhamthoriq.com

Sumber gambar:
Powered by Blogger.

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top