Thursday, October 27, 2016

Tentang Rohim, Tentang Keabsurdannya

the ice chapel

Oleh: Abdurrahman Wahid

Setelah sekian purnama tak muncul, Rohim Warisi datang dengan sorotan mata yang tajam. Gelak tawanya yang penuh intrik menanggapi ucapan selamat datang. Ya, sosok lelaki absurd nan fiktif itu masih sama seperti perjumpaan seribu hari yang lalu.

Sehari sebelumnya, ia mengirim selarik pesan singkat pada saya. Tak ada tanda-tanda ia bercanda dalam pesannya. Melalui kata-kata itu ia menyampaikan hendak berkunjung ke Jogja. Namun, saat itu, saya tetap tidak langsung percaya dengan apa yang disampaikannya.

Mungkin tidak hanya saya, semua orang yang pernah mengenalnya juga akan berpikir selayaknya saya. Ya, lelaki pengagum penulis Cinta Tak Pernah Tepat Waktu itu memang sulit diterka ucapannya. Bahkan, kalau boleh jujur, ia adalah orang yang dalam berbicara sering tidak apa adanya.  Wajar, jika semua teman-temanya menganugerahkan dia sebagai sosok yang fiktif. Apa yang ia katakan hanyalah rangkaian yang dibuat seindah mungkin untuk membohongi orang sekitarnya.

Maaf, bukan tanpa alasan saya berkata demikian. Terlampau banyak sudah yang bisa saya sajikan. Tapi, biarlah, toh ndak penting membicarakan Rohim dengan serius. Ya, terlalu berharga waktu ini jika kita gunakan untuk membicarakan dia yang dalam kesehariannya dipenuhi dengan ketidakseriusan.

Saya sengaja menuliskan pertemuan ini. Rohim, jangan kepedean dulu ya, jangan berpikir bahwa dirimu adalah orang penting. Melalui tulisan ini, saya hanya ingin menyampaikan bahwa dirimu tidak banyak berubah. Dirimu masih seperti dulu. Semoga saja istirmu tidak seperti saya dalam memahamimu. Bagaimanapun, dia adalah orang yang ikhlas karena sudah mau menjadi makmum dari lelaki absurd macam kamu.

Tapi, harus saya akui juga, seabsurd apapun dirimu, sefiktif apapun ucapanmu, saya tetap menganggap dirimu sebagai teman yang baik sekaligus unik. Bahkan, dalam hal-hal tertentu, dirimu sudah saya anggap sebagai suhu. Ya, menurut saya, dirimu layak disebut sebagai pertapa yang memiliki pengikut tak terhitung jumlahnya.

Tentu kamu masih ingat, jamaah semut yang pernah kau pimpin. Atau segerombolan orang yang telah kau ajari bagaimana indahnya mem-bully orang lain, eh. Mungkin sekarang, dirimu sudah punya jamaah baru dalam duniamu. Kabarnya, dirimu sudah terlibat dalam pertempuran klan-klan. Sebagai teman, saya berharap dirimu menjadi energi positif di klan barumu itu.

Beberapa Obrolan Itu
Meski tidak lama, kunjungan Rohim ke Jogja telah membekas dan tentunya masih fiktif seperti dahulu kala. Oh iya, waktu rohim sampai, Jogja langsung diguyur hujan deras. Him, lihat Jogja bersedih karena kamu kunjungi lagi. Terlalu banyak sudah persolaan fiktif di kota ini, masih saja kau bebani dengan kefiktifan lama dengan bingkai baru.

Perbincangan awal, kita bernostalgia saat masih bersama-sama di Jogja. Mulai dari bahagia, hingga duka yang teramat sangat. Saya masih ingat betul, saat pertama kali ke Jogja dengan hanya berbekal bonek. Saat itu, melalui uang pinjaman dari temannya, Rohim berusaha menjadi bos kecil dari usaha bersama.

Dengan modal seadanya, akhirnya kita putuskan untuk menjual gorengan. Nanti, hasilnya dibagi dua. Dengan kegembiraan dan bayangan keuntungan yang luar biasa, saya beber lapak gorengan itu di depan fakultas. Lalu-lalang mahasiswa saya jadikan tempat strategis untuk menawarkan gorengan dari usaha kita. Lumayan, meski tak terjual habis, tapi cukup banyak yang terjual.

Tapi, satu hal yang perlu diketahui dari bisnis gorengan ini. Setelah pulang kuliah, kala sore hari, kita kumpul dan mencoba menghitung hasil dari penjualan gorengan. Terkejut, hasil yang didapat tidak sesuai dengan gorengan yang habis terjual. Sepertinya, teman-teman pada ramai mengambil namun lupa membayar. Karena saya yakin, mereka tak ada niat untuk mengambil gorengan yang saya jual.

Begitu seterusnya, entah berlanjut sampai berapa hari. Seingat saya, usaha itu tidak sampai satu minggu. Dan kami memutuskan untuk mengakhirinya. Ya, “usaha ini tidak cocok dengan kita,ucapnya kala itu.

Akhirnya, setelah gagal berbisnis gorengan. Kami putuskan untuk menjadi marbot di masjid. Tidak banyak alasan penting kenapa harus berdiam di masjid, kecuali untuk mendapat fasilitas gubuk gratis dan seperengkat lainnya. Setidaknya, di Jogja kami tidak tidur di pinggir jalan. Begitulah kira-kira.

Permasalahan hidup di Jogja, sedikit telah teratasi. Meski harus menempuh jarak 53 menit jalan kaki untuk sampai ke kampus, setidaknya ada tempat tinggal untuk sekadar melepas setiap keletihan. Singkat cerita, kira-kira sekitar sembilan bulan, kami kemudian memutuskan keluar dan menghadapi kehidupan yang tak kalah getirnya.

Jika mengingat kejadian bersejarah ini, tentu saja Rohim adalah suhu. Sebagaimana saya sebut di atas, dalam hal-hal tertentu.

Selepas membincangkan kisah masa lalu, saya tawarkan dia untuk berbaring di gubuk sederhana. Dengan gayanya, dia menolak. "Saya itu sewa hotel, dan sudah saya bayar." Saya rasa, semua sudah tahu bagaimana mimik Rohim kala memgucapkan kalimat semacam itu. Duh, Him, kamu memang tidak banyak berubah.

Oh, iya, sepanjang perjalanan kita mencari tempat makan, Garnasih menjadi tema obrolan utama. Banyak hal yang ia ceritakan tentang sosok aktivis perempuan tersebut. Dan, saya rasa, tidak perlu disampaikan apa yang kami bicarakan. Tak elok, dan sungguh akan mengundang ketegangan sosial sekitar.

Em, apalagi yang ia bicarakan persoalan cerita yang ia buat sendiri. Sebuah kejadian, entah nyata atau tidak, tentang Garnasih dan rupa warna kehidupannya. Begitulah, ia bercerita. Bahkan cerita itu berlanjut sampai malam hari, saat kami memutuskan untuk bertemu di warung kopi.

Selebihnya, ia bicara tentang bisnis yang hari ini digeluti. Tidak tanggung-tanggung, layaknya para pakar, ia sudah berbicara jauh ke depan, tentang puluhan tahun yang akan datang. Dengan bisnis barunya itu, ia sudah membaca segala kemungkinan yang akan terjadi. Dan sejauh pengamatan singkat saya, ia akan menjadi penguasa di daerahnya. Khususnya, di usaha yang tengah dikelolanya. Selamat, Him. Semoga ini menjadi langkah awal kesuksesanmu di masa depan.

Dan terakhir, keabsurdan dan kefiktifan Rohim kembali muncul. Tanpa kabar, dia tiba-tiba pulang. Padahal, katanya, di Jogja dia masih beberapa hari lagi. Begitulah, bukan Rohim kalau tidak menghadirkan ketidakmungkinan dan keabsurdan dalam setiap perjumpannya. []

Sumber gambar: Marie and Allstair knock

Monday, October 24, 2016

Menggagas Ma'had Aly Di Desa Ganjaran

cambridge_university

Oleh: Muhammad Madarik

Sebagaimana sudah dimaklumi banyak pihak, desa Ganjaran merupakan lumbung ilmu pengetahuan. Selain lembaga-lembaga keagamaan, dan lembaga pendidikan formal, di desa Ganjaran terdapat berbagai pesantren.

Ada perbincangan seorang kawan yang mengutarakan sebuah wacana relevan tentang kemungkinan di desa Ganjaran dilahirkan Ma'had Aly untuk para santri dari beberapa pesantren di desa yang pernah disebut "mercusuar ilmu" oleh alm. KH. Qosim Bukhori itu. Saat itu, penulis menjawab dengan nada sekenanya: "Bagus itu." Kawan tersebut manggut-manggut disertai ekspresi datar. Penulis tidak begitu paham apa makna di balik raut wajah kawan itu, menanggapi respon penulis yang juga tanpa arti.

Tetapi memperbincangkan wacana tersebut lebih serius agaknya cukup signifikan untuk waktu-waktu ke depan  mengingat desa Ganjaran, setidaknya dalam analisa sementara penulis, telah memenuhi syarat menjadi wadah jenjang pendidikan tinggi kalangan pesantren itu. Keterpenuhan syarat desa Ganjaran dilihat dari lembaga-lembaga pendidikan yang muncul di tempat itu. Tentu saja, tulisan sederhana ini hanya telaah awal yang dapat dipastikan tidak berkecukupan memutar kunci pintu penyelenggaraan "proyek besar" yang terlontar dari sekadar perbincangan antar sahabat, selanjutnya terserah "takdir."

POTENSI KUANTITAS
Ma’had Aly pada dasarnya adalah lembaga pendidikan tinggi yang sepenuhnya dirancang dan dikelola oleh masyarakat. Basis Ma’had Aly tidak lain adalah pesantren-pesantren yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Berbeda dengan perguruan tinggi pada umumnya, Ma’had Aly selama ini dibiarkan dan diberi kesempatan berkembang atas dasar kemauan dan kesanggupan para pengelolanya. Di satu sisi, hal ini menunjukan fleksibilitas pesantren yang luar biasa dalam memenuhi kebutuhannya sendiri untuk mencetak generasi berilmu dan berkualitas.

Sedangkan jumlah lembaga pendidikan pesantren di desa Ganjaran, sebagaimana diketahui banyak pihak, terdapat 18 pesantren dengan bentuk besar dan kecil. Berangkat dari sekian banyak pesantren di satu desa ini, tempat yang rata-rata penduduknya berpenghasilan tebu ini dinobatkan sebagai "desa santri" (22 Oktober 2016).

Melihat sekian jumlah pesantren di desa ini telah mencapai batas kemungkinan untuk rencana munculnya Ma’had Aly, kalau rata-rata grafik santri di masing-masing pesantren dipatok 50, lalu lulusan dari pesantren-pesantren itu kisaran jumlah10 orang X 18 pesantren, maka 180 tamatan pertahun. Jika di klaim 50% dari lulusan itu, maka angkatan pertama rencana Ma’had Aly  berjumlah 90 santri. Sebuah jumlah peserta didik dengan kondisi dua kelas pada ukuran pendidikan ideal.

Persoalan tingkat animo para santri terhadap Ma’had Aly tidak menjadi halangan berat, sebab hingga saat ini ketaatan mereka pada kiainya masih menjadi simbol tatakrama yang belum sirna. Oleh karena itu, pada kemungkinan terjelek sekalipun kiai pesantren seringkali menggunakan gaya kepemimpinan otoriternya untuk mengarahkan para santri dalam menentukan keputusan mereka. Sedangkan pada sisi wacana ini, pengaruh kiai terhadap santrinya merupakan salah satu modal kekuatan yang dapat dibuat pilar penyangga penyelenggaraan.

POTENSI KEILMUAN
Model pesantren di desa Ganjaran yang menyelenggarakan pendidikan dan pembelajaran salaf dengan kitab-kitab klasik sebagai rujukan utamanya merupakan secercah sinar yang bisa memberikan harapan untuk melempangkan proses wacana ini. Bentuk pendidikan demikian ini memang memiliki korelasi dengan arah pendidikan Ma’had Aly, terutama pada aspek konsentrasi pendidikan yang lebih menekankan pendalaman disiplin ilmu yang bersumber dari referensi kitab kuning.

Kajian-kajian kitab kuning tidak saja diselenggarakan di pesantren-pesantren lewat metode sorogan dan bandongan, tetapi juga disajikan di sekolah-sekolah formal sebagai salah satu materi pelajaran. Sejak awal dalam sejarah lembaga pendidikan formal di Ganjaran, kitab kuning telah menjadi muatan lokal (mulok) yang merupakan bagian dari anasir sebaran kurikulum pendidikan. Berkaitan dengan muatan lokal ini, beberapa kalangan masyarakat mengklaim bahwa keunggulan madrasah di desa Ganjaran terletak pada ketersajian kitab kuning dalam struktur kurikulum pendidikannya dibandingkan sekolah-sekolah lain di luar desa Ganjaran. Bahkan sebagian besar alumni dan wali siswa menjadikan pelajaran kitab kuning sebagai faktor kuat ketertarikan mereka terhadap sekolah formal desa Ganjaran.

Kajian kitab kuning di lingkungan pesantren lebih meluas lagi ketimbang di sekolah formal. Pembelajaran kitab kuning tidak saja dilakukan lewat pengajian para pengasuh atau para ustadz, tetapi lebih jauh dari itu didalami melalui musyawarah kitab kuning antar kelas di masing-masing pesantren, antar pesantren dan bahsul masail. Kegiatan musyawarah kitab kuning sudah menjadi pemandangan setiap malam di masing-masing pesantren desa ini. Sebetulnya kegiatan musyawarah kitab antar pesantren sudah pernah digalang kira-kira tahun 2005-an oleh sebuah komunitas musyawarah yang dibidani oleh Gus Nasihuddin Khozin dkk. setiap malam Ahad. Gaung musyawarah ini bergema hingga beberapa pesantren di luar desa Ganjaran berminat mengirimkan delegasinya pada rutinitas yang bertempat berpindah-pindah secara bergantian itu. Sejalan dengan waktu, kegiatan itu menyusut dan lenyap entah kemana hingga pada akhirnya muncullah Ittihad musyawarah antar ma'had (IMAM) yang digagas oleh Gus Abdurrahim Said. Program dalam IMAM sampai saat ini terus bertahan hingga memiliki anggota tidak kurang dari jumlah peserta kegiatan musyawarah sebelumnya.

Walaupun pada segi musyawarah antar pesantren mengalami pasang surut, tetapi secara umum desa Ganjaran merupakan basis kajian kitab kuning yang mampu memobilisir segenap pesantren bahkan di luar desa ini.

POTENSI INDIVIDU
Semenjak awal desa Ganjaran telah dihuni oleh orang-orang berkualitas, terlepas mereka pernah berjibaku dengan kerasnya kemungkaran yang melingkupi kehidupan masyarakat kala itu. Sebut saja di fase pertama terdapat Mbah Abdurrosyid, seorang kaya raya yang bertipe pecinta ulama, dermawan dan santun kepada siapapun, termasuk juga pada kaum buruh di bawah kekuasaannya. Dari tokoh ini kemudian muncullah KH Zainuddin, sosok alim asal Madura yang dijadikan menantu, kelak keturunan Mbah Abdurrosyid melalui kiai Zainuddin bertebaran menjelma menjadi orang-orang berpendidikan. Hampir seluruh pemegang pesantren di desa Ganjaran, PP Annur Bululawang, dan PP Babussalam desa Banjarejo memiliki tetesan darah dari Mbah Abdurrosyid. Fase kedua lahir KH Zainal Alim yang dikenal pula dengan kiai Tombu dan KH Bukhori Ismail yang berjuluk kiai Masjid. Fase berikutnya muncul KH Yahya Syabrawi, KH Qoffal Syabrawi, KH As'ad, KH Zainullah Bukhori dan masih banyak lagi di zaman ini. Di fase sekarang ini, tunas-tunas muda kalangan pesantren mulai bertebaran. Hampir semua gus-gus sudah mengambil peran di lingkungan masing-masing pesantren di desa Ganjaran dengan segala potensi yang dimiliki setiap diri mereka. Latar belakang dan kualifikasi pendidikan masing-masing mereka menambah corak regenerasi kaum pesantren kian bervariasi.

Sebagian mereka ada yang ahli di bidang manajemen pendidikan, terdapat pula yang menguasai kajian kitab kuning, lihai di dalam rumusan konsep, cerdik dalam hal penelitian, dan ada pula yang begitu tak tertandingi pada aspek hubungan dan jaringan masyarakat.

POTENSI PELUANG DAN FASILITAS
Legalitas Ma'had Aly dalam sistem pendidikan nasional telah termaktub dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 71/2015 tentang Penyelenggaraan Ma'had Aly. Pada dasarnya Ma'had Aly adalah satuan pendidikan yang didirikan dan dikembangkan dari dan oleh masyarakat pesantren dan berada di dalam dunia pesantren. Tetapi meski lahir dari rahim pesantren dan seterusnya dikelola oleh kaum pesantren, eksistensi Ma'had Aly sebagai wadah mencerdaskan anak negeri bukan hanya semata-mata diperuntukkan bagi kepentingan masyarakat pesantren saja, melainkan juga untuk kebutuhan seluruh lapisan bangsa Indonesia.

Sebenarnya peluang mendirikan Ma'had Aly dari sudut birokratis cukup menganga lebar. Apalagi dari beberapa sisi, desa Ganjaran cukup prospektif untuk dibuat jaminan terselenggaranya pendidikan Ma'had Aly. Selain potensi SDM, banyak pesantren yang siap dirancang sebagai lokasi penyelenggaraan pendidikan Ma'had Aly tersedia untuk ditempati. Selama ini terdapat beberapa asrama pesantren yang  kurang berfungsi maksimal akibat penurunan grafik santri secara drastis setelah ditinggal mangkat pendirinya. Pesantren demikian ini cukup memadai untuk dibidik sebagai pusat pelaksanaan Ma'had Aly.

Bangunan kerjasama yang kokoh antara pihak pesantren dan pemerintahan desa merupakan peluang yang harus dipertimbangkan. Kalangan pesantren sebagai pengelola berperan menyiapkan segala hal yang dibutuhkan dalam setiap tahapan proses pendirian Ma'had Aly, mulai dari konsep awal, analisis kelayakan, identifikasi tenaga, berkas pengajuan sampai pada semua syarat-syarat lain. Sedangkan aparat desa dalam konteks ini diposisikan sebagai unsur penting pada aspek kewenangan-kewenangan birokratis dan mobilisasi massal. Apabila dua pihak ini dapat bersinergi dengan intens, maka sebetulnya bukan saja wacana Ma'had Aly saja yang bisa diwujudkan tetapi proyek-proyek besar lainnya juga dapat diciptakan.

Oleh karenanya, pada aspek proses pendirian perguruan tinggi berbasis pesantren itu tidak terlalu sulit untuk dilakukan.

UNTUK SANTRI DI DESA SANTRI
Desa Ganjaran yang telah didaulat sebagai desa santri layak memiliki lembaga pendidikan bagi peningkatan keilmuan kalangan santri di luar lembaga tinggi yang mengajarkan disiplin ilmu-ilmu yang bukan berbasis kitab kuning. Sebab, khas desa ini dengan sekian jumlah pesantrennya dipastikan menyimpan banyak para santri yang mempunyai kompetensi kitab kuning tingkat tinggi. Hal ini bisa dibaca dari kepiawaian mereka membaca teks Arab dengan menggunakan pendekatan gramatikalnya, kemampuan menalar makna di balik teks berdasarkan balaghahnya, dan tingkat kecerdasan mereka menginterpretasikan konten kitab kuning melalui perangkat ushul fiqhnya. Bukan saja perdebatan mengenai tata cara baca teks yang sudah dikerjakan para santri di pesantren-pesantren desa Ganjaran, tetapi lebih jauh dari itu diskusi yang bergulir dalam berbagai kegiatan musyawarah dan bahsul masail telah masuk taraf identifikasi persoalan kemasyarakatan (masail waqi'iyah) dan pengambilan keputusan hukumnya (istimbatul ahkam).

Berbagai kelebihan kaum santri di desa Ganjaran ini merupakan bagian dari corak desa santri yang perlu diunggulkan. Oleh karena itulah, munculnya wacana pendirian Ma'had Aly di desa santri ini perlu mendapat respon dari semua pihak. Keterlibatan segenap kalangan, mulai dari para tokoh sepuh, kaum muda pesantren, jajaran pemerintahan desa, dan masyarakat, atas dasar kebersamaan wajib terwujud sebagai prasyarat untuk membuat nyata wacana tersebut. Jika prasyarat ini dapat diejawantahkan dalam bentuk komitmen bersama, maka problematika selanjutnya akan lebih mudah dicarikan jalan keluarnya. Contoh kecil misalnya, jika program ini di bawah kendali satu pesantren, maka dikhawatirkan pesantren lain merasa enggan untuk melibatkan diri dalam setiap tahapan prosesnya. Namun apabila wacana program ini diusung dengan mengatasnamakan "desa santri," maka secara otomatis sekat-sekat itu akan dimusnahkan oleh rasa kepemilikan bersama. Sebab itulah, jargon yang butuh ditabuh adalah "Untuk Santri di Desa Santri," dengan harapan sekat fanatisme masing-masing pesantren bisa terkelupas oleh semangat kolektifitas memajukan desa santri.


Wallahu a'lam bi al-Shawab.[]

Sumber gambar: caffeinehit

Monday, October 10, 2016

MUSA DAN KHIDIR


MUSA DAN KHIDIR
Em Yasin Arief
*Untuk memperingati haul ke-13 KH. Dimyathi Bukhori

I
Seketika melesat sosok bayangmu ada
Berkilauan dalam lubuk ingatan
Memecah sunyi sepertiga malam
Barangkali kau sedang duduk di sampingku
Rebahkan punggung
Sembari menaruh tangan di pundakku

Kita memang lama tak duduk bersama
Bertukar pikiran membincang makna
Sejak kau pamit berangkat ke tepian sorga
Meninggalkan pusaka jejak langkah
Mewariskan selaksa tanda tanya
Belasan tahun
Kau tak pernah enyah dari ingatanku
Meski kau terlalu cepat berangkat
Ketika diriku masih naif dan belia

II
Masih ingatkah kala itu?
Kau adalah Khidir dan aku Musa
Tatkala kita menyusuri jalan-jalan bebatuan
Isi kepalaku padat rasa heran
Seraya mengekori runut langkah kakimu
Dari belakangmu aku menikam tanya:
"Mengapa kau rajin mengunjungi gubuk orang-orang miskin?"
Dalam kikuk bimbangmu
Kau lontar beberapa patah jawab:
"Mereka yang tak banyak harta
Tak punya sifat angkuh di dadanya
Alangkah berungtung manusia
Yang hatinya tak terjangkit penyakit jumawa
Bukankah ternyata mereka tuan-tuan kita
Bila yang kita emis hati yang kaya raya?"

Aku masih terlampau ingin bertanya:
"Mengapa kau berteman dengan orang yang meninggalkan shalat dan berbuat maksiat?"
Dalam bingung ragumu
Kau menyambiti pertanyaan keduaku:
"Kegelapan tidak bisa menerangi kegelapan
Hanya cahaya yang bisa menerangi
Mengutuk kegelapan, kegelapan itu sendiri
Yang aku tahu
Sebaik-baik manusia
Adalah yang saling menyinari sesama
Saling mengarak cahaya menuju samudera cahaya Sang Maha Cahaya
Cukup Tuhan yang maha benar dan bijaksana
Dialah hakim atas segala tindakan manusia
Bukan manusia."

Laksana Musa yang ceriwis
Sekali lagi kurajami dirimu dengan kata-kata tanya:
"Kau ini Ulama, kan?
Mengapa kau enggan bila orang menaruh takzim kepadamu?
Kau tak mau orang menciumi tanganmu
Kau tak senang bila ada yang membungkuk-bungkuk di depanmu
Mengapa kau tak ingin dirajakan?
Bukankah itu hakmu?
Bukankan di sana orang berlomba-lomba menginginkan derajat itu?"
Dalam kelimpungan buncahmu
Kau mendindingi raut wajah yang gelagapan dengan tawa yang canggung
"Ha Ha Ha
Kau ini pandai sekali berkelakar
Aku, Ulama katamu?
Yang benar saja!
Gelar itu hanya untuk para pewaris Nabi
Tentu Nabi tak mewariskan apa-apa
Melainkan Iman dan keteladanan sifatnya
Aku mengaku umat Nabi saja belum merasa pantas
Apalagi menganggap diriku Ulama."

Mulutku bungkam
Dalam hatiku bergumam
"Bukankah orang baik memang yang tak pernah merasa dirinya baik?
Justru yang membusungkan dada
Seraya berkata "aku ini orang paling baik"
Sejatinya dia bukan orang baik."

III
Tak bisakah sekali saja
Kita mengulang hari itu?
Akan kuminum bening mata air sufimu
Akan kuarungi luasnya laut rendah hatimu
Akan kujelajahi belantara hutan keikhlasanmu
Bila memang tak bisa
Akan kusimpan baik-baik warisan jejak langkahmu


- Malang 08 Oktober 2016

Thursday, October 6, 2016

Seandainya Saya Anies Baswedan

anies_baswedan

Oleh: Irham Thoriq

Sekitar tiga tahun lalu, dalam sebuah perjalanan ke Papua Barat, seorang dosen Universitas Negeri Malang (UM) ngerasani Anies Baswedan. Dia beranggapan kalau program Indonesia Mengajar hanya dijadikan ajang pecitraan Anies.

Dia lalu menggerutu kalau program yang dia ikut urus yakni Program Sarjana Mengajar di daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal (SM3T) kalah pamor dengan Indonesia mengajar. Padahal, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendibud) sudah mengucurkan ratusan miliar untuk mengirim sarjana ke tapal batas untuk program SM3T.

Tapi tetap saja, yang lebih dikenal Indonesia Mengajar-nya Anies Baswedan. Sedangkan SM3T tidak banyak orang yang tahu. Saya yang ketika itu liputan, baru tahu program SM3T ketika dosen ini menjelaskan di perjalanan. Lalu, percakapan tentang Anies Baswedan hilang begitu saja. Setelah itu kita fokus pada medan curam, jalan bergerojal dan hutan yang lebat untuk sampai ke Papua Barat, tempat peserta SM3T mengajar.

Anies Baswedan beberapa tahun belakangan memang menjadi akademisi yang amat terkenal. Mula-mula dia menjadi rektor termuda pada usia 38 tahun di Universitas Paramadina. Kampus yang tidak lebih besar dari Universitas Islam Malang (Unisma) ini terkenal saya kira selain pengaruh Nurcholish Madjid sebagai pendiri, juga karena Anies.

Lalu dia mendirikan Indonesia Mengajar. Sebuah program mulia yang disokong banyak perusahaan besar. Nama Anies kian melambung hingga dia menjadi peserta konvensi calon Presiden Partai Demokrat. Saya kira, dia satu-satunya peserta konvensi dari unsur dosen. Kau tahu, amat sulit dosen yang jumlahnya ratusan ribu se-Indonesia untuk bisa eksis di dunia perpolitikan, bukan? Selain jarang dosen yang terkenal, butuh beratus-ratus tahun dosen mengumpulkan uang dari gaji mereka untuk bisa ‘membeli’ kendaraan politik. Tapi Anies mendobrak ketidakmungkinan itu meski akhirnya dia gagal di konvensi.

Setelah beberapa bulan lalu Anies diberhentikan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), lantas orang bertanya-tanya. Kemanakah karir orang yang sedari muda karier-nya menjulang ini. Dari media, saya baca Anies masih belum kembali ke kampus untuk menjadi dosen.
Saya kira masa ketika Anies diberhentikan dari menteri adalah masa yang sulit baginya. Nama Anies sudah terlanjur terkenal, cita-citanya sudah terlanjur tinggi, dan sejak muda kariernya bagus. Maka ketika hanya kembali ke kampus menjadi dosen mungkin banyak orang yang akan bertanya-tanya. Anies sendiri saya kira juga akan heran terhadap dirinya sendiri, kok bisa kariernya seperti roller coaster: habis menukik lalu menghujam kebawah.

Ditengah kegalauan inilah, Anies lantas menerima tawaran menjadi calon Gubenur DKI Jakarta. Anies menolak menjadi Wakil Gubenur mendampingi Sandiaga Uno. Saya menebak alasannya sama kenapa dia menolak menjadi wakil, yakni karena namanya sudah terlanjur terkenal dan cita-cita sudah amat tinggi.

Pada Pilkada DKI inilah setidaknya kita bisa bercermin kalau politik ternyata menjadi muara dari aneka macam profesi. Anies yang berangkat dari akademisi, pada muaranya menjadi politisi. Dia sempat menjadi bakal calon presiden, dan menjadi calon gubenur.

Karena memilih jalan politik, maka Anies harus berdamai dengan rival-rival politiknya di Pilpres 2014. Kita tahu, pada Pilpres lalu Anies menjadi juru bicara Jokowi dan Jusuf Kalla, dan kini Anies bergabung dengan Prabowo yang waktu itu menjadi lawan Jokowi.

Lalu, Agus Harimurti Yudhoyono yang diprediksi mempunyai karir militer bagus, juga bermuara pada politik. Dan juga wakil Agus, Sylviana Murni yang birokrat dan juga profesor, petualangan hidupnya juga berakhir di politik. Karena semuanya berakhir di politik, entah ini patut kita syukuri atau tidak, atau ini menunjukan kalau orang semakin tak percaya dengan politikus didikan partai politik.

Pada pilkada ini kita semakin yakin kalau politik boleh tidak masuk akal. Sebenarnya bergabungnya Ahok yang dielu-elukan sebagai Gubenur bersih, agak sedikit tidak masuk akal berkoalisi dengan partai yang dipimpin ‘papa minta saham’. Sebelumya, Ahok mundur dari Gerindra karena partai ini mendukung pilkada tidak langsung. Dan celakanya, seperti masuk ke dalam jurang, Ahok masuk ke jurang yang lebih busuk. Karena mendukung pilkada tidak langsung lebih mulia dibanding meminta saham ke perusahaan asing.

Tapi itulah politik, boleh tidak masuk akal. Anies bergabung dengan Prabowo juga tidak masuk akal. Anies yang ikut Pilkada setelah sebelumnya nyalon presiden juga sedikit tidak masuk akal. Yang masuk akal saya kira cuman satu, yakni PKS tidak berkoalisi dengan Ahok.

Lalu, bagaimana kalau kita menjadi Anies Baswedan? apakah tawaran menjadi calon gubenur akan diterima? atau tetap konsisten menjadi akademisi?

Saya kira kalau semua diantara kita diberi kepercayaan menjadi Anies Baswedan, kita akan sulit. Tawaran dari partai politik terlalu menggiurkan karena menjadi Gubenur DKI sebagaimana kata Ahok, jabatannya setara dengan menteri. Bedanya, Gubenur tidak bisa di reshuffle, sedangkan menteri bisa.

Sedangkan menjadi akademisi sudah tidak lagi menggiurkan. Gajinya sedikit, jangkauannya terlampau kecil. Hanya satu kelas, atau satu kampus. Padahal, sebagaimana ungkapan Anies di mana-mana, kita harus Melunasi Janji Kemerdekaan.

Karena kemerdekaan itu membentang dari Sabang sampai Meraoke, maka sulit melunasinya jika hanya berkutat di kampus. Mau tidak mau Anies harus jadi Presiden, sebagaimana Jokowi, peluang menjadi Presiden itu terbuka ketika jadi Gubenur DKI Jakarta.

Karena jadi Presiden harus melalui partai politik, maka Anies harus bergabung dengan partai politik, menjadi ketua umum parpol, atau mendirikan partai politik. Dan untuk menggapai itu semua, tentu kita harus ‘berdamai’ dengan kekuatan-kekuatan jahat yang ada di partai politik.


Lantas kenapa sulit sekali menjadi Anies Baswedan. Anda atau mungkin saya akan sulit jika diamanahi menjadi Anies Baswedan. Saya pikir-pikir, masalah dari sulitnya menjadi Anies itu hanya dua yakni karena dia terlanjur terkenal dan cita-citanya juga terlanjur tinggi.[]

Powered by Blogger.

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top