Tuesday, December 30, 2014

Saya dan Perempuan Ahmadi

9:16 PM

[sumber: sini]

Oleh: Halimah Garnasih

Saya adalah perempuan santri tulen dari Jawa Timur. Selama nyantri itu pula betapa saya merasakan langsung bagaimana budaya pesantren saya, juga pemahaman Islamnya sarat dengan berbagai subordinasi dan diskreditas pada perempuan. Sampai alur kehidupan mengantarkan saya bertemu dengan Yogyakarta, kota cendekiawan, kota intelektual, dan tentu saja kota yang plural. Di sana, tak hanya ragam pemahaman Islam yang akhirnya bersinggungan dengan dunia kognitif saya, lebih dari itu takdir rupanya memperkenankan saya bersinggungan langsung dengan saudara-saudara lintas agama dan lintas kepercayaan. Tahun 2013 kemarin, misalnya, dalam sebuah acara, saya berkesempatan hidup selama sepuluh hari dengan 28 pemuda lintas agama se-Indonesia. Selama sepuluh hari itu juga, baik lewat sharing formal maupun obrolan ringan saat makan atau menjelang tidur, saya menjadi tahu betapa perempuan adalah objek yang dipandang sebelah mata hampir di agama dan kepercayaan manapun. Budaya patriarkhis yang dibalut dengan tafsir atau pemahaman-pemahan yang juga patriarkhis selalu melahirkan pandangan yang diskriminatif, dan pada akhirnya perempuan berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Potensi yang sebenarnya ada dalam tiap akal budi dan nurani mereka, terbungkam.

Sampai akhirnya pamflet ISAIs (Institute of Southeast Asian Islam) yang saya temukan sepertinya akan membawa saya pada pengetahuan dan pengalaman baru tentang citra, konsep, atau peran perempuan dalam Islam Ahmadiyah. Saya berharap puzzle pengetahuan saya tentang perempuan dalam Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Aliran Sapto Dharmo, NU, Muhammadiyah akan menjadi puzzle yang utuh bersama perjalan ISAis ke kampung Ahmadiyah yang terletak di Kampung Krucil, Desa Winongo, Kecamatan Bawang, Kabupaten Banjarnegara. Dan akhirnya, dengan bantuan rekomendasi dari Komunitas Matapena, tanggal 29 November 2014 kemarin saya bersama 32 pemuda lainnya berangkat menujunya, rumah saudara muslim Ahmadi…

Puisi Gus Mus yang berjudul “Lirboyo” lamat-lamat mengalun pada kedalaman diri saya saat memasuki Desa Winongo. Meski tak melihat perkebunan tebu, hamparan padi dan jagung yang diguyur gerimis ritmis, mengapit jalan yang dilewati bus kami membangun nuansa yang sangat akrab dengan batin saya, Pesantren. Tak hanya Lirboyo, pesantren saya yang berada di salah satu pelosok desa di Kabupaten Malang seakan terbentang kembali di altar batin. Hal yang menjadikan saya merasa tergesa-gesa ingin segera sampai Kampung Krucil. Juga lekas menghirup aroma spiritualnya dan bercengkrama dengan para perempuannya.

“Batas Pardah,” itu kata Bu Yuni Setiawati—anggota Ahmadi yang aktif di Lajnah Imaillah (perkumpulan ibu-ibu Ahmadi) Cabang Krucil dan sedang menjabat sebagai Sekretaris Daerah Lajnah Imaillah Jateng II—saat menjawab pertanyaan saya tentang papan yang membatasi jamaah perempuan dan jamaah laki-laki. Dari penjelasan Bu Yuni saya jadi tahu bahwa batas “Pardah”—berasal dari bahasa Urdu yang artinya pembatas—wajib ada setiap ada perkumpulan yang diikuti oleh perempuan dan laki-laki jamaah Ahmadi. “Ya, meskipun acara Imaillah tapi mengundang mubalig (laki-laki karena dalam Jama’ah Ahmadiyah tidak ada dan tidak boleh ada mubaligoh) maka batas pardah itu selalu ada, membatasi jamaah perempuan dan mubalig. Kami, para perempuan Imaillah ada di depan pardah dan mubalig mengisi ceramah di balik pardah,” lanjut Bu Yuni, dengan senyum yang selalu menghiasi wajahnya. Dari Bu Yeyet Nurhayati (Ketua Lajnah Imaillah Kecamatan Bawang Kabupaten Banjarnegara), saya juga tahu bahwa saat perkumpulan yang diikuti jamaah perempuan dan laki-laki, maka semua acara di-handle oleh jamaah laki-laki. Mulai dari pembawa acara, Qori’, pembaca syi’ir, pembaca nazam (puji-pujian semacam sholawat dan mayoritas dari bahasa Urdu) dan tentu saja mubalignya. Begitupula pada acara resepsi pernikahan, pardah menjadi pembatas dan memisahkan antara tamu perempuan dan tamu pria, juga pengantin perempuan dan pengantin pria.

Semua kenyataan itu tidak asing bagi saya. Semua pernah saya temui dan rasakan di pesantren dulu. Jikalau tidak karena budaya maka karena pemahaman atau penafsiran atas Alquran (bukan Alquran itu sendiri). Betapapun begitu, perempuan selalu bisa menjamah ranah yang tidak tersentuh bahkan terpikirkan oleh lelaki. Barangkali memang benar apa yang dikatakan oleh Gus Dur bahwa perempuan memiliki emosi yang berwarna dan kompleks daripada laki-laki. Tentu saja kenyataan ini berdampak positif bagi perempuan. Mereka selalu sensitif pada keadaan dan memiliki insting yang kuat agar tetap bisa bermanfaat bagi orang-orang di sekelilingnya, bagi agamanya. Diposisi mana pun mereka berada, atau lebih tepatnya diposisi yang telah dikonstrukkan kepada mereka.

Dan pada akhirnya, sungguh persoalan perempuan Ahmadiyah sebagaimana perempuan lainnya, bukanlah persoalan pemahaman agama semata, lebih dari itu, ini adalah persoalan kemanusiaan!

Meski begitu, demi tanggungjawab intelektual, saya harus melewatinya. Saya harus mengkajinya: Posisi Perempuan Ahmadiyah Dalam Kitab Tafsir Kabir Karya Mirza Bashiruddin Mahmood Ahmad. Selain kenyataan di atas, ada sebuah keunikan tersendiri yang saya dapat dari keterangan Pak Nurhadi—Mubalig Wilayah Jawa Tengah II yang rumah dinasnya di kampung Krucil—tentang perempuan Ahmadiah. Yaitu bahwa perempuan Ahmadi memiliki kewajiban melaksanakan salat Jumat sebagaimana laki-laki.

Saya sibak tirai kamar. Hujan masih mengguyur Kampung Krucil semenjak semalam. Tapi saya mesti bergegas, menerjang hujan demi mencari data dan informasi tentang perempuan Ahmadi dan Kitab Tafsir Kabir… 

Sebelum menapakkan kaki di teras rumah Pak Nurhadi dengan taperecorder di tangan, lagi, saya patrikan dalam diri bahwa semua ini; persoalan perempuan Ahmadiah (atau perempuan agama dan kepercayaan lainya) tak semata persoalan pemahan agama, lebih dari itu ini tentang misi kemanusiaa! Ya, misi kemanusiaa!![]



Krucil, di sudut kamar seorang perempuan Ahmadi 
30 November 2014  

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top