Showing posts with label resensi. Show all posts
Showing posts with label resensi. Show all posts

Thursday, May 5, 2016

Menyederhanakan Gramatika Arab


Oleh: Muhammd Madarik

Penulis: Khoiron ibn Bdr. H. Busri Abdul Halim
Judul: Tashil al-Mubtadi' fi Fahm al-Ilm al-Nafi' bi al-Ilm al-Nahw
Penerbit: Kirisufi, Jogjakarta
Tahun Terbit dan Cetakan: 2016, 1
Tebal Buku: 185 Halaman

Sesuai dengan namanya, buku ini menyimpan banyak hal positif bagi pembacanya, di antaranya memudahkan para pelajar pemula memahami Ilmu Nahwu. Bahasa Arab dengan seluruh disiplinnya, termasuk Ilmu Nahwu itu sendiri, merupakan sesuatu yang dibutuhkan setiap orang (dan di dalamnya kalangan santri). Tetapi ketidakmampuan menyelami ilmu-ilmu yang bermutiara bahasa Arab bagi para pemula, seperti diakui oleh penulis buku ini, membuat enggan untuk berusaha. Bahkan, klaim salah satu santri Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I Ganjaran Gondanglegi Malang itu, tidak sedikit dari mereka berputus asa.

Latar inilah yang melandasi buku ini disusun. Tentu faktor keterpanggilan lubuk penulisnya, menjadikan buku ini diberi judul "Tashil al-Mubtadi' fi Fahm al-Ilm al-Nafi' bi Ilm al-Nahw," di mana makna yang terkandung di dalamnya tidak terlalu berjarak dengan keinginan penulis. Sekilas membaca, penikmat buku ini yang dengan gampang menemukan benang merah antara judul dan isi akan berani menyematkan kecerdikan penulisnya.

Tema Nahwu sebetulnya bagian dari pokok pembahasan klasik dalam dunia pesantren. Tanpa mengurangi azas manfaat buku ini, orang-orang pesantren telah mengenal materi nahwu sejak awal. Di dunia pesantren dikenal kitab-kitab yang menguraikan tentang gramatika Arab semisal Al-Jurumiyah, Mutammimah, Al-Amrithi, atau kitab kelas atas seperti Alfiyah dan kitab-kitab syarh-nya. Namun, kehadiran buku ini tidak saja menambah perbendaharaan khzanah kitab kuning, tetapi menjadi salah satu pilihan para pemula memahami Ilmu Nahwu. Karena buku cetakan pertama ini menyuguhkan ringkasan materi Nahwu yang sangat mudah dimengerti.

Kemudahan-kemudahan yang terdapat dalam buku ini bisa dilihat dari uraian-uraian yang begitu singkat tetapi memuat definisi yang padat. Sehingga para pemula cepat menangkap isi dan pengertian-pengertian, bahkan bentuk penjelasan yang simpel ini mampu menghantarkan mereka untuk mengingat-ingat isi materi.

Kemudahan itu juga dapat ditilik dari skema-skema yang dibuat penulisnya. Melalui skema tersebut hafalan inti-inti materi dengan gampang dilakukan tanpa harus diangan-angan terlebih dahulu. Tentu cara begini sangat membantu para pemula lebih mengerti.

Di samping itu, contoh-contoh yang ada cukup melengkapi uraian-uraian. Apalagi tamsil yang dimaksud (محل الشهيد) diberi garis bawah, sehingga dengan enak para pemula menunjuk lafadz yang dituju. Seperti soal salah satu dari macam-macam isim yang menjadi fa'il yaitu isim mufrod dengan contoh: يتعلم محمد النحو [Hal. 36].

Buku ini kian bertambah bobot ilmiahnya setelah dicermati terdapat beberapa contoh-contoh yang diambil dari ayat al-Qur'an atau syair Arab. Hal ini misalnya bisa dibaca pada contoh:

قل إن كنتم الله فاتبعوني يحببكم الله [Hal. 138].

قد كنت احجو ابا عمرى اخا ثقة # حتى المت بنا يوما ملمات
[Hal. 87].

Penulis buku ini juga tidak memperkering penjelasan materi Nahwunya dengan mengambil landasan uraian dari dasar-dasar lain. Cara yang pasti memperkokoh validilitas dalam buku ini bisa diteropong, misalnya, dari penjelasan tentang lafadz-lafadz yang bisa menjadi maf'ul bih:

في ظاهر اشارة ومضمر # مصدر او موصول او مجرور
[Hal. 105].

Dari sisi pendidikan, contoh-contoh yang dituangkan dapat disisipkan manjadi bahan penanaman moralitas, motivasi, atau tema lain yang berkaitan dengan pendidikan karakter.

Ini bisa ditemukan misalnya dari contoh:

ما كسول طلبة العلم في المعهد
[Hal. 35].

فلا تعدد المولى شريكك في الغنى # ولكنما المولى شريكك في العدم
[Hal. 87].

اراد الأستاذ ان يقرا تلاميذه القرآن كل يوم
[Hal. 105].

Tambahan keterangan yang terselip di beberapa bab memperkuat penjelasan semakin terang bagi para pemula. Tambahan demikian diperlukan pada penjelasan yang kurang memadai untuk dimengerti, apalagi penjelasan-penjelasan yang diuraikan dinilai memuat materi agak sulit. Hal ini seperti contoh:

Keterangan tentang lafadz "ajma'u" (اجمع) [Hal. 98].

Keterangan tentang munada jumlah yang terletak setelah "ya" [Hal. 128].

Satu hal yang sering dijumpai oleh para pemula, dan termasuk juga santri lama, adalah persoalan yang berhubungan dengan jamak taksir. Dengan buku ini, persoalan jamak katsrah, qillah, qiyasi dan sima'i yang seringkali menjadi problem tersendiri sedikit bisa terjawab. Lebih-lebih lagi, penulis buku ini menguraikan jamak taksir dalam bentuk skema yang praktis [Hal. 165-172] diharapkan mampu menolong para pemula memahami lebih dalam lagi.

Hal yang menjadi sebuah daya tarik tersendiri ialah buku ini dilengkapi dengan "Rumus I'rab dan Makna-makna Jawa/Madura/Indonesia" [Hal. 174-179]. Uraian rumus-rumus diskemakan secara teratur, sehingga para pemula dapat menelisik poin per poin secara mudah, ketika membutuhkannya. Seperti sudah maklum, pemaknaan lafadz per lafadz (istilah dalam pesatren: ngesahi) merupakan bagian dari kegiatan memahami isi kitab kuning hampir di semua pesantren. Sementara ini banyak santri menggunakan simbol untuk menandai kedudukan lafadz dari posisi nahwu diinspirasi oleh kreativitas masing-masing, sehingga rasa bingung terkadang dialami oleh santri baru tatkala menghadapi kondisi demikian. Buku ini tampil menyuguhkan alternatif cara pemaknaan lafadz bagi santri yang belum kenal sama sekali terhadap seluk beluk memaknai teks dalam kitab kuning.

Buku ini nyaris tidak memiliki kekurangan, terutama bagi para pemula, dalam memahami ilmu alat membaca kitab kuning. Tetapi seandainya buku ini ditulis dengan huruf latin bahasa Indonesia, maka tentu tidak saja lingkungan pesantren yang menikmati sajian dalam buku ini, namun penuntut ilmu di luar pagar pesantren bisa mempelajari Ilmu Nahwu dari buku ini.

Kemudian pada beberapa halaman, terdapat tulisan menumpuk, baik garis skema maupun huruf-hurufnya. Tentu hal ini cuma kesalahan non teknis yang merupakan bagian dari pekerjaan percetakan, tetapi cetakan kedua dan seterusnya bisa dijadikan pertimbangan untuk diperbaiki karena beberapa kesalahan ini cukup mengganggu bagi para pemula.


Di luar itu semua, kehadiran buku ini lebih dari cukup untuk membuat keluarga besar pondok pesantren Raudlatul Ulum I Ganjaran Gondanglegi Malang merasa bangga dan bahagia. Sebab setidak-tidaknya buku ini diandaikan mampu melecut kalangan para santri untuk termotivasi melahirkan karya ilmiah yang terbukukan. Buku ini merupakan tonggak awal bagi kalangan pesantren mengikuti jejak sang penulis. Alhasil, buku ini diimpikan mampu menjadi pancingan di dalam lingkungan PPRU I dan pesantren seputar desa Ganjaran agar aktivitas menulis bagi para santri lebih bergairah lagi.[]

Friday, February 6, 2015

Himura Kenshin dan Proyeksi Manusia

[sumber]

Oleh: Muhammad Hilal

Untuk bisa menikmati film Rurouni Kenshin seri the movie (3 sekuel) ini, penonton perlu tahu barang sedikit sejarah jepang pra kekaisaran Meiji. Saya merasa beruntung sudah membaca novelnya Eiji Yoshikawa, Taiko, beberapa tahun lalu. Meski Taiko bercerita soal peristiwa sejarah jauh sebelum Restorasi Meiji, yakni ketika Jepang dikuasai oleh para samurai, namun dari novel itu saya tahu bahwa masa keemasana samurai berakhir pada masa Kaisar Meiji beberapa abad kemudian.

Berbekal sedikit pengetahuan tersebut, saya menonton film ini dengan sedikit gambaran yang cukup gamblang tentang latar ceritanya. Biar bagaimana, Era Meiji adalah sejarah yang menentukan dalam sejarah Jepang. Membikin cerita kepahlawanan Samurai di Era Meiji adalah gagasan cerdas, sebab masa samurai berakhir justru di masa kekaisaran Meiji ini. Sebuah kontradiksi yang sangat memukau!

Selain latar cerita yang menarik, film ini juga mengangkat tokoh-tokoh yang digambarkan punya peran dan terlibat langsung dalam proses sejarah penting itu. Era Meiji adalah transisi menuju Era Baru—begitu mereka menyebutnya. Sebuah fase sejarah yang menghantarkan negara itu menjadi seperti sekarang ini, diperhitungkan di mana-mana, dalam hampir segala aspeknya.

Namun sejarah selalu memakan korban. Perubahan selalu memerlukan tumbal agar ia bisa melunasi tujuannya. Tak terkecuali perubahan yang dicita-citakan oleh Kaisar Meiji ini. Nah, para tokoh utama dalam film ini adalah mereka yang merasakan pahitnya perjuangan menuju perubahan itu.

Himura Kenshin dulu adalah seorang samurai pro perubahan. Perannya adalah memburu para samurai yang menentang kebijakan Kaisar Meiji tersebut. Saking banyaknya dia membunuh para samurai, dia merasa sangat kesepian, terkucil dan sendirian. Setiap kali dia melihat korbannya ditangisi oleh keluarganya, perasaan-perasaan itu menggerogotinya. Akhirnya dia memutuskan uzlah, menghilang dari keramaian, dan berhenti membunuh untuk selamanya.

Shishio Makoto juga pemburu. Dia menggantikan peran Himura Kenshin setelah orang itu menghilang. Sepak terjangnya tak kalah ganas ketimbang pendahulunya. Namun, peran pentingnya sebagai pendukung Era Baru tak dianggap. Dia malah hendak dibunuh dan dibakar. Beruntung, dia berhasil bertahan hidup meski sekujur tubuhnya menderita luka bakar berkepanjangan. Di kemudian hari, dia berencana menghancurkan pemerintah yang dulu dia bela dan menjadi lawan Himura Kenshin.

Saito Hajime, polisi yang selalu menghisap sigaret itu, adalah aparat yang dulunya adalah anggota Shinsengumi, sebuah kesatuan polisi yang bertugas menjaga penguasa Shogun. Dalam beberapa kesempatan dia berduel dengan Himura Kenshin. Belakangan, peran asli Saito ketahuan. Dia adalah agen mata-mata yang mengabdi kepada pemerintahan Meiji. Sejak itu, dia kerap membantu Himura Kenshin dalam aksi-aksinya.

Kamiya Kaoru, perempuan yang kelak menikah dengan Himura Kenshin, adalah juga korban dari sejarah masanya. Ayahnya, yang memimpin sebuah sanggar Hojo, meninggal terbunuh oleh seseorang yang mengaku sebagai Hitokiri Battosai, julukan lawas Himura Kenshin.

Sagara Sanosuke, sahabat Himura Kenshin, dulu adalah anggota Tentara Sekiho. Kelompok tentara ini dihancurkan oleh pemerintah Meiji. Akibatnya, dia putus asa dan kemudian menjadi petarung jalanan untuk mendapatkan uang. Sejak bersahabat dengan Himura Kenshin, dia mulai mendapatkan semangat hidupnya dan bertarung untuk membela orang-orang kecil.

Nah, begitulah keterkaian tokoh-tokoh di film ini dengan jaman di mana mereka hidup. Bisa dibilang, mereka adalah para korban dari peristiwa besar Restorasi itu. Mereka menjalani sebuah lakon hidup sembari menanggung beban masa lalu yang tidak ringan.

Hanya saja, yang membuat film ini semakin menarik ditonton: pertarungan yang terjadi di antara para jagoan samurai adalah orang-orang yang memilih jalan hidup yang berbeda. Jalan hidup itu harus mereka pilih terkait masa lalu mereka di masa transisi menuju Jepang modern.

Di satu sisi, terdapat beberapa korban yang telah mengalami transformasi diri semacam Himura Kenshin yang tetap mempertahankan Era Baru sembari yang mengupayakan pencegahan korban lebih banyak lagi. Orang-orang ini memilih bertahan dalam duka dan nestapanya di gempur Era Baru. Vitalitas dan Kehendak Hidupnya tetap mereka jaga agar upaya meminimalisir korban bisa dilakukan.

Di sisi yang berlawanan, terdapat orang-orang semacam Shishio yang mampu bertahan dari gempuran Era Baru, namun memilih jalan hidup menentangnya habis-habisan. Bahkan dia berupaya menghentikan jalan Era Baru dengan berencana mengambil alih pemerintahan Kaisar. Jalan ini harus dia ambil karena masa depan yang dijanjikan oleh rezim pemerintahan tak bisa dia harapkan akan terwujud. Bagaimana mungkin dia bisa berharap pada pemerintahan yang telah mencampakkannya padahal dulu dia membelanya habis-habisan?

Pergulatan antara tokoh yang menyambut perubahan meski menanggung beban masa lalu dengan para tokoh penentang rezim pengusung Era Baru menjadi daya tarik tersendiri dari film ini. Kita tak bisa membayangkan bahwa tokoh semacam Himura Kenshin, Shishio, atau lain-lainnya pernah ada dalam sejarah. Namun, pada saat yang sama, kita tak bisa mengelak dari kenyataan sejarah bahwa peristiwa Restorasi Meiji adalah nyata. Itulah menariknya cerita film ini, fiksi dan fakta bergumul menjadi cerita yang sangat menarik.
Kita juga disajikan cerita di mana para tokohnya orang-orang yang mengalami sendiri pedihnya sebuah perubahan besar. Seolah-olah, kita dikasih sebuah kenyataan bahwa Bangsa Jepang di Era Restorasi itu sedang mengalami keterbelahan batin. Beban psikologis yang harus ditanggung Bangsa Jepang tidaklah ringan. Building the New Era is much harder work than destroying the old one, demikian dikutip dalam film itu.

Saya percaya, sebuah film tidak sekadar sajian realitas imajitif terhadap penonton semata, namun lebih dari itu merupakan proyeksi terhadap realitas yang dibayangkan akan terwujud. Secara lamat-lamat saya juga menangkap hal ini dalam film ini. Himura Kenshin adalah manusia imajinatif yang diharapkan menjadi manusia Jepang masa depan. Dia memiliki segalanya. Dia hanya tidak beruntung berhadapan dengan sebuah jaman yang memporak-porandakan masyarakatnya.

Namun yang membedakan Himura Kenshin dari lainnya adalah semangatnya untuk bertahan hidup. Sesakit apapun luka batin yang diderita, sedalam berat apapun beban psikologis yang harus dipikul, kehendak untuk tetap hidup harus tetap dijaga. Sebab hanya dengan semangat itulah masa depan bisa diraih. Itulah yang dilakukan Himura Kenshin.
Kebalikan dari Himura Kenshin berarti adalah mereka yang diproyeksikan tidak mewujud. Masa depan tidak mungkin diserahkan kepada mereka yang pandangan dan sikap hidupnya seperti Shishio. Sosok-sosok seperti itu adalah—meminjam istilahnya Metallica—unforgiven.[]

Wednesday, October 8, 2014

I Am Malala, Inspirasi Dari Medan Perang

[sumber]
Oleh: Irham Thoriq

[Judul: I Am Malala | Penerbit: Mizan Pustaka | Cetakan 1: Mei 2014 | Penulis: Malala Yousafzai dan Christina Lamb | Penerjemah: Ingrid Dwijani Nimpoeno |Tebal Buku: 366 Halaman]


Dari berbagai foto yang tersebar di berbagai media sosial, kisah memilukan itu datang. Beberapa bulan lalu, ketika Israel kembali menyerang Palestina, foto-foto anak-anak tidak berdosa ini cukup menyesakan dada. Ada seorang anak yang menangis di depan jenazah sang ibu, anak yang air matanya jatuh di tengah reruntuhan bangunan, para lelaki yang berlari membawa jenazah anaknya, sampai anak-anak yang sedang bermain dan bergelantungan di tank-tank perang. 

Dari anak-anak yang muncul di dalam foto itulah kita menjadi prihatin, apalagi ada ratusan anak yang tewas terbunuh. Sama dengan Malala Yousafzai, mereka adalah anak tidak berdosa yang menjadi korban konflik dan peperangan. Anak-anak selalu menjadi korban dalam setiap kebengisan mengatasnamakan membela tanah air, agama, atau apapun itu.

Tapi, dalam kasus ini, Malala lebih beruntung dari anak-anak Palestina. Malala masih bisa hidup meskipun ditembak dua kali oleh tentara taliban pakistan. Belakangan, Malala juga menjadi hero dengan menjadi kandidat peraih nobel perdamaian di umurnya yang masih 14 tahun, kandidat paling belia dalam sejarah.

Buku I Am Malala menceritakan lika-liku perjalanan aktivis pendidikan dari Pakistan ini. Semua cerita bermula ketika Malala dengan keras menyuarakan pendidikan yang sama bagi anak perempuan di Pakistan. Malala berjuang karena, di Pakistan, larangan sekolah bagi perempuan begitu kencang dilakukan oleh militan Taliban.

Awal kisah memilukan itu terjadi pada 9 Oktober 2012. Ketika itu, Malala sedang menaiki truk terbuka setelah pulang sekolah. Tiba-tiba, dua tentara militan taliban menaiki truk  yang ditumpangi Malala. Para tentara bertopeng itu berteriak mencari Malala. Yang Mana Malala?!” tulis Malala dalam bukunya.

Malala ketika itu tidak sempat melawan dan tidak bisa menjelaskan. Setelah menemukan Malala, seorang tentara dua kali melepaskan tembakan kepada Malala. Satu di kepala, satu di lehernya. Ajaibnya, Malala yang sempat kritis akhirnya bisa bertahan hidup.

Peristiwa singkat inilah yang menjadi pangkal kisah dari buku setebal 366 halaman ini. Buku ini menjelaskan saat Malala dari kecil sampai Malala sadar dari komanya selama beberapa hari. Sejak setelah kejadian itu, sampai saat ini Malala berada di Birmingham, Inggris, dan melanjutkan sekolah di sana.

Meskipun buku ini baru terbit di Indonesia setelah dua tahun kejadian itu terjadi, namun buku tersebut masih layak dibaca, terutama bagi para pejuang pendidikan. Buku ini sangat menginspirasi karena Malala dan Cristiana Lamb, jurnalis kawakan yang juga menjadi penulis dalam buku ini, berhasil menyajikan cerita yang amat runtut.

Dalam buku ini dijelaskan sejak Malala lahir dan bagaimana keluarganya memperjuangkan pendidikan. Malala sendiri bersekolah di sekolah yang didirikan ayahnya bernama Ziauddin. Setiap hari bersekolah, orang-orang di sekitar Malala masih menganggap bersekolahnya Malala yang perempuan sebagai sebuah keanehan. 

Meskipun alur ceritanya begitu runtut, di bagian lain buku ini sedikit betele-tele. Ini setidaknya tergambar di sejumlah bagian yang menyisipkan cerita-cerita tidak penting seperti arti nama Malala, sampai menjelaskan sejumlah kebudayaan desa yang tidak ada kaitannya dengan perjuangan Malala.
Kejenuhan pembaca karena tebalnya buku sedikit terhibur dengan foto-foto aktivitas Malala yang diselipkan di tengah-tengah buku. Foto-foto ini juga menjadi penguat kalau Malala sudah diakui oleh dunia Internasional. Ada foto saat Malala bersama Sekjen PBB Ban Ki-Moon, saat Malala sedang berpidato di PBB, dan foto saat Malala sedang berdoa di Madinah dengan ibunya. Kelebihan lain buku ini, meskipun terjemahan tapi bahasanya tetap lugas.

Dalam hal kepenulisan, buku ini juga tidak dijelaskan peran Malala dalam penulisan buku. Apakah buku ini sebagian ditulis sendiri oleh malala atau Malala hanya bercerita lalu dituliskan oleh jurnalis Christina Lamb? Pertanyaan ini tidak terjawab dalam buku tersebut.

Tidak hanya itu, Buku ini juga sebatas menjelaskan setelah Malala setelah siuman di Brigmigham. Buku ini terasa kurang lengkap karena setelah itu, Malala menjadi kandidat peraih nobel termuda, meskipun pada akhirnya Malala gagal mendapatkannya. Mungkin, buku ini digarap sebelum wacana kandidat diraihnya nobel itu muncul.  

Terlepas dari semua itu, buku ini layak menjadi refrensi bagi para penggiat pendidikan dan juga bagi anak-anak perempuan. Jika melihat kisah Malala, sudah tidak saatnya memperdebatkan apakah perempuan sebaiknya berpendidikan tinggi atau rendah.  

Pendidikan, sebagaimana kata Malala dalam bukunya, merupakan hak semua orang tidak mengenal jenis kelamin. Cita-cita Malala, dia ingin melihat anak-anak desa di Pakistan dan di semua belahan dunia lain bebas sekolah dan mendapatkan pendidikan yang layak. Oleh karenanya, dalam sebuah statmennya, Malala tidak ingin dikenang sebagai anak perempuan yang ditembak oleh taliban, dia ingin dikenang sebagai anak perempuan yang berjuang untuk pendidikan.  

Dengan kuatnya karakter Malala, bisa jadi buku ini sebagai salah satu buku biografi anak perempuan termuda yang pernah terbit. kebanyakan seseorang baru layak dibiografikan ketika sudah tua atau sudah meninggal dunia. Tapi, meskipun sangat belia, cerita tentang malala sangat layak untuk dibaca. Malala memberi inspirasi, kalau harapan kadang muncul dari tempat tidak terduga, tidak terkecuali dari medan peperangan.[]

Wednesday, April 30, 2014

Alquran dan Problem Kemasyarakatan

Oleh: Imron Hakiki*




[Judul Buku: Al-Qur’an dan Isu-Isu Aktual | Pengarang: Mahasiswa IAT angkatan 2010 | Penerbit: IDEA Press | Cetakan: 2013 | Tebal: xxvi, 202 Halaman] 

Alquran merupakan kitab pegangan umat beragama Islam. Banyak bentuk dan cara dalam menggali makna Alquran dengan tujuan untuk mencari kesesuaian dengan konteks dan kultur di masing-masing masyarakat. Hal tersebut timbul sebab kepercayaan umat muslim bahwa Alquran bukan sekedar sebuah kitab suci yang sekedar harus diimani, tetapi sebagai way of life yang senantiasa hadir direlung-relung kehidupan. Fakta ini kemudian melahirkan sebuah adagium bahwa Alquran shâlih li kull zamân wa makân (hlm. 01). 

Alquran dan Isu-Isu Aktual merupakan buku kumpulan karya ilmiah tentang isu-isu yang berkembang di masyarakat, dikaitkan dengan perspektif Al-Quran, di mana ini merupakan salah satu bentuk penggalian makna dari Alquran. Bermodalkan kemampuan yang dimiliki dalam bidang Alquran dan tafsir, mahasiswa jurusan Ilmu Alquran dan tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta angkatan 2010 mencoba mengangkat persoalan sosial kemasyarakatan sebagai obyek observasi. Persoalan yang dianggap kerap menggelisahkan tersebut meliputi radikalisme agama, perbedaan agama, korupsi, perbudakan, dan mode busana yang menyimpang dari norma-norma agama.
Powered by Blogger.

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top