Profil KH Yahya Syabrawi
KH Yahya Syabrawi lahir pada tahun 1907 di desa Tattat Sampang Madura. Ibu beliau Nyai Latifah putri KH Isma’il (Ombul Sampang Madura), ayahnya bernama KH Syabrawi (Sampang). Pengalaman pendidikan beliau dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu:
1) Yahya kecil mulai menempa ilmu dasar-dasar agama dengan belajar kepada orang tuanya sendiri, KH Syabrawi.
2) Kemudian menginjak dewasa, beliau nyantri kepada kiai Makki Sampang selama delapan tahun. Di pondok pesantren ini, Yahya muda diperintahkan oleh kiainya untuk membantu mengajar, karena dipandang punya prestasi lebih dibanding santri yang lainnya.
3) Kemudian, beliau melanjutkan rihlah ilmiahnya (perjalanan keilmuan) ke pondok pesantren Panji Sidoarjo Surabaya yang disuh oleh KH Khozin.
Pada tahun 1937, beliau mengikuti pamannya yang berada di desa Ganjaran. Sewaktu berada di tempat ini, akhirnya beliau dikawinkan oleh KH Bukhori Isma’il dengan putrinya yang tidak lain adalah saudara sepupu sendiri. Tetapi, meski sudah menempuh hidup baru keinginan untuk terus memburu ilmu masih tetap membara dalam hatinya. Hal ini terbukti, beliau masih sering mengikuti pengajian kilatan di bulan puasa kepada gurunya di Sidoarjo. “Itulah kesemangatan kiai Yahya dalam hal ilmu. Ya begitu, beliau membawa kopi, gula dan segala macam keperluan sehari-hari di pondok,” demikian cerita H Ali Rohmat, salah satu menantu KH Zainulloh Bukhori dari Karang Ploso Batu.
Keluarga yang dibina kiai Yahya boleh dianggap sebagai keluarga besar, karena sebagaimana lazimnya orang dahulu, kiai Yahya memiliki putra-putri lebih dari sepuluh orang. Daftar nama di bawah ini menggambarkan putra beliau:
PUTRA-PUTRI KH YAHYA SYABRAWI
|
||||
NO
|
Nama
|
Hari
|
Tahun
|
Keterangan
|
01
|
Khozin
|
Kamis
|
1939
|
Lahir
|
1999
|
Wafat
|
|||
02
|
Rosyidah
|
Wafat pada umur 9 tahun
|
||
03
|
Asyiyah
|
Ahad
|
1943
|
Lahir
|
Wafat
|
||||
04
|
Munighoh
|
Kamis
|
1946
|
Lahir
|
Wafat tanpa keterangan
|
||||
05
|
Ahmad Hariri
|
Kamis
|
1948
|
Lahir
|
06
|
Hamimah
|
Kamis
|
1953
|
Lahir
|
07
|
M. Sa’id
|
Kembar, satunya wafat keguguran
|
||
08
|
M. Syakur
|
Sabtu
|
1955
|
Lahir
|
Wafat tanpa keterangan
|
||||
09
|
Mahmudah
|
Rabu
|
1958
|
Lahir
|
Wafat tanpa keterangan
|
||||
10
|
Qosidah
|
Senin
|
1959
|
Lahir
|
1965
|
Wafat
|
|||
11
|
Ghoniyah
|
Ahad
|
1960
|
Lahir
|
12
|
Khosyi’ah
|
Rabu
|
1963
|
Lahir
|
13
|
Jazilah
|
Ahad
|
1963
|
Lahir
|
Wafat pada waktu kecil
|
||||
14
|
Mukhlis
|
Kamis
|
1966
|
Lahir
|
15
|
M. Madarik
|
Senin
|
1972
|
Lahir
|
Setelah
kurang lebih sepuluh tahun beliau mukim di desa Ganjaran, beliau mulai merintis
madrasah Miftahusyibyan yang kelak kemudian hari bernama Raudlatul Ulum.
“Perubahan nama itu atas istikharah KH Khozin. Ya putra kiai Yahya sendiri,”
kata kiai Romli dari Madura. Lembaga sekolah yang dibuka oleh kiai Yahya itu
atas perintah kiai Bukhori Ismail dengan bantuan para tokoh masyarakat kala
itu, diantaranya KH As’ad (pendiri pesantren Miftahul Ulum), KH Qoffal Muhammad
(mertua KH Qoffal Syabrawi), Hafidz Abdurrozak (seorang alumni Gontor), Bapak
Dumyati dari Jombang.
Pada awalnya pelaksanaan kegiatan pendidikan diadakan di rumah penduduk dan rumah ibadah. Diantara lokasi yang dijadikan tempat proses pembelajaran itu adalah rumah Nyai Zakariya dan musholla KH Ahmad Hambali. Tetapi berkat kegigihan para kiai tersebut dalam memperjuangkan munculnya sebuah pendidikan di desa yang dikenal sebagai salah satu tempat penghasil tebu terbaik itu, akhirnya Kepala Desa H Abdurrahman ketika itu turun tangan mengupayakan tanah waqof untuk lahan gedung madrasah.
Pada masa awal, pendidikan di madrasah ini menggunakan metode ala salaf. Bahkan kebiasaan siswa dalam belajar juga masih berperilaku santri kuno seperti, sarung dan bakiak. Tetapi karena perkembangan zaman, kiai Yahya dengan dibantu oleh beberapa tokoh lainnya, antara lain Drs KH Mursyid Alifi (menantunya), kemudian berinisiatif mengembangkan pengetahuan dalam madrasah dengan memasukkan kurikulum dari pemerintah. Semenjak itulah madrasah Raudlatul Ulum semakin pesat perkembangannya dan diminati masyarakat, karena dinilai masyarakat RU merupakan lembaga pendidikan yang mampu menempatkan diri di ruang dan waktu sesuai tuntutan perkembangan zaman. Selanjutnya, pada tahun 1985 kiai Yahya bersama KH Utsman Mansoer, salah satu pendiri Unisma Malang, membuka Fakultas Syari’ah Unisma di desa Putat Lor. Fakultas yang kini menjadi STAI Al-Qolam itu dimaksudkan untuk menjadi jenjang lanjutan bagi aliyah rintisannya dan madrsah aliyah yang lain.
Di samping merintis sebuah sekolah, pada tahun 1949 kiai yang wafat di RSI Gondanglegi itu juga mendirikan pondok pesantren Raudlatul Ulum. Kemudian KH Yahya Syabrawi bersama istri, Ny Hj Mamnunah pindah dari rumah mertuanya, KH Bukhori Ismail, untuk mendirikan pondok pesantren. Di tempat tinggal barunya yang terletak sebelah selatan dari rumah mertuanya itu, KH Yahya menampung para santri yang belajar di madrasah untuk diberikan pendalaman ilmu-ilmu yang sudah didapat di madrasah secara lebih intensif lagi. Akhirnya KH Yahya Syabrawi dengan dibantu masyarakat sekitar mendirikan sebuah asrama atau pemukiman para santri, yang kemudian hari lebih dikenal dengan nama Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I, atau disingkat dengan sebutan PPRU I.
Pada awal berdirinya Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I hanya memiliki sepuluh orang santri yang menempati asrama sederhana yang terbuat dari bambu dan kayu dengan atap daun tebu. Kesepuluh orang itu antara lain adalah Ahmad Hambali, Ismail (H Mahmudi), Sukri (H Jumaidi) dan Kurdi. Namun sejalan dengan perputaran masa, grafik santri terus menanjak, hingga pada tahun 1969-1970 jumlah santri mencapai 240 orang.
Di lingkungan pondok pesantren ini kiai Yahya membina para santrinya dengan berbagai pengajian kitab kuning. Sebagaimana pesantren salaf lain, salah satu kiai yang ikut memprakarsai berdirinya RSI Gondanglegi itu menjadikan kitab tafsir Jalalain, kitab hadits Riyadhussholihin dan kitab nahwu-shorof Ibnu Aqiel sebagai kitab bacaan rutin yang terus diulang tatkala sudah khatam. Ketiga kitab klasik ini dibaca usai sholat Maghrib hingga menjelang Isya’. Sehabis sholat Dhuhur, beliau membaca al-Iqna’ dan ditambah kitab kecil lainnya dengan metode sorogan.
Perhatian beliau terhadap kegiatan belajar para santri sangat besar sekali, terutama masalah sekolah ke madrasah. Hal ini tampak pada “kloning besi” yang berada di samping kamar beliau selalu ditabuh tatkala jarum jam menunjukkan pukul 07:00 wib. Setelah itu, beliau mengontrol keberangkatan para santri, hingga kadang ke kamar-kamar mereka. “Waduh, kalau beliau sudah mengontrol ke kamar-kamar teman-teman morat-marit berhamburan. Bahkan, ada yang melompat dari lantai atas, padahal ia sedang sakit. Saking takutnya,” ungkap kiai Mastuki, salah satu santri asal Pagedangan Sumber Manjing.
Satu hal lain yang menjadi perhatian serius dari kiai Yahya ialah masalah sopan santun santri terutama begaimana sikap mereka kepada kedua orang tuanya. Hal pertama menyangkut kesopanan kepada kedua orang tua yang selalu ditekankan oleh beliau adalah persoalan cara bicara kepada mereka, hingga sampai beliau pernah berkata :”Tenimbeng tang santreh tak abesah ke oreng tuanah, ango’ tak abesah ke sengko’ (ketimbang santri saya tidak berbahasa halus kepada orang tuanya, lebih baik tidak usah berbahasa halus kepada saya).”
Ulama yang dikaruniai 15 putra itu dikenal oleh santri-santrinya sebagai sosok kiai yang sangat istiqomah dalam menjaga sholat berjamaah. Menurut riwayat dari salah satu alumni, beliau akan mengajak sholat anak kecil sekalipun, bila ketinggalan berjemaah. Kedisiplinan beliau ini tidak saja pada persoalan sholat berjemaah, tetapi hingga pada bangun malam beliau selalu menjaga waktu. Sudah menjadi kebiasaan, beliau bangun pada jam 1 malam untuk mengambil wudlu’. Menurut ibu Nyai Mamnunah, pada awalnya beliau bangun jam 3 malam, tapi menginjak semakin sepuh, beliau bangun sekitar jam satu. Tidak itu saja, ke-istiqomah-an beliau tampak pada hampir semua doa harian sebagaimana tuntunan dalam kitab. Mulai dari doa mau tidur, bangun tidur, masuk kamar kecil, doa setelah wudlu’, hingga doa naik kendaraan beliau baca. Bahkan jika turun hujan pertama dari musim kemarau, beliau mandi berhujan-hujan sebagaimana disunnahkan.
Oleh karena istiqomah inilah, maka tidak heran dalam pandangan para alumni, kiai yang memanggil istrinya dengan sebutan “Kho” ini kadang memiliki penglihatan basyiroh (mata hati). Pernah suatu hari, menurut cerita Ustadz Isma’il Fathulloh dari Boro, Ustadz berperawakan kurus ini berniat membeli tv untuk keluarganya. Sesampainya di gerbang timur pesantren, kiai Yahya memanggil dan memegang pundaknya sambil berkata; ”Kalau mau jadi anakku, jangan beli tv!” Padahal ia belum mengucapkan sepatah katapun.
Lain lagi cerita kiai Romli dari Madura. Ia pernah disuruh oleh kiai Yahya meminta uang kepada Kepala Desa. Sambil berjalan menuju gerbang pesantren sebelah selatan, santri gemuk ini bergumam dalam hati, “katanya uang negara haram. Tapi saya disuruh minta.” Spontan kiai Yahya memanggilnya, ”Heh, itu bukan uang negara. Itu uang tebuku yang ada di bapak Kepala Desa !” hardik beliau dengan keras.
Beliau wafat hari Jumat 27 November 1987, jam 18: 30 WIB. Semoga ilmu dan istiqomahnya tetap mengalir pada santri-santrinya. Amin.
Profil Ponpes Raudlatul Ulum I.
Lembaga pendidikan ini bernama Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I, selanjutnya disingkat PPRU I, merupakan pesantren yang didirikan di desa Ganjaran Kecamatan Gondanglegi Kabupaten Malang pada tahun 1949 M/1368 H., oleh KH. Yahya Syabrawi. Pondok Pesantren ini berkedudukan di Jalan Sumber Ilmu nomor 127 Desa Ganjaran kecamatan Gondanglegi Kabupaten Malang.
Pondok Pesantren ini beraqidah Islamiyah ‘ala Ahlussunnah Wal Jama’ah, dan berazaskan al-Quran, al-Hadits, al-Ijma’ dan al-Qiyas serta bersifat kekeluargaan, kemasyarakatan dan keagamaan.
Pondok pesantren ini berfungsi:
1. Sebagai wadah menuntut ilmu pengetahuan untuk melanjutkan nilai-nilai perjuangan agama, bangsa dan negara.
2. Sebagai tempat kaderisasi putra dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan keterampilan untuk kelangsungan syari’at Islam dimuka bumi.
3. Sebagai wadah penghimpun putra Islam dalam upaya memperkokoh ukhuwah basyariyah, ukhwah islamiyah dan ukhwah wathoniyah.
Pondok Pesantren ini bertujuan:
1. Membentuk pribadi muslim yang bertaqwa kepada Allah SWT., berilmu, berakhlaqul karimah, berwawasan kebangsaan serta bertanggung jawab atas tegak dan terlaksananya syari’at Islam menurut faham “aswaja” dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang berdasarkan pancasila dan UUD. 1945.
2. Menciptakan keseimbangan dan kesempurnaan pendidikan jasmani dan rohani, mental dan kepribadian yang luhur.
3. Menanamkan panca jiwa santri yang luhur yaitu: (a) Keikhlasan dan kesadaran.(b) Kesederhanaan.(c) Kemandirian. (d) Persatuan dan kesatuan. (e) Penegakan amar ma’ruf nahi mungkar.
Pada awalnya pelaksanaan kegiatan pendidikan diadakan di rumah penduduk dan rumah ibadah. Diantara lokasi yang dijadikan tempat proses pembelajaran itu adalah rumah Nyai Zakariya dan musholla KH Ahmad Hambali. Tetapi berkat kegigihan para kiai tersebut dalam memperjuangkan munculnya sebuah pendidikan di desa yang dikenal sebagai salah satu tempat penghasil tebu terbaik itu, akhirnya Kepala Desa H Abdurrahman ketika itu turun tangan mengupayakan tanah waqof untuk lahan gedung madrasah.
Pada masa awal, pendidikan di madrasah ini menggunakan metode ala salaf. Bahkan kebiasaan siswa dalam belajar juga masih berperilaku santri kuno seperti, sarung dan bakiak. Tetapi karena perkembangan zaman, kiai Yahya dengan dibantu oleh beberapa tokoh lainnya, antara lain Drs KH Mursyid Alifi (menantunya), kemudian berinisiatif mengembangkan pengetahuan dalam madrasah dengan memasukkan kurikulum dari pemerintah. Semenjak itulah madrasah Raudlatul Ulum semakin pesat perkembangannya dan diminati masyarakat, karena dinilai masyarakat RU merupakan lembaga pendidikan yang mampu menempatkan diri di ruang dan waktu sesuai tuntutan perkembangan zaman. Selanjutnya, pada tahun 1985 kiai Yahya bersama KH Utsman Mansoer, salah satu pendiri Unisma Malang, membuka Fakultas Syari’ah Unisma di desa Putat Lor. Fakultas yang kini menjadi STAI Al-Qolam itu dimaksudkan untuk menjadi jenjang lanjutan bagi aliyah rintisannya dan madrsah aliyah yang lain.
Di samping merintis sebuah sekolah, pada tahun 1949 kiai yang wafat di RSI Gondanglegi itu juga mendirikan pondok pesantren Raudlatul Ulum. Kemudian KH Yahya Syabrawi bersama istri, Ny Hj Mamnunah pindah dari rumah mertuanya, KH Bukhori Ismail, untuk mendirikan pondok pesantren. Di tempat tinggal barunya yang terletak sebelah selatan dari rumah mertuanya itu, KH Yahya menampung para santri yang belajar di madrasah untuk diberikan pendalaman ilmu-ilmu yang sudah didapat di madrasah secara lebih intensif lagi. Akhirnya KH Yahya Syabrawi dengan dibantu masyarakat sekitar mendirikan sebuah asrama atau pemukiman para santri, yang kemudian hari lebih dikenal dengan nama Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I, atau disingkat dengan sebutan PPRU I.
Pada awal berdirinya Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I hanya memiliki sepuluh orang santri yang menempati asrama sederhana yang terbuat dari bambu dan kayu dengan atap daun tebu. Kesepuluh orang itu antara lain adalah Ahmad Hambali, Ismail (H Mahmudi), Sukri (H Jumaidi) dan Kurdi. Namun sejalan dengan perputaran masa, grafik santri terus menanjak, hingga pada tahun 1969-1970 jumlah santri mencapai 240 orang.
Di lingkungan pondok pesantren ini kiai Yahya membina para santrinya dengan berbagai pengajian kitab kuning. Sebagaimana pesantren salaf lain, salah satu kiai yang ikut memprakarsai berdirinya RSI Gondanglegi itu menjadikan kitab tafsir Jalalain, kitab hadits Riyadhussholihin dan kitab nahwu-shorof Ibnu Aqiel sebagai kitab bacaan rutin yang terus diulang tatkala sudah khatam. Ketiga kitab klasik ini dibaca usai sholat Maghrib hingga menjelang Isya’. Sehabis sholat Dhuhur, beliau membaca al-Iqna’ dan ditambah kitab kecil lainnya dengan metode sorogan.
Perhatian beliau terhadap kegiatan belajar para santri sangat besar sekali, terutama masalah sekolah ke madrasah. Hal ini tampak pada “kloning besi” yang berada di samping kamar beliau selalu ditabuh tatkala jarum jam menunjukkan pukul 07:00 wib. Setelah itu, beliau mengontrol keberangkatan para santri, hingga kadang ke kamar-kamar mereka. “Waduh, kalau beliau sudah mengontrol ke kamar-kamar teman-teman morat-marit berhamburan. Bahkan, ada yang melompat dari lantai atas, padahal ia sedang sakit. Saking takutnya,” ungkap kiai Mastuki, salah satu santri asal Pagedangan Sumber Manjing.
Satu hal lain yang menjadi perhatian serius dari kiai Yahya ialah masalah sopan santun santri terutama begaimana sikap mereka kepada kedua orang tuanya. Hal pertama menyangkut kesopanan kepada kedua orang tua yang selalu ditekankan oleh beliau adalah persoalan cara bicara kepada mereka, hingga sampai beliau pernah berkata :”Tenimbeng tang santreh tak abesah ke oreng tuanah, ango’ tak abesah ke sengko’ (ketimbang santri saya tidak berbahasa halus kepada orang tuanya, lebih baik tidak usah berbahasa halus kepada saya).”
Ulama yang dikaruniai 15 putra itu dikenal oleh santri-santrinya sebagai sosok kiai yang sangat istiqomah dalam menjaga sholat berjamaah. Menurut riwayat dari salah satu alumni, beliau akan mengajak sholat anak kecil sekalipun, bila ketinggalan berjemaah. Kedisiplinan beliau ini tidak saja pada persoalan sholat berjemaah, tetapi hingga pada bangun malam beliau selalu menjaga waktu. Sudah menjadi kebiasaan, beliau bangun pada jam 1 malam untuk mengambil wudlu’. Menurut ibu Nyai Mamnunah, pada awalnya beliau bangun jam 3 malam, tapi menginjak semakin sepuh, beliau bangun sekitar jam satu. Tidak itu saja, ke-istiqomah-an beliau tampak pada hampir semua doa harian sebagaimana tuntunan dalam kitab. Mulai dari doa mau tidur, bangun tidur, masuk kamar kecil, doa setelah wudlu’, hingga doa naik kendaraan beliau baca. Bahkan jika turun hujan pertama dari musim kemarau, beliau mandi berhujan-hujan sebagaimana disunnahkan.
Oleh karena istiqomah inilah, maka tidak heran dalam pandangan para alumni, kiai yang memanggil istrinya dengan sebutan “Kho” ini kadang memiliki penglihatan basyiroh (mata hati). Pernah suatu hari, menurut cerita Ustadz Isma’il Fathulloh dari Boro, Ustadz berperawakan kurus ini berniat membeli tv untuk keluarganya. Sesampainya di gerbang timur pesantren, kiai Yahya memanggil dan memegang pundaknya sambil berkata; ”Kalau mau jadi anakku, jangan beli tv!” Padahal ia belum mengucapkan sepatah katapun.
Lain lagi cerita kiai Romli dari Madura. Ia pernah disuruh oleh kiai Yahya meminta uang kepada Kepala Desa. Sambil berjalan menuju gerbang pesantren sebelah selatan, santri gemuk ini bergumam dalam hati, “katanya uang negara haram. Tapi saya disuruh minta.” Spontan kiai Yahya memanggilnya, ”Heh, itu bukan uang negara. Itu uang tebuku yang ada di bapak Kepala Desa !” hardik beliau dengan keras.
Beliau wafat hari Jumat 27 November 1987, jam 18: 30 WIB. Semoga ilmu dan istiqomahnya tetap mengalir pada santri-santrinya. Amin.
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
Profil Ponpes Raudlatul Ulum I.
Lembaga pendidikan ini bernama Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I, selanjutnya disingkat PPRU I, merupakan pesantren yang didirikan di desa Ganjaran Kecamatan Gondanglegi Kabupaten Malang pada tahun 1949 M/1368 H., oleh KH. Yahya Syabrawi. Pondok Pesantren ini berkedudukan di Jalan Sumber Ilmu nomor 127 Desa Ganjaran kecamatan Gondanglegi Kabupaten Malang.
Pondok Pesantren ini beraqidah Islamiyah ‘ala Ahlussunnah Wal Jama’ah, dan berazaskan al-Quran, al-Hadits, al-Ijma’ dan al-Qiyas serta bersifat kekeluargaan, kemasyarakatan dan keagamaan.
Pondok pesantren ini berfungsi:
1. Sebagai wadah menuntut ilmu pengetahuan untuk melanjutkan nilai-nilai perjuangan agama, bangsa dan negara.
2. Sebagai tempat kaderisasi putra dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan keterampilan untuk kelangsungan syari’at Islam dimuka bumi.
3. Sebagai wadah penghimpun putra Islam dalam upaya memperkokoh ukhuwah basyariyah, ukhwah islamiyah dan ukhwah wathoniyah.
Pondok Pesantren ini bertujuan:
1. Membentuk pribadi muslim yang bertaqwa kepada Allah SWT., berilmu, berakhlaqul karimah, berwawasan kebangsaan serta bertanggung jawab atas tegak dan terlaksananya syari’at Islam menurut faham “aswaja” dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang berdasarkan pancasila dan UUD. 1945.
2. Menciptakan keseimbangan dan kesempurnaan pendidikan jasmani dan rohani, mental dan kepribadian yang luhur.
3. Menanamkan panca jiwa santri yang luhur yaitu: (a) Keikhlasan dan kesadaran.(b) Kesederhanaan.(c) Kemandirian. (d) Persatuan dan kesatuan. (e) Penegakan amar ma’ruf nahi mungkar.
Untuk mencapai tujuannya Pondok Pesantren ini berusaha:
1. Membina dan meningkatkan kedisiplinan serta kesadaran Santri dalam
melaksanakan segala hak dan tanggung jawab sebagai pribadi dan anggota santri
dalam rangka pengembangan pengamalan syari’at Islam ahlussunnah wal jama’ah.
2. Mengembangkan sumberdaya santri melalui pendekatan keagamaan,
keilmuan serta keterampilan sebagai wujud partisipasi dalam menunjang program pesantren.
3. Mengupayakan tercapainya tujuan Pondok Pesantren dengan menyusun
landasan program perjuangan relevansi dengan perkembanagn masyarakat.
4. Mengupayakan jalinan komunikasi dengan pihak luar selama hal
tersebut tidak merugikan dan tidak bertentangan AD/ART.
Lambang Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I:
Makna lambang adalah:
1.
Lambang Pondok Pesantren
“Raudlatul Ulum” I berbentuk segi lima yang berarti rukun Islam dan dasar
Negara Pancasila
2.
Warna dasar hijau, dan dua
garis berwarna hitam pada bagian luar menggambarkan nurani yang sejuk
mendamaikan di dalam bingkai rukun iman, Islam dan nilai-nilai Pancasila.
3.
Dibagian atas tercantum tulisan
Pondok Pesantren “Raudlatul Ulum” pada helai pita berwarna putih menunjukkan
seluruh dimensi kehidupan selalu dipayungi oleh berkah guru dan mencerminkan
keberlangsungan hubungan kekeluargaan sepanjang masa.
4.
Dibawahnya terdapat bintang
sembilan setengah melingkar sejajar yang paling atas lebih besar dari yang
lain, dan semuanya berwarna kuning memperlihatkan arti Nabi Muhammad, para khulafa’urrosyidin
dan empat madzhab fiqh, atau bermakna pengakuan dan penghormatan kepada wali
songo di bumi nusantara.
5.
Lurus dibawah bintang paling
kanan terdapat menara masjid berwarna putih berarti kehidupan harus berpusat
pada semangat eksistensi masjid.
6.
Disebelah kiri menara masjid
terdapat gambar ka’bah berwarna hitam bermakna seluruh aspek kehidupan menyatu
dalam kiblat iman, islam dan ihsan sebagaimana ajaran Nabi Muhammad SAW.
7.
Seperempat bumi diatas sayap
burung dengan warna dasar biru dan garis bumi berwarna hitam menunjukkan orientasi
nilai-nilai ajaran guru diaplikasikan secara membumi.
8.
Burung dara (merpati) sedang
mengepakkan sayapnya berwarna putih dan moncong yang sedang menghadap kepada
wadah tinta yang berwarna hitam berarti semangat belajar tanpa henti dan terus
menerus menyebarkan misi dakwah dan keilmuan.
9.
Di bawah sayap bagian kanan
terdapat lambang buku terbuka, dan pada bagian kiri terdapat gambar tumpukan
buku, yang semuanya berwarna hitam bermakna Al-Qur’an dan hadits sebagai dasar
keilmuan dan sikap yang dikembangkan atau berarti semua cara berfikir, dan
berperilaku dilandaskan kepada validitas referensial yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
10. Dibawah tinta terdapat hurup “PPRU I” dengan titik diataranya
berwarna hitam menegaskan singkatan nama dan urutan dari sekian Pondok
Pesantren Raudlatul Ulum.
11. Pada bagian paling bawah tercantum tulisan “GANJARAN GONDANGLEGI
MALANG” menandaskan lokasi PPRU I secara geografis.
TATA
TERTIB/UNDANG-UNDANG
PONDOK
PESANTREN “RAUDLATUL ULUM I”
GANJARAN
GONDANGLEGI MALANG
Bab
I
Kewajiban
Umum
Pasal
1
1.
Semua santri wajib menjaga nama
baik Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I.
2.
Semua santri wajib taat dan
disiplin terhadap Undang-undang Pondok.
3.
Semua santri wajib menjalin
persatuan dan kesatuan Pondok.
4.
Semua santri wajib berakhlak
karimah.
5.
Semua santri wajib menjaga
kebersihan dan keamanan Pondok.
Bab
II
Kewajiban
Khusus
Pasal
2
1.
Semua santri wajib sholat
berjamaah dengan wiridan sampai selesai.
2.
Semua santri wajib mengikuti
musyawarah pada jam yang telah ditentukan.
3.
Semua santri wajib mengaji dan
bersekolah.
4.
Semua santri wajib melaksanakan
piket malam sesuai dengan ketentuan.
5.
Semua santri wajib ikut serta
kerja bakti untuk memelihara kebersihan.
6.
Semua santri wajib bersopan
santun, terutama kepada tamu.
Pasal
3
1.
Semua santri wajib memiliki
kartu anggota dan lencana Pondok.
2.
Semua santri wajib memenuhi
administrasi Pondok.
3.
Semua santri diperkenankan
pulang atau bepergian, apabila mendapat surat izin resmi.
4.
Semua santri setiap keluar
kompleks pesantren harus memakai lencana Pondok.
Bab
III
Larangan
Pasal
4
1.
Semua santri dilarang pergi ke
pasar selain hari Jumat.
2.
Semua santri dilarang keluar
kompleks Pondok sesudah jam 22:00 WIB untuk santri putra dan jam 17:00 WIB
untuk santri putri sekalipun menghadiri pengajian umum terkecuali mendapat
izin.
3.
Semua santri dilarang nonton
TV.
4.
Semua santri dilarang berolah
raga di luar waktu yang telah ditentukan.
5.
Semua santri dilarang makan di
warung sekalipun indekos.
6.
Bagi santri putri dilarang
menerima kiriman di luar kompleks Pondok Raudlatul Ulum I.
Pasal
5
1.
Semua santri dilarang keras
berbuat mungkarot seperti ghosab, mencuri atau melihat tontonan.
2.
Semua santri dilarang keras
mengadakan hubungan putra-putri yang bukan mahram.
Bab
IV
Sanksi
Pasal
6
1.
Setiap pelanggaran Tata Tertib
dikenai sanksi selaras dengan pelanggarannya, berupa peringatan, hukuman,
skorsing, pemecatan dan pengusiran.
Bab
V
Lain-lain
Pasal
7
1.
Hal-hal yang belum diatur dalam
Tata Tertib atau Undang-undang ini akan ditetapkan melalui peraturan khusus.
Demikian Undang-undang PPRU I, harap ditaati dan diperhatikan.
Pengasuh PPRU I, Pengurus
PPRU I,
KH Yahya Syabrawi Drs.
H.A. Mursyid Alifi
Keanggotaan Pondok Pesantren ini meliputi:
Setiap orang yang beragama Islam yang menetap dan/atau belajar di
Pondok Pesantren ini, keberadaannya direstui oleh pengasuh dan menyetujui
terhadap AD/ART Pondok Pesantren dan/atau peraturan dapat diterima menjadi
anggota sah
Struktur organisasi secara hirarkis yang ada dilingkungan Pondok
Pesantren ini terdiri dari:
1. Pembina
2. Pengasuh Utama
3. Dewan Pengasuh
4. Pengurus Yayasan Kiai Haji Yahya Syabrawi
5. Pengurus Pesantren
Kelengkapan struktur kepengurusan pesantren dan tata tertib diatur
di dalam AD/ART dan/atau instruksi Pengasuh/Dewan Pengasuh, kesepakatan, atau
peraturan Pengurus.
Sikap Politik
Sebagai bagian dari masyarakat, Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I tidak akan lepas dari kehidupan kemasyarakatan, termasuk masalah politik. Sikap yang diambil oleh pengasuh PPRUI berkaitan dengan persoalan politik beragam dari masa ke masa. Keragaman ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan kondisi yang memunculkan untung-rugi (mashlah wa mafsadah) terhadap kelembagaan, keagamaan dan keorganisasian. Organisasi yang dimaksud adalah organisasi kemasyarakatan, NU, yang menjadi kumpulan induk hampir semua pesantren, termasuk PPRU I.
Oleh karena itulah, pada zaman KH Yahya Syabrawi, PPRUI dengan tegas mendukung PPP yang kala itu menjadi representasi partai politik bagi umat Islam, terutama warga NU. Tetapi ketika kran politik bangsa mulai terbuka ditandai dengan era reformasi pada tahun 1998, pada awalnya KH Khozin Yahya mengarahkan dukungannya kepada PKB, karena partai ini dinilai dibidani oleh para tokoh NU. Setelah keberpihakan kepada politik dianggap kurang menguntungkan terhadap eksistensi pendidikan PPRU I, dan harmonisasi hubungan keluarga, dan alumni, serta atas pertimbangan beberapa anggota keluarga PPRU I, maka sosok pengganti kiai Yahya itu bersama Dewan Pengasuh lainnya memilih posisi netral dengan mengeluarkan Surat Pernyataan yang ditanda-tangani oleh Pengasuh Utama dan Dewan Pengasuh. Tetapi netralitas yang dipilih itu dilakukan secara kelembagaan, oleh karena itulah keputusan tersebut bukan berarti memberangus hak berpolitik seseorang. Berdasarkan nalar ini, kegiatan-kegiatan yang bernuansa politis menjadi tetap absah jika dilakukan salah satu Dewan Pengasuh mengatasnamakan pribadi.
Sebagai bagian dari masyarakat, Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I tidak akan lepas dari kehidupan kemasyarakatan, termasuk masalah politik. Sikap yang diambil oleh pengasuh PPRUI berkaitan dengan persoalan politik beragam dari masa ke masa. Keragaman ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan kondisi yang memunculkan untung-rugi (mashlah wa mafsadah) terhadap kelembagaan, keagamaan dan keorganisasian. Organisasi yang dimaksud adalah organisasi kemasyarakatan, NU, yang menjadi kumpulan induk hampir semua pesantren, termasuk PPRU I.
Oleh karena itulah, pada zaman KH Yahya Syabrawi, PPRUI dengan tegas mendukung PPP yang kala itu menjadi representasi partai politik bagi umat Islam, terutama warga NU. Tetapi ketika kran politik bangsa mulai terbuka ditandai dengan era reformasi pada tahun 1998, pada awalnya KH Khozin Yahya mengarahkan dukungannya kepada PKB, karena partai ini dinilai dibidani oleh para tokoh NU. Setelah keberpihakan kepada politik dianggap kurang menguntungkan terhadap eksistensi pendidikan PPRU I, dan harmonisasi hubungan keluarga, dan alumni, serta atas pertimbangan beberapa anggota keluarga PPRU I, maka sosok pengganti kiai Yahya itu bersama Dewan Pengasuh lainnya memilih posisi netral dengan mengeluarkan Surat Pernyataan yang ditanda-tangani oleh Pengasuh Utama dan Dewan Pengasuh. Tetapi netralitas yang dipilih itu dilakukan secara kelembagaan, oleh karena itulah keputusan tersebut bukan berarti memberangus hak berpolitik seseorang. Berdasarkan nalar ini, kegiatan-kegiatan yang bernuansa politis menjadi tetap absah jika dilakukan salah satu Dewan Pengasuh mengatasnamakan pribadi.
Sumber: Diolah dari berbagai sumber.
0 komentar:
Post a Comment