Oleh: Syari'ati Masyithoh
Otvai
adalah Desa yang pernah saya tempati untuk mengabdikan diri selama satu tahun
dalam program SM-3T angkatan IV di Kabupaten Alor, Provinsi NTT. SM-3T adalah program
pengabdian sarjana pendidikan untuk berpartisipasi
dalam mengatasi permasalahan pendidikan, percepatan pembangunan pendidikan di
daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) dan penyiapan pendidik
profesional yang berlangsung selama satu tahun (Kemendikbud Dikti, 2014: 2).
Di
tempat terluar dari bagian NKRI itulah, saya diberikan kepercayaan untuk
mendidik anak-anak PAUD Gemsana yang merupakan satu-satunya PAUD yang ada di
Desa Otvai. PAUD yang sudah berdiri sejak tahun 2009 belum memiliki gedung, sehingga
proses belajar mengajar dilakukan di salah satu sudut ruangan Kantor Desa. Ruangan
yang sempit dengan jumlah siswa 40 anak membuat kegiatan belajar mengajar
kurang kondusif. Ketika duduk saja anak-anak harus “berdempet-dempetan”,
sehingga sering dijumpai anak-anak “baku marah dan baku pukul” yang artinya
saling marah dan memukul karena ruang geraknya terbatas.
Pertama
kali saya masuk kelas, hanya saya jumpai satu lembar karpet yang sudah lusuh,
kepingan puzzle yang tidak lengkap, satu meja guru yang mulai lapuk, atap
yang berlubang dan jendela kelas yang tidak bisa terbuka karena rusak. Tak
dijumpai satupun buku cerita yang bisa dibaca anak-anak bahkan buku bacaan
untuk guru. Anak-anak hanya datang untuk menyanyi kemudian dipulangkan kembali
tanpa diberikan kegiatan yang dapat menstimulasi perkembangan kognitif, fisik
motorik, sosial-emosional, dll.
Tidak
hanya tak memiliki gedung, sekolah itu pun tidak memiliki guru lulusan dari S1
PG PAUD. Semua guru merupakan ibu rumah tangga yang memiliki panggilan secara
sukarela untuk mendidik anak-anak yang ada di Desanya. Karena sukarela dan
tidak dibayar, tak jarang mereka tidak
datang untuk mengajar. Pengetahuan guru mengenai pengelolaan PAUD masih sangat
minim, bahkan ketika saya tanyakan tentang kurikulum yang dipakai, mereka bingung,
“kurikulum itu apa?” katanya. Jarangnya mengikuti pelatihan atau diklat
mengenai PAUD membuat guru kurang memahami bagaimana menyusun silabus seperti
Rencana Kegiatan Harian (RKH). Padahal menyusun Rencana Kegiatan Harian (RKH)
merupakan suatu keharusan yang wajib disusun oleh seorang guru. Kegiatan di Kelas
hanya menyanyi dan kurang variatif. Tidak hanya membuat anak bosan, bahkan
orang tua yang menunggui anaknya pun bosan, sehingga banyak orang tua yang lebih memilih anaknya diajak
ke Kebun daripada mengantarnya ke Sekolah.
Banyak
saya jumpai ketika di Sekolah ingus anak-anak memenuhi pipinya, sehingga wajahnya
“kamomos” alias banyak debu yang menempel di wajah, bahkan ada yang sampai
kering memenuhi hidungnya. Budaya bersih masih rendah, salah satu faktornya
adalah kurangnya ketersediaan air di daerah tersebut. Untuk menuju sumber mata
air saja harus berjalan kaki sejauh ± 2 km. Selain itu, sikap kasar terhadap
anak yang dilakukan oleh orang tua masih sering dijumpai. Bahkan mereka tidak
segan-segan memukul, muncubit, bahkan mengeluarkan kata-kata kasar kepada
anaknya di hadapan umum. Melihat kejadian tersebut membuat saya kaget. Seperti
memahami apa kekagetan saya, salah seorang masyarakat berkata kepada saya, “Kebiasaan
Orang-orang Timur memang kasar-kasar, Ibu”. Akan tetapi saya melihat kejadian
tersebut sebagai salah satu bentuk kekerasan kepada anak usia dini. Karena
suatu hal yang dianggap “kebiasaan” tadi membuat anak yang seharusnya dididik
dengan penuh kasih sayang tidak mendapatkan haknya. Hal tersebut sangat
disayangkan, karena orang tua merupakan sebuah cermin kehidupan bagi anaknya.
Ibarat
pepatah mengatakan “Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”, begitu pula dengan
mendidik anak. Jika anak dibesarkan dengan celaan, maka ia belajar memaki; jika
anak dibesarkan dengan penghinaan, maka ia belajar menyesali diri; namun jika
anak dibesarkan dengan toleransi maka ia belajar menahan diri; jika anak
dibesarkan dengan pujian, maka ia belajar menghargai; dan jika anak dibesarkan
dengan sebaik-baiknya perlakuan, maka anak belajar keadilan. Kebiasaan yang
telah dilakukan secara terus menerus memang sulit untuk dihilangkan. Akan
tetapi dengan diberikan arahan, contoh, pengetahuan mengenai pola asuh sedikit
demi sedikit orang tua mulai memahami bagaimana mendidik anak dengan baik dan
menjadi orang tua yang diidolakan anak.
Dukungan
orang tua terhadap anak untuk bersekolah secara langsung juga memengaruhi upaya
guru untuk meningkatkan kualitas Sekolah. Banyak halangan dan rintangan yang
harus dilewati guru agar Sekolah tetap berjalan meski minim fasilitas, sarana
dan prasarana untuk mendukung kegiatan belajar mengajar. Memanfaatkan
lingkungan sekitar Sekolah sebagai sumber belajar menjadi salah satu solusinya.
Bunga, daun, batu, pasir, barang-barang bekas, arang, dll.
digunakan sebagai media pembelajaran. Agar anak-anak tidak bosan, saya dan guru
lainnya mengajak anak-anak untuk belajar di luar kelas sehingga ruang gerak
anak menjadi lebih luas. Bahkan karena tidak ada lem, kami membuat lem sendiri
dari endapan parutan singkong yang direbus. Lem tersebut digunakan ketika
anak-anak melakukan kegiatan menempel. Ketika ingin mewarnai namun belum memiliki
krayon atau pensil warna, kunyit, daun “bonak” atau daun pandan, dan daun jati
pun menjadi pilihan untuk menggantikan alat mewarnai tersebut.
Upaya
untuk meningkatkan kualitas pendidikan perlu mendapatkan dukungan dari semua
pihak. Mulai dari masyarakat, Pemerintah Desa, Pemerintah Daerah, dan
Pemerintah Pusat. Salah satu upaya yang telah dilakukan oleh Pemerintah Pusat
ialah adanya program SM-3T. Banyak pengalaman dan pelajaran yang bisa saya peroleh
dengan mengikuti dan terlibat langsung dalam program SM-3T, satu di antaranya
adalah bahwa setiap keterbatasan tidak menjadikannya sebagai penghalang kepada
kita untuk berkreasi dan maju bersama mencerdaskan Indonesia.[]
Nice story.. maju terus guru indonesia bawa pendidikan indonesia lebih baik..
ReplyDeleteTerima kasih banyak, Sarwindah Asyifa :)
Delete