[photo credit: here] |
Sudah hari keberapa setelah lebaran, suara mercon masih bertalu-talu. Yang satu berlomba paling nyaring melebihi yang lain. Luar biasa industri polusi suara ini.
Namanya saja perayaan, tentu suasananya tidak boleh senyap-senyapan. Setidaknya begitu gaya berpikir kita di Nusantara. Kita sudah kadung terbiasa mengelola hari raya seperti suatu pesta, menonjolkan bebunyian di dalamnya. Dan di hari lebaran, cara itu berlangsung secara sangat massif. Ragam bebunyian kita temui di mana-mana.
Baiklah, tidak semua orang suka merayakan lebaran dengan cara pesta seperti itu. Termasuk saya. Dan berkat ajang sosialisasi dan silaturahim di hari ini, saya juga bisa mendengar komentar orang yang juga tidak suka dengan cara pamer bebunyian keras di hari raya lebaran. Di kesempatan bertamu dan dikunjungi tamu, tema mercon dan musik keras menjadi salah satu tema hangat dalam obrolan.
Dari beberapa obrolan dan sudut pandang, yang menarik perhatian saya adalah cerita orang-orang tua. Pembaca tentu bisa menduga isi obrolan orang-orang tua itu. Ya, mereka bercerita pengalaman mereka di masa lalu.
Rupanya, cara merayakan lebaran dengan bunyi-bunyian kencang adalah warisan para tetua juga. Mereka di masa mudanya juga melakukannya. Hanya saja, teknologinya berbeda.
Orang-orang dahulu menciptakan suara meledak-ledak bukan melalui petasan. Mereka membuat alat dari pohon bambu dan karbit (CaC2). Alat ini dikenal dengan sebutan Meriam Bambu.
Meriam Bambu bisa dibikin dengan mudah, tapi efek ledakannya luar biasa. Kita hanya perlu membuat lobang kecil di sisi lingkaran bambu, mengisinya dengan air dan sebongkah kecil karbit ke dalamnya. Saat lobang itu berinteraksi dengan api, terciptalah suara ledakan kencang bak suara meriam betulan.
Kenapa muncul ledakan yang sangat kuat dari alat ini? Baiklah, kita main-main dengan ilmu Kimia dan Fisika sedikit. Saat karbit dan air dicampur, terjadi reaksi kimia yang melahirkan gas Asetilena (C2H2). Gas ini sangat sensitif terhadap api. Saat terbakar, gas ini bisa menghasilkan ledakan. Oleh sebab gas itu menggumpal dan terjebak di dalam liang bambu yang dilobangi tadi, saat berinteraksi dengan api, terjadi ledakan yang sangat kuat.
Karbit—juga disebut Kalsium Karbida—mudah ditemui di sekitar kita. Benda ini kadang kita gunakan untuk mematangkan buah mentah. Kadang kita temui bengkel yang memanfaatkan karbit untuk bahan mengelas. Di jagad industri, gas Asetilena yang dihasilkan dari karbit digunakan untuk memotong baja. Manfaat karbit sebetulnya masih banyak lagi. Tapi kita kembali ke cerita awal tadi saja.
Yang membuat cerita bapak tua itu makin menarik, kesan kenangan yang dikandungnya sangat padat. Bapak tua itu bercerita, bahwa pelaku ledakan Meriam Bambu adalah anak-anak nakal—seolah bapak itu ingin menyusupkan kesan bahwa dulu ia tergolong anak nakal juga. Para orang tua akan melarang anak-anaknya bermain Meriam Bambu, sebab mainan ini membawa risiko tidak ringan. Tapi anak nakal mana yang serba patuh orang tua dan tidak mau ambil risiko?
Setelah Meriam diledakkan melalui pembakaran gas Asetilena, api yang di dalam bambu masih tersisa. Agar bisa berfungsi lagi, api itu harus dipadamkan dengan cara ditiup kencang-kencang. Karena produksi gas Asetilena masih berlangsung di dalam bambu, terkadang muncul semburan api melalui lobang itu. Nah, anak yang kurang hati-hati akan kehilangan kedua alis dalam proses itu.
Itu masih tergolong risiko ringan. Bahaya lebih besar lagi adalah saat ledakan yang dihasilkan tidak mampu dibendung oleh bambu. Tidak hanya menimbulkan bunyi semata, bambu itu malah benar-benar meledak. Pada saat seperti itu, cedera bakar bisa diderita oleh pengguna Meriam Bambu.
Oleh karena itu wajar kalau para orang tua dahulu melarang anak-anaknya bermain alat ini. Risikonya mengkhawatirkan, sama mengkhawatirkannya seperti petasan sekarang.
Namun yang terbayang dibenak saya, sejauh sebagai penghasil polusi suara, Meriam Bambu jauh lebih baik ketimbang petasan. Ia lebih baik sebab untuk menikmatinya, kita dituntut untuk membuatnya sendiri. Jadi tidak instan dan tidak konsumtif.
Berbeda dengan mercon. Benda ini sudah terlalu dalam terjun ke dunia industri, sehingga cukup dengan membelinya kita sudah bisa menikmati. Mudah sekali, tak ada tuntutan kerja keras di situ.
Meriam Bambu tergolong mainan hand-made, hasil kerajinan. Dengan begitu, cita rasa kesenian juga masuk di situ. Bagaimana tidak? Untuk menghasilkan suara ledakan yang keras, kita juga kudu mempertimbangkan presisi dan keseimbangan komposisi. Air yang dimasukkan ke dalam bambu harus pas, tidak boleh kurang atau lebih. Karbit yang dipakai pun juga kudu pas, tergantung volume air yang pakai. Sekali kita gagal menyeimbangkan komposisi ini, suara yang dihasilkan tidak akan lebih kencang ketimbang kentut.
Selain itu, bahan yang digunakan juga alami: bambu dan air. Karbit pun sebetulnya alami. Benda ini cuma berbahaya kalau dikonsumsi, selebihnya masih bisa ditoleransi.
Menurut penuturan si bapak tua, meriam bikinan seperti itu juga bisa dibikin dari lobang di tanah yang digali. Dan cara ini katanya menghasilkan ledakan lebih dahsyat lagi. Entah seperti apa cara membuatnya, bapak itu tidak menjelaskannya lebih jauh. Namun nampaknya prinsip teknisnya tidak akan berbeda dari Meriam Bambu.
Singkat kata, bahan untuk membuat Meriam Bambu adalah bahan yang sehari-hari. Tidak terlalu sulit untuk mendapatkannya.
Dengan demikian pula, Meriam Bambu juga bisa menjadi media pembelajaran di sekolah. Kita bisa mengenalkan secuil teori Fisika dan Kimia sederhana dengan Meriam Bambu sebagai alat peraganya. Sekolah kita jarang yang punya alat peraga, tapi tampaknya benda-benda alami di sekitar kita bisa kita manfaatkan juga, ketimbang harus beli dan mahal pula.
Dan, terakhir, Meriam Bambu adalah kita. Ia sungguh-sungguh bagian dari kebudayaan kita. Selain Meriam Bambu, di tanah Melayu alat ini disebut Meriam Suluh dan di daerah berbahasa Tagalog ia disebut Kanyong Kayawan.
Ini berarti Meriam Bambu betul-betul kebudayaan Asia Tenggara. Di tanah Melayu dan Jawa, Meriam Bambu diledakkan saat perayaan Idulfitri dan Iduladha. Sedang di Filipina yang mayoritas menganut agama Nasrani, Meriam Bambu digunakan saat perayaan Natal. Di negara ini bahkan ada Festival Meriam Bambu.
Barangkali di tiap negara yang tanahnya ditumbuhi bambu, Meriam Bambu adalah bagian dari mainan mereka. Bisa jadi.[]
0 komentar:
Post a Comment