[photo credit: here] |
Oleh: Abdul Rahman Wahid*
Puasa tak menyurutkan suasana perdebatan di kalangan para
tokoh keagamaan. Tanpa mengkonsumsi makanan dan minuman pendapatnya kian
terdengar begitu lantang. Lapar dan haus menjadi energi tersendiri untuk
meluapkan setiap gagasan. Ada yang secara toleran dalam menyampaikan, ada pula
yang sembarangan mengklaim pendapat lawan. Bahkan ada yang mengaku toleran
tapi pendapat yang disampaikan jauh dari nilai sopan. Begitu beragam perdebatan
di bulan Ramadan. Itulah hari-hari ini yang kami saksikan di tengah umat
muslim menjalankan kewajiban dalam bingkai bulan pilihan.
Berawal dari obrolan santai di warung kopi, terlontar sebuah
pertanyaan ringan dari salah satu seorang teman. "Agenda Muktamar NU itu
apa sih? Kok sepertinya jabatan menjadi isu sentral sekarang?" Itulah
pertanyaan awal dari obrolan kami yang muncul dari Kang Akdhom. Sebagai bagian
dari Nahdliyin yang masih belum begitu paham seluk beluk NU, pertanyaan itu
suatu kewajaran. Ya, kami adalah sekelompok anak muda Nahdliyin yang tidak di
struktur NU, bahkan Kartanu saja kami tak ada.
Dalam perbincangan itu, kami yang awam berkesimpulan bahwa
Muktamar NU adalah ajang evaluasi akbar. Ajang untuk memperbaiki kinerja dan
tugas NU sebagai organisasi sosial keagamaan. Apa yang belum maksimal
dilakukan, diharapkan terlaksana di waktu yang akan datang. Dan yang sudah mapan
tetap dipertahankan. Bagi kami NU adalah rumah untuk menyatukan misi demi
kemaslahatan, bukan saling serang apalagi persoalannya sangat pragmatis,
tentang jabatan.
Beberapa hari yang lalu, ada sebuah opini beredar bagaimana
mekanisme pemilihan ketua. Isinya menolak konsep AHWA karena dinilai menghapus
hak-hak suara di tingkat PWNU. Bagi kami itu tidak persoalan, semua pendapat
harus didiskusikan. Yang menjadi persoalan adalah, ketika menolak AHWA namun
di belakangnya berbaris rapi kepentingan. Bagaimanapun juga, one man one vote
lebih rentan dengan transaksi money politic. Meskipun konsep AHWA inipun tidak menutup
kemungkinan yang sama. Untuk itu, perlu pemahaman dan komoitmen bersama demi
masa depan NU.
Kami masih dalam pemahaman sederhana bahwa peran NU lebih
penting dirumuskan daripada persoalan mekanisme pemilihan kursi jabatan.
Perdebatan itu suatu keniscayan asalkan dengan cara yang sopan. Disampaikan
dengan sekian alasan yang berlandasan. Serta tidak mengklaim yang tak sepaham
harus disingkirikan bahkan dituduh sesat pemahaman. Apakah perdebatan semacam
ini benar pernah dilakukan oleh Hadratus Syeikh Kiai Hasyim Asy'ari dan Kiai
lainnya?
Di tengah perbincangan muncul pertanyaan ringan dari teman
yang lainnya. "Kok NU sekarang banyak macamnya ya? Anehnya, perbedaan itu
dimunculkan kepermukaan demi sebuah kursi kekuasaan." Dengan mimik gelisah
Kang Masykur mengatakan setelah membaca salah satu media online yang
menjelekkan Kiai lainnya, bahkan dengan tuduhan sesat. Yang membuat kami
gelisah, tuduhan itu dibuat hanya persoalan siapa yang layak memimpin NU.
"Eh, jadi inget Pilpres dengan sekian perangkat kampanyenya, sudah tidak
sehat caranya." Celetuk Kang Ihin sambil utak-atik ponselnya.
Kami rasa tidak berlebihan celetukan Kang Masykur dan Kang
Ihin di atas. Sederhana saja, jika kita yakin Aswaja adalah paham yang toleran
dan seimbang maka celetukan itu suatu yang niscaya. Bagaimana tidak,
mengatasnamakan diri melanjutkan perjuangan Kiai salah satu tulisan tersebut
dengan sangat enteng menuduh sesat yang lainnya. Si A dianggap suruhan Partai
Ikan. Si B katanya pengurus partai Kolak. Si C merupakan suksesor dari partai
Takjil. Si D adalah produk Islam liberal dan membawa misi kelompok luar. Si E
sudah memberi suntikan dana besar untuk memuluskan kepentingan di belakang
Muktamar. Semua calon sudah mempersiapkan uang di kantong masing-masing demi
menduduki jabatan.
Yang membuat telinga geli mendengarnya adalah pernyataan
bahwa NU menurut pemahamnya adalah NU sebagaimana yang dinginkan Hadratus
Syeikh Mbah Hasyim Asy'ari. Bagaimana tidak geli, nama Mbah Hasyim dijadikan
legitimasi untuk membenarkan klaim pribadinya. Dengan PD bilang kalau calon ketua
NU yang diusungnya tidak bermain uang dan tidak ada kepentingan untuk ikut
terlibat dipencalonan. Bahkan munculnya calon darinya karena dukungan dan
permintaan masyarakat. Masyarakat yang mana? Bukankah cara itu lebih tepat
dikatakan pencitraan dan sebentuk kampanye hitam? Menuduh yang lain sesat
dengan sekian data jelek yang disajikan. Sedangkan dirinya baik dengan
menampilkan segala kebaikan yang pernah dilakukan. Menganggap dirinya lurus dan
yang lain telah belok. Benarkah ini yang Mbah Hasyim ajarkan?
Jika menelik sejarah yang ada, sependek yang kami ketahui, kepemimpinan dalam NU itu ibarat imam salat. Semua saling mempersilahkan,
tidak ada yang menawarkan diri untuk menjadi imam. Nah ini beda, imam yang ada
dianggap sesat dan dirinya layak menjadi imam. Astagfirullah, cara pandang yang
digunakan Aswaja tapi kok gak seimbang.
Ada yang menggelitik lagi, seoarang Kiai yang biasa bersyair
dianggap pujangga pelontar kata mutiara. Sebuah pesantren yang sedikit maju
dianggap sarang liberal. Lantas, jika kami tanya balik, orang yang dengan mudah
menyesatkan orang lain itu apa? Tak perlu dijawab, cukup diresapi saja. Ini
bulan puasa, tahan nafsunya. Termasuk nafsu untuk berkuasa dan menganggap benar
dari yang lainnya.
Sekali lagi, kami adalah pemuda Nahdliyin yang Kartanu saja
tidak punya. Jujur kami gelisah dan resah, bahkan kadang jengkel menyaksikan
semua ini. Menyaksikan keegoan pribadi, apalagi mengatasnamakan Kiai. Jika
merasa NU adalah milik kita, mari kita membicarakan masa depan NU bersama-sama.
Jangan-jangan karena saling klaim sok benar, NU sudah tidak punya lagi masa
depan. Menyampaikan kebenaran tak perlu memaparkan kejelekan orang lain. Dengan
begitu, orang akan berkesimpulan bahwa kau sama saja. Masih ingatkan pesan Gus
Dur, "Membesarkan diri sendiri tak perlu mengecilkan orang lain."
Pernahkah kita mempertanyakan, kenapa masyarakat Nahdliyin
masih jauh dari kesejahteraan? Bukankah itu tugas NU sebagai organisasi sosial
keagamaan? Tugas NU yang lahir dari penyatuan Tasywirul Afkar, Nahdlatul Wathon
dan Nahdlatut Tujjar. Kalau mendiang Mbah Sahal Mahfudz dawuh,
"Menutup aurat saja butuh biaya." Penulis rasa itulah alasan kenapa
Nahdlatut Tujjar didirikan oleh Kiai-Kiai pendahulu. Bahwa ibadah seseorang
tidak akan sempurna jika syarat dan rukunnya tak terpenuhi. Nah itulah aurat
yang dimaksudkan Mbah Sahal.
Tetapi, akhir-akhir ini kita masih sibuk mengurusi persoalan
yang sebenarnya sudah selesai. Persoalan yang hanya memeras keringat dan
hasilnya hanyalah perdebatan siapa yang lurus, siapa yang belok. Seharusnya
kita sudah berpikir bersama bagaimana masyarakat Nahdliyin yang sebagian besar
hidup di pedalaman dan pesisir ini tidak lagi kelaparan. Yang nantinya dengan
mudah diinfiltrasi oleh Islam garis keras. Persoalan dasarnya karena mereka
butuh makan, sedangkan elit NU berdebat soal kekuasaan. Setelah mengetahui
mereka pindah aliran, dengan mudah para elit mengatakan, "Masyarakat awam
sangat mudah menukar keyakinan dengan beras 2 kg." Ah, dengan mudah mereka
berkata demikian. Yang dia butuhkan
adalah makanan bukan ceramah keagamaan. Perutnya sudah tiga hari tak terisi
nasi, masih saja mereka suapi dengan argumentasi. Bukankah yang seperti ini
jauh lebih penting untuk dirumuskan, meskipun yang lain juga penting.
Terakhir, kami hanyalah masyarakat Nahdliyin yang Kartanu
saja tidak punya. Tulisan ini hanyalah bentuk kegelisan kami yang masih dalam
perjalanan memahami NU secara utuh dari berbagai sumber. Kami juga tak pernah
menisbatkan diri bagian dari kelompok lurus ataupun kelompok belok atau bahkan
yang lainnya. Yang kami tahu adalah NU dengan Aswaja Nahdliyahnya. Yang kami tahu
NU yang dulu dirumuskan demi kesejahteraan bersama. Sebelum mengakhiri tulisan
ini, mari kita tawassulan pada pendiri NU. Semoga NU yang sekarang masih sama
dengan harapan para pendahulu. Saya yakin beliau-beliau menaruh harapan besar
pada kita. Saya juga yakin bahwa NU masih punya masa depan, asalakan kita mau
bergandengan tangan.
NU masih satu, tidak ada yang lurus, tidak ada yang belok, tidak
ada yang lucu, tidak ada yang liberal, tidak ada yang radikal. Semua satu, jika
ada embel-embelnya berarti bukan NU yang sebenarnya. NU itu Aswaja dan sangat
toleran terhadap setiap perbedaan. Jika menyatakan perbedaan orang NU lebih
sopan dalam menyampaikan. Jika arogan maka NU-nya patut kita pertanyakan.
Wallahu a'lam.[]
*Seorang Nahdliyin yang Kartanu pun tak punya.
Dan saya adalah orang luar (bukan anggota NU) yang masih suka heran bahwa ada organisasi yang relatif terus melahirkan kader-kader yang mempunyai keseimbangan yang sehat dalam nilai-nilai spiritual, personal, sosial dan universal—yang tidak melupakan kesantunan dan bisa memelihara ruang untuk koreksi diri serta tidak terjebak dalam pengutamaan penampilan ataupun mabuk pembenaran. Semoga amanah.
ReplyDeleteTerima kasih atas kunjungannya, mas :)
DeletePerkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
ReplyDeleteJika ya, silahkan kunjungi website ini www.kumpulbagi.com untuk info selengkapnya.
Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)