Berjumpa kembali dengan Bung Hes adalah kesempatan langka. Beberapa
waktu lalu tiba-tiba dia kirim sandek, meminta saya bergabung dengannya di
warung kopi. Tentu saya langsung mengiyakan, sebab sudah terhitung lama saya
tidak mengobrol dengannya secara luring, apalagi di sebuah warung kopi.
Lelaki asal Banyuwangi ini adalah kawan satu angkatan di
kampus, tapi beda fakultas. Saya mengenalnya cukup akrab sebab kami bergiat
dalam organisasi mahasiswa yang sama. Bersama-sama dengan yang lain, kami
menjalani proses itu: berlama-lama di warung kopi diselingi diskusi atau bicara
serabutan, terlibat kepanitiaan acara-acara tertentu, bersentuhan dengan
politik kampus, menimbun modal pengetahuan untuk hari depan, dan seterusnya,
dan seterusnya.
Ada yang unik dari Bung Hes semasa kami masih kuliah: dia
punya kemampuan bahasa Inggris lebih baik ketimbang yang lain. Kecuali bung Hes,
kami adalah sekumpulan mahasiswa yang payah dalam bahasa Inggris. Ini sebetulnya
tidak ada masalah, hanya saja dia seringkali menunjukkan gejala keminggris yang
menggelikan, sok-sokan beraksen asli daratan anglosaxon sana. Kalau mau bilang what
is that? dia membunyikannya menjadi “wo’ is da’?”, atau kalau mau
bicara what’s a matter, guys? bunyinya menjadi “wo’ a mata, gais?” Sontak
gaya keminggris ini menjadi bahan pergunjingan di antara teman-temannya,
ya saya termasuk. Kami suka menirukan gaya keminggris ganjil ini untuk lucu-lucuan.
Selain itu, bung Hes adalah pembaca buku yang tak kenal rasa
capek. Ini juga terhitung unik di kalangan teman-teman sefakultasnya. Saya tahu
betul, rata-rata teman-teman sefakultasnya lebih gemar berkesibukan dalam
hal-hal praktis dan cenderung enggan menelusuri buku-buku. Bung Hes lain. Meski
dia juga bergelut dengan hal-hal praktis, namun dia selalu menyisihkan waktu
untuk tenggelam dalam lembar-lembar buku. Oleh karena itu, dalam setiap
kesempatan menjadi pengurus panitia acara tertentu, dia dipercaya oleh
teman-temannya untuk menduduki posisi yang berurusan dengan konsep-konsep dan
perumusan “isi” acara. Saat sudah menjadi senior pun, dia kerap diminta jadi
konsultan konsep-konsep oleh para juniornya, berbeda dengan teman lain yang
biasanya jadi konsultan untuk kerja praktis atau kerja jaringan.
Saya ingat kadang berkunjung ke kamar kontrakannya untuk satu
urusan atau lain hal. Di situ dia menumpuk koran-koran yang menurutnya memuat
bahan-bahan penting. Untuk diklip, katanya. Saya suka mengajaknya berdiskusi
mengenai banyak hal. Menurut saya, dia punya sudut pandang yang kerap bengal dan
tak mudah ditebak.
Sering pula kami berbincang-bincang soal novel. Bagi Bung Hes,
satu-satunya pengarang novel dalam negeri yang mampu menggerakkan pikiran dan
tubuhnya hanyalah Pram—Pramoedya Ananta Toer. Tetralogi Buru, Arok-Dedes dan
Arus Balik, demikian Bung Hes, membangkitkan kegelisahan intelektual
yang tidak ecek-ecek dan murahan. Dia selalu melihat novel lain dalam
sudut pandang novel-novel Pram, sehingga dia beranggapan bahwa membaca novel
selain novel-novel Pram tak ubahnya seperti liburan akhir pekan, hanyalah
selingan
Melalui Pram, Bung Hes mengarifi bahwa problem bangsa
Indonesia adalah mentalitasnya. Mental inlander sudah sedemikian parah di
kedalaman jiwa bangsa ini, bahkan sudah menjadi berakar kuat di dasar alam
bawah sadar. Sehingga ada anggapan bahwa penjajahan bisa bertahan sedemikian
lama itu tak lain karena orang-orang bermental inlander inilah yang
mengundangnya, bangsa kita sendiri yang meminta kita dijajah. Mental rendahan
ini bercokol di benak para petinggi bangsa ini. Pram tidak sekadar menyibak
kenyataan ini, Bung Hes merasa bahwa melalui novel-novelnya Pram mengajak
pembacanya untuk mencampakkan keras-keras mental bobrok semacam ini. Hal inilah
yang tak bisa Bung Hes temukan di novel-novel lain.
Menurutku, pandangannya tentang Pram dan novelnya agak
berlebihan, meski ada benarnya juga.
Bung Hes lulus 3 atau 4 semester lebih cepat ketimbang saya.
Setelah lulus dia hijrah dari Jogja ke Jakarta. Saya membayangkan di sana dia
akan terlalu sibuk dengan pekerjaan dan tak lagi punya waktu untuk menyelami
buku-buku.
***
Reuni di warung kopi kemarin ternyata mematahkan bayangan
saya di atas. Dia mengajak saya mengobrol masih tentang buku-buku, juga tentang
pengetahuan-pengetahuan baru. Orang ini ndak ada habis-habisnya ya, gumam
saya.
Rupa-rupanya, tahun pertama di Jakarta dia bekerja sebagai redaktur
dan kontributor di sebuah jurnal ilmiah. Pantas, pikir saya, pekerjaannya masih
menuntutnya untuk tetap bergelut dengan buku dan untuk selalu memperbaharui
pengetahuannya. Di situ dia juga mempertajam sudut pandangnya dengan sinau analisis
kebijakan, analisis anggaran, strategi komunikasi dan lain-lain hal yang terbilang
baru ketimbang saat dia masih mahasiswa. Dia berbicara dengan sangat bergairah
saat itu.
Bung Hes juga berbincang soal novel. Owalah, orang ini
juga masih baca novel! Tapi bagaimana pandangannya tentang novel kali ini?
Kali ini dia sadar bahwa dulu pandangannya tentang novel
memang berlebihan. Tak ada yang salah dengan Pram, katanya. Masalahnya hanya pikirannya
terpenjara dalam bayang-bayang Pram. Dulu dia tak bisa keluar dari balik
besi-besi sel Pram karena selalu menghakimi dunia luar dari sudut pandang sel
itu. Dia malah menikmatinya dan selalu melakukannya dalam setiap kesempatan. Singkatnya,
masalahnya adalah dia dulu tak mau keluar dari sel penjara Pram.
Kali ini dia membaca novel-novel dengan alam pikir yang
lebih merdeka ketimbang sebelumnya. Sekarang dia berhasil mendapatkan taste dari
banyak novel. Bahkan novel alay dan teenlit pun dia baca. Dia mengaku,
novel-novel alay dan teenlit ternyata ada menariknya juga. Jadi, mulailah dia
bercerita tentang novel-novel yang pernah dia baca, dan itu menyulitkan saya
sebab kebanyakan belum saya baca. Kata ‘alay’ masih bikin saya pusing.
Sekarang Bung Hes sedang belajar bahasa Prancis. Ini adalah
bahasa keenamnya, setelah bahasa Jawa, Madura, Indonesia, Inggris dan Arab. Katanya,
dia kursus bahasa Prancis dari nol, satu ruangan dengan bocah-bocah SD yang semuanya
mengaku pernah berlibur ke luar negeri. Busyet, pikirnya, bocah-bocah ini
anaknya siapa sih? Jadi sebagian dari mereka belajar bahasa Prancis untuk
persiapan liburan selanjutnya, ke Paris. Dia menahan diri agar tidak panik di
ruang kelas itu.[]