Monday, September 19, 2016

(Mereka) Gila

into_the_sea

Oleh: Muhammad Madarik

Tatkala aku lunglai dihempas gelombang, kakiku terseok di pantai berpasir ini. Angin dingin menembus pori-pori kulit hitamku, menambah raga kian tak berdaya. Dalam sejenak aku terdiam. Lalu kembali kedua kaki ini kulangkahkan. Serasa berat mengayunkan. Jejak kaki menggambarkan telapak kaki terseret.

Baju yang melekat di tubuh ini benar-benar lusuh. Dari pakaianku aroma tak enak menyebar. Bau. Rambut gondrong tak pernah tersisir. Gimbal.

Sekian langkah, aku terhenyak menyaksikan dua sejoli sedang bercinta di bibir pantai. Suasana temaram, hanya secercah mentari yang akan masuk ke peraduan ufuk barat manambah syahdu dua insan yang sedang kasmaran. Bebatuan menjadi penyangga duduk mereka berdua yang berhimpitan.

Aku berdiri menghentikan ayunan kaki seberapa depa dari mereka berdua. Aku tahu, mereka berdua hanyalah sebagian dari sekian orang yang menganggapku gila. Mereka berdua cuma menyempatkan sedetik untuk memndangku, kemudian kembali masuk ke dalam dunianya. Mereka berdua tak lagi peduli sekelilingnya, apalagi hanya sekadar sosok yang dianggap tak waras.

Aku tersenyum melihat orang-orang yang menganggapku hilang ingatan. Padahal, bagiku merekalah orang-orang tak sehat akal. Aku redam kemarahan setelah aku teringat masa lalu.

***

Sejak kecil, aku tak asing dengan kemiskinan. Orang tuaku rakyat jelata yang tak mampu mewarisi harta dan kemewahan. Aku terdorong untuk membantu orang tua meringankan beban berat yang dipikul ayah-ibu. Kami hidup di pinggir kota besar. Di atas sepetak tanah, bangunan sederhana menjadi rumah berlindung keluargaku. Rumah-rumah serupa berjajar saling berhimpitan menjadikan kampung ini begitu padat.  Lingkunganku dihuni jelata yang berpenghasilan di bawah rata-rata.  Selama ini ayah bekerja sebagai tukang kayuh becak, sedangkan ibuku menjual gorengan di gang depan rumah.

Sejak kecil, lingkungan telah menempa diri ini menjadi pemuda kuat, mandiri dan pengalaman. Aku kenal alam bebas dan aku akrab dengan dunia malam. Di sela aku menghabiskan waktu bersama kawan-kawan, nasibku cukup beruntung karena kenal ragam orang dari semua kelompok pergaulan. Ternyata hidup bebas tanpa sekat "sekolah formal" mendidik lebih banyak pengetahuan dengan pengalaman langsung. Tetapi karena bapak, aku disadarkan agar mencari pekerjaan yang pasti. Aku turuti setelah menyaksikan ada tetesan air mata meleleh di pipi ibuku. Aku tak kuasa melihatnya. Jiwa ini bergetar. Dua adik kecil yang sedang makan dengan lauk seadanya, mengilhami pikiranku untuk segera mencari tambahan beaya hidup bagi keluargaku.

Kini, aku berada di rumah besar. Tuan Gani adalah seorang pengusaha sukses di kota metropolitan. Ia mempunyai tiga orang anak. Lila merupakan putri pertamanya, Nadia adiknya dan Tridermawan satu-satunya anak laki-lakinya. Bapak dan ibu merupakan orang baik, ramah dan memperlakukan semua pembantunya layaknya manusia merdeka tanpa sekat strata sosial. Aku senang ikut membantu rumah ini. Dalam waktu luang, bapak seringkali mengajakku berbincang banyak hal di joglo halaman belakang. Tempat favorit bapak saat berada di rumah.

Datang cobaan bagi bapak. Perusahaan yang dipimpinnya mulai goyah. Beberapa aset perusahaan terpaksa dilepas demi melanjutkan perusahaan agar tidak semakin runtuh. Faktor kesulitan finansial disinyalir menjadi anasir terkuat mulai ambruknya bisnis keluarga itu. Pelemahan ekonomi dunia ikut mempengaruhi investasi usaha milik bapak. Hal ini dirasakan cukup menyulitkan perusahaannya.

Bapak sering berpikir keras di tempat yang disenanginya. Acapkali aku menjadi teman bicaranya, dan kadang-kadang saling beradu argumen di antara kita. Tidak jarang, beberapa ide yang kulontarkan masuk di dalam pikirannya. Kayaknya bapak menerima dan melaksanakan usulan-usulan yang kusampaikan. Secara perlahan, kondisi perusahaan bapak semakin sehat.

Kini, hampir setiap berada di rumah, bapak selalu mengajakku bertukar pikiran dan mengobrol. Mulai dari tema-tema ringan sampai topik-topik berat. Seperti biasa, kopi panas dan rokok yang senantiasa menyertai pembicaraan kita memperpanjang obrolan hingga larut malam. Kendatipun keakrabanku dengan bapak tanpa dinding penghalang, aku berupaya memosisikan diri sebagai pembantu keluarga ini. Sikapku terhadap semua anggota, khususnya bapak dan ibu, tetap tak berubah seperti sedia kala ketika awal aku datang ke rumah ini.

Kebersamaanku dengan bapak, perilaku yang kutampakkan, kepiawaianku dalam berbicara, tingkat analisisku yang tajam dan kejujuranku membuat bapak-ibu menjadikan mereka berdua mulai ditumbuhi rasa tertarik padaku. Konon menurut Bibik Tonah, pembantu tua yang sudah bertahun-tahun ikut keluarga ini, dulu pernah ada seseorang yang dekat dengan bapak. Tetapi karena sikapnya yang merasa setara dengan anggota keluarga dan hampir setiap hari mencuri, ia diusir dari tempat ini. 

Akhirnya aku ditawari menjadi suami Lila oleh bapak. Rasa gembira bercampur tidak percaya menyelimuti jiwa ini. Hanyalah seorang pembantu rumah tangga bisa-bisanya ditawari untuk menjadi menantu oleh tuannya sendiri. Kebimbangan dalam perasaanku tak lagi bisa dibendung sekian hari menjalani hidup pada minggu-minggu ini.

Lamaran pun sesederhana mungkin dilakukan oleh pihak keluargaku seusai tawaran keluarga Lila dirembukkan bersama orang tuaku. Melalui proses yang alot dan melibatkan beberapa wakil familiku, tawaran itu diterima secara bulat.

Sekarang megister ekonomi itu telah menjadi Nyonya Lila Memet Junun.

Aku telah menempati rumah yang tak kalah besar dari kediaman bapak bersama istriku dengan fasilitas lengkap pemberian bapak. Rumahku berdampingan dengan mertua, sehingga hubungan dengan keluarga bapak tak begitu kesulitan. Apalagi bapak masih sering mengajakku untuk mengobrol berbagai hal. Lebih-lebih setelah aku ditunjuk sebagai Pimpinan Direksi, sementara bapak menduduki Dewan Komisaris. Adapun Lila dipercaya oleh bapak sebagai Sekretaris Direksi setelah berpengalaman sebagai Kepala Bagian.

Waktu berjalan, aku menikmati hidup ini dengan tenteram. Dalam ruang kerja yang selalu bersama istri semakin menyejukkan jiwa. Seorang pendamping cantik dan menggairahkan bagi siapapun yang memandangnya. Apalagi tingkat penghasilan ekonomi di atas rata-rata mendukungnya untuk bersolek diri ke berbagai tempat perawatan, membuat penampilan "cintaku" itu semakin menggoda.

Dan, terjadilah yang terjadi. Kecelakaan bermotor menimpaku. Aku tak bisa lagi beraktivitas seperti sediakala. Terbaring lama di rumah sakit, menjadikan bapak menggeser posisiku di kantor. Kini istriku menempati kedudukanku. Lambat laun, sikapnya kepadaku mulai berubah . Entah karena apa, tetapi persangkaanku akibat gaya hidup bersama komunitasnya, interaksi kolega yang semakin luas, dan fisikku yang kian melemah, menjadikan keluarga dinomorduakan.

Aku kini mulai terpinggirkan. Perlahan, bapak sekalipun agaknya menjauh dariku. Aku terus termenung dalam diam. Lingkungan keluarga ini tidak lagi mengakrabiku, bahkan hampir seisi rumah mencibir keadaanku. Tubuhku yang melemas akibat kecelakaan itu, mengunci mulutku untuk berbicara. Perasaan kalut dan merasa serba salah di tempat ini mencipta jiwa ini guncang. Hampir-hampir seluruhnya menuduh stres, kecuali Bibik Tonah yang masih menyisakan keyakinan bahwa aku berjiwa sehat. Tetapi bibik penyabar itu tak kuasa mengungkap hakikat keberaanku. Semua memercayai, aku sudah kehilangan akal.

Aku diusir dari rumahku sendiri. Bapak sudah kehilangan kedekatannya denganku, pada diri Lila telah habis kehangatannya padaku. Aku kini hanya mampu terseok di jalanan.

***

Aku beranjak dari tempat ini. Hembusan angin kencang di pinggir laut menyebabkan aku mulai merasa menggigil. Dua anak manusia yang sedang menganggap diri mereka berdua berlabuh di pulau cinta telah berlalu. Entah kemana mereka berdua memperpanjang kelakuan laknatnya.

Aku merasa mereka itu aneh sendiri. Aku tersenyum, mereka anggap aku gila. Padahal siapakah yang gila sebenarnya? Aku atau mereka?

Bapak yang tega menghempaskan diri ini dari kehidupannya, istriku yang telah berselingkuh saat aku tak berdaya, dua manusia yang mengumbar nafsu syahwat tanpa malu atau mereka yang merampok harta rakyat lewat tinta kekuasaan, anak yang mendurhakai orang tuanya, ayah-ibu yang menghardik putranya sendiri hanya gara-gara tak sekolah, guru yang mengajarkan kebaikan walaupun dirinya tak mampu baik, siswa yang melaporkan pendidiknya oleh sebab-sebab sepele, politisi yang menjual harga diri dan agama demi kekuasaan, ekonom yang menjajah negerinya sendiri, kasus polisi berekening gendut, kaum konglomerat yang menindih toko-toko kecil dengan supermarketnya, sekian stasiun televisi yang tiap hari menayangkan badut-badut tak mendidik, pendakwah agama yang nyaris tak berhenti saling  berorasi tema kebencian dan fitnahan, pengadilan yang mengetok palu terhadap nenek yang nekat mengambil beberapa utas singkong untuk mengganjal perutnya atau aku yang hanya tertimpa ketidakberdayaan.

Aku kembali tersenyum melangkah menyusuri jalan yang mulai sepi. Pulang? Tak lagi menjadi harapan bagiku. Semenjak Bapakku mangkat, aku mulai jarang mencium kedua telapak tangan ibu. Apalagi kali ini, mulutku tidak akan pernah mengabarkan pada beliau. Biarlah, adaku akan kutanggung sendiri.

Kecuali kepada keluargaku, aku bertanya dalam hati, siapakah yang gila, aku atau mereka?[]

Sunday, September 18, 2016

Mempersiapkan Diri Dalam Problematika Kehidupan

aircraft_050519-N-0226M-012

Oleh: Muhammad Zamzami

Semacam gambaran pemulaan, suasana pagi yang sejuk di tengah keramaian kota ini semakin mengantarkanku dalam sebuah situasi psikologis yang bisa dikatakan menjadi harapan setiap orang. Meskipun hanya sebuah situasi kejiwaan yang sifatnya abstrak alias tak tampak, namun keberadaannya menentukan timbulnya ekspresi tubuh yang bergerak ke arah positif atau negatif. Apalagi secangkir kopi hangat turut serta mewarnainya dan menambah sensasi kenikmatan yang olehnyalah tercipta sebuah reaksi positif, yakni hadirnya suasana ketenangan. Ya, ketenangan yang bercokol jiwa. Sehingga, indikasi yang datang darinya adalah kemampuan lebih untuk berpikir jernih tentang segala hal yang dituntut untuk segera diselesaikan. Untuk menyelesaikan sebuah permasalahan memang tak mungkin akan berjalan seperti yang diharapkan jika tidak ditangani dengan ketenangan hati dan kejernihan pikiran. Hal itu hanya akan terjadi jika jiwa sang aktor dalam kondisi yang tenang dan murni, serta tidak terkontaminasi oleh emosi atau tendensi-tendensi lainnya.

Banyak sekali problematika yang selalu mewarnai kehidupan kita, dari permasalahan terkecil seperti rumah tangga dan lainnya, pendidikan, sosial, dan bahkan permasalahan yang saat ini lagi tren di kalangan anak muda, yakni asmara, yang selalu menghalang-halangi kita untuk meraih keinginan kita dan cita-cita kita. Disadari atau tidak, permasalahan itu hakikatnya hanyalah sebuah ujian dan cobaan dalam kehidupan yang mau tidak mau harus kita jalani dan kita selesaikan dengan bijak. Sudah barang tentu proses penyelesaian ini tidak hanya sekadar melewatinya saja tanpa adanya kesiapan untuk menjawab tantangan dalam ujian itu. Ya, mempersiapkan jawaban, layaknya menghadapi ujian UTS atau UAS di perkuliahan, dengan belajar dan mengulangi dengan membaca kembali materi perkuliahan yang kita dapatkan sebelumnya. Dengan begitu, kita akan mudah menjawab materi-materi ujian yang dihadapkan pada kita.

Lalu pertanyaannya, bagaimana kita mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian atau cobaan dalam kehidupan ini? Materi perkuliahan apa yang harus dibaca kembali agar kita mampu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dan tantangan-tantangan yang dihadapkan kepada kita? Tentu bukan materi-materi perkuliahan, bukan juga pelajaran-pelajaran yang kita terima di sekolah. Akan tetapi dengan muhasabah. Ya, dengan evaluasi dirilah kita akan mampu menjawab setiap tantangan, cobaan, dan ujian yang akan kita terima. Bukankah setiap cobaan dan ujian tidak akan melampaui kemampuan yang kita miliki? Artinya, sebelumnya kita sudah mendapatkan materi-materi seputar kehidupan, atau bisa dikatakan dengan pengalaman, baik itu pengalaman pribadi atau pengalaman orang lain, yang dapat kita ambil pelajaran darinya dan kita baca kembali untuk kita persiapkan dalam rangka menjawab sekian tantangan, uijan, dan cobaan dalam kehidupan yang akan kita terima nantinya.

Dengan begitu, tanpa disadari kita telah menambah pengalaman kita. Pengalaman itu dapat kita jadikan sebagai bahan persiapan untuk dibaca kembali dan dijadikan persiapan untuk menjawab permasalahan-permasalahan lain yang akan datang di sana nanti serta dan akan menjadi penghambat kita dalam meraih harapan dan cita-cita. Toh sebenarnya permasalahan-permasalahan itu bukan musuh yang harus kita waspadai, tapi ia adalah sahabat kita yang akan mengantarkan kita ke sebuah ruang kehidupan yang lebih berwarna dan lebih baik tentunya. Karena memang kehidupan ini tak ubahnya sekadar ruang kelas di sekolahan. Kita akan naik kelas jika kita mendapatkan nilai yang sesuai dengan standar penilaian untuk naik kelas.

Kita harus menerima memang jika kita tidak naik kelas lantaran nilai yang kita dapatkan tidak sampai ke level baik atau layak untuk mendapatkan mata pelajaran yang akan kita terima di kelas yang lebih tinggi, sebab kita memang kurang persiapan, atau dalam hal ini kita kurang, atau bahkan enggan, untuk muhasabah atau evaluasi diri.

Sebenarnya, yang menjadi permasalahan bukan di situ. Bukan tentang keharusan menyikapi setiap cobaan dan ujian hidup dengan bijak atau kurang persiapan dan tidaknya, tapi apa sebenarnya yang menprovokasi diri kita untuk enggan ber-muhasabah atau evaluasi diri sehingga kita tidak mampu menjawab problematika kehidupan dengan baik seperti yang diinginkan? Memang tidak mudah untuk menjawab tertanyaan tersebut. karena kecenderungan setiap individu diakibatkan oleh karakter masing-masing, yang indikasinya adalah berbedanya setiap perorangan dalam mengambil sikap terhadap permasalahan kehidupan. Ada yang lahir dan dibesarkan dari lingkungan yang materialistis, ada yang dari lingkungan yang agamis, yang yang primitif, atau yang lainnya, yang hal itu sudah pasti mempengaruhi watak dan cara berpikir seseorang.

Kalau ia berasal dari lingkungan yang mengajarkan ketidakdewasaan dalam bersikap, ia akan cenderung acuh untuk muhasabah dan menjawab ujian dan cobaan hidup dengan tanpa adanya persiapan. Hasilnya pun akan hanya terkungkung dalam problematika yang stagnan, alias tidak naik kelas.

Sebaliknya jika sang aktor tadi dari lingkungan yang baik dan mengajarkan kedewasaan dalam bertindak, mengambil sikap, dan bahkan selalu muhasabah atau selalu evaluasi diri, maka hasilnya akan berbeda. Ia dipertemukan dengan warna baru dan materi baru yang nantinya ujian dan cobaannya pun akan baru pula, dan begitulah seterusnya, di samping  ia akan naik ke kelas yang lebih tinggi lantaran ia telah lulus dan mendapat nilai yang memuaskan sesuai standar nilai kelulusan.

Terakhir, anggap saja ini hanya sekadar tulisan yang tertuang dari sebuah pikiran yang sedang lelah lantaran tak mampu lagi membendung banyaknya luapan hasrat dan keinginan untuk diungkapkan. Selanjutnya, hanya harapan kepada para pembaca agar sudi untuk mengoreksi kekurangan dan kekeliruan, yang dipastikan menjadi noda hitam dan mengeruhkan kejernihan pembahasan yang tertuang dalam tulisan ini. Sebab, ia hanya sekadar penyaluaran atas luapan gagasan yang timbul dari pemikiran yang belum jelas betul kejernihannya.[]

Jogja, 18 September 2016.
Sumber gambar: 050519-N-0226M-012

Monday, September 12, 2016

Catatan Perjalanan Ke Pantai Goa Cina


Oleh: Muhammad Hilal

Perjalanan ke Pantai Goa Cina bukan perkara sulit. Di antara empat orang peserta, salah satunya sudah pernah mendatanginya. Lalu tinggal merembukkan logistik.

Oleh karena berangkatnya jam 10 malam, maka rutenya ke Pasar Gadang dahulu untuk beli ikan. Pesan pak bakul ikan, bakar-bakar itu lebih enak ikan air laut. Nah, ini tip bagus bagi yang berencana mau bakar ikan. Tongkol sekilogram dan sekilogram lagi entah ikan apa kami borong malam itu.

Perihal peralatan bakar-bakar, seperti kayu, arang, bumbu, panci, kayu bakar, dan lain-lain, salah satu peserta sudah menyiapkannya. Tugas saya cuma membawa setermos kopi dan karpet. Bukan tugas berat, saya sudah siap sedia.

Teman lain bahkan sudah menyiapkan berbagai alat elektronik: kamera DSLR lengkap dengan tripodnya, senter, dan Power Bank. Ini rupanya sudah well prepared semua.

Dengan demikian, keberangkatan ke Pantai Goa Cina terasa enteng-enteng saja, sebab semua sudah siap sedia. Bahkan sebelum berangkatpun, saya sudah bisa menerka bahwa acara bakar ikan ini akan lancar saja.

Kami berangkat ke tujuan melalui jalur Bantur. Itu didasarkan pada anjuran Global Positioning system (GPS) otomatis dari gawai. Menurut suara yang berbicara di gawai, jalur Bantur adalah jalur yang tercepat, lebih cepat ketimbang jalur Gedangan atau jalur Sumbermanjing Wetan. Sungguh fasilitas GPS adalah kemudahan yang patut disyukuri, namun kini saya sadar akurasinya perlu ditinjau ulang.

Dan kami kena batunya juga. Akibat taklid buta kepada fasilitas GPS, perjalanan itu ternyata memakan waktu lebih lama. Di Bantur, sebelum kami mencapai jalan Lintas Selatan, suara di GPS menganjurkan kami mengambil jalur terabasan. Ketika memasuki jalan terabasan, suara itu berkata melenakan, "Anda memasuki jalur tercepat."

Awalnya kami tentu senang bahwa ternyata ada jalur tercepat ke jalan Lintas Selatan. Tapi, lama kelamaan, sinyal ponsel menipis, dan akurasi GPS jadi aneh. Jalan itu kecil dan sepi, berkelok-kelok naik-turun, kendati aspalnya halus. Suasana mulai agak horor. Mulai timbul waswas di benak masing-masing, apa betul ini adalah jalur terabasan ke jalan Lintas Selatan.

Suasana horor semakin menjadi-jadi ketika kami mencapai jalan yang aspalnya rusak, bahkan berbatu. Mobil yang kami tumpangi jadi tak bisa melaju cepat. Jika sebelumnya kami selalu tertawa dan melempar lelucon, kini semuanya jadi terasa tidak lucu. GPS durjana itu ternyata mengibuli. Ketakpastian semakin menghantui.

Suasana kikuk itu akhirnya berakhir setelah kami berhasil mencapai jalan Lintas Selatan yang lebar dan halus. Kami pun berhasil mengembalikan selera humor kami. Kami sudah bisa tertawa lebih lepas dan tanpa beban.

Fasilitas GPS juga masih tak terpakai, sebab sinyal ponsel masih tak tersedia. Namun apa guna mengharap bantuan GPS yang berlaku layaknya Kabil? Kami sudah tak keberatan fasilitas itu tidak terpakai. Kami mengandalkan papan penunjuk arah saja.

Di atas jalan Lintas Selatan, mobil kami melaju cepat dan tanpa hambatan. Sambil mengamati papan penunjuk arah yang rupanya belum tertata baik, kami terus ke arah timur. Hingga akhirnya, di bagian kanan jalan terdapat gapura bergaya tiongkok. Tak diragukan lagi, itulah jalan masuk ke Pantai Goa Cina.

Memasuki area pantai, susana sangat sepi. Toko-toko tutup, pos penjagaan hanya terisi dua-tiga orang. Lampu penerang pun sangat terbatas, bisa dipastikan di bibir pantai akan sangat gelap sekali. Mobil kami parkir di pinggir pagar, tepat di bawah lampu penerang.

Jam menunjukkan pukul 12 lebih. Luar biasa, perjalanan itu ditempuh selama dua jam lebih. Terlalu lama, akibat jalur terabasan "tercepat" dan fasilitas GPS tak akurat.

***

Mencari lokasi bakar-bakar di sekitar pantai tidaklah sulit amat. Selain karena di tempat itu sangat sepi pengunjung, hamparan pasirnya pun cukup luas. Di atas pasir, banyak sekali semak-semak lebat.
Oleh sebab hembusan angin cukup kuat, kami memilih tempat di lokasi yang dikelilingi semak lebat. Barang-barang keperluan kami angkut dari mobil ke lokasi itu.

Tempat itu pun kami tata. Kami mengumpulkan batu untuk dibuat tungku, pasir kami gali sedikit agar ada ruang lebih besar untuk kayu bakar dan arang.

Penerang dari senter dan lampu ponsel cukup membantu kegiatan itu. Hanya di tempat yang disorot peneranglah yang bisa kami lihat, sisanya gelap gulita. Hanya desir angin pesisir dan suara debur ombak yang terasa jelas di indera kami.

Ikan yang kami bawa dibersihkan isi perutnya dengan air galon. Tidak mungkin kami mencucinya dengan air laut, sebab bibir pantai betul-betul gelap. Jangankan mendatanginya, melihatnya saja kami sudah keder. Imajinasi kami melarang kami terlalu dekat ke bibir pantai.

Termasuk pula beras, kami pun mencucinya dengan air galon. Irit menjadi nilai yang sangat berharga saat itu, sebab air itu juga sangat dibutuhkan untuk minum.

Setelah nasi sudah matang, kami mulai mengolah rempah-rempah untuk membumbui ikan. Dengan tungku batu itu, kami menggoreng bumbu yang bahan-bahannya tidak saya tahu apa. Salah seorang peserta kami pasrahkan melakukannya, sebab dia memang paling pengalaman memasak.

Bumbu itu dioleskan ke ikan sebelum dibakar. Dan bumbu itu cukup berhasil, aroma ikan ketika dibakar sangat menggoda iman dan lidah. Harum sekali. Entah dapat resep dari mana teman satu itu, padahal dia hanya alumnus pesantren Ploso dan Lirboyo, jelas kualifikasinya bukan di bidang tataboga. Dalam hal masak-memasak, dia memanglah tipikal learner by doing, orang yang mahir karena suka melakukan berulang-ulang.

Saat ikan bakar pertama sudah matang, kami mencicipi hasil kerja kami. Rasanya luar biasa sekali. Daging ikan bercampur dengan bumbu, diiringi kecap manis, rasanya benar-benar nendang di lidah.
Aroma ikan bakar, hembusan angin pesisir dan debur ombak di kegelapan sana adalah citarasa Pantai Goa Cina saat itu. Terutama suara ombak, saat berbenturan dengan batu, kadang terdengar seperti benturan benda padat, tak ubahnya seperti suara tabrakan mobil. Kesan magis mengenai adidayanya kekuatan alam sangat kentara saat itu.

Saat ikan tersisa dua ekor untuk dibakar, kami sudah tidak sabar. Ingin rasanya lekas-lekas menyantapnya dengan nasi dan sambal kecap. Kipasan kami mulai tidak teratur, terganggu oleh godaan ikan bakar matang di sebelah. Konsentrasi agak buyar.

***

Kini, tibalah waktu untuk menyantap makanan: nasi, 2 kilogram ikan bakar, dan sambal kecap. Porsi nasi dan ikan bakar tidak seimbang, ikannya jauh lebih banyak. Umpama tidak ada nasipun, 2 kilogram ikan bakar rasanya sudah bisa bikin kenyang.

Nikmat makanan itu rupanya makin terasa kalau kita membuatnya sendiri. Berjam-jam berjibaku mematangkannya, menyantap hasilnya mampu memunculkan rasa puas tersendiri, seolah ada hutang yang tertunaikan. Ikan bakar itu terasa maknyus sekali di lidah.

Momen itu, momen kudus menyantap hasil kerja tangan sendiri, memang berlangsung singkat. Hampir rampung ikan 2 kilogram itu dituntaskan, gerimis pertanda hujan mengguyur. Singkat, namun cacing-cacing di perut sudah terpuaskan, padahal masih ada 2 ekor ikan utuh belum tersantap.

Kami berlarian ke tempat berteduh, menyelamatkan alat elektronik dari hujan. Semua alat masak ditinggal di atas pasir. Saat itu benar-benar sepi pengunjung, alat masak rasanya tidak persoalan dibiarkan di situ. Yang penting, kamera dan ponsel berhasil terselamatkan dari hujan.

Kami berteduh di sebuah pos penjagaan, di situ ada empat kursi panjang. Pas sekali dengan jumlah kami. Terasa sekali perut ini kekenyangan. Luar biasa. Godaan ikan bakar lezat membuyarkan konsep kami tentang kenyang, sehingga takaran santapan melebihi batas wajar. Sembari menghisap sigaret, kami duduk di situ, juga mendengarkan kesiur angin kencang menghantam rintik hujan.

Kami lupa, ada dua ikan bakar yang masih tertinggal di tempat semula, kehujanan.

***

Hujan berhenti ketika hari sudah terang. Sehabis membereskan barang yang masih tertinggal di atas pasir ke dalam mobil, kami bermain di bibir pantai. Ini juga momen yang tak kalah kudus.

Bibir pantai di waktu pagi mempertontonkan suasana yang berbeda. Bila tadi malam bibir pantai adalah tempat yang menakutkan dan berperawakan sangar, pagi ini bibir pantai adalah keindahan yang menggoda untuk didekati.

Saat itu sepi pengunjung, hanya terlihat dua kelompok orang melakukan swafoto dan berpose bersama. Sisanya hanya kami berempat. Di depan bibir pantai tampak sebuah batu karang besar berdiri kokoh menantang ombak besar. Di atas batu karang itu, terlihat sebuah pelangi seolah sedang menunduk meminum air laut. Pemandangan alami itu sangat bagus.

Pasir di sana sangat putih, membentang sepanjang bibir pantai, diapit dua batu karang besar di dua ujungnya. Anda bisa berlari-lari, mengambil foto, pose bersama, tidur-tiduran di bawah mentari pagi, menulis nama pujaan hati di atas pasir atau berenang.


Namun, sama seperti kebanyakan pantai yang pernah saya kunjungi, sampah adalah perusak utama keindahan kudus itu.[]

Sunday, September 4, 2016

Ludruk Yang Tergantikan

sonot_project_ludruk

Oleh: Muhammad Ilyas

Ludruk adalah suatu kesenian drama tradisional dari Jawa Timur. Ludruk diperagakan oleh sebuah grup kesenian yang digelar di sebuah panggung dengan mengambil cerita tentang kehidupan rakyat sehari-hari, cerita perjuangan, dan sebagainya. Pertunjukan ini diselingi dengan lawakan dan diiringi dengan gamelan sebagai musik. Ludruk merupakan kesenian yang bernuansa humor, jadi dalam pementasannya terdapat humor-humor pilihan rakyat kalangan bawah.

Asal muasal kesenian ini juga masih banyak perdebatan. Ada beberapa sumber yang mengatakan dari daerah Surabaya. Ada beberapa yang mengatakan dari Jombang. Kesenian ini dimulai sejak era 1800-an, yang pada awal mulanya ludruk merupakan sarana untuk mengamen ke rumah-rumah, dan dilakukan dengan berjalan kaki berpuluh-puluh kilo meter. Itulah sedikit informasi tentang ludruk.

Pada perjalanannya ludruk menjadi kesenian favorit yang digemari masyarakat. Pada era pra kemerdekaan digunakan sebagai alat propaganda untuk meraih kemerdekaan. Ludruk sebagai sarana untuk menyampaikan moral value kepada masyarakat. Ludruk juga digunakan sebagai kritik sosial. Bahkan sampai 1980-an kesenian ini masih diminati oleh masyarakat kalangan bawah. Ayah saya pernah bercerita tentang masa keemasan ludruk. Bahkan waktu itu di desa Sumberurip terdapat gedung teater yang disediakan untuk pertunjukan ludruk, yang dilaksanakan tiap minggu. Wah sebegitu massifnya kesenian ini hingga masuk ke plosok-plosok desa.

Tapi pada era pasca reformasi 1998 ludruk sudah tidak diminati oleh masyarakat, mereka sudah mempunyai TV untuk mengisi waktu luangnya. Tentunya dengan menonton dagelan Senayan dan sekitarnya. Kok bisa begitu, mungkin ada pembaca bertanya-tanya. Masyarakat sudah jenuh dengan pertunjukan ludruk, toh ada yang lebih lucu lagi ketimbang ludruk, yaitu dagelan-dagelan politik.

Yuk kita bandingkan kelucuan ludruk dan kelucuan elit politik kita. Pertama Gancke dan T. Rooda mendifinisakan ludruk sebagai grapper maker (badutan). Nah definisi ludruk juga sama dengan definisi yang ada di Senayan dan sekitarnya. Yah, mereka memang melucu, dan tampil di khalayak umum untuk ditertawakan bersama-sama. Untuk hiburan ketika lagi berpusing ria, dan sebagai pelampiasan saat galau. Tapi badut yang disenayan beraksi dengan fasilitas negara dan ditanggung rakyat, tentunya dengan gaji tinggi. Beda halnya dengan pemain ludruk.

Kedua, dialog atau monolog yang terdapat di ludruk mengundang gelak tawa. Ini sama dengan para politisi kita, misalnya Bang Anas Urbaningrum berkata “Satu rupiah saja Anas korupsi di Hambalang, gantung Anas di Monas!” Sontak para pemirsa di rumah terkekeh melihat monolog ini. Apalagi pasca tertangkapnya beliau sebagai terpidana kasus korupsi Hambalang. Dan sampai sekarang tidak ditemukan tali gantungan yang ada di tugu monas.

Kemudian ada pernyataan dari Haji Lulung, jika Ahok dapat mengumpulkan 1 juta KTP, ia akan mengiris kupingnya. Nah ketika 1 juta KTP terkumpul, telinga Haji Lulung masih tetap utuh, tak cacat sedikitpun. Dan ketika ada wacana Ahok mencalonkan diri melalui jalur partai, Haji Lulung berstatemen sama. Tetapi sampai hari ini kedua telinganya masih utuh. Rakyat tak perlulah menuntut Bang Anas untuk gantung di Monas atau melihat Haji Lulung memotong telinganya. Mengerikanlah, lawong ada telinga saja masih belum bisa mendengar jeritan rakyat, apa lagi tidak punya?,Mengerikan sekali.

Persamaan ketiga adalah penampilan pemain ludruk itu kocak dengan make up loreng-loreng yang mengundang tawa. Nah, begitu juga dengan para politisi kita. Mereka ber-make up tebal dan berias sedemikian rupa agar menjadi bahan tertawaan masyarakat kalangan bawah. Hal ini dibuktikan dengan inkonsisten dalam misi perjuangannya, apakah perjuangannya diabdikan untuk perusahaan, untuk golongan sendiri, untuk pribadi, atau untuk ketiganya. Kalau rakyat, bangsa dan negara diurutan misi perjuangan nomor berapa? Pembaca bisa menilai sendiri.

Persamaan keempat, ludruk menjadi tontonan favorit masyarakat untuk menghibur diri ketika lelah melanda. Nah hal ini juga terjadi dalam perpolitikan bangsa kita. Ketika masyarakat lelah dengan rutinitas sehari-hari, mereka akan menyalakan TV untuk melihat berita para politisi kita. Dan mereka pun asyik dengan melepaskan lelah sambil tertawa melihat berita tersebut. Tidak ada habis-habisnya melihat dagelan Senayan yang setiap hari berganti judul, dan bahkan bagaikan sinetron yang berepisode-episode.

Nah, keempat alasan di atas menjadi bukti bahwa ludruk sudah tergantikan dengan humor-humor segar Senayan dan sekitarnya. Keberadaan ludruk semakin hari semakin memprihatinkan, oleh karena itu mari kita bersama-sama untuk mendorong para pemain ludruk agar masuk dalam lingkaran Senayan dan sekitarnya, agar para pemain ludruk bisa eksis lagi, serta menambah khasanah humor yang ada di Senayan dan sekitarnya.[]

Sumber gambar:
Powered by Blogger.

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top