Di bawah kolong langit ini, ada dua orang bernama John Austin yang lumayan
saya kenal. Yang pertama adalah seorang filsuf kenamaan berkebangsaan
Inggris. Saya mengenalnya melalui bukunya, How to do Things with Words. yang
amat legendaris dan menjadi bacaan wajib bagi mereka yang mengambil
konsentrasi Filsafat Bahasa.
Lalu, yang kedua adalah seorang mahasiswa yang mengaku
dirinya gila. Namun kegilaan tampaknya dia maknai secara positif, bahkan dalam
kadar tertentu mengungguli kewarasan itu sendiri. Bisa jadi, kegilaan yang dia
maksud mirip seperti yang dipahami oleh Ibn al-Husain an-Naisabûrî
melalui bukunya, ‘Uqalâ’ al-Majânîn. Perhatikan judul itu, sangat
kontradiktif. Orang-orang gila (al-majânîn) dia sifati sebagai waras (‘uqalâ’).
Bukankah kegilaan itu sendiri adalah nihilnya kewarasan? Tidak, kata Ibn al-Husain
an-Naisabûrî. Ada satu tingkat yang melebihi keduanya: orang-orang gila yang
waras. Dia menyebut sederet contoh ‘Uqalâ’ al-Majânîn yang sangat
banyak, di antaranya Uwais al-Qarnî, Rabî‘ah al-‘Adawiyyah, Majnûn Banî ‘Âmir.
Nah, kepada John Austin si gila inilah saya meminjam novel Andrea
Hirata terbaru, Ayah. Saya meminjamnya tepat sehari sebelum berangkat ke
Yogyakarta melalui kereta api yang harga tiket kelas ekonominya amatlah mahal
bagi makhluk bumi berkantong pas-pasan macam saya ini. Dan Andrea Hirata memang
pencerita yang menghipnotis. 7,5 jam perjalanan Malang-Yogyakarta saya habiskan
membaca separuh novel ini hampir tanpa henti, kecuali saat menyapa penumpang
lain, ke kamar kecil, atau beranjak ke gerbong resto untuk menikmati nasi
goreng yang harganya juga semena-mena.
Novel Ayah juga berperan sebagai penyelamat di kereta api.
Bagaimana tidak, para penumpang sibuk dengan gawainya sendiri-sendiri. Mereka
mendengar musik pakai headset, bermain game, berkirim pesan entah
kepada siapa, membuka media sosial, lalu ada yang cekikikan sendiri. Di mata
saya mereka seolah sedang pamer gawai. Sedangkan gawai saya hampir tak
berfungsi di atas kereta api. Saya tak bawa headset, tak memasang
program game, dan tak ada koneksi internet. Tidak ada yang bisa saya
pamerkan dari gawai saya. Jadilah novel Ayah di tangan saya sebagai
kesenangan menghabiskan waktu tujuh jam setengah.
Omong-omong soal novel Ayah, sebetulnya Andera Hirata sedang
bercerita tentang orang-orang gila. Tokoh utamanya, Sabari, adalah lelaki super
lugu namun dirundung kesedihan tiada terkira, sebab ditinggal anak semata
wayangnya. Dua teman karibnya, Ukun dan Tamat, tampil sebagai orang-orang bodoh
yang sok pintar, namun setia kawan mengharukan. Istri Sabari, Marlena, adalah
perempuan pemberontak, mudah bosan hingga pendiriannya kerap dia sesali, dan
suka bertualang ke segala penjuru Sumatra, namun sebagai seorang ibu dia
tampaknya tidak pernah menyesal dan mau menanggung konsekuensi hidup yang satu
ini.
Singkat kata, semua tokoh yang tampil dalam novel ini adalah
orang-orang dengan perangai yang ganjil, janggal, tak lumrah, bahkan bisa
dibilang tidak waras. Hanya saja, keunggulan Andrea Hirata dalam bercerita
adalah kemampuannya membuat alur dan plot yang sulit ditebak, seringkali
kegilaan itu berwajah konyol mengundang tawa, kadang mengharukan menyesakkan
dada, tak jarang malah menjengkelkan bikin gemas.
Yang istimewa dari Andrea Hirata adalah caranya bercerita: sarat
humor. Berkat caranya inilah tujuh setengah jam perjalanan saya di atas kereta
api seolah perjalanan yang singkat semata.
Humor yang Andrea Hirata lontarkan bukanlah humor ecek-ecek kelas
begundal yang tak tahu tata krama. Semua manusia ganjil yang dia ceritakan
dalam novelnya adalah orang-orang sekampung halamannya: Belitong. Pulau itu
pernah berjaya dengan tambang timahnya, tapi penduduknya tak merasakan kejayaan
itu. Mereka tetap saja miskin, pendidikan tak terurus, pemerintah lokal tak
berdaya. Dan makhluk miskin tak berdaya itu oleh Andrea Hirata digambarkan sebagai
orang-orang sinting pula. Rupanya, Andrea Hirata sedang mengolah seni
menghargai hal-hal kecil: menertawakan kesusahan.
Humor tertinggi adalah menertawakan diri sendiri, kata Gus Dur
dalam salah satu tulisannya. Bisa dibilang, hampir keseluruhan novel ini adalah
tindakan “menertawakan diri sendiri” itu. Andrea Hirata adalah kelahiran
Belitong dan dia dikenal di mana-mana sebagai orang Belitong, namun
penghinaannya terhadap Belitong tergolong tanpa ampun. Sekali-sekali, Andrea
Hirata melontarkan sumpah serapah. Jarang sekali dia berkata sarkas, namun
sekali terucap rasanya pas sekali untuk ditertawakan.
Hingga sampailah di halaman 140 dia menyebut nama Florentino Ariza
dan Fermina Daza. Dua nama ini tentu saya kenal! Keduanya adalah tokoh utama
dalam novel Gabriel Garcia Marquez, Love in the Time of Cholera.
Sontak, saya merasa Andrea Hirata seperti sedang berusaha menjadi
Gabo—sapaan akrab Gabriel Garcia Marquez—dengan novelnya. Dalam hal tertentu
ada kemiripan yang tak terelakkan antara keduanya. Apa yang saya maksud dengan
“kemiripan tak terelakkan” bukanlah sebentuk jiplakan murahan, melainkan
semacam upaya memasuki gaya menulis Realisme-Magis.
Bukan rahasia lagi, Gabo adalah penulis Realis-Magis kawakan. Gaya
penulisannya amat terkenal hingga menjadikannya sebagai ikon tak terpisahkan
darinya dan dia menjadi sangat berpengaruh dalam jagad sastra terkini. Apa yang
khas dari Realisme-Magis ini adalah absurditasnya dalam bergambarkan dunia dan
seisi makhluk-makhluknya.
Dalam novelnya yang lain, One Hundred Years of Solitude, Gabo
menggambarkan Kolumbia, Negara asalnya, dengan absurditas yang tak
tanggung-tanggung. Tokoh-tokohnya memiliki perangai yang membingungkan, sering
bikin keputusan ganjil, dan dalam kadar tentu tergolong sinting.
Namun, Gabo tidak sedang main-main dengan cara penggambaran begitu
terhadap negaranya. Dia sebetulnya ingin keluar dari penggambaran yang
tampaknya rasional dan normal, namun
sebetulnya dipaksakan oleh bangsa-bangsa luar—terutama negara-negara Barat. Tak
ayal, gaya Realisme-Magis sebetulnya adalah suatu dobrakan, perlawanan terhadap
definisi yang dibikin oleh bangsa penjajah.
Novel Ayah saya lihat membawa semangat ini, dengan metode
yang sama pula. Namun, Realisme-Magis yang Andrea Hirata bawa seolah tidak
tuntas. Andrea Hirata tampaknya ingin menjadikan cerita Marlena sebagai
“perempuan khas Realisme-Magis”—para perempuan gila yang terlunta diterpa nasib
serba malang, namun mampu menghadapinya dengan tegar dan dengan cara yang
sangat terhormat, jauh lebih bermartabat ketimbang para lelaki. Coba bandingkan
bagaimana Marlena menyikapi kehidupannya dengan karakter lain dalam novel Ayah
ini, meski sama-sama bertubi diterpa kemalangan namun Marlena tampak lebih
tegar, bermartabat, dan memancarkan Elan Vital.
Dalam novel Realisme-Magis, sosok perempuan seperti ini seakan
menjadi salah satu bumbu wajib. Di One Hundred Years of Solitude-nya Gabriel
Garcia Marquez, Big Breasts and Wide Hips-nya Mo Yan atau My Name is
Red-nya Orkhan Pamuk, misalnya, tampil para perempuan yang memiliki
karakter demikian dan mampu menjadi penyeimbang dari cerita para lelaki yang sangat
lemah dan tak bisa diandalkan. Perempuan-perempuan ini terkadang mengambil
keputusan yang sangat menentukan. Namun cerita Marlena dalam novel Ayah seolah
terhenti di tengah jalan, tak tamat dia berperan sebagai perempuan
Realis-Magis.
Dalam novel Realisme-Magis juga akan ditemukan beberapa bocah yang
jiwanya lebih dewasa bahkan ketimbang orang tuanya sendiri. Andrea Hirata
seolah ingin menampilkan sosok Zorro, anak semata wayang Sabari, sebagai
karakter ini. Zorro digambarkan sebagai bocah yang mampu menyesuaikan diri dan
bersikap waras di tengah kegilaan orang-orang dewasa sekitarnya. Dia tidak
pernah mengeluh, tapi sangat handal mengarungi hidupnya.
Di Indonesia, terdapat seorang novelis lain yang juga menulis
dengan gaya Realisme-Magis. Namanya Eka Kurniawan. Novelnya berjudul Cantik
Itu Luka. Sayangnya, hingga kini belum saya baca. Barangkali,
membandingkannya dengan novel Ayah akan menarik, semacam membandingkan
kegilaanlah.[]
sumber gambar: http://wall.alphacoders.com
Memang novel ayah benar-benar membuat kita merasa bangga
ReplyDeleteSetuju, Mas. Trims sudah bertandang :)
Deletememang benar2 gila itu novel Ayah. dan skg saya berkecimpung dalam kegilaan krn meneliti novel itu sbg tugas akhir alias skripsi xD
ReplyDeletewish me luck xD