Sunday, December 27, 2015

Novel Ayah dan Realisme-Magis yang Tak Tuntas

5:51 PM


Oleh: Muhammad Hilal
 
Di bawah kolong langit ini, ada dua orang bernama John Austin yang lumayan saya kenal. Yang pertama adalah seorang filsuf kenamaan berkebangsaan Inggris. Saya mengenalnya melalui bukunya, How to do Things with Words. yang amat legendaris dan menjadi bacaan wajib bagi mereka yang mengambil konsentrasi Filsafat Bahasa. 

Lalu, yang kedua adalah seorang mahasiswa yang mengaku dirinya gila. Namun kegilaan tampaknya dia maknai secara positif, bahkan dalam kadar tertentu mengungguli kewarasan itu sendiri. Bisa jadi, kegilaan yang dia maksud mirip seperti yang dipahami oleh Ibn al-Husain an-Naisabûrî melalui bukunya, ‘Uqalâ’ al-Majânîn. Perhatikan judul itu, sangat kontradiktif. Orang-orang gila (al-majânîn) dia sifati sebagai waras (‘uqalâ’). Bukankah kegilaan itu sendiri adalah nihilnya kewarasan? Tidak, kata Ibn al-Husain an-Naisabûrî. Ada satu tingkat yang melebihi keduanya: orang-orang gila yang waras. Dia menyebut sederet contoh ‘Uqalâ’ al-Majânîn yang sangat banyak, di antaranya Uwais al-Qarnî, Rabî‘ah al-‘Adawiyyah, Majnûn Banî ‘Âmir.

Nah, kepada John Austin si gila inilah saya meminjam novel Andrea Hirata terbaru, Ayah. Saya meminjamnya tepat sehari sebelum berangkat ke Yogyakarta melalui kereta api yang harga tiket kelas ekonominya amatlah mahal bagi makhluk bumi berkantong pas-pasan macam saya ini. Dan Andrea Hirata memang pencerita yang menghipnotis. 7,5 jam perjalanan Malang-Yogyakarta saya habiskan membaca separuh novel ini hampir tanpa henti, kecuali saat menyapa penumpang lain, ke kamar kecil, atau beranjak ke gerbong resto untuk menikmati nasi goreng yang harganya juga semena-mena.

Novel Ayah juga berperan sebagai penyelamat di kereta api. Bagaimana tidak, para penumpang sibuk dengan gawainya sendiri-sendiri. Mereka mendengar musik pakai headset, bermain game, berkirim pesan entah kepada siapa, membuka media sosial, lalu ada yang cekikikan sendiri. Di mata saya mereka seolah sedang pamer gawai. Sedangkan gawai saya hampir tak berfungsi di atas kereta api. Saya tak bawa headset, tak memasang program game, dan tak ada koneksi internet. Tidak ada yang bisa saya pamerkan dari gawai saya. Jadilah novel Ayah di tangan saya sebagai kesenangan menghabiskan waktu tujuh jam setengah.

Omong-omong soal novel Ayah, sebetulnya Andera Hirata sedang bercerita tentang orang-orang gila. Tokoh utamanya, Sabari, adalah lelaki super lugu namun dirundung kesedihan tiada terkira, sebab ditinggal anak semata wayangnya. Dua teman karibnya, Ukun dan Tamat, tampil sebagai orang-orang bodoh yang sok pintar, namun setia kawan mengharukan. Istri Sabari, Marlena, adalah perempuan pemberontak, mudah bosan hingga pendiriannya kerap dia sesali, dan suka bertualang ke segala penjuru Sumatra, namun sebagai seorang ibu dia tampaknya tidak pernah menyesal dan mau menanggung konsekuensi hidup yang satu ini.

Singkat kata, semua tokoh yang tampil dalam novel ini adalah orang-orang dengan perangai yang ganjil, janggal, tak lumrah, bahkan bisa dibilang tidak waras. Hanya saja, keunggulan Andrea Hirata dalam bercerita adalah kemampuannya membuat alur dan plot yang sulit ditebak, seringkali kegilaan itu berwajah konyol mengundang tawa, kadang mengharukan menyesakkan dada, tak jarang malah menjengkelkan bikin gemas.

Yang istimewa dari Andrea Hirata adalah caranya bercerita: sarat humor. Berkat caranya inilah tujuh setengah jam perjalanan saya di atas kereta api seolah perjalanan yang singkat semata.

Humor yang Andrea Hirata lontarkan bukanlah humor ecek-ecek kelas begundal yang tak tahu tata krama. Semua manusia ganjil yang dia ceritakan dalam novelnya adalah orang-orang sekampung halamannya: Belitong. Pulau itu pernah berjaya dengan tambang timahnya, tapi penduduknya tak merasakan kejayaan itu. Mereka tetap saja miskin, pendidikan tak terurus, pemerintah lokal tak berdaya. Dan makhluk miskin tak berdaya itu oleh Andrea Hirata digambarkan sebagai orang-orang sinting pula. Rupanya, Andrea Hirata sedang mengolah seni menghargai hal-hal kecil: menertawakan kesusahan.

Humor tertinggi adalah menertawakan diri sendiri, kata Gus Dur dalam salah satu tulisannya. Bisa dibilang, hampir keseluruhan novel ini adalah tindakan “menertawakan diri sendiri” itu. Andrea Hirata adalah kelahiran Belitong dan dia dikenal di mana-mana sebagai orang Belitong, namun penghinaannya terhadap Belitong tergolong tanpa ampun. Sekali-sekali, Andrea Hirata melontarkan sumpah serapah. Jarang sekali dia berkata sarkas, namun sekali terucap rasanya pas sekali untuk ditertawakan.

Hingga sampailah di halaman 140 dia menyebut nama Florentino Ariza dan Fermina Daza. Dua nama ini tentu saya kenal! Keduanya adalah tokoh utama dalam novel Gabriel Garcia Marquez, Love in the Time of Cholera. 

Sontak, saya merasa Andrea Hirata seperti sedang berusaha menjadi Gabo—sapaan akrab Gabriel Garcia Marquez—dengan novelnya. Dalam hal tertentu ada kemiripan yang tak terelakkan antara keduanya. Apa yang saya maksud dengan “kemiripan tak terelakkan” bukanlah sebentuk jiplakan murahan, melainkan semacam upaya memasuki gaya menulis Realisme-Magis.

Bukan rahasia lagi, Gabo adalah penulis Realis-Magis kawakan. Gaya penulisannya amat terkenal hingga menjadikannya sebagai ikon tak terpisahkan darinya dan dia menjadi sangat berpengaruh dalam jagad sastra terkini. Apa yang khas dari Realisme-Magis ini adalah absurditasnya dalam bergambarkan dunia dan seisi makhluk-makhluknya.

Dalam novelnya yang lain, One Hundred Years of Solitude, Gabo menggambarkan Kolumbia, Negara asalnya, dengan absurditas yang tak tanggung-tanggung. Tokoh-tokohnya memiliki perangai yang membingungkan, sering bikin keputusan ganjil, dan dalam kadar tentu tergolong sinting. 

Namun, Gabo tidak sedang main-main dengan cara penggambaran begitu terhadap negaranya. Dia sebetulnya ingin keluar dari penggambaran yang tampaknya rasional dan  normal, namun sebetulnya dipaksakan oleh bangsa-bangsa luar—terutama negara-negara Barat. Tak ayal, gaya Realisme-Magis sebetulnya adalah suatu dobrakan, perlawanan terhadap definisi yang dibikin oleh bangsa penjajah.

Novel Ayah saya lihat membawa semangat ini, dengan metode yang sama pula. Namun, Realisme-Magis yang Andrea Hirata bawa seolah tidak tuntas. Andrea Hirata tampaknya ingin menjadikan cerita Marlena sebagai “perempuan khas Realisme-Magis”—para perempuan gila yang terlunta diterpa nasib serba malang, namun mampu menghadapinya dengan tegar dan dengan cara yang sangat terhormat, jauh lebih bermartabat ketimbang para lelaki. Coba bandingkan bagaimana Marlena menyikapi kehidupannya dengan karakter lain dalam novel Ayah ini, meski sama-sama bertubi diterpa kemalangan namun Marlena tampak lebih tegar, bermartabat, dan memancarkan Elan Vital. 

Dalam novel Realisme-Magis, sosok perempuan seperti ini seakan menjadi salah satu bumbu wajib. Di One Hundred Years of Solitude-nya Gabriel Garcia Marquez, Big Breasts and Wide Hips-nya Mo Yan atau My Name is Red-nya Orkhan Pamuk, misalnya, tampil para perempuan yang memiliki karakter demikian dan mampu menjadi penyeimbang dari cerita para lelaki yang sangat lemah dan tak bisa diandalkan. Perempuan-perempuan ini terkadang mengambil keputusan yang sangat menentukan. Namun cerita Marlena dalam novel Ayah seolah terhenti di tengah jalan, tak tamat dia berperan sebagai perempuan Realis-Magis.

Dalam novel Realisme-Magis juga akan ditemukan beberapa bocah yang jiwanya lebih dewasa bahkan ketimbang orang tuanya sendiri. Andrea Hirata seolah ingin menampilkan sosok Zorro, anak semata wayang Sabari, sebagai karakter ini. Zorro digambarkan sebagai bocah yang mampu menyesuaikan diri dan bersikap waras di tengah kegilaan orang-orang dewasa sekitarnya. Dia tidak pernah mengeluh, tapi sangat handal mengarungi hidupnya.

Di Indonesia, terdapat seorang novelis lain yang juga menulis dengan gaya Realisme-Magis. Namanya Eka Kurniawan. Novelnya berjudul Cantik Itu Luka. Sayangnya, hingga kini belum saya baca. Barangkali, membandingkannya dengan novel Ayah akan menarik, semacam membandingkan kegilaanlah.[]

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

3 komentar:

  1. Memang novel ayah benar-benar membuat kita merasa bangga

    ReplyDelete
  2. memang benar2 gila itu novel Ayah. dan skg saya berkecimpung dalam kegilaan krn meneliti novel itu sbg tugas akhir alias skripsi xD

    wish me luck xD

    ReplyDelete

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top