Oleh: Abdurrohim Said*
PENDAHULUAN
“Bangsa
yang besar adalah bangsa yang bisa menghargai jasa-jasa pahlawannya”, kiranya
tidak terlalu berlebihan jika kata-kata tersebut menjadi pendahulu artikel
singkat ini, guna mangungkapkan akan pentingnya sebuah generasi mengingat
kembali jasa-jasa pendahulunya. Paling tidak sebagai pelajaran bagi generasi
untuk mengikuti jejak langkah pendahulunya.
Mempelajari
sejarah sangatlah penting, terlebih untuk menjaga dan melestarikan sejarah
tersebut dan mengaktualisasikannya sebagai dasar-dasar penting. Dalam hal ini,
Ibn Khaldûn dalam Muqaddimah-nya mengatakan, “Mengetahui dan
mempelajari Sejarah sangatlah penting, karena hal itu dapat memperlihatkan
kepada kita keadaan orang-orang terdahulu.”[1]
Sosok
Ar-Râzî (864-930 M), sebagai tokoh serta ilmuwan Muslim yang pernah terlahir di dunia Islam
tidak bisa dipungkiri telah menggoreskan tinta emasnya dalam sejarah Islam. Maka
di sini penulis akan mengetengahkan sekilas tentang biografinya, dengan harapan
semoga generasi umat Islam ini semakin tergugah dan menyadari akan pentingnya
mengingat para pendahulunya, paling tidak sebagai titik awal usaha kebangkitan
umat Islam pada umumnya.
Riwayat
Hidup Ar-Râzî
Nama
asli Ar-Râzî adalah Abû Bakr Muhammad ibn Zakariyâ Ar-Râzî dikenal di Barat
sebagai Rhazes. Dia adalah salah seoran Ilmuwan Iran yang hidup pada 864-930 M.
Ar-Râzî lahir di Rayy, Teheran, pada 865.[2] Ia
pernah menjadi direktur Rumah sakit Rayy dan pernah pula menjadi direktur Rumah
Sakit Baghdad.[3]
Selain Ar-Râzî sang ahli filsafat, ada lagi beberapa nama tokoh lain yang juga
dipanggilkan Ar-Râzî, yakni Abû Hâtim Ar-Râzî, Fakhr ad-Dîn Ar-Râzî dan
Najm ad-Dîn Ar-Râzî. Oleh karena itu, agar dapat membedakan Ar-Râzî sang
filosof ini dari tokoh-tokoh lain, perlu ditambahkan dengan sebutan Abû Bakr,
yang merupakan nama kunyah-nya.[4]
Di
awal kehidupannya, dia sangat tertarik dengan seni musik. Namun, dia juga
tertarik dengan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya sehingga kebanyakan masa hidupnya
dihabiskan untuk mengkaji kimia, filsafat, logika, matematika, dan fisika. Pada
akhirnya dia dikenal sebagai ahli pengobatan seperti Ibn Sînâ, tetapi semula Ar-Râzî
adalah seorang ahli kimia.
Menurut
sebuah riwayat yang dikutip oleh Nasr (1968), Ar-Râzî meninggalkan dunia kimia
karena pengelihatanya mulai kabur akibat eksperimen-aksperimen kimia yang
meletihkannya. Lalu, dengan bekal ilmu kimianya yang luas dia menekuni dunia medis
kedokteran yang rupanya menarik minatnya ketika muda. Menurut Ar-Râzî, seorang
pasien yang sembuh dari penyakitnya disebabkan oleh respon reaksi kimia yang
terdapat di dalam tubuh pasien tersebut.
Dalam
waktu yang relatif cepat, Ar-Râzî mendirikan rumah sakit di Rayy, sebagai salah
satu rumah sakit yang terkenal sebagai pusat penelitian dan pendidikan medis.
Selang beberapa waktu kemudian, dia juga dipercaya memimpin rumah sakit
Baghdad.
Beberapa
ilmuwan Barat berpendapat bahwa Ar-Râzî adalah penggagas ilmu kimia modern. Hal
ini dibuktikan dengan hasil karya tulis dan hasil penemuan eksperimanya. Ar-Râzî
berhasil memberikan informasi lengkap dari beberapa reaksi kimia serta
deskripsi dan desain lebih dari dua puluh instrument untuk analisis kimia. Dia
juga memberikan deskripsi ilmu kimia secara sederhana dan rasional.
Karya-karya
al-Razi
Ar-Razi (sumber) |
Ar-Râzî
termasuk tokoh yang produktif, keteguhan dan kesungguhannya dalam menulis
sangat tinggi untuk kalangan tokoh pada masa itu, Ia pernah menulis dalam
setahun, lebih dari 20.000 lembar kertas. Disebutkan bahwa karya tulisnya
mencapai 232 buah buku atau risalah. Karya tulisnya yang terbesar adalah Al-Hâwî
(himpunan), sebuah ensiklopedi kedokteran yang terdiri dari 20 jilid, yang
mengandung kedokteran Yunani, Suriah, Arab, dan hasil penelitiannya sendiri.
Ensiklopedi kedokteran tersebut diterjemahkan kedalam bahasa latin pada tahun
1279, dan sejak tahun 1486 berulang kali dicetak karena dipakai di
universitas-universitas Eropa sampai dengan abad ke-17. Karangannya tentang
campak dan cacar (Fî al-Judâr Wa al-Hasbah) juga diterjemahkan kedalam
bahasa latin, dan bahkan pada tahun 1866 dicetak untuk ke-40 kalinya.[5]
Sebagai
seorang kimiawan, Ar-Râzî adalah orang pertama yang mampu menghasilkan asam
sulfat dan beberapa asam lainnya bahkan penggunaan alkohol untuk fermentasi zat
yang manis. Beberapa karya tulis ilmiahnya dalam bidang ilmu kimia yaitu: (1) Al-Asrâr,
membahas teknik penanganan zat-zat kimia dan manfaatnya. (2) Liber
Experimentorum, membahas pembagian zat ke dalam hewan, tumbuhan, dan
mineral yang menjadi cikal bakal kimia organik dan kimia non-organik. (3) Sirr
Al-Asrâr, membahas (a) ilmu dan pencarian obat-obatan dari sumber tumbuhan,
hewan, dan galian serta simbolnya, juga jenis terbaik untuk digunakan dalam
perawatan; (b) ilmu dan peralatan yang penting bagi kimia serta apotek; (c)
ilmu dan tujuh tata cara serta teknik kima yang melibatkan pemprosesan reksa,
belerang (sulfur), arsenik, serta logam-logam lain seperti emas, perak,
tembaga, timbal, dan besi.[6]
Selain
itu, Ar-Râzî juga terkenal di dunia psikologi. Dia terkenal melalui karyanya The
Spritual Physic (Pengobatan Jiwa) yang memperlihatkan bahwa ia adalah
seorang psikolog tangguh dan ahli medis yang terkemuka. Beberapa pemikirannaya
banyak menarik para pemikir modern. Ia mengembangkan hubungan saling tolong-menolong
secara mutual (Mutual Helpfulness), dan Ar-Râzî juga mengembangkan a
pleasure-pain theory (teori tentang senang dan sakit).[7]
Filsafat
Ar-Râzî
Nampaknya
Ar-Râzî juga seorang rasionalis murni. Hal ini tampak dalam halaman pendahuluan
karyanya “Al-Thibb ar-Rûhânî”, ia menulis:
“Tuhan, segala puji baginya yang telah memberikan kita akal agar dengannya kita dapat memperoleh manfaat sebanyak-banyaknya, inilah karunia terbaik Tuhan kepada kita. Dengan akal kita dapat melihat yang berguna bagi kita dan yang membuat hidup kita baik. Dengan akal pula kita dapat mengetahui yang gelap, yang jauh dan yang tersembunyi bagi kita. Dengan akal pula, kita dapat memperoleh pengetahuan tentang tuhan suatu pengetahuan yang tertinggi….”
Dari
perkataan al-Razi ini, nampak jelas posisi akal menjadi hal yang urgen dalam
memahami sesuatu, termasuk Tuhan.
~ Metafisika
Filsafat Ar-Râzî terkenal dengan bangunannya pada ajaran “Lima
Kekal” yaitu: (1) Tuhan, (2) Jiwa Universal, (3) Materi Pertama (4) Ruang
Absolut, (5) Masa Absolut.
Menurut
al-Razi, dua dari lima yang kekal tersebut hidup dan aktif, yaitu Tuhan dan
Jiwa/Roh Universal. Satu daripadanya tidak hidup dan pasif, yaitu materi.
Sedangkan dua lainnya tidak hidup, tidak aktif dan tidak pula pasif, yakni
ruang dan masa.
Allah
adalah maha pencipta dan pengatur seluruh alam ini. Alam diciptakan Allah bukan
dari tiada, akan tetapi dari sesuatu yang telah ada (al-îjâd min syai’).
Oleh karena itu, alam semestinya tidak kekal, sekalipun materi pertama kekal,
sebab penciptaan di sini dalam arti disusun dari sesuatu yang telah ada.
Jiwa
universal merupakan al-mabda’ al-qadîm al-tsânî (sumber kekal yang
kedua). Pada benda-benda terdapat daya hidup dan gerak (sulit diketahui karena
dia tanpa bentuk) yang berasal dari jiwa universal. Namun, karena benda-benda
itu dikuasai naluri untuk bersatu dengan al-hayûlâ al-ûlâ (materi
pertama), maka terjadilah pada zatnya bentuk yang dapat menerima fisik.
Sedangkan Materi Pertama tanpa fisik, maka Tuhan menolong roh dengan
menciptakan alam semesta termasuk badan manusia yang ditempati roh, agar jiwa
dapat melampiaskan nafsu kejinya dengan mangambil kesenangan-kesenangan materil
untuk sementara waktu.[8]
Keabadian
materi didemontrasikan dalam dua cara. Penciptaan, yaitu tindakan materi yang
sedang “dalam pembentukan”, mensyaratkan (adanya) bukan saja seorang Pencipta
yang telah mendahuluinya, tetapi juga sebuah substratum atau meteri di mana
tindakan itu melekat. Selain itu, konsep yang sebenarnya dari penciptaan ex
nihilo tidak dapat dipertahankan secara logis, karena jika Tuhan telah
mampu menciptakan sesuatu dari tiada, maka tentu saja ia harus terikat pada
penciptaan segala sesuatu dari tiada, karena hal ini merupakan modus
pembuatan yang paling sederhana dan paling cepat. Tetapi karena tidak demikian
halnya, maka dunia haruslah dikatakan telah diciptakan dari materi tanpa
bentuk, yang telah mendahuluinya sejak semula. Materi memerlukan sebuah locus
tempat ia tinggal, dan ini adalah prinsip yang kedua.[9]
Mengenai
Ruang dipahami oleh Ar-Râzî sebagai sebuah konsep abstrak, yang berbeda dengan
“tempat” (tonos) Aristoteles, tidak dapat dipisahkan secara logis dari
tubuh. Akibatnya, ia menarik garis perbedaan antara tempat atau ruang universal
dan partikular. Tempat (ruang) universal sama sekali berbeda dengan tubuh,
sehingga konsep tubuh yang menempatinya tidak perlu masuk kedalam defenisinya,
seperti yang implisit dalam konsep ruang Aristotelian, atau “batas tubuh yang
paling dalam yang terkandung di dalamnya”. Sementara bagi Aristoteles pun dalam
kapasitas universalnya sebagai locus communis, ruang tidak dapat
dipisahkan dari tubuh alam semesta dan karena itu bersifat terbatas. Tempat
partikular, dipihak lain, tidak dapat dipahami secara terpisah dari materi yang
merupakan esensinya yang sejati. Dalam hal ini, ia berbeda dengan konsep
Aristoteles tentang ruang-waktu sebagai locus atau wahana (vehicle).[10]
Mengenai
yang ketiga, dalam pandangannya tentang waktu, Ar-Râzî juga menyimpang dari
Aristoteles, yang memandang waktu sebagai semacam gerak atau bilangan dari
padanya. Konsep seperti itu menyebabkan realitas waktu tergantung secara logis
kepada gerakan secara umum dan gerakan segenap langit secara khusus; tetapi
dalam pandangan Ar-Râzî, gerak tidaklah menghasilkan tetapi hanyalah menyingkap
atau memperlihatkan waktu, yang karenanya secara esensial tetap berbeda
dengannya. Seperti terhadap ruang, lebih lanjut ia membedakan antara waktu
partikular dengan waktu mutlak atau universal. Yang pertama dibayangkan sebagai
(sesuatu) yang dapat diukur dan terbatas, sedangkan yang terakhir sebagai yang
tidak dapat diukur dan tidak terbatas, sama dengan zaman universal (ad-Dahr)
Neoplatonik, yang merupakan ukuran perlangsungan dunia indriawi, yang disebut
oleh Plato “bayang-bayang keabadian yang bergerak”.[11]
~ Moral
Soul |
Adapun
pemikiran Al-Razi tentang moral, sebagai tertuang dalam bukunya Ath-Thibb ar-Rûhânî
dan As-Sîrah al-Falsafiyah, bahwa tingkah laku pun mestilah berdasarkan
petunjuk rasio. Hawa nafsu harus berada di bawah kendali akal dan agama. Ia
memperingatkan bahaya minuman khamar yang dapat merusak dan melanggar ajaran
agama, bahkan dapat mengakibatkan menderita penyakit jiwa dan raga yang pada
gilirannya menghancurkan manusia. Karena itu, manusia perlu mengetahui
kekurangan-kekurangannya, sehingga ia dapat meminta seorang teman yang
berkemampuan menalar untuk mengatakan kepadanya tentang kekurangan di maksud.
Sebaliknya, seseorang harus mengetahui perihal orang lain, tetangga, teman yang
berpikir tentang dirinya.[12]
Berkaitan
dengan jiwa, Ar-Râzî mengharuskan
seorang dokter untuk mengetahui kedokteran jiwa (Ath-Thibb ar-Rûhânî)
dan kedokteran tubuh (Ath-Thibb al-Jismânî) secara bersama-sama, karena
manusia memerlukan hal itu secara bersama-sama pula. Kebutuhan kepada
kedokteran tubuh sudah lazim, sedangkan kebutuhan untuk kedokteran jiwa adalah
untuk menjaga keseimbangan jiwa dalam aktivitas-aktivitasnya, agar tidak minus
ataupun over. Karena itu, faktor jiwa menjadi salah satu dasar
pengobatan bagi Ar-Râzî. Menurutnya terdapat hubungan yang erat antara tubuh
dan jiwa. Misalnya, emosi jiwa tidak akan terjadi kecuali dengan melalui
persepsi inderawi. Emosi jiwa yang berlebihan akan mempengaruhi keseimbangan
tubuh, sehingga menimbulkan keraguan-keraguan yang melankolis. Demikian pula
sifat hasut atau dengki akan dapat mendatangkan marabahaya bagi manusia secara
kejiwaan dan tubuh; kekhawatiran yang berlebihan juga dapat menyebabkan
terjadinya halusinasi dan melankonia atau kelayuan diri.
~ Kenabian
Al-Razi
menyanggah anggapan bahwa untuk keteraturan kehidupan, manusia memerlukan nabi.
Pendapat yang kontroversial ini harus dipahami bahwa ia adalah seorang
rasionalis murni. Akal menurutnya adalah karunia Allah yang terbesar untuk
manusia. Dengan akal manusia dapat memperoleh manfaat sebanyak-banyaknya,
bahkan dapat memperoleh pengetahuan tentang Tuhan. Karena itu, manusia tidak
boleh menyia-nyiakan dan mengekang ruang gerak akal, tetapi memberi kebebasan
sepenuhnya dalam segala hal. Jika akal tidak ada samalah halnya manusia dengan
binatang atau anak-anak atau orang gila.[13]
Al-Razi
memang menentang kenabian wahyu dan kecendrungan irrasional. Segalanya harus
masuk akal, ilmiah dan logis, sehingga akal menjadi kriteria prima dalam
pengetahuan dan prilaku. Perbedaan manusia adalah disebabkan oleh berbedanya
pemupukan akal karena ada yang memperhatikan hal tersebut dan ada yang tidak
memperhatikannya, baik dalam segi teoritis maupun yang bersifat praktis.[14]
Selain
itu, Ar-Râzî juga mengakui kenabian sebagaimana ia nyatakan dengan sebuah kata
”Semoga Allah melimpahkan Shalawat kepada ciptaan-Nya yang terbaik, Nabi
Muhammad dan keluarganya dan semoga Allah melimpahkan Salawat kepada Sayid
kita, kekasih kita, dan penolong kita di hari kiamat, yakni Muhammad. Semoga
Allah melimpahkan kepadanya Salawat dan Salam yang banyak selama-lamanya.”[15]
Pandangan
Ar-Râzî yang mengultuskan kekuatan akal tersebut menjadikan ia tidak percaya kepada
wahyu dan adanya nabi sebagai diutarakannya dalam bukunya, Naqd al-Adyân aw fî
al-Nubuwwah (Kritik terhadap Agama-agama atau perihal Kenabian).
Menurutnya, para nabi tidak berhak mengklaim dirinya sebagai orang yang
memiliki keistimewaan khusus, baik pikiran maupun rohani, karena semua orang
itu adalah sama dan keadilan Tuhan serta hikmah-Nya mengharuskan tidak
membedakannya antara seseorang dengan yang lainnya. Perbedaan antara manusia
timbul karena berlainan pendidikan dan berbedanya suasana perkembangannya.
Lebih lanjut di katakannya, tidaklah masuk akal bahwa Tuhan mengutus para Nabi
padahal mereka tidak luput dari banyak kekeliruan. Setiap bangsa hanya percaya
kepada Nabinya dan tidak mengakui Nabi bangsa lain. Akibatnya terjadi banyak
peperangan keagamaan dan kebencian antara bangsa karena kefanatikan kepada
agama bangsa yang di peluknya. Kelangsungan agama hanya berasal dari tradisi,
dari kepentingan para ulama yang di peralat oleh negara, dan dari
upacara-upacara yang menyilauan mata rakyat bodoh.[16]
KESIMPULAN
Dari
pembahasan tersebut, maka penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa Abû Bakr Muhammad
ibn Zakariyâ Ar-Râzî atau dikenali sebagai Rhazes di dunia Barat merupakan
salah seorang pakar sains Iran yang hidup antara tahun 864-930. Ia lahir di
Rayy. Ar-Râzî lahir pada tanggal 28 Agustus 865 Hijirah dan meninggal pada
tanggal 09 Oktober 925 Hijriah. Nama Ar-Râzî-nya berasal dari nama kota Rayy.Ia
adalah seorang pemikir atau filosof rasionalis yang tidak mempercayai wahyu dan
kenabian. Namun ia juga seorang Muslim yang ingin menginterpretasikan
pemahamannya tentang Tuhan dan makhlukNya. Karena ia seorang dokter, maka
karyanya yang banyak adalah dalam bidang kedokteran.
Pemikiran
filsafatnya sangat rasionalis, bahkan ia tidak mempercayai signifikansi Alquran
dan kenabian. Ajaran yang terkenal darinya adalah Lima Kekal. Di samping itu,
ia juga mempunyai ajaran etika agar manusia tidak terlalu zuhud dan juga tidak
terlalu bermewah-mewah.
DAFTAR PUSTAKA
- Khaldun, Abdu al-Rahman Ibnu “Muqaddimah Ibnu Khaldun”, 2001 (Beirut; Daru al-Fikr)
- Dahlan, Abdul Aziz. Dkk “ENSIKLOPEDI TEMATIS DUNIA ISLAM, PEMIKIRAN DAN PERADABAN. 2001 (Jakarta; PT Ichtiar Baru Van Hoeve)
- Zar, Sirajuddin, “Filsafat Islam filosof dan filsafatnya”, 2004 (Jakarta: Raja Grafindo Persada)
- al-Khoiry, M. Mufur . “Zaman keemasan Islam (para ilmuan Muslim dan pengaruhnya terhadap dunia barat. (terjemah ARABIC THOUGHT AND THE WESTERN WORLD, in the Golden age of Islam) 2003 ( Yogyakarta; Fajar Pustaka Baru)
- Nasution, Hasyimsyah. “Filsafat Islam” 1999 (Jakarta; Gaya Media Pratama)
- Majid Fakry, “Filsafat Islam : Sebuah Peta Kronologis” 2001 Penj. Zaimul am. (Bandung; Mizan)
- Dahlan. Ahmad Aziz, Kitab Al-Razi, Al-Thibb al-Ruhani, dalam Lajnah Ihya’Al-Thurats al-Arabi (ed) Rasa’il Falsafiyah, 1982 (Beirut: Dar al-Falaq al-Jadidah)
- Mustofa, A. Filsafat Islam, 2004 (Bandung: Pustaka Setia)
- http://info-biografi.blogspot.com/2010/04/biografi-al-razi.html (diakses pada : 21 Juni 2013 Pukul : 23:15)
[1] Abdu
al-Rahman Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibnu Khaldun, Daru al-Fikr, (2001) Beiru
Lebanon. Hlm. 13
[2] http://info-biografi.blogspot.com/2010/04/biografi-al-razi.html
[3] ENSIKLOPEDI
TEMATIS DUNIA ISLAM, PEMIKIRAN DAN PERADABAN. PROF. DR. H Abdul Aziz Dahlan.
Dkk. (Jakarta; PT Ichtiar Baru Van Hoeve) 183.
[4] Zar,
Sirajuddin, Filsafat Islam filosof dan
filsafatnya, 2004 (Jakarta: Raja Grafindo Persada) 133
[5] ENSIKLOPEDI
TEMATIS DUNIA ISLAM, PEMIKIRAN DAN PERADABAN. PROF. DR. H Abdul Aziz Dahlan.
Dkk. PT Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta. Hlm. 183.
[6] http://info-biografi.blogspot.com/2010/04/biografi-al-razi.html
[7] Zaman
keemasan Islam (para ilmuan Musloim dan pengaruhnya terhadap dunia barat.
(terjemah ARABIC THOUGHT AND THE WESTERN WORLD, in the Golden age of Islam). M.
Mufur al-Khoiry, Fajar Pustaka Baru,
2003, Yogyakarta. Hlm. 5-6
[8]
Hasyimsyah Nasution “Filsafat Islam” 1999 (Jakarta; Gaya Media Pratama) 24-25
[9]
Majid Fakry, “Filsafat Islam : Sebuah Peta Kronologis” 2001 Penj. Zaimul am.
(Bandung; Mizan) 157
[10]
Majid Fakry, “Filsafat Islam : Sebuah Peta Kronologis” 2001 Penj. Zaimul am.
(Bandung; Mizan) 158
[11]
Ibid
[12]
Hasyimsyah Nasution “Filsafat Islam” 1999 (Jakarta; Gaya Media Pratama) 28
[13]
Hasyimsyah Nasution “Filsafat Islam” 1999 (Jakarta; Gaya Media Pratama) 30
[14] Mustofa,
A. Filsafat Islam, 2004 (Bandung:
Pustaka Setia) 118
[15] Ahmad
Aziz Dahlan, Kitab Al-Razi, Al-Thibb al-Ruhani, dalam Lajnah Ihya’Al-Thurats
al-Arabi (ed) Rasa’il Falsafiyah, (Beirut: Dar al-Falaq al-Jadidah, 1982), hlm.
185
[16]
Hasyimsyah Nasution “Filsafat Islam” 1999 (Jakarta; Gaya Media Pratama) 30-31
0 komentar:
Post a Comment