Oleh: Doel Rohim
Alin. Ketika sang surya belum beranjak dari
peraduannya. Suaramu yang renyah telah menyapaku, bergetar halus di gendang
telingaku sebelum mataku terbuka. Dan tanganmu yang halus membelai rambutku
yang kusut. Lalu bibirmu yang hangat mengecup keningku seraya berbisik, “Mas, sudah shubuh. Mari kita salat.” Aku menggeliat mesra. Kupeluk
tubuhmu. Percintaan kita semalam menyisakan keringat yang berbaur dengan aroma
tubuhmu semerbak menusuk ke dalam hidungku.
Dan ini adalah pagi ke 1704 saat aku bangun tidur harus
kuhadapi kenyataan bahwa bukan kau Alin, yang ada di sisiku, melainkan sosok
mungil yang minggu depan akan merayakan ulang tahunnya yang ke 4. Dialah Jaka,
anak kita yang ke dua.
Bibir itu, Alin, ya bibir itu.
Bibir itu mirip dengan bibirmu. Oh, tidak. Bukan mirip. Jaka benar-benar
memiliki bibirmu.
Alin. Kalau sudah subuh begini jangan pernah kau
berusaha untuk membangunkan Novi. Anak perempuan pertama kita itu kalau tidur
seperti mati. Andai
saja kau tahu dia seperti apa sekarang tentu air matamu tak akan pernah
berhenti untuk mengalir. Dulu, kita selalu gemas dengan tubuhnya yang gendut.
Katamu, anak itu kalau besar akan jadi perempuan yang imut. Ternyata prediksimu
itu salah, kian hari tubuh perempuan kita itu kian bengkak, ketika berjalan ia
seperti drum besar yang digelindingkan di jalanan. Tentunya kau masih ingat
ketika Novi berumur 4 tahun (seumuran dengan Jaka saat ini) dia tidak bisa
bicara dengan sempurna seperti anak-anak pada umumnya. Malam itu, dengan wajah
murung kau membicarakan kondisi Novi kepadaku. Dan esoknya, dengan berbekal
3KSM (Kartu Kesehatan
untuk Keluarga yang Sangat Miskin) kita pergi ke PUSKESMAS yang ada di ujung desa. Kata
dokter (entah, aku lupa istilahnya) intinya anak kita, Novi, tidak nomal dan
tidak mungkin bisa disembuhkan. Dokter hanya bisa menyarankan agar Novi
disekolahkan di SLB. Katanya di sekolah itu, anak-anak yang memiliki gangguan
mental seperti Novi bisa diselamatkan dengan metode penggalian potensi yang
dimiliki anak.
Mendengar keterangan dokter itu, air matamu mengalir
lalu merembes pada hatiku yang membuatnya pedih. Dengan sedikit memaksa kau
mendesakku untuk menyekolahkan Novi di SLB yang berada di kota. Ah, kota. Untuk
orang desa sepertiku mendengar namanya saja sudah terbayang, apapun yang di
dalamnya pasti mahal. Dengan halus dan berat hati aku menolaknya, bukannya aku tidak
ingin Novi menjadi lebih baik (orang tua mana yang tidak ingin memberikan yang
terbaik untuk anaknya?), tapi aku tidak punya pilihan lagi. Untuk biaya sehari-hari
saja kita kesulitan dan harus hutang ke sana-ke sini apalagi untuk membiayai
pendidikan Novi. Berhari-hari kau murung dan terus menangis meratapi keadaan.
Untung saja waktu itu aku ingat dengan Mbah Giman, orang pintar yang ada di
desa kita. Konon, air semburan dari mulutnya bisa menyembuhkan apa saja.
Alin. Tentu kau masih mengingatnya, senja itu ketika
kita di pantai Balekambang. Aku memelukmu dari belakang. Bau rambutmu yang khas
bercampur dengan bau asin laut
menari-nari di hidungku. Bibir ombak menciumi kaki kita. Di atas sana, Beberapa
burung camar beterbangan, menatap iri pada kemesraan yang kita miliki.
“Ombak itu tidak pernah berhenti berdebur ya, sayang.” Katamu.
“iya Alin, seperti cintaku padamu,” ucapku menggombal. Kau
berbalik, kau memandangku. Kau tersenyum. Dan kau mencium bibirku.
Kuusap perutmu yang buncit, lalu kutempelkan telingaku.
Ada yang bergerak-gerak di sana, menendang halus pipiku. “Kelak, Kalau dia lahir sebagai
laki-laki, akan kuberi nama Jaka samudera.”
Di pantai kita bertemu dan di pantai pula kita
memutuskan untuk berpisah.
Pada suatu hari ketika aku sedang berjalan di pinggir pantai, aku melihat
seekor putri duyung yang terdampar. Meskipun bagian bawahnya adalah ikan,
kecantikannya tidak bisa diselamatkan. Dengan sigap aku menolongnya,
menggendongnya, membawanya ke bawah pohon yang rindang. Dia tak sadarkan diri,
aku memberinya pertolongan pertama yaitu dengan memberinya nafas buatan. Tak
lama kemudian dia siuman. Lalu kutanya, bagaimana bisa dia berada di daratan
padahal hidupnya adalah di lautan. Dia
menjawab kalau dia diusir karena menentang permintaan ayahnya. Ayahnya ingin dia
kuliah sementara dia kebelet untuk menikah.
Itulah cerita yang kubacakan untukmu pada pertemuan
kita yang pertama. Kau tertawa mendengar cerita yang kubacakan. Kau manis
sekali ketika tertawa dan pada detik itulah aku melihat Tuhan pada dirimu.
Alin, Di senja yang lain, di pantai yang sama. Kau
ingat?
Tampak Jaka tertidur pulas dalam gendonganmu. Damai
sekali melihat Jaka menetek pada ibunya.
“Tapi Jaka belum waktunya untuk disape.* Umurnya
masih beberapa bulan, Alin!” Ucapku sedikit berat.
“Sayang, hutang kita sudah di luar kemampuan kita. Kalau
aku tidak pergi keluar negeri bagaimana kita akan membayarnya?” Pipimu basah dengan air mata. “Maafkan aku, Jaka. Aku mencintaimu lebih dari mencintai
diriku sendiri.”
Aku memeluk kalian. Ada bagian yang pedih pada tubuh ini.
Alin. Di sini, di pantai ini. Di tempat kita bertemu
dan berpisah. Aku berteriak keras pada pemilik lautan dan segala isinya. Tapi sepertinya dia tuli, Alin. Sampai suaraku habis dia tidak
pernah menjawab teriakanku.
Semenjak HP ini mengantarkan kabarmu yang sedang di
penjara karena kasus pembunuhan, aku sudah tidak percaya dengan keberadaannya. Orang
selembut kamu tidak mungkin membunuh. Pada lalat sekalipun kau segan untuk
menghabisinya, apalagi pada pada manusia. Kau pasti difitnah orang-orang biadab
yang ada di sana. Kalau dia memang ada harusnya dia menolongmu Alin.
Kring... kring.. kring... HPku berbunyi.
“Halo, ayah. Jaka sekarang mau jadi macan. Soalnya Jaka mau makan
biskuat.”
“Wah, Jaka hebat dong. Kalau mau makan biskuat jangan lupa baca
bismillah ya.”
***
Sayup-sayup suara azan subuh mulai menggema. Kuciumi
kedua pipi Jaka. Lantas aku beranjak dari ranjang tempatku tidur bersamanya.
Aku menuju kamar Novi. Tampak sosok seukuran kerbau sedang menggeliat ketika
lampu kunyalakan. Sedetik kemudian dengan nafas yang teratur dia kembali berada
pada posisi seperti sebelumnya. Oh tidak! Ada bercak-bercak merah pada celana
anakku, Novi. Jangan-jangan itu adalah haid dia yang pertama.
Oh, Alin bagaimana ini, aku harus berbuat macam apa
pada tubuh perempuan yang besar dan berdarah? Andai kau di sini tentunya kau tahu
apa yang harus dilakukan.
* disape: tidak memberi ASI pada bayi
karena alasan tertentu.
April, 2014
Penulis adalah mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
0 komentar:
Post a Comment