Oleh: Muhammad Adib*
(1)
Pertama kali dalam sejarah Islam, lebih dari 170 orang sarjana muslim dari
berbagai belahan dunia berkumpul pada sebuah acara bertajuk “International
Conference on Fatwa” (al-Mu’tamar al-‘Ālamī li al-Fatwā) pada tanggal
17-20 Januari 2009 di Mekkah Arab Saudi atas prakarsa dari Liga Muslim Dunia.
Pada acara itu, mereka berdiskusi tentang reaktualisasi konsep fatwa, terutama
dalam konteks realitas sosial-politik umat Islam saat ini yang serbakompleks,
sarat konflik inernal serta tengah terhimpit oleh labelisasi negatif dari dunia
Barat. Hal ini nampak dari paragraf pembuka dokumen ini:
فقد دعت رابطة العالم الإسلامي إلى (
المؤتمر العالمي للفتوى وضوابطها ) عدداً كبيراً من المفتين والعلماء في العالم
الإسلامي، وذلك لمناقشة قضية من أهم قضايا المسلمين المعاصرة، ألا وهي قضية
الفتوى، وبيان أهميتها وخطرها وما يعرض لها من مشكلات قد تثير بلبلة في صفوف
المسلمين، وتؤدي في بعض الأحيان إلى الاختلاف والفرقة وتشويه صورة الإسلام.[1]
Rangkaian diskusi selama empat hari tersebut pada akhirnya menghasilakan
sebuah dokumen bertajuk “Piagam fatwa” (Mītsāq al-fatwā, The Fatwa
Charter) yang terdiri atas tiga bab dan 41 pasal. Bab I (Pasal 1-12 [12 pasal])
memuat konsep dasar normatif tentang fatwa, meliputi (1) definisi, ruang
lingkup, urgensi dan hukum fatwa, (2) syarat, karakter dan etika pemberi fatwa
(muftī), dan (3) etika peminta fatwa (mustaftī). Bab II (pasal
13-15 [tiga pasal]) berisi analisis tentang ragam problem yang dihadapi oleh
fatwa dewasa ini, berikut faktor-faktor penyebab dan implikasinya. Bab III
(pasal 16-41 [26 pasal]) memuat tawaran solusi dan kriteria normatif agar fatwa
bisa keluar dari ragam problem tadi.[2]
Dari tiga bab di atas, Bab II dan III menjadi bahan perbincangan yang
paling hangat saat itu. Sebab kedua bab tersebut berkaitan erat dengan serta
merupakan respon terhadap fenomena bermunculannya sejumlah fatwa yang
kontroversial sepanjang dua dekade terakhir. Disebut kontroversial, karena
fatwa-fatwa tersebut cenderung “bengis”, “intoleran” dan “konyol”, semisal:
1. Fatwa mati terhadap
para pemilik stasiun televisi satelit yang menyiarkan tayangan tak bermoral
selama bulan Ramadan, para jurnalis dan kolumnis yang kritis terhadap para
ulama dan pemuka agama, Presiden Suriah Bashar al-Assad, dan lain-lain.
2. Fatwa kafir terhadap
semua ulama madzhab Syiah, orang yang setuju terhadap percampuran (ikhtilāth)
antara laki-laki dan perempuan, dan sebagainya.
3. Fatwa wajib menghancurkan seluruh gereja di
semenanjung Arabia.
4. Fatwa haram menggunakan
vaksin polio, bermain sepakbola, bermain game Pokemon, dan sebagainya.
5. Fatwa bahwa perempuan
Saudi sebaiknya menyusui (breastfeeding) karyawan atau supirnya untuk
menciptakan hubungan radhā‘ah, sebagai solusi alternatif agar perempuan
yang bepergian dengan mobil pribadi tetap tidak menyetir mobil serta bebas
berduaan dengan supirnya.[3]
Tak pelak lagi, ragam fatwa yang kontroversial tersebut mencoreng wajah
Islam di mata dunia internasional, bukan hanya dari kalangan non-Muslim semata,[4]
melainkan juga dari kalangan Muslim sendiri.[5]
Dalam konteks ini, Bab II secara umum menegaskan bahwa kemunculan ragam
fatwa kontroversial tersebut dilatarbelakangi oleh sejumlah faktor. Di
antaranya adalah: (1) krisis kapabilitas keilmuan untuk berfatwa, (2) kuatnya
ekstrimisme sekaligus lemahnya moderatisme dalam pola pikir sejumlah besar juru
fatwa, (3) krisis kesadaran akan prinsip “mempermudah ajaran” (al-taysīr)
dalam pola pikir mereka, (4) krisis wawasan tentang realitas sosial yang
beragam dan kompleks, (5) adanya ragam kepentingan sosial-politik sesaat dan
sepihak yang melatari kemunculan fatwa, (6) rendahnya daya kontrol otoritas negara
dan publik terhadap proses dan produk fatwa, dan sebagainya.[6]
Atas dasar itu, Bab III menggariskan sejumlah rekomendasi bagi pengembangan
fatwa di masa yang akan datang. Di antaranya adalah:
1.
Mengarahkan
perhatian umat Islam di seluruh dunia, baik secara resmi maupun informal
tentang pentingnya fatwa dan tujuannya sebagai penjelasan tentang hukum Allah
Swt sesuai dengan al-Qur'an dan Sunnah, dan sesuai dengan konsensus para ulama
syari'ah dan menjauhkan fatwa dari segala hal yang dapat menimbulkan pertentangan
dan perselisihan umat Islam yang dapat merusak citra Islam.
2.
Perlunya
menjaga kesatuan dan persatuan umat Islam, menghormati tempat ibadah,
prinsip-prinsip universal Islam, ajaran-ajaran dasar Islam serta kepentingan
utama umat Islam, dengan menjauhkan perselisihan dan faktor-faktor pemicunya.
3.
Menegaskan
pentingnya menggunakan dialog yang konstruktif, menghormati para ulama, para da’i,
dan menjauhkan tuduhan kafir, fasiq, marginalisasi, dan kekerasan kepada
kelompok tertentu.
4.
Menyebarkan
kesadaran umat melalui berbagai media massa Islam akan signifikansi fatwa dalam
mengontrol kehidupan muslim dan perlunya memegang komitmen terhadap etika
berfatwa dan meminta fatwa kepada otoritas yang kompeten.
5.
Mempermudah
akses kepada para mufti, ulama dan otoritas fatwa di kota-kota dan
negeri-negeri muslim.[7]
Rekomendasi Piagam
Fatwa tersebut kemudian dikukuhkan oleh Konferensi Internasional tentang Fatwa
yang diadakan di Hotel Borobudur Jakarta pada tanggal 24 hingga 26 Desember
2012. Konferensi yang diselenggarakan atas kerjasama antara Liga Muslim Dunia
dan Kementerian Agama RI serta dihadiri oleh peserta dari 20 negara tersebut
menghasilkan sejumlah butir rekomendasi terkait fatwa. Beberapa yang penting di
antaranya adalah: (1) menguatkan isi Piagam Fatwa 2009, (2) menerjemahkan
piagam tersebut dan memasukkannya dalam kurikulum fakultas Syari‘ah pada
perguruan tinggi Islam, (3) menjauhkan tuduhan kafir, fasiq, marginalisasi, dan
kekerasan kepada kelompok tertentu, dan sebagainya.[8]
(2)
Membaca dokumen hasil
konferensi internasional tersebut, kita tentu teringat dengan sejumlah fatwa di
Indonesia yang juga dinilai kontroversial dewasa ini. Sebut saja, misalnya,
fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) bahwa Jemaah Ahmadiyah Indonesa (JAI)
termasuk “aliran sesat” sehingga harus (1) kembali ke ajaran agama yang benar,
(2) menjadi agama baru, atau (3) dilarang dan dibubarkan (2005). Fatwa ini
dinilai kontroversial, karena tidak hanya memicu perdebatan pro dan kontra,
tetapi juga dianggap telah memicu—secara langsung ataupun tidak—terjadinya
konflik horisontal dan tindak kekerasan di sejumlah kawasan seantero nusantara,
seperti penyerangan, perusakan, pengusiran dan sebagainya.[9]
Contoh lainnya adalah fatwa Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI), pada 30 November
2002, yang menuntut hukuman mati terhadap Ulil Abshar Abdalla dan anggota
Jaringan Islam Liberal (JIL) lainnya, dengan alasan bahwa mereka telah menghina
dan memutarbalikkan kebenaran agama sehingga dapat diancam dengan hukuman mati.[10]
Berkaca kepada
fatwa-fatwa tersebut, wacana keagamaan kita memang masih jauh dari apa yang
diharapkan oleh Piagam Fatwa di atas. Harapan bahwa fatwa harus berorientasi
kepada kekuatan pemersatu yang jauh dari tuduhan kafir, fasiq dan sesat serta
bebas dari marginalisasi dan kekerasan kepada kelompok tertentu, nampaknya
masih sejauh “panggan dari api”. Itulah sebabnya, pembudayaan sikap
keberagamaan dan pendekatan yang santun, inklusif dan menghargai perbedaan,
baik internal maupun eksternal, masih memerlukan kerja keras dan proses yang panjang.
Wallāhu a‘lam.
Yogyakarta, 11
Februari 2013.
Muhammad Adib adalah Dosen Tetap STAI Al-Qolam Gondanglegi Malang,
peserta Program Beasiswa Studi (BS) Program Doktor (S3) Kementerian Agama RI
Angkatan Tahun 2012 di Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta.
sumber gambar: pexels.com
Sumber:
1. Asrori
S. Karni, “Senandung Liberasi Berirama Ancaman Mati”, Gatra, Edisi 2 Beredar
Senin 17 November 2003.
2.
Djohan Effendi, “Islam di antara
Teks dan Konteks”, makalah, dipresentasikan pada Annual Conference on
Islamic Studies (ACIS) ke-10 Kementerian Agama RI di Banjarmasin tanggal 1-3
Nopember 2010.
3. Http://www.alarabiya.net, artikel “Fatwa charter
signed in Saudi to curb abuses” (akses tanggal 5 Februari 2013).
4.
Http://www.alarabiya.net,
artikel “In Focus: Death Fatwas” (akses tanggal 4 Februari 2013).
5.
Http://www.foreignpolicy.com, artikel
“The List: The World’s Stupidest Fatwas” (akses tanggal 4 Februari 2013).
6.
Http://www.iefpedia.com,
artikel “Mītsāq al-Fatwā” (akses tanggal 5 Februari 2013).
7. Http://m.voa-islam.com, “Butir-butir Rekomendasi
Konferensi Internasional tentang Fatwa” (akses tanggal 6 Februari 2013).
8. Khoiruddin
Nasution, “Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI): On Ahmadiyah”, http://journal.uii.ac.id (akses tanggal 8
Februari 2013).
[1] Http://www.iefpedia.com,
artikel “Mītsāq al-Fatwā” (akses tanggal 5 Februari 2013).
[2] Ibid.
[3] Http://www.alarabiya.net, artikel “Fatwa charter
signed in Saudi to curb abuses” (akses tanggal 5 Februari 2013). Fatwa
terakhir, yakni tentang breastfeeding, malah memicu wacana hukum yang
tidak kalah konyolnya. Muncul pertanyaan “apakah penyusuan itu mesti dilakukan
secara langsung melalui kontak fisik atau cukup melalui gelas?”. Pihak pemberi
fatwa kemudian menjelaskan bahwa si perempuan cukup memeras susunya dan
memasukkannya ke dalam cangkir untuk diminum si laki-laki yang akan bersamanya
seruangan. Namun muncul pendapat lain bahwa penyusuan itu mesti melalui kontak
fisik secara langsung. Tak lama kemudian, muncul pertanyaan lanjutan dari
sejumlah perempuan “apakah penyusuan itu dilakukan berdua saja ataukah mesti
disaksikan oleh suami perempuan yang bersangkutan?”. Pertanyaan ini mereka
ajukan karena mereka khawatir siapa yang akan melindungi mereka kalau kebetulan
suami mereka tiba-tiba tanpa disangka memergoki mereka sedang berduaan ketika
seorang isteri menyusui laki-laki yang akan menjadi sopirnya. Selain itu, berdasarkan
fatwa breastfeeding ini, muncul fatwa lanjutan tentang keluarga yang
mempekerjakan pembantu rumah tangga perempuan. Seorang suami dianjurkan untuk
menyusu kepada pembantu rumah tangga wanita itu agar terhindar dari kontak dan
perjumpaan yang terlarang. (Oleh sebuah media, fatwa lanjutan ini dikomentari
dengan sinis bahwa sang majikan tersebut akan memanggil pembantu rumah
tangganya itu dengan sebutan “mama”). Lihat: Djohan Effendi, “Islam di antara
Teks dan Konteks”, makalah, dipresentasikan pada Annual Conference on
Islamic Studies (ACIS) ke-10 Kementerian Agama RI di Banjarmasin tanggal 1-3
Nopember 2010, halaman 3-4.
[4] Foreign Policy, salah satu majalah
terkemuka di Amerika Serikat, pernah memuat sebuah artikel pada tanggal 16 Juli
2007 bertajuk “The World’s Stupidest Fatwas”. Lihat: http://www.foreignpolicy.com, artikel
“The List: The World’s Stupidest Fatwas” (akses tanggal 4 Februari 2013).
[5] Khalil el-Anani, peneliti senior di Mesir yang konsen di bidang
politik Islam dan demokratisasi Timur Tengah, dalam sebuah artikelnya yang
dimuat oleh harian The Daily News pada tanggal 28 September 2008,
berkomentar secara sinis: “We may even hear in the future of a fatwa
permitting the killing of those who drink orange juice”. Lihat: http://www.alarabiya.net, artikel “In
Focus: Death Fatwas” (akses tanggal 4 Februari 2013).
[6] Http://www.iefpedia.com,
artikel “Mītsāq.”.
[7] Ibid.
[8] Http://m.voa-islam.com,
“Butir-butir
Rekomendasi Konferensi Internasional tentang Fatwa” (akses tanggal 6 Februari
2013).
[9] Khoiruddin Nasution, “Fatwa Majelis Ulama
Indonesia (MUI): On Ahmadiyah”, http://journal.uii.ac.id
(akses tanggal 8 Februari 2013).
[10] Asrori S. Karni, “Senandung Liberasi
Berirama Ancaman Mati”, Gatra, Edisi 2 Beredar Senin 17 November 2003.
0 komentar:
Post a Comment