Showing posts with label cerpen. Show all posts
Showing posts with label cerpen. Show all posts

Wednesday, November 23, 2016

Lorong Bahagia

happiness

Oleh: Samara

Angin berhembus menyibak fatamorgana di pagi hari. Bisikan pohon rindu terdengar halus di telinga. Kulalui jalan setapak, melewati kelas-kelas yang masih kosong. Langkahku terhenti di depan TU MAN Gondanglegi yang sedang terbuka, kulihat tumpukan kardus yang berisi majalah OASE. Hmmm, ini kan nanti pembagian majalah. Kenapa majalah masih disini semua, gumamku dalam hati. Pucuk dicinta ulam pun tiba, aku melihat Aziza salah satu redaktur majalah.

“Za, mindahin majalah yuk, biar ntar enak kalo pas pembagian majalah.”

“Boleh. Yakin nih cuma berdua?

Yakiinnnnnn....” Jawabku.

Kami mulai memindahkan majalah ke ruang jurnalis yang tak jauh dari ruang TU, hanya terpisah oleh musalla saja. Sedikit cerita, ruang jurnalis yang kami tempati tidak lebih luas dari ruang kelas yang ada di sekolah kami. Namun, ruangan inilah yang mampu memberikan warna-warni dalam kehidupanku, khususnya di bidang jurnalisme. Dalam ruangan ini saya belajar banyak hal, mulai dari cara bersosialisasi, cara menyatukan perbedaan dan masih banyak lainnya. Aku terus menata majalah sesuai dengan jumlah kelas yang ada. Seiring berjalannya waktu semakin banyak yang berdatangan ke ruang jurnalis. Entah itu redaktur yang datang untuk membantu atau perwakilan kelas yang datang untuk mengambil majalah.

Biasanya mereka datang berdua atau bertiga, tapi kali ini lain. Aku dikagetkan dengan segerombolan siswa-siswi yang berjalan menghampiri ruang jurnalis. Sepertinya kalau dilihat dari badge yang berwarna kuning mereka kelas XI sama denganku. Ah, rupanya benar dugaanku, mereka personil XI Agama yang melakukan pembelajaran di musalla. Memang ketika pelajaran Ushul Fiqh mereka sering di musalla untuk mempermudah proses pembelajaran. Anehnya mereka tidak segera masuk ke dalam musalla, mungkin karena guru belum datang. Yah, beginilah memang anak SMA. Bukan segera masuk ke musalla mereka malah memenuhi ruang jurnalis.

“Ra, Ga capek apa tiap hari mengurus majalah melulu?” Iqbal, teman kelasku, melontarkan pertanyaan ini padaku.

“Enggak lah, kalau sudah hobi pasti asyik.

Ra ini ya, Ra itu yaa. Dan masih banyak lagi obrolan yang kami lakukan di sana.

Selang beberapa menit, pak Lukman sudah datang menuju musalla. Seketika itu juga ruangan jurnalis serasa sepi dari pendemo.

“Ra....” Sapa beliau padaku ketika melintasi ruang jurnalis saat hendak menuju musalla.

“Iya, Pak.” Aku menjawab sambil tersenyum dan menganggukkan kepala sebagai tanda rasa takzim kepada beliau.

Setelah sapaan itu dan beliau berlalu menuju musalla, aku merasakan sebuah perasaan yang tak nyaman. Bagaimana tidak, aku ada di ruang jurnalis tepat di teras, sedangkan pelajaran kelasku sudah dimulai di dalam musholla. Jelas terlihat aku sedang ada di luar. Saat ini aku benar-benar memutar otak antara melanjutkan aktivitas di ruang jurnalis atau meninggalkan ruangan dan menuju musalla mengikuti pelajaran yang berlangsung. Ah, benar-benar pilihan yang sulit. Sebenarnya kalau aku menuruti kemauanku yang malas ada di dalam ruangan kelas, aku akan lebih memilih tetap tinggal di ruang jurnalis dan melakukan hobiku. Yah, aku rasa ini lebih menyenangkan. Tapi tunggu, pikiranku berubah.

“Za, di kelasku pelajaran deh tuh kayaknya. Aku kekelas ya.”

Oke. Gak masalah. Lagian ini sudah mau selesai kok.”

Aku mengambil tasku di ruang jurnalis dan menuju musalla untuk mengikuti pelajaran Ushul Fiqh. Aku ada di barisan paling belakang di sebelah jendela. Menurut banyak argumen, posisi ini memang posisi favorit bagi semua kalangan. Aku menghayal memikirkan banyak hal hingga tak terasa aku tidur selama pelajaran berlangsung. Setengah jam lebih aku tidur, aku terbangun karena aku mendengar suara yang tak jauh dariku. Rupanya itu pak Lukman yang sedang menelapon seseorang, entah siapa yang beliau telepon hingga berdiri tepat di depanku.

“Ayo berangkat! Mana temanmu, Wahidah sama Ahmad?”

“Oh, iya, Pak. Saya cari dulu.”

Rasanya aku seperti sedang ada dalam dunia mimpi. Aku berkhayal untuk keluar dari kelas beberapa menit yang lalu dan akhirnya itupun terjadi dalam sekejap. Aku tahu sekarang, Pak Lukman sedang menelepon informan yang ada di Sitiarjo. Ketika beliau bilang berangkat aku sudah paham bahwa yang beliau maksud adalah berangkat menuju desa Sitiarjo yang ada di kecamatan Sumbermanjing untuk mengujungi salah satu informan penelitian yang kita butuhkan. Saat ini aku dan kedua temanku, Wahidah dan Ahmad, memang sedang mengikuti lomba Karya Tulis Ilmiah dalam pekan Kompetisi Sains Madrasah. Kami bertiga dibimbing oleh bapak Lukman. Kami menghabiskan banyak waktu bersama di dalam dan di luar jam sekolah untuk menyelesaikan penelitian ini. Bagi peneliti yang notabene masih SMA suasana hati yang baik sangat menentukan bagi kelangsungan penelitian yang kami garap. Oleh sebab itu, tak jarang di sela-sela proses penyelesaian kami berbagi cerita dan saling memberikan solusi.

Suasana kali ini berbeda. Dengan mengendarai Elf sekolah kami bisa mengajak beberapa orang yang dibutuhkan untuk membantu kelangsungan proses. Biasanya mobil hanya terisi oleh kami berempat, sekarang berisi 7 orang. Ada Arif teman kelasku yang kita mintai tolong untuk mengambil gambar saat proses wawancara, ada Pak Wahyu yang menyetir mobil Elf dan juga Aurel putri dari pak Wahyu yang masih kecil. Berapapun isi mobil ini dan siapapun yang ikut aku tak peduli, karena yang saya rasakan sekarang adalah kebahagiaan yang tak bisa kuluapkan hanya sekadar dengan kata-kata. Sekarang kami menuju kantor Kepala Desa Sitiarjo, tidak seperti biasanya Pak Lukman hanya turun seorang diri dan membiarkan kami tetap di dalam mobil. Dari dalam kaca mobil aku melihat Pak Lukman sedang berbincang-bincang dengan kepala desa dan kemudian menuju Elf kembali.

“Lurus terus Pak, nanti kita berhenti di rumah yang ada di sebelah lapangan.” Begitu yang diucapkan Pak Lukman ketika masuk kembali ke dalam mobil.

“Kita sekarang ke rumah salah satu tokoh kristen yang ada di desa ini. Jangan lupa instrumen wawancaranya ya.” Pak Lukman melanjutkan ucapannya.

Setelah mendengar ucapan beliau, sontak kami bertiga saling bertatap muka. Tidak perlu ada kata-kata yang keluar dari mulut kami. Cukup ekspresi ini yang mewakili sebuah pertanyaan, “Siapa yang akan mulai wawancara?”

“Ayolah, Mad. Ini bagianmu,” pintaku kepada Ahmad

“Ah, mana bisa?! Gantian lah. Kemarin aku sudah, kalian kan belum.

Lagi-lagi ini keputusan berat. Memang benar yang Ahmad bilang, sekarang giliranku dan Wahidah. Aku menyayangkan jika harus Wahidah yang mengambil bagian ini karena dia cukup baik dalam menulis hasil wawancara. Jika dia yang ambil bagian ini otomatis aku yang akan menulis hasilnya.

“Okelah. Aku yang wawancara sekarang.”

Kami turun dari mobil dan menuju rumah Pak Woesgyanto namanya.

“Silakan masuk. Bapak masih di belakang,seorang wanita separuh baya mempersilakan kami masuk.

Kami semua menunggu kedatangan beliau. Sambil menunggu aku tak punya keinginan untuk mematangkan apa yang akan aku tanyakan kepada beliau. Bukannya mengobrol yang bermanfaat, kami malah mengobrol ngalor-ngidul tidak jelas.

“Sudah lama menunggu?” Dari dalam terdengar suara seorang laki-laki. Orang tersebut berbicara sembari menghampiri kami di ruang tamu dan berjabat tangan.

Dalam benakku aku mengatakan bahwa beliau ini yang namanya pak Wusgyanto, salah satu tokoh Kristen desa Sitiarjo. Dari fisiknya dan caranya berbicara terlihat bahwa beliau tokoh agama yang tegas dan disiplin.

“Ra, ini kayaknya mirip sama orang yang pernah kamu ceritain itu deh.” Wahidah membuka pembicaraan denganku.

“Asli mirip banget dah. Aku meerasa benar-benar ada di masa lalu lagi dah.”

Wahidah tertawa cekikikan. Siapkan mental ya. Aku berdoa semoga trauma di masa lalu enggak terulang lagi.

Memang ketika beliau datang rasanya seperti de javu alias sebuah peristiwa yang seakan pernah terjadi di masa lalu dan sekarang terulang kembali. Aku memang pernah menceritakan peristiwa di masa kecilku kepada Wahidah dan Ahmad. Di saat masih kecil ada satu tetangga yang sangat aku takuti karena dia selalu menakutiku ketika aku bersikap tidak baik. Peristiwa itu masih sangat membekas dalam ingatanku. Dan sekarang aku harus berhadapan kembali dengan rasa takut itu.

“Silakan dimulai.” Pak Lukman langsung memberi perintah kepadaku ketika Pak Lukman sudah selesai menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan kami.

Ah, ini ketiga kalinya aku harus berpikir keras dalam satu hari ini. Kesalahanku yang tidak mempersiapkan instrumen dengan jelas membuatku bingung, ditambah lagi Pak Lukman yang terus menatapku memberikan sinyal perintah untuk segera dimulai. Aku kebingungan, haruskah aku mulai menanyakan nama dalam wawancara ini secara formal seperti yang biasa aku lihat dalam acara TV, tapi diawal tadi beliau sudah menyebutkan nama. Aku bingung dengan diriku sendiri. Tidak biasanya aku bersikap kaku begini. Apa karena rasa takut yang berlebihan?

Belum sampai aku menanyakan satu hal tiba-tiba orang di sekitarku menghilang satu persatu. Aku melihat pak Lukman perlahan menghilang dari pandanganku, Wahidah yang semula ada di sampingku kini entah kemana. Semuanya menghilang, termasuk suguhan makanan dan minuman yang ada di depanku. Aku sendiri di dalam rumah ini, penglihatanku terus mencari-cari sesuatu yang dapat kutemukan di sekitarku. Tapi nihil karena aku tak menemukan apa yang semula ada. Rasanya aku ingin menangis, aku ingin menjerit sekuat mungkin agar mereka mendengarku dan kembali. Apa yang sedang terjadi pada diriku? Aku merasakan suhu tubuhku meningkat dan kepalaku terasa berat sekali. Selanjutnya bobotku sangat ringan kurasakan bahkan lebih ringan dari angin sehingga tanpa terasa aku melayang-melayang.

Tapi tunggu, aku dapat tersenyum sekarang. Aku melihat lorong yang tak pernah aku lihat, lorong itu sangat indah sekali. Lorong itu memancarkan sebuah cahaya terang. Aku semakin bingung, kenapa di rumah ini ada lorong rahasia yang penuh dengan cahaya terang. Aku terus memandangi lorong itu semakin dekat semakin indah sekali. Aku tersenyum dan terus melangkahkan kaki. Subhanallah, gumamku dalam hati. Tidak hanya cahaya yang berkilauan, setelah aku mendekat lorong itu semakin menampakkan keindahannya. Tanaman hijau dan bunga-bunga yang harum semerbak mewangi.

“Ra! Ra! Zahra!”

Jelas sekali aku mendengar ada yang memanggilku. panggilan itu diulang-ulang. Aku terus mencari sumber suara itu. Sekarang tubuhku seperti digoncang dengan kuat.

“Zahra sudah sadar, zahra sudah bangun!Teriak Wahidah.


Suara Wahidah jelas sekali di telingaku. Aku perlahan membuka mata dan aku melihat pemandangan yang semula aku lihat. Ah, rupanya aku sedang jatuh pingsan. Tak apalah, aku sudah merasakan lorong kebahagiaan.[]

Sumber gambar: Le bonheur, c'est quoi?

Friday, November 18, 2016

Juminten Mengintip Santri

rain, stream and speed

Oleh: Halimah Garnasih

“Ah, rata-rata semua pesantren itu sama. Selalu saja mengambil santrinya yang berparas cantik untuk diambil mantu,” katamu. Aku tentu saja tidak tahu menahu soal itu. Masuk pesantren saja hanya sekali waktu, saat mengikuti program sepuluh hari penuh makna bersamamu, interfaith pilgrimage.

Bersama para pemuda-pemudi Kristen, Katolik, Buddhist, Hindu, dan teman-teman non Muslim lainnya aku berkesempatan mengenal lebih dekat umat muslim dan pesantren khususnya. Malam itu juga, kita berpisah. Kamu dan teman-teman muslim lain dalam program ini diantar menuju salah-satu GKJ, kompleks umat kristiani di Salatiga.

Malam itu, saat baru saja aku akan mengatupkan mata, tidur berdempetan dengan para santri dalam satu kamar sempit dan hanya beralas tikar, mendapati pesan darimu: “Aku senang sekali, Jum. Senang sekali. Aku mendapat induk semang yang rumahnya pas di samping Gereja. Rumah keluarga pendeta. Dari bangunannnya, tampak khas rumah bekas kolonial yang jendelanya tinggi-tinggi dan penuh dengan kelambu putih di mana-mana.”

Aku memintamu mengatakan ada gambar apa saja di dinding kamar semalammu. “Uh, nyeni dan lawas banget, Jum. Ada salib, lukisan bunda Maria besar sekali, beberapa Al-kitab di atas meja, dan ranjangku Jum…. Ranjang antik dengan kelambu berenda putih yang lembut!” Aku membayangkan kamar semalammu hangat, lembut, dan nyaman sekali. Sementara aku mulanya sedikit merasa tak nyaman tidur beramai-ramai dalam satu kamar kecil. Sempit, gerah, dan bau keringat.

Tapi entahlah, sikap keakraban dan kesederhanaan para santri semenjak aku tiba, membuatku terkaget-kaget. Padahal ini adalah pertemuan pertamaku dengan mereka, tapi sikap mereka jauh dari kesan itu. Mereka membuatku nyaman dan tidak sebagai orang baru. Sebaliknya, aku merasa menjadi spesial berada di tengah-tengah mereka.

“Tinggal di rumah keluarga pendeta, artinya aku akan mendapatkan data-data langsung dari sumber primer, Jum, hehehe. Oh ya, betewe, bagaimana pengalaman pertamamu tidur di pesantren, Sayang? Hihihi” pesanmu kembali masuk. “Dinikmati ya…. Setidaknya dalam semalam kamu bisa merasakan apa yang aku rasakan selama delapan tahun lalu sayang. Wkwkwk!”

Pesanmu hanya kubalas dengan emoticon, makhluk lucu walaupun digambarkan sambil melet-melet. Tapi diam-diam aku merasa mulai memahami mengapa dari pesantrenlah orang-orang hebat itu lahir. Banyak pemikiran tokoh-tokoh Islam yang aku sepakati. Sangat humanis dan mengandung kehatian-hatian, sarat pertimbangan. Dan aku temukan, muaranya adalah kedamaian. Bagaimana keheningan sejati akan kami dapatkan tanpa kedamaian bukan?

Rupanya, semua itu lahir dari tempat ini, di mana kehidupan para santri dijalani dengan beriringan dan kebersamaan. Sebagaimana salah-satu tujuh kewajiban suci yang aku imani: Menolong siapa saja tanpa pamrih, melainkan atas dasar cinta kasih. Bukan seperti hidup yang selama ini aku tahu: Sendiri-sendiri, dan untuk diri sendiri. Juga Islam yang keras dan merusak seperti yang sering aku dan keluargaku temukan di televisi.

“Resapi, Jum. Resapi semua keterbatasan yang ada di duniaku itu, sungguh kau akan bertemu Tuhanmu juga berada di sana. Tuhan ada di segala keterbatasan, Jum. Biarkan keterbatasan menjamah ragawimu, maka Tuhan akan menyentuh sukmamu, jiwamu…”

“Kau mencari hening, Jum? Di sana hening juga bersemayam, Jum. Bahkan, saat para santri mulai riuh mengaji, membaca nazam-nazam, atau saling melempar canda, hening dengan terang-terangan ada di antara itu semua, Jum. Dia berdiri, bersiap kau peluk, Jum…”

Pesan terakhirmu ini seakan membawa desir angin ke dalam jantungku, aliran darahku. Dan pagi hari aku terbangun dengan suara para santri yang tengah melantunkan kitab suci Alquran dengan suara sama-sama lirih. Ada yang bergetar dalam diriku.

***

“Mengapa kamu bisa berpikir bahwa pesantren selalu mengambil santrinya yang cantik untuk diambil mantu?” aku mengejarmu yang tengah naik menuju Vihara cepat sekali.

“Ini melampaui berpikir, Jum. Ini menyatakan sebuah kenyataan. Kebanyakan. Hampir semua… khususnya di Jawa Timur.” Katamu berhenti sebentar menoleh padaku, lalu kembali mengamati patung Dewi Kwan Im yang berada di ujung tangga ini. Kita memang sengaja mampir di Vihara Solo setelah menyelesaikan keperluan risetku tentang perempuan-perempuan Tionghoa di kota ini.

Program interfaith pilgrimage yang mengantarkan pertemuan kita memang sudah selesai. Tapi pertemanan kita menjadi jalinan sahabat, bahkan seperti saudara. Kamu tidak hanya dengan brengsek tidur di ranjangku saban akhir pekan, menghabiskan masakanku yang belum kusentuh, tapi juga sering mengajakku turut menyampaikan materi ‘Perempuan dan Sejarah Agama-agama’ dalam programmu bersama Organisasi Fatayat saat roadshow ke Pesantren-pesantren se-Jawa.

“Kamu itu mantan santri yang brengsek kepada teman, untung saja kamu memiliki kepedulian sosial yang tinggi hingga aku mau berbaikan denganmu.” Dan kamu hanya tertawa lepas setiap aku mengumpatmu. Tak sekali pun, aku mendengarmu berbalik mengumpatku. Padahal aku ingin tahu, bagaimana seni mengumpat oleh santri.

“Tapi bukankah santri, pesantren, dan ulama itu identik dengan kesederhanaan ya?” tiba-tiba meluncur begitu saja pertanyaan itu dari mulutku. Dan kamu menoleh dengan wajah brengsek seperti biasa ke arahku. Seolah pertanyaan yang muncul dari alam pikirku ini kurang berkualitas

“Lalu?” sikap cuekmu memuakkan meningkahi pertanyaanku dengan mencomot chocolate cake yang tampak sangat legit, selegit ide-idemu tentang perempuan dan masa depan bangsa. Iya, yang diam-diam kukagumi itu.

“Kemarin, saat kita roadshow di Pesantren-pesantren Jawa Timur, aku tidak melihat kesederhanaan yang biasa aku temukan di pesantren-pesantren Jawa Tengah misalnya. Rata-rata, penampilan santri di sana sangat glamour. Kita-kita yang di depan saja kalah, Non!” jelasku yang langsung disambut tawa ngakakmu, salah-satu sikap brengsekmu.

Bergaya membenahi kerudungmu yang mencong sana-sini, kamu menghadapkan tubuhmu padaku, dengan wajah yang sok dimanis-maniskan kamu berkata, “Oh, sang pemateri Nona Juminten, itu adalah salah-satu akibat yang pernah saya katakan padamu. Saat bukan santri cerdas nan penuh prestasi yang diambil mantu oleh pesantren, melainkan santri yang cuantik-cuantik, otomatis…..”

“Oke, stop, stop. Aku ngerti. Tapi masa iya, hanya itu?”

“Oh, tentu tidak! Banyak faktor yang saling kelindan tentu saja. Selain bentukan budaya tentang bagaimana perempuan cantik itu, menurutmu apa lagi?”

“Gaya hidup? Hedonisme yang arusnya kuat itu sudah sampai ke pesantren, sebuah lembaga pendidikan di mana menurutmu semestinya menjadi alat terbesar bangsa ini yang bisa mendorong paham terkutuk itu ke luar dari tubuh bangsa ini?”   

“Cerdas! Itu masyuk, Nona Juminten yang manis…”

“Aku masih tidak mengerti. Lalu, kaitannya dengan tradisi pesantren dalam mengambil mantu santri yang cantik?”

“Andaikan, Jum. Andaikan. Santri mendapati kesadaran bahwa pesantren mengambil mantu yang cerdas dan sederhana, alam sadar mereka tidak akan disibukkan dengan hal-hal yang bersifat fisik, materil. Mereka akan melampaui hal materil itu, dan dapat menjangkau hal-hal yang lebih bernilai dan lebih luhur dari itu,”

“Mereka akan dihantarkan pada sebuah titik bernama ‘kesadaran hidup’. Bila sudah sampai pada titik ini, jangankan monster hedonisme, monster Nazi sekalipun para santri siap meghadapi!”

“Wuih…mantap nian temanku yang mantan santri satu ini.”

“Iya dong. Aisyah, seperti Ummul mukminin yang bahkan para lelaki takluk dengan kecerdasan dan keberaniannya!”

“Wuih!!! Hebat-hebat! Eh, tapi apa benar, analisismu tadi itu murni muncul objektif dari pemikiranmu?”

“Maksudnya?”

“Ya … maksudnya, apa iya pemikiran itu berdiri sendiri? Tidak berkelindan dengan alasan lain?”

Matamu menatapku tajam, jelas sekali mulai berpikir. Ini pertama kali kamu meresponku dengan tidak celele’an. “heh! Misalnya?”

“Misalnya … karena kamu masih sakit hati sama Ilyas, mantan pacarmu yang menikah dengan perempuan yang dijodohkan oleh abahnya? Yang kiai pesantren di Jombang itu? Yang lebih cantik darimu itu?” kataku sambil mengangkat alis dan tersenyum tipis menggodanya. Eh, lebih pas, meledeknya.

Sejenak Aisyah terbelalak menatapku, lalu dengan kecepatan yang tak dapat kuhindari, kedua tangannya melemparkan bantal beruang ke mukaku sambil berteriak sekencang-kencangnya, “Assseeemmmm…. Jumintennnnnnnn…. Kamprreeeetttt!!!!!!!!’

Perpustakaan Kota Malang

             18 November 2016

Sumber gambar: JMW Turner

Monday, September 19, 2016

(Mereka) Gila

into_the_sea

Oleh: Muhammad Madarik

Tatkala aku lunglai dihempas gelombang, kakiku terseok di pantai berpasir ini. Angin dingin menembus pori-pori kulit hitamku, menambah raga kian tak berdaya. Dalam sejenak aku terdiam. Lalu kembali kedua kaki ini kulangkahkan. Serasa berat mengayunkan. Jejak kaki menggambarkan telapak kaki terseret.

Baju yang melekat di tubuh ini benar-benar lusuh. Dari pakaianku aroma tak enak menyebar. Bau. Rambut gondrong tak pernah tersisir. Gimbal.

Sekian langkah, aku terhenyak menyaksikan dua sejoli sedang bercinta di bibir pantai. Suasana temaram, hanya secercah mentari yang akan masuk ke peraduan ufuk barat manambah syahdu dua insan yang sedang kasmaran. Bebatuan menjadi penyangga duduk mereka berdua yang berhimpitan.

Aku berdiri menghentikan ayunan kaki seberapa depa dari mereka berdua. Aku tahu, mereka berdua hanyalah sebagian dari sekian orang yang menganggapku gila. Mereka berdua cuma menyempatkan sedetik untuk memndangku, kemudian kembali masuk ke dalam dunianya. Mereka berdua tak lagi peduli sekelilingnya, apalagi hanya sekadar sosok yang dianggap tak waras.

Aku tersenyum melihat orang-orang yang menganggapku hilang ingatan. Padahal, bagiku merekalah orang-orang tak sehat akal. Aku redam kemarahan setelah aku teringat masa lalu.

***

Sejak kecil, aku tak asing dengan kemiskinan. Orang tuaku rakyat jelata yang tak mampu mewarisi harta dan kemewahan. Aku terdorong untuk membantu orang tua meringankan beban berat yang dipikul ayah-ibu. Kami hidup di pinggir kota besar. Di atas sepetak tanah, bangunan sederhana menjadi rumah berlindung keluargaku. Rumah-rumah serupa berjajar saling berhimpitan menjadikan kampung ini begitu padat.  Lingkunganku dihuni jelata yang berpenghasilan di bawah rata-rata.  Selama ini ayah bekerja sebagai tukang kayuh becak, sedangkan ibuku menjual gorengan di gang depan rumah.

Sejak kecil, lingkungan telah menempa diri ini menjadi pemuda kuat, mandiri dan pengalaman. Aku kenal alam bebas dan aku akrab dengan dunia malam. Di sela aku menghabiskan waktu bersama kawan-kawan, nasibku cukup beruntung karena kenal ragam orang dari semua kelompok pergaulan. Ternyata hidup bebas tanpa sekat "sekolah formal" mendidik lebih banyak pengetahuan dengan pengalaman langsung. Tetapi karena bapak, aku disadarkan agar mencari pekerjaan yang pasti. Aku turuti setelah menyaksikan ada tetesan air mata meleleh di pipi ibuku. Aku tak kuasa melihatnya. Jiwa ini bergetar. Dua adik kecil yang sedang makan dengan lauk seadanya, mengilhami pikiranku untuk segera mencari tambahan beaya hidup bagi keluargaku.

Kini, aku berada di rumah besar. Tuan Gani adalah seorang pengusaha sukses di kota metropolitan. Ia mempunyai tiga orang anak. Lila merupakan putri pertamanya, Nadia adiknya dan Tridermawan satu-satunya anak laki-lakinya. Bapak dan ibu merupakan orang baik, ramah dan memperlakukan semua pembantunya layaknya manusia merdeka tanpa sekat strata sosial. Aku senang ikut membantu rumah ini. Dalam waktu luang, bapak seringkali mengajakku berbincang banyak hal di joglo halaman belakang. Tempat favorit bapak saat berada di rumah.

Datang cobaan bagi bapak. Perusahaan yang dipimpinnya mulai goyah. Beberapa aset perusahaan terpaksa dilepas demi melanjutkan perusahaan agar tidak semakin runtuh. Faktor kesulitan finansial disinyalir menjadi anasir terkuat mulai ambruknya bisnis keluarga itu. Pelemahan ekonomi dunia ikut mempengaruhi investasi usaha milik bapak. Hal ini dirasakan cukup menyulitkan perusahaannya.

Bapak sering berpikir keras di tempat yang disenanginya. Acapkali aku menjadi teman bicaranya, dan kadang-kadang saling beradu argumen di antara kita. Tidak jarang, beberapa ide yang kulontarkan masuk di dalam pikirannya. Kayaknya bapak menerima dan melaksanakan usulan-usulan yang kusampaikan. Secara perlahan, kondisi perusahaan bapak semakin sehat.

Kini, hampir setiap berada di rumah, bapak selalu mengajakku bertukar pikiran dan mengobrol. Mulai dari tema-tema ringan sampai topik-topik berat. Seperti biasa, kopi panas dan rokok yang senantiasa menyertai pembicaraan kita memperpanjang obrolan hingga larut malam. Kendatipun keakrabanku dengan bapak tanpa dinding penghalang, aku berupaya memosisikan diri sebagai pembantu keluarga ini. Sikapku terhadap semua anggota, khususnya bapak dan ibu, tetap tak berubah seperti sedia kala ketika awal aku datang ke rumah ini.

Kebersamaanku dengan bapak, perilaku yang kutampakkan, kepiawaianku dalam berbicara, tingkat analisisku yang tajam dan kejujuranku membuat bapak-ibu menjadikan mereka berdua mulai ditumbuhi rasa tertarik padaku. Konon menurut Bibik Tonah, pembantu tua yang sudah bertahun-tahun ikut keluarga ini, dulu pernah ada seseorang yang dekat dengan bapak. Tetapi karena sikapnya yang merasa setara dengan anggota keluarga dan hampir setiap hari mencuri, ia diusir dari tempat ini. 

Akhirnya aku ditawari menjadi suami Lila oleh bapak. Rasa gembira bercampur tidak percaya menyelimuti jiwa ini. Hanyalah seorang pembantu rumah tangga bisa-bisanya ditawari untuk menjadi menantu oleh tuannya sendiri. Kebimbangan dalam perasaanku tak lagi bisa dibendung sekian hari menjalani hidup pada minggu-minggu ini.

Lamaran pun sesederhana mungkin dilakukan oleh pihak keluargaku seusai tawaran keluarga Lila dirembukkan bersama orang tuaku. Melalui proses yang alot dan melibatkan beberapa wakil familiku, tawaran itu diterima secara bulat.

Sekarang megister ekonomi itu telah menjadi Nyonya Lila Memet Junun.

Aku telah menempati rumah yang tak kalah besar dari kediaman bapak bersama istriku dengan fasilitas lengkap pemberian bapak. Rumahku berdampingan dengan mertua, sehingga hubungan dengan keluarga bapak tak begitu kesulitan. Apalagi bapak masih sering mengajakku untuk mengobrol berbagai hal. Lebih-lebih setelah aku ditunjuk sebagai Pimpinan Direksi, sementara bapak menduduki Dewan Komisaris. Adapun Lila dipercaya oleh bapak sebagai Sekretaris Direksi setelah berpengalaman sebagai Kepala Bagian.

Waktu berjalan, aku menikmati hidup ini dengan tenteram. Dalam ruang kerja yang selalu bersama istri semakin menyejukkan jiwa. Seorang pendamping cantik dan menggairahkan bagi siapapun yang memandangnya. Apalagi tingkat penghasilan ekonomi di atas rata-rata mendukungnya untuk bersolek diri ke berbagai tempat perawatan, membuat penampilan "cintaku" itu semakin menggoda.

Dan, terjadilah yang terjadi. Kecelakaan bermotor menimpaku. Aku tak bisa lagi beraktivitas seperti sediakala. Terbaring lama di rumah sakit, menjadikan bapak menggeser posisiku di kantor. Kini istriku menempati kedudukanku. Lambat laun, sikapnya kepadaku mulai berubah . Entah karena apa, tetapi persangkaanku akibat gaya hidup bersama komunitasnya, interaksi kolega yang semakin luas, dan fisikku yang kian melemah, menjadikan keluarga dinomorduakan.

Aku kini mulai terpinggirkan. Perlahan, bapak sekalipun agaknya menjauh dariku. Aku terus termenung dalam diam. Lingkungan keluarga ini tidak lagi mengakrabiku, bahkan hampir seisi rumah mencibir keadaanku. Tubuhku yang melemas akibat kecelakaan itu, mengunci mulutku untuk berbicara. Perasaan kalut dan merasa serba salah di tempat ini mencipta jiwa ini guncang. Hampir-hampir seluruhnya menuduh stres, kecuali Bibik Tonah yang masih menyisakan keyakinan bahwa aku berjiwa sehat. Tetapi bibik penyabar itu tak kuasa mengungkap hakikat keberaanku. Semua memercayai, aku sudah kehilangan akal.

Aku diusir dari rumahku sendiri. Bapak sudah kehilangan kedekatannya denganku, pada diri Lila telah habis kehangatannya padaku. Aku kini hanya mampu terseok di jalanan.

***

Aku beranjak dari tempat ini. Hembusan angin kencang di pinggir laut menyebabkan aku mulai merasa menggigil. Dua anak manusia yang sedang menganggap diri mereka berdua berlabuh di pulau cinta telah berlalu. Entah kemana mereka berdua memperpanjang kelakuan laknatnya.

Aku merasa mereka itu aneh sendiri. Aku tersenyum, mereka anggap aku gila. Padahal siapakah yang gila sebenarnya? Aku atau mereka?

Bapak yang tega menghempaskan diri ini dari kehidupannya, istriku yang telah berselingkuh saat aku tak berdaya, dua manusia yang mengumbar nafsu syahwat tanpa malu atau mereka yang merampok harta rakyat lewat tinta kekuasaan, anak yang mendurhakai orang tuanya, ayah-ibu yang menghardik putranya sendiri hanya gara-gara tak sekolah, guru yang mengajarkan kebaikan walaupun dirinya tak mampu baik, siswa yang melaporkan pendidiknya oleh sebab-sebab sepele, politisi yang menjual harga diri dan agama demi kekuasaan, ekonom yang menjajah negerinya sendiri, kasus polisi berekening gendut, kaum konglomerat yang menindih toko-toko kecil dengan supermarketnya, sekian stasiun televisi yang tiap hari menayangkan badut-badut tak mendidik, pendakwah agama yang nyaris tak berhenti saling  berorasi tema kebencian dan fitnahan, pengadilan yang mengetok palu terhadap nenek yang nekat mengambil beberapa utas singkong untuk mengganjal perutnya atau aku yang hanya tertimpa ketidakberdayaan.

Aku kembali tersenyum melangkah menyusuri jalan yang mulai sepi. Pulang? Tak lagi menjadi harapan bagiku. Semenjak Bapakku mangkat, aku mulai jarang mencium kedua telapak tangan ibu. Apalagi kali ini, mulutku tidak akan pernah mengabarkan pada beliau. Biarlah, adaku akan kutanggung sendiri.

Kecuali kepada keluargaku, aku bertanya dalam hati, siapakah yang gila, aku atau mereka?[]

Saturday, August 20, 2016

Ilusi


Oleh: Muhammad Madarik

Di teras langgar desa berkumpul beberapa anak-anak kecil seusai salat Isya berjamaah yang diimami Abah Pud, seorang kiai kampung yang bernama lengkap Haji Mahfud Shobri, lelaki sepuh berusia hampir menginjak 80-an. Sang ustadz yang sabar mengajarkan Alquran setiap bakda salat Magrib sampai Isya. Karena malam ini merupakan malam keramat, kegiatan sebelum salat Isya diisi dengan salawatan diba' seperti tradisi masyarakat di mushalla-mushalla tetangga.

Murid-murid Abah Pud itu duduk membentuk lingkaran sebagaimana biasa. Mereka bercengkrama membicarakan berbagai hal, mulai dari soal guru mereka yang seringkali menjewer, membentak, memukul dampar sampai persoalan ngerasani anak gadis yang acapkali menjadi buah bibir di antara mereka.

"Hei, malam ini Jumat kan?" Kata Mat Jupri membuka perbincangan. Memang, Mat Jupri merupakan anak yang paling tua di antara murid-murid Abah. Dia pandai memancing suasana berubah sesuai kehendak muatan hikayat yang diceritakan. Ia lihai membawa kawan-kawannya ke dalam keadaan riang menyenangkan atau takut mencekam.

"Ya, kenapa?" Timpal Edi Santoso.

"Biasanya arwah nenek kita datang. Konon katanya mereka menjenguk ke rumahnya hanya sekadar ingin melihat keluarganya yang masih hidup," sambung anak yang lebih dikenal dengan sapaan Mamat itu.

"Hiii... Sudahlah, jangan ngomong-ngomong yang begituan teman!" Sela Badrul.

"Huuu...." Serempak suara teman-temannya. Badrul yang berbadan bongsor memang penakut.

"Dulu, ada seorang wanita tua di sebuah kampung. Dia hidup sebatang kara. Anaknya meninggal semenjak usia balita karena terkena penyakit parah sehingga nyawanya tak tertolong, sedangkan suaminya kecelakaan sampai harus menghembuskan nafas terakhir di rumah sakit. Dia menjanda hingga menua. Menunggu rumah setelah sekian lama tidak lagi memiliki harta benda. Satu-satunya yang menjadi haknya cuma rumah tua yang berada di pojok kampung. Setiap hari ia mencari kayu bakar untuk kemudian dijajakan di pinggir jalan pasar sebuah kecamatan. Namanya saja menjual seutas ranting, terkadang dibeli kadang pula harus dipikul kembali ke rumahnya." Mamat menghela nafas seakan ikut menanggung getir nasib perempuan papa itu.

"Terus gimana Mat?" Tanya Edi.

"Sang nenek lama tak terlihat di pinggir jalan pasar seperti ia lakukan dalam mencari nafkah. Beberapa orang yang biasa membeli barang jualannya itu saling bertanya. Tetapi satu sama yang lain merasa tidak tahu-menahu soal sang nenek."

"Kemudian sebagian mereka menyepakati untuk menjenguk sekadar ingin memaklumi kabarnya. Berangkatlah beberapa orang ke kediaman perempuan tua itu. Sesampai di halaman rumah, mereka mulai ragu. Kira-kira orang yang dicari ada di rumah atau keluar. Mereka semakin tanda tanya ketika memperhatikan kondisi rumah yang terlihat tak terawat dengan dedaunan yang berserakan dan nyata tidak pernah dibersihkan. Mereka semakin tercengang tatkala tangga demi tangga dan teras begitu kotor. Daun pintu yang sedikit menganga membuat syak wasangka mereka kian berkecamuk."

Belum sempat Mat Jupri melanjutkan kisahnya, tampak Abah Pud keluar dari mushalla seraya menutup pintu setelah sejak tadi berada di mihrab.

"Hach, belum pulang anak-anak?"

"Belum!" Jawab mereka nyaris serentak.

"Terus bagaimana selanjutnya Mat?" Tanya Edi setelah Abah Pud tak terlihat lagi bayangan tubuhnya.

"Akhirnya mereka masuk sesaat setelah saling berpandangan. Di ruang depan tak ditemukan seseorang yang dimaksud. Hanya ada kursi kayu jati bersulam rotan, mejanya juga terdiri dari bahan yang sama. Di samping tataan kursi terdapat lemari bupet yang tak lagi terisi perhiasan. Kaca-kacanya banyak yang pecah dan retak. Menuju ruang berikutnya terdapat pintu besar dengan pintu berukir juga. Secara perlahan, mereka memasuki ruang tengah. Cukup gelap di tempat, hanya diterangi oleh cahaya dari pintu depan. Perasaan mereka semakin berkecamuk sebab berhembus bau kian menyengat. Bau itu seperti aroma bangkai yang sudah lama membusuk. Perempuan di antara mereka mulai menghentikan langkahnya. Rasa takut dan merinding menyergap sekujur tubuh beberapa wanita itu, tetapi untunglah laki-laki di antara mereka merupakan pria-pria pemberani. Mereka menyelediki sumber hembusan tak sedap itu. Dan...."

Mat Jupri menghela nafas panjang sebelum meneruskan ceritanya, sementara teman-teman di sekeliling anak yang lihai bercerita itu menunggu kelanjutan kisah yang masih menyisakan tanda tanya besar.

"Dan ... setelah salah satu mereka menyinari dengan sorot lampu lewat HP, ternyata sesosok wanita tua itu tergeletak di lantai. Terlihat duduk bersandar di tembok dengan kaki selonjor ke depan. Tetapi yang membuat kaget, ternyata nenek itu sudah tidak bernyawa lagi. Mata cekungnya membelalak, rambutnya telah bercampur uban terurai dan menjulur agak ke bahu, kedua tangannya teruntai ke samping tubuh kurusnya. Mulutnya menganga. Entah bagaimana peristiwa ajalnya tercabut, kepala orang tua itu mendongak. Hal yang membuat semua yang ada di ruangan itu miris, ternyata tubuh kriput itu dikerubungi semut merah."

"Sebagian perempuan bergegas ke ruang depan, tetapi yang laki-laki segera mengambil tindakan merawat dan menyelesaikan jenazah supaya secepatnya dikebumikan."

"Terus gimana Mat?" Tanya Kholis yang semenjak awal hanya menyimak.

"Ya, seluruhnya termasuk para tetangga berdatangan mengurus mayat itu hingga selesai. Acara ‘selamatan kematian’ dilaksanakan dengan menggunakan biaya hasil swadaya. Selesai sudah acara itu, tetapi karena tidak ada ahli waris lagi, maka kediaman tersebut menjadi rumah tua yang tak berpenghuni. Oleh karena, rumah itu sampai sekarang terlihat mencekam."

Badrul, si anak penakut ini sejak tadi cuma mendengarkan Mat Jupri sambil menopang tangannya ke daun telinga agar tidak kentara bahwa ia sedang menyumbat kupingnya. Ia duduk merapat di antara Kadir dan Nur Hasan untuk menghilangkan rasa takut yang menyelimuti perasaannya. Kini jam menunjuk ke arah 21:13 WIB, Mat Jupri beranjak menutup pintu, jendela mushalla dan mematikan lampu-lampunya, menandakan bincang-bincang mereka telah berakhir. Hanya tiga orang yang searah dengan Badrul, selebihnya berada di arah yang berbeda-beda. Anak-anak itu mulai berhamburan keluar halaman mushalla, sementara dada Badrul sesak oleh bayangan nenek yang mati mengenaskan. Walau ia ikut melangkah mengikuti jejak teman sebayanya, tetapi kecamuk pikirannya terus dihantui bayang-bayang sang nenek. Lebih-lebih tatkala akan masuk gang menuju rumahnya harus sendirian, sedangkan dua sahabatnya terus saja melewati gang itu. Badrul mulai dihinggapi bayang-bayang yang kian mencemaskan setelah mengingat akan menelusuri gang ke arah rumahnya sendirian.

Badrul pernah tahu rumah tua itu, ia kadang lewat jalan yang melintasi rumah dalam cerita Mat Jupri itu. Semua anak-anak tentu pernah melihat rumah itu, sebab lokasinya hanya berada di desa tetangga dekat desa mereka. Namun selama ini mereka hanya mendengar tempat tersebut sebagai rumah angker belaka.

Kini, Badrul merasa gelisah saat menelusuri gang menuju rumahnya dengan gontai. Lampu yang menerangi ruas jalan hanya terdiri dari beberapa buah dengan jarak yang cukup berjauhan, itupun masih dihalangi dedaunan dan dahan-dahan dari beberapa pepohonan sehingga badan jalan tak begitu jelas terlihat. Kondisi gang yang sepi menambah tegang si anak mata wayang ini. Ia percepat langkah-langkahnya, tetapi serasa semakin berat diayunkan. Merasa seakan-akan diikuti seseorang di belakang tubuhnya, menjadikan bulu kuduknya berdiri.

Memasuki jalan gang memang agak sepi. Kiri-kanan hanya ditumbuhi pohon-pohon, dan beberapa lahan kosong masih berupa pekarangan yang cuma berisi tanaman singkong, pepaya, pisang atau berbagai tumbuhan sayur. Badrul mulai lega saat rumah pertama sudah tampak di mata.

"Heeech..." Badrul menghela nafas panjang.

Belum sampai di depan rumah itu, Badrul merasa kecewa sebab tak seorangpun terlihat. Pintu tertutup, dan hanya lampu luar yang membantu menyinari jalan. Entah kenapa, badrul tak memiliki keberanian menolehkan kepalanya ke arah rumah itu. Kian dekat, detak jantung yang dirasakan Badrul semakin kencang. Apakah ini nyata? Ia benar-benar melihat seseorang sedang duduk di teras rumah itu. Rambut sebahu, berbaju kurung dengan warna putih yang mulai lusuh.

Angin malam yang berhembus, di tambah bunyi jangkrik menyempurnakan pemandangan malam ini. Malam ini memang malam Jumat, malam yang dikeramatkan orang-orang kampung. Begitu senyap terasa gang ini.

Semakin dekat, kian jelas rupa orang itu. Apa yang terurai dalam cerita Mat Jupri tentang detail nenek itu sungguh nyata. Mulutnya menganga, bercak sisa darah menempel di bagian bibirnya, bulatan matanya tampak tenggelam dalam kelopak yang mencekung. Wajahnya putih memudar, jelas-jelas pucat tanpa darah mengalir. Di antara kisaran mata menghitam semakin kelabu hingga pusat mata. Tubuhnya terlihat membungkuk, mengesankan ia sangat renta. Tangan pucat yang kian memperlihatkan kerut-kerut telapak tangannya memegang kedua lututnya. Tetapi tangan yang tampak menua, masih ditumbuhi kuku yang runcing.

Orang itu duduk tanpa suara. Badrul semakin tenggelam dalam ketakutan. Kedua kakinya ia buat melangkah lebih cepat, tetapi nenek berjubah itu seakan mengejar. Ia semakin dekat, sepertinya tangannya akan menjamah bahunya.

"Huuuuuch..." Dengus Badrul begitu lega ia mula memasuki pagar besi rumahnya. Rasa takut ini hilang, ketika jasad perempuan tua itu terlihat berdiri di dekat ujung pagar rumahnya. Segera ia membuka pintu dan masuk. Entah apa yang terjadi dengan tidurnya nanti.


"Heeech..." Kembali Badrul mendengus di ranjang.[]

Sumber Gambar:
Powered by Blogger.

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top