Saturday, August 20, 2016

Ilusi

9:20 PM


Oleh: Muhammad Madarik

Di teras langgar desa berkumpul beberapa anak-anak kecil seusai salat Isya berjamaah yang diimami Abah Pud, seorang kiai kampung yang bernama lengkap Haji Mahfud Shobri, lelaki sepuh berusia hampir menginjak 80-an. Sang ustadz yang sabar mengajarkan Alquran setiap bakda salat Magrib sampai Isya. Karena malam ini merupakan malam keramat, kegiatan sebelum salat Isya diisi dengan salawatan diba' seperti tradisi masyarakat di mushalla-mushalla tetangga.

Murid-murid Abah Pud itu duduk membentuk lingkaran sebagaimana biasa. Mereka bercengkrama membicarakan berbagai hal, mulai dari soal guru mereka yang seringkali menjewer, membentak, memukul dampar sampai persoalan ngerasani anak gadis yang acapkali menjadi buah bibir di antara mereka.

"Hei, malam ini Jumat kan?" Kata Mat Jupri membuka perbincangan. Memang, Mat Jupri merupakan anak yang paling tua di antara murid-murid Abah. Dia pandai memancing suasana berubah sesuai kehendak muatan hikayat yang diceritakan. Ia lihai membawa kawan-kawannya ke dalam keadaan riang menyenangkan atau takut mencekam.

"Ya, kenapa?" Timpal Edi Santoso.

"Biasanya arwah nenek kita datang. Konon katanya mereka menjenguk ke rumahnya hanya sekadar ingin melihat keluarganya yang masih hidup," sambung anak yang lebih dikenal dengan sapaan Mamat itu.

"Hiii... Sudahlah, jangan ngomong-ngomong yang begituan teman!" Sela Badrul.

"Huuu...." Serempak suara teman-temannya. Badrul yang berbadan bongsor memang penakut.

"Dulu, ada seorang wanita tua di sebuah kampung. Dia hidup sebatang kara. Anaknya meninggal semenjak usia balita karena terkena penyakit parah sehingga nyawanya tak tertolong, sedangkan suaminya kecelakaan sampai harus menghembuskan nafas terakhir di rumah sakit. Dia menjanda hingga menua. Menunggu rumah setelah sekian lama tidak lagi memiliki harta benda. Satu-satunya yang menjadi haknya cuma rumah tua yang berada di pojok kampung. Setiap hari ia mencari kayu bakar untuk kemudian dijajakan di pinggir jalan pasar sebuah kecamatan. Namanya saja menjual seutas ranting, terkadang dibeli kadang pula harus dipikul kembali ke rumahnya." Mamat menghela nafas seakan ikut menanggung getir nasib perempuan papa itu.

"Terus gimana Mat?" Tanya Edi.

"Sang nenek lama tak terlihat di pinggir jalan pasar seperti ia lakukan dalam mencari nafkah. Beberapa orang yang biasa membeli barang jualannya itu saling bertanya. Tetapi satu sama yang lain merasa tidak tahu-menahu soal sang nenek."

"Kemudian sebagian mereka menyepakati untuk menjenguk sekadar ingin memaklumi kabarnya. Berangkatlah beberapa orang ke kediaman perempuan tua itu. Sesampai di halaman rumah, mereka mulai ragu. Kira-kira orang yang dicari ada di rumah atau keluar. Mereka semakin tanda tanya ketika memperhatikan kondisi rumah yang terlihat tak terawat dengan dedaunan yang berserakan dan nyata tidak pernah dibersihkan. Mereka semakin tercengang tatkala tangga demi tangga dan teras begitu kotor. Daun pintu yang sedikit menganga membuat syak wasangka mereka kian berkecamuk."

Belum sempat Mat Jupri melanjutkan kisahnya, tampak Abah Pud keluar dari mushalla seraya menutup pintu setelah sejak tadi berada di mihrab.

"Hach, belum pulang anak-anak?"

"Belum!" Jawab mereka nyaris serentak.

"Terus bagaimana selanjutnya Mat?" Tanya Edi setelah Abah Pud tak terlihat lagi bayangan tubuhnya.

"Akhirnya mereka masuk sesaat setelah saling berpandangan. Di ruang depan tak ditemukan seseorang yang dimaksud. Hanya ada kursi kayu jati bersulam rotan, mejanya juga terdiri dari bahan yang sama. Di samping tataan kursi terdapat lemari bupet yang tak lagi terisi perhiasan. Kaca-kacanya banyak yang pecah dan retak. Menuju ruang berikutnya terdapat pintu besar dengan pintu berukir juga. Secara perlahan, mereka memasuki ruang tengah. Cukup gelap di tempat, hanya diterangi oleh cahaya dari pintu depan. Perasaan mereka semakin berkecamuk sebab berhembus bau kian menyengat. Bau itu seperti aroma bangkai yang sudah lama membusuk. Perempuan di antara mereka mulai menghentikan langkahnya. Rasa takut dan merinding menyergap sekujur tubuh beberapa wanita itu, tetapi untunglah laki-laki di antara mereka merupakan pria-pria pemberani. Mereka menyelediki sumber hembusan tak sedap itu. Dan...."

Mat Jupri menghela nafas panjang sebelum meneruskan ceritanya, sementara teman-teman di sekeliling anak yang lihai bercerita itu menunggu kelanjutan kisah yang masih menyisakan tanda tanya besar.

"Dan ... setelah salah satu mereka menyinari dengan sorot lampu lewat HP, ternyata sesosok wanita tua itu tergeletak di lantai. Terlihat duduk bersandar di tembok dengan kaki selonjor ke depan. Tetapi yang membuat kaget, ternyata nenek itu sudah tidak bernyawa lagi. Mata cekungnya membelalak, rambutnya telah bercampur uban terurai dan menjulur agak ke bahu, kedua tangannya teruntai ke samping tubuh kurusnya. Mulutnya menganga. Entah bagaimana peristiwa ajalnya tercabut, kepala orang tua itu mendongak. Hal yang membuat semua yang ada di ruangan itu miris, ternyata tubuh kriput itu dikerubungi semut merah."

"Sebagian perempuan bergegas ke ruang depan, tetapi yang laki-laki segera mengambil tindakan merawat dan menyelesaikan jenazah supaya secepatnya dikebumikan."

"Terus gimana Mat?" Tanya Kholis yang semenjak awal hanya menyimak.

"Ya, seluruhnya termasuk para tetangga berdatangan mengurus mayat itu hingga selesai. Acara ‘selamatan kematian’ dilaksanakan dengan menggunakan biaya hasil swadaya. Selesai sudah acara itu, tetapi karena tidak ada ahli waris lagi, maka kediaman tersebut menjadi rumah tua yang tak berpenghuni. Oleh karena, rumah itu sampai sekarang terlihat mencekam."

Badrul, si anak penakut ini sejak tadi cuma mendengarkan Mat Jupri sambil menopang tangannya ke daun telinga agar tidak kentara bahwa ia sedang menyumbat kupingnya. Ia duduk merapat di antara Kadir dan Nur Hasan untuk menghilangkan rasa takut yang menyelimuti perasaannya. Kini jam menunjuk ke arah 21:13 WIB, Mat Jupri beranjak menutup pintu, jendela mushalla dan mematikan lampu-lampunya, menandakan bincang-bincang mereka telah berakhir. Hanya tiga orang yang searah dengan Badrul, selebihnya berada di arah yang berbeda-beda. Anak-anak itu mulai berhamburan keluar halaman mushalla, sementara dada Badrul sesak oleh bayangan nenek yang mati mengenaskan. Walau ia ikut melangkah mengikuti jejak teman sebayanya, tetapi kecamuk pikirannya terus dihantui bayang-bayang sang nenek. Lebih-lebih tatkala akan masuk gang menuju rumahnya harus sendirian, sedangkan dua sahabatnya terus saja melewati gang itu. Badrul mulai dihinggapi bayang-bayang yang kian mencemaskan setelah mengingat akan menelusuri gang ke arah rumahnya sendirian.

Badrul pernah tahu rumah tua itu, ia kadang lewat jalan yang melintasi rumah dalam cerita Mat Jupri itu. Semua anak-anak tentu pernah melihat rumah itu, sebab lokasinya hanya berada di desa tetangga dekat desa mereka. Namun selama ini mereka hanya mendengar tempat tersebut sebagai rumah angker belaka.

Kini, Badrul merasa gelisah saat menelusuri gang menuju rumahnya dengan gontai. Lampu yang menerangi ruas jalan hanya terdiri dari beberapa buah dengan jarak yang cukup berjauhan, itupun masih dihalangi dedaunan dan dahan-dahan dari beberapa pepohonan sehingga badan jalan tak begitu jelas terlihat. Kondisi gang yang sepi menambah tegang si anak mata wayang ini. Ia percepat langkah-langkahnya, tetapi serasa semakin berat diayunkan. Merasa seakan-akan diikuti seseorang di belakang tubuhnya, menjadikan bulu kuduknya berdiri.

Memasuki jalan gang memang agak sepi. Kiri-kanan hanya ditumbuhi pohon-pohon, dan beberapa lahan kosong masih berupa pekarangan yang cuma berisi tanaman singkong, pepaya, pisang atau berbagai tumbuhan sayur. Badrul mulai lega saat rumah pertama sudah tampak di mata.

"Heeech..." Badrul menghela nafas panjang.

Belum sampai di depan rumah itu, Badrul merasa kecewa sebab tak seorangpun terlihat. Pintu tertutup, dan hanya lampu luar yang membantu menyinari jalan. Entah kenapa, badrul tak memiliki keberanian menolehkan kepalanya ke arah rumah itu. Kian dekat, detak jantung yang dirasakan Badrul semakin kencang. Apakah ini nyata? Ia benar-benar melihat seseorang sedang duduk di teras rumah itu. Rambut sebahu, berbaju kurung dengan warna putih yang mulai lusuh.

Angin malam yang berhembus, di tambah bunyi jangkrik menyempurnakan pemandangan malam ini. Malam ini memang malam Jumat, malam yang dikeramatkan orang-orang kampung. Begitu senyap terasa gang ini.

Semakin dekat, kian jelas rupa orang itu. Apa yang terurai dalam cerita Mat Jupri tentang detail nenek itu sungguh nyata. Mulutnya menganga, bercak sisa darah menempel di bagian bibirnya, bulatan matanya tampak tenggelam dalam kelopak yang mencekung. Wajahnya putih memudar, jelas-jelas pucat tanpa darah mengalir. Di antara kisaran mata menghitam semakin kelabu hingga pusat mata. Tubuhnya terlihat membungkuk, mengesankan ia sangat renta. Tangan pucat yang kian memperlihatkan kerut-kerut telapak tangannya memegang kedua lututnya. Tetapi tangan yang tampak menua, masih ditumbuhi kuku yang runcing.

Orang itu duduk tanpa suara. Badrul semakin tenggelam dalam ketakutan. Kedua kakinya ia buat melangkah lebih cepat, tetapi nenek berjubah itu seakan mengejar. Ia semakin dekat, sepertinya tangannya akan menjamah bahunya.

"Huuuuuch..." Dengus Badrul begitu lega ia mula memasuki pagar besi rumahnya. Rasa takut ini hilang, ketika jasad perempuan tua itu terlihat berdiri di dekat ujung pagar rumahnya. Segera ia membuka pintu dan masuk. Entah apa yang terjadi dengan tidurnya nanti.


"Heeech..." Kembali Badrul mendengus di ranjang.[]

Sumber Gambar:

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top