Oleh: Muhammad Hilal
Pagi itu, pukul 5.30 WIB., saya keluarkan sepeda, gabung
dengan dua pesepeda lain yang mau ekspedisi. Yang satu adalah Bedi—panggilan Ahmad
Biyadi, yang satunya lagi adalah Saiful—yang akun Facebooknya adalah Ipul
Juragan Tebu. Ekspedisi kali ini kami akan gowes ke Kali Sira.
Dari Jalan Sumber Ilmu, kami ke barat ke arah Bulupitu. Sesampainya
di Bulupitu, kami banting stir ke utara, melewati Desa Bureng, hingga mencapai
SD Sumberjaya. Di perempatan setelah SD Sumberjaya, kami ke timur.
Tak lama setelah itu, kami bertiga masuk ke gang kecil arah
selatan. Dari situ, medannya menjadi sulit sebab hanya jalan setapak yang kami
lalui, kiri-kanan kebun tebu. Jalannya juga menurun tajam. Kalau saja saat itu
sedang hujan, medan ini akan jadi lokasi extreme biking yang sempurna.
Sesampainya di Kali Sira, saya dan Bedi melihat pemandangan
yang mengejutkan. Kali Sira sudah berubah!
Bibir kali sebelah barat dan timur sudah dilapis dengan
beton. Di ujung tepian beton sebelah timur, terdapat bangunan yang tertutup
rapat semua pintunya. “Kali Siraku dulu tak begini,” kata Bedi, menirukan lirik
lagu dari sebuah iklan.
Hanya saiful yang tak terkejut dengan pemandangan Kali Sira
baru ini. Jelas, dia sudah tahu lebih awal ketimbang kami berdua. Lalu,
mulailah dia bercerita banyak tentang serba-serbi Kali Sira.
Beton di tepian ini dibangun bersamaan dengan gedung PDAM
ini, katanya sambil menunjuk gedung tertutup di samping kami. Gedung ini
menutup salah satu sumber di Kali Sira ini. Air yang dilimpahkan luar biasa,
mampu menyalurkan air bersih ke Desa Putukrejo dan Bureng sekaligus.
Pohon terbesar di kali ini pun sudah ditebang, kata Saiful
lagi sembari menunjuk tempat pohon besar itu dulu bertengger. Saya dan Bedi menoleh
ke tempat telunjuk Saiful mengarah. Benar, pohon itu sudah raib! Ingatan kami
langsung kembali ke masa lalu, di mana anak-anak meluncur dari akar pohon itu
ke dalam kali. Byurrr!!
Pohon itu ditebang karena kasus illegal logging, Saiful
melanjutkan—ingatan kami langsung buyar karena suara Saiful. Salah satu aparat
Desa Bureng memotongnya secara sepihak. Belum sempat menjualnya, penduduk setempat
memperkarakannya ke pihak berwenang. Kembali, sebuah aset desa dirusak oleh
tangan-tangan tak bertanggung jawab. Bukankah pohon-pohon di situ punya andil
besar menyerap air sehingga mampu mengalirkan air bersih yang sebegitu
melimpah? Lebih parah lagi, tindakan merusak itu dilakukan oleh aparat desa,
seorang pemimpin masyarakat!
Saiful menjelaskan banyak hal saat itu terkait Kali Sira.
Kami pun mengobrol tentang berbagai hal yang aneh-aneh. Seperti pertanyaan Bedi
yang misterius, dari mana asalnya ikan Kelemar (Ikan Tawes Beles, Puntius
Balleroides) atau ikan Cetol (Poecilia reticulata), kok di tiap-tiap sumber air selalu
ada? Pertanyaan ini belum terjawab secara memuaskan saat itu.
Saiful juga menceritakan hal misterius terkait Kali Sira. Kabarnya,
dahulu di sekitar sumber air ini terdapat sebuah candi. Dia mengajukan dua argumen
hipotetis: (1) di dalam kali yang jernih, terdapat batu-batu dalam berbagai
bentuk. Batu-batu itu adalah reruntuhan dari candi. (2) Di waktu-waktu
tertentu, terdapat orang-orang yang bertapa di sekitar kali, asalnya tidak
hanya dari Kabupaten Malang saja, bahkan ada yang berasal dari Kabupaten Blitar
juga. Nah, ini adalah informasi yang layak ditelusuri lebih lanjut. Saya coba googling,
ternyata tak ada informasi satupun mengenai candi di Kali Sira. Kabar ini
musti diarsip agar terkumpul lebih banyak bukti.
Begitulah Saiful, bercerita tentang banyak sekali hal. Mulai
dari sejarah air di Desa Ganjaran hingga pembudidayaan kangkung di bantaran
sungai itu. Saya senang karena Bedi mengajak Saiful berekspedisi gowes saat
itu, sebab dia tahu lebih banyak informasi untuk kami serap. Saya beranggapan,
ekspedisi gowes itu mustinya seperti itu, selain olahraga juga
olah-otak.
Setelah air mineral dan sigaret kami habis, kami semua
pulang melalui Desa Putukrejo ke Desa Ganjaran.
Menutup tulisan ini, satu informasi lagi tentang Putukrejo. Katanya,
putukrejo secara harfiah berarti: Putuk = gundukan tanah, Rejo = ramai. Jadi
berarti: ‘gundukan tanah tinggi yang ramai penghuni’.[]
Muhammad Hilal
kandidat Master di Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta,
penggemar sepeda Onthel.
0 komentar:
Post a Comment