Monday, October 8, 2012

Guru Cermin: Kesaksian Seorang Murid

7:46 PM


Oleh: Muhammad Hilal*

Namanya adalah Ismail Muadz, salah seorang guru Madrasah Tsanawiyah.

Dia adalah salah satu guru kegemaran saya, sebab gaya mengajarnya adalah bercerita. Seperti murid-murid yang lain, menyimak mata pelajaran itu membosankan, bikin mengantuk pula. Tapi berkat cerita-ceritanya, ruang kelas menjadi menyenangkan secara ajaib, apalagi guru satu ini pandai mengolah cerita menjadi tuturan yang lucu, tentu kami selalu betah di ruang kelas berlama-lama.

Bertahun-tahun kemudian barulah saya sadar betapa bercerita itu adalah salah satu strategi pendidikan, salah satu cara menanamkan nilai kepada anak-anak. cara ini adalah tradisi lama, sudah berlaku sejak manusia belum mengenal tulisan tangan, dan selama itu pula strategi ini diakui keampuhannya. Bahkan Alquran pun menggunakan strategi ini untuk menyampaikan nilai-nilainya yang agung.

Dasar kami yang masih anak-anak waktu itu, seorang guru pun akan mendapat predikat favorit asalkan lulus persyaratan tertentu: pintar bercerita lucu. Kalau ada seorang guru yang mengajar hanya lurus-lurus saja, berpusat pada buku diktat, tak pandai melucu, jangan harap kami akan kerasan di kelas. Guru yang satu ini berhasil lulus persyaratan yang kami bikin.


Hal lain yang membuat pengajarannya digemari adalah kemampuannya membaca kitab kuning dengan sangat cepat. Barangkali karena sepanjang hidupnya dia habiskan mempelajari dan menelaah kitab kuning sehingga dia bisa membacanya dengan sedemikian lancarnya, selancar menggaruk rasa gatal di lengannya.

Tidak jarang dia membaca kitab kuning sambil melagukannya dengan model lagu jawa, persis seperti  seorang dalang yang menyuarakan dialog wayang. Belakangan saya baru tahu bahwa di masa mudanya, guru yang satu ini memang suka menonton pagelaran wayang. Bahkan, menurut kesaksian para santri yang terkadang menginap di rumahnya, dia seringkali mendengarkan siaran pedalangan di radio.

Kebiasaan menonton atau mendengarkan wayang sudah sangat jarang pada saat saya sekolah dulu. Bahkan mereka yang sudah dewasa sudah beralih tontonan ke arah layar televisi—berkat program pembangunan yang sangat gencar. Tapi tidak bagi guru yang satu ini, televisi tidak akan memaksanya menoleh dari wayang, sebab wayang tak hanya menawarkan hiburan, namun juga pesan-pesan hikmah kehidupan yang sangat mendalam. Sebaliknya, hingga saat ini, televisi kurang berhasil menanamkan nilai-nilai luhur kepada para penontonnya, bahkan, kebalikannya, cenderung destruktif.

Guru yang satu ini memang mengampu mata pelajaran yang buku diktatnya hanya kitab kuning. Ya, hanya kitab kuning saja. Bukan apa-apa, sebab menurut pengalamannya, belajar ilmu agama melalui kitab kuning memiliki keunggulan yang tidak dimiliki cara lain. Dengan demikian, mengajarkan agama dengan cara yang sama tentu mengandung keunggulan tertentu pula.

Di madrasah itu, saya pernah belajar beberapa kitab kepadanya. Tak banyak, memang. Hanya ‘Umdah al-Itqân (tentang studi Alquran), Fath al-Majîd (tentang Ilmu Kalam ‘Asy’ariyah), Tuhfah ath-Thullâb (tentang fikih Syafi’iyah), dan beberapa kitab lain yang saya lupa namanya. Semuanya tidak sampai khatam.

Tidak di madrasah saja, guru satu ini juga mengajarkan kitab kuning di rumahnya, di ruang tamu pada pagi, sore dan malam hari. Tak bosan-bosan dia meladeni murid-murid yang mau mendapat tambahan pembelajaran agama. Bahkan, oleh karena terkadang pembelajaran selesai terlalu larut, dia menyediakan ruang untuk murid-muridnya menginap. Dia meluangkan waktu sebanyak itu hanya agar para murid—jadi, ya, kami-kami ini—mau belajar ilmu agama. Itu saja.

Bagaimana dengan waktunya mencari nafkah? Bagaimana dengan waktunya meladeni masyarakat luas? Bagaimana dengan waktunya untuk keluarga? Singkatnya, bagaimana dia membagi waktu untuk semua itu? Entahlah, saya masih terlalu muda untuk menyelidiki menejemennya membagi waktu. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu baru terpikir belakangan ini.

Dengan demikian, saya pun sudah mengenyam pembelajaran kitab kuning kepadanya di rumahnya. Di antaranya, Durrah an-Nâshihîn (tentang cerita-cerita hikmah), Hikam (aforisme-aforisme sufistik), sebuah kitab tentang alam barzakh, sebuah kitab tentang ilmu kalam, dan sebuah kitab tentang fikih. Sebagian berhasil saya pelajari hingga khatam, sebagian lagi tidak khatam.

Demikianlah guru yang satu ini, tak menyodorkan buku diktat apapun selain kitab kuning. Namun, untuk menggambarkan model pengajarannya yang sejati, berjilid-jilid kitab kuning belum menjelaskan apa-apa. Saya sebagai muridnya baru menyadari bahwa pengajarannya ini terletak di tempat lain selain ruang kelas dan rumahnya, yaitu di seluruh nafas kehidupan yang dia hirup dan hembuskan.

Singkat kata, guru satu ini mengajarkan nilai-nilai melalui keteladanan. Saya tahu betapa pentingnya penghormatan kepada seorang guru berkat kesungguhannya melakukan penghormatan kepada guru-gurunya. Melalui tindak-tanduknya, saya berhasil menangkap kesimpulan bahwa guru tak ubahnya seperti lampu senter yang menembakkan sinar harapan di lorong-lorong kehidupan yang serba tak pasti. Dengan peran semacam ini, maka kepatuhan kepada seorang guru adalah mutlak dan tak patut diperlakukan dengan protes. Memang, guru satu ini tidak mengenyam pendidikan apa-apa selain di pesantren, jadi tidak heran kalau sikapnya terhadap guru sedemikian patuh sebab demikianlah yang diajarkan di semua pesantren, dan dia menjalaninya dengan sangat meyakinkan.

Pernah suatu hari, dalam sebuah perbincangan santai, guru satu ini menyatakan rasa keberatan ketika murid-muridnya memintanya mengajarkan kitab Minhâj al-‘Âbidîn, sebuah kitab tasawuf karangan Hujjah al-Islâm Abû Hâmid al-Ghazâlî. Kitab ini memang tipis, tapi terbilang kitab kelas tinggi, semacam buku ajar level advanced-lah. Dia keberatan bukan karena apa-apa, melainkan karena khawatir mereka tidak akan mengamalkan kandungan kitab itu di dalam kesehariannya. Kebijaksanaan yang dia dapat dari guru-gurunya bukanlah bagaimana dia berhasil mengkhatamkan bertumpuk-tumpuk kitab kuning, melainkan bagaimana mengamalkan isi kitab-kitab yang dia pelajari, dan itu bukanlah tugas mudah. Tapi, meski rasa khawatir itu masih bercokol di dalam hatinya, guru satu ini tetap mengajarkannya juga di hadapan murid-muridnya. Mumpung mereka sedang on fire belajar kitab kuning, katanya.

Sekali lagi, dia hanya mengenyam pendidikan di pesantren dan jenis buku yang dia lahap pun cuma  kitab kuning. Jadi, seperti yang dia petik dari guru-gurunya pula, hidup itu adalah soal menyesuaikan laku dengan kitab-kitab yang dia pelajari. Kerja penyesuaian semacam ini memerlukan kemahiran melakukan kontekstualisasi, dan melakukannya membutuhan proses latihan yang tidak pendek.

Oleh karena strategi pengajarannya adalah keteladanan, maka guru satu ini tak ubahnya seperti cermin bagi para muridnya—tidak terkecuali bagi saya. Seperti cermin sebab dia adalah tempat kami melihat tingkah laku yang tak benar atau tak pantas dalam keseharian kami. Melaluinya kami bisa tahu cela-cela dalam tindakan kami. Dia adalah panutan kami.

Dia bukan satu-satunya guru yang menjadi cermin bagi murid-muridnya, memang, namun tidak banyak yang berhasil menjadi demikian. Kebanyakan guru mungkin hanya seperti mesin ATM yang kerjanya cuma menransfer wawasan kepada para muridnya. Soal apakah laku kami menjadi lebih baik dan pantas tidak begitu diambil pusing.

Lebih buruk lagi, terdapat beberapa guru yang perilakunya tak jauh beda seperti tanaman parasit. Jadi panutan bagi para murid, tidak. Kasih wawasan baru kepada murid-murid, juga tidak. Dia tidak kasih apa-apa selain kerugian bagi para murid. Bagi guru macam begini, murid adalah satu-satunya kesempatan untuk hidup. Sebutannya sebagai guru pun masih rancu, dikaburkan dengan perilakunya yang mirip tukang begal berbusana rapi.

Tapi, seperti halnya kategori pertama, guru kategori ketiga ini juga jarang ditemui. Kebanyakan adalah model kedua itu, si tipikal mesin ATM.

Seorang guru yang menggunakan keteladanan sebagai strategi pengajaran sebetulnya mengambil risiko yang tidak gampang. Guru satu ini menjalani hidup yang sederhana secara ekonomi. Sudah bukan rahasia umum bahwa kesederhanaan hidupnya itu adalah pilihan sadarnya. Bukan berarti guru satu ini membenci kemewahan. Baginya, hidup sederhana itu lebih baik sebab tidak kompatibel dengan kesombongan dan sikap tinggi hati. Jadi, dia hanya membuat komitmennya pada sebuah prinsip menjadi sebuah tindakan.

Namun, bukan berarti bahwa semua orang yang hidup sederhana itu rendah hati dan, sebaliknya, tak semua hidup mewah itu adalah gambaran kesombongan. Ini cuma seperti kata pepatah, “orang kaya sombong itu biasa, yang luar biasa itu adalah orang kaya yang rendah hati. Dan orang miskin yang rendah hati itu biasa, yang luar biasa itu adalah orang miskin yang sombong.”

Mengenang guru satu ini dalam sebuah tulisan membutuhkan berlembar-lembar kertas. Rasanya, di sini harus diputuskan juga penghabisannya biar tidak terlalu panjang. Dan mengakhiri tulisan kenangan tentang guru satu ini, salah satu ucapan yang masih melekat rekat dalam ingatan adalah: “Hidup bermasyarakat itu tak bisa hanya mengandalkan wawasan yang luas saja. Kalau kalian sudah hidup bermasyarakat, andalkanlah akhlak terpuji!” Jadi, apa itu akhlak terpuji sebagaimana yang dia maksud? Jawabannya mudah, tengoklah di kitab kuning.[]

*Muhammad Hilal
adalah mahasiswa  pasca sarjana Fakultas Filsafat
UGM Yogyakarta

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top