Oleh: Muhammad Hilal*
Namanya adalah Ismail Muadz,
salah seorang guru Madrasah Tsanawiyah.
Dia adalah salah satu guru
kegemaran saya, sebab gaya mengajarnya adalah bercerita. Seperti murid-murid
yang lain, menyimak mata pelajaran itu membosankan, bikin mengantuk pula. Tapi
berkat cerita-ceritanya, ruang kelas menjadi menyenangkan secara ajaib, apalagi
guru satu ini pandai mengolah cerita menjadi tuturan yang lucu, tentu kami
selalu betah di ruang kelas berlama-lama.
Bertahun-tahun kemudian barulah saya
sadar betapa bercerita itu adalah salah satu strategi pendidikan, salah satu
cara menanamkan nilai kepada anak-anak. cara ini adalah tradisi lama, sudah
berlaku sejak manusia belum mengenal tulisan tangan, dan selama itu pula
strategi ini diakui keampuhannya. Bahkan Alquran pun menggunakan strategi ini
untuk menyampaikan nilai-nilainya yang agung.
Dasar kami yang masih anak-anak
waktu itu, seorang guru pun akan mendapat predikat favorit asalkan lulus
persyaratan tertentu: pintar bercerita lucu. Kalau ada seorang guru yang
mengajar hanya lurus-lurus saja, berpusat pada buku diktat, tak pandai melucu,
jangan harap kami akan kerasan di kelas. Guru yang satu ini berhasil lulus
persyaratan yang kami bikin.
Hal lain yang membuat
pengajarannya digemari adalah kemampuannya membaca kitab kuning dengan sangat
cepat. Barangkali karena sepanjang hidupnya dia habiskan mempelajari dan
menelaah kitab kuning sehingga dia bisa membacanya dengan sedemikian lancarnya,
selancar menggaruk rasa gatal di lengannya.
Tidak jarang dia membaca kitab
kuning sambil melagukannya dengan model lagu jawa, persis seperti seorang dalang yang menyuarakan dialog
wayang. Belakangan saya baru tahu bahwa di masa mudanya, guru yang satu ini
memang suka menonton pagelaran wayang. Bahkan, menurut kesaksian para santri
yang terkadang menginap di rumahnya, dia seringkali mendengarkan siaran
pedalangan di radio.
Kebiasaan menonton atau
mendengarkan wayang sudah sangat jarang pada saat saya sekolah dulu. Bahkan
mereka yang sudah dewasa sudah beralih tontonan ke arah layar televisi—berkat
program pembangunan yang sangat gencar. Tapi tidak bagi guru yang satu ini,
televisi tidak akan memaksanya menoleh dari wayang, sebab wayang tak hanya
menawarkan hiburan, namun juga pesan-pesan hikmah kehidupan yang sangat
mendalam. Sebaliknya, hingga saat ini, televisi kurang berhasil menanamkan
nilai-nilai luhur kepada para penontonnya, bahkan, kebalikannya, cenderung
destruktif.
Guru yang satu ini memang
mengampu mata pelajaran yang buku diktatnya hanya kitab kuning. Ya, hanya kitab
kuning saja. Bukan apa-apa, sebab menurut pengalamannya, belajar ilmu agama
melalui kitab kuning memiliki keunggulan yang tidak dimiliki cara lain. Dengan
demikian, mengajarkan agama dengan cara yang sama tentu mengandung keunggulan
tertentu pula.
Di madrasah itu, saya pernah
belajar beberapa kitab kepadanya. Tak banyak, memang. Hanya ‘Umdah al-Itqân (tentang
studi Alquran), Fath al-Majîd (tentang Ilmu Kalam ‘Asy’ariyah),
Tuhfah ath-Thullâb (tentang fikih Syafi’iyah), dan beberapa kitab lain yang
saya lupa namanya. Semuanya tidak sampai khatam.
Tidak di madrasah saja, guru satu
ini juga mengajarkan kitab kuning di rumahnya, di ruang tamu pada pagi, sore
dan malam hari. Tak bosan-bosan dia meladeni murid-murid yang mau mendapat
tambahan pembelajaran agama. Bahkan, oleh karena terkadang pembelajaran selesai
terlalu larut, dia menyediakan ruang untuk murid-muridnya menginap. Dia
meluangkan waktu sebanyak itu hanya agar para murid—jadi, ya, kami-kami ini—mau
belajar ilmu agama. Itu saja.
Bagaimana dengan waktunya mencari
nafkah? Bagaimana dengan waktunya meladeni masyarakat luas? Bagaimana dengan
waktunya untuk keluarga? Singkatnya, bagaimana dia membagi waktu untuk semua
itu? Entahlah, saya masih terlalu muda untuk menyelidiki menejemennya membagi
waktu. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu baru terpikir belakangan ini.
Dengan demikian, saya pun sudah
mengenyam pembelajaran kitab kuning kepadanya di rumahnya. Di antaranya, Durrah
an-Nâshihîn (tentang cerita-cerita hikmah), Hikam (aforisme-aforisme
sufistik), sebuah kitab tentang alam barzakh, sebuah kitab tentang ilmu kalam, dan
sebuah kitab tentang fikih. Sebagian berhasil saya pelajari hingga khatam,
sebagian lagi tidak khatam.
Demikianlah guru yang satu ini,
tak menyodorkan buku diktat apapun selain kitab kuning. Namun, untuk
menggambarkan model pengajarannya yang sejati, berjilid-jilid kitab kuning
belum menjelaskan apa-apa. Saya sebagai muridnya baru menyadari bahwa pengajarannya
ini terletak di tempat lain selain ruang kelas dan rumahnya, yaitu di seluruh
nafas kehidupan yang dia hirup dan hembuskan.
Singkat kata, guru satu ini
mengajarkan nilai-nilai melalui keteladanan. Saya tahu betapa pentingnya
penghormatan kepada seorang guru berkat kesungguhannya melakukan penghormatan
kepada guru-gurunya. Melalui tindak-tanduknya, saya berhasil menangkap
kesimpulan bahwa guru tak ubahnya seperti lampu senter yang menembakkan sinar
harapan di lorong-lorong kehidupan yang serba tak pasti. Dengan peran semacam
ini, maka kepatuhan kepada seorang guru adalah mutlak dan tak patut
diperlakukan dengan protes. Memang, guru satu ini tidak mengenyam pendidikan
apa-apa selain di pesantren, jadi tidak heran kalau sikapnya terhadap guru
sedemikian patuh sebab demikianlah yang diajarkan di semua pesantren, dan dia
menjalaninya dengan sangat meyakinkan.
Pernah suatu hari, dalam sebuah
perbincangan santai, guru satu ini menyatakan rasa keberatan ketika
murid-muridnya memintanya mengajarkan kitab Minhâj al-‘Âbidîn, sebuah
kitab tasawuf karangan Hujjah al-Islâm Abû Hâmid al-Ghazâlî. Kitab ini memang
tipis, tapi terbilang kitab kelas tinggi, semacam buku ajar level advanced-lah.
Dia keberatan bukan karena apa-apa, melainkan karena khawatir mereka tidak akan
mengamalkan kandungan kitab itu di dalam kesehariannya. Kebijaksanaan yang dia
dapat dari guru-gurunya bukanlah bagaimana dia berhasil mengkhatamkan
bertumpuk-tumpuk kitab kuning, melainkan bagaimana mengamalkan isi kitab-kitab
yang dia pelajari, dan itu bukanlah tugas mudah. Tapi, meski rasa khawatir itu
masih bercokol di dalam hatinya, guru satu ini tetap mengajarkannya juga di
hadapan murid-muridnya. Mumpung mereka sedang on fire belajar kitab
kuning, katanya.
Sekali lagi, dia hanya mengenyam
pendidikan di pesantren dan jenis buku yang dia lahap pun cuma kitab kuning. Jadi, seperti yang dia petik
dari guru-gurunya pula, hidup itu adalah soal menyesuaikan laku dengan
kitab-kitab yang dia pelajari. Kerja penyesuaian semacam ini memerlukan
kemahiran melakukan kontekstualisasi, dan melakukannya membutuhan proses
latihan yang tidak pendek.
Oleh karena strategi
pengajarannya adalah keteladanan, maka guru satu ini tak ubahnya seperti cermin
bagi para muridnya—tidak terkecuali bagi saya. Seperti cermin sebab dia adalah
tempat kami melihat tingkah laku yang tak benar atau tak pantas dalam
keseharian kami. Melaluinya kami bisa tahu cela-cela dalam tindakan kami. Dia
adalah panutan kami.
Dia bukan satu-satunya guru yang
menjadi cermin bagi murid-muridnya, memang, namun tidak banyak yang berhasil
menjadi demikian. Kebanyakan guru mungkin hanya seperti mesin ATM yang kerjanya
cuma menransfer wawasan kepada para muridnya. Soal apakah laku kami menjadi
lebih baik dan pantas tidak begitu diambil pusing.
Lebih buruk lagi, terdapat
beberapa guru yang perilakunya tak jauh beda seperti tanaman parasit. Jadi
panutan bagi para murid, tidak. Kasih wawasan baru kepada murid-murid, juga
tidak. Dia tidak kasih apa-apa selain kerugian bagi para murid. Bagi guru macam
begini, murid adalah satu-satunya kesempatan untuk hidup. Sebutannya sebagai
guru pun masih rancu, dikaburkan dengan perilakunya yang mirip tukang begal
berbusana rapi.
Tapi, seperti halnya kategori
pertama, guru kategori ketiga ini juga jarang ditemui. Kebanyakan adalah model
kedua itu, si tipikal mesin ATM.
Seorang guru yang menggunakan
keteladanan sebagai strategi pengajaran sebetulnya mengambil risiko yang tidak
gampang. Guru satu ini menjalani hidup yang sederhana secara ekonomi. Sudah
bukan rahasia umum bahwa kesederhanaan hidupnya itu adalah pilihan sadarnya.
Bukan berarti guru satu ini membenci kemewahan. Baginya, hidup sederhana itu
lebih baik sebab tidak kompatibel dengan kesombongan dan sikap tinggi hati.
Jadi, dia hanya membuat komitmennya pada sebuah prinsip menjadi sebuah
tindakan.
Namun, bukan berarti bahwa semua
orang yang hidup sederhana itu rendah hati dan, sebaliknya, tak semua hidup
mewah itu adalah gambaran kesombongan. Ini cuma seperti kata pepatah, “orang
kaya sombong itu biasa, yang luar biasa itu adalah orang kaya yang rendah hati.
Dan orang miskin yang rendah hati itu biasa, yang luar biasa itu adalah orang
miskin yang sombong.”
Mengenang guru satu ini dalam sebuah
tulisan membutuhkan berlembar-lembar kertas. Rasanya, di sini harus diputuskan
juga penghabisannya biar tidak terlalu panjang. Dan mengakhiri tulisan kenangan
tentang guru satu ini, salah satu ucapan yang masih melekat rekat dalam ingatan
adalah: “Hidup bermasyarakat itu tak bisa hanya mengandalkan wawasan yang
luas saja. Kalau kalian sudah hidup bermasyarakat, andalkanlah akhlak terpuji!”
Jadi, apa itu akhlak terpuji sebagaimana yang dia maksud? Jawabannya mudah,
tengoklah di kitab kuning.[]
*Muhammad Hilal
adalah mahasiswa pasca sarjana Fakultas Filsafat
UGM Yogyakarta
0 komentar:
Post a Comment