Oleh: Ahmad
Atho’ Lukman Hakim*
Dan bila dikatakan kepada mereka: Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan." (11) Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar. (Q.S : Al-Baqarah 11-12).
Jika ada penguasa mengklaim dirinya telah berbuat yang baik untuk
bangsa: bahwa kebijakan ini adalah demi masa depan masyarakat yang lebih baik,
padahal yang yang terjadi justru sebaliknya, mereka melakukan kerusakan di muka
bumi, kebijakan yang mereka hasilkan justru menimbulkan ketidakadilan ditengah
masyarakat, maka orang-orang yang demikianlah yang dimaksudkan oleh Allah dalam
ayat yang tertera di atas. Dalam ayat lain Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (Al-Hujarat 6)
Secara bebas ayat tersebut dapat pula kita tafsirkan sebagai
berikut: jika penguasa yang telah nyata otoriternya dan menulis sebuah sejarah,
maka wajib bagi kita untuk bersikap kritis dan melakukan penyelidikan investigatif
agar kita dapat berlaku adil dan tidak merugikan siapapun. Sejarah adalah ingatan kolektif yang
dikontruksikan. Adagium yang selama ini dipercaya adalah “sejarah ada di tangan
penguasa”. Dengan kekuatan sejarahlah kekuasaan dibangun. Bahkan keimanan kita pun
dikukuhkan dengan sejarah.
Memori atau ingatan sudah menjadi perbincangan dalam bidang filsafat
sejak lama. Sejak zaman Plato (471-347 SM), mengingat, dalam bahasa Yunani anamnese, memiliki makna yang sangat
dalam. Anamnese ini berkaitan dengan
teori idealisme Plato yang menyatakan bahwa eksistensi yang hakiki adalah dunia
Ide. Dalam teori Plato anamnese adalah
suatu cara untuk menemukan kesejatian dari dunia ini sehingga memperoleh
pengetahuan yang hakiki.
Agustinus (354-430 M) membahasakan ingatan dengan memoria. Menurut filosof ini memoria
inilah yang mendorong manusia untuk mengaktualkan gambaran-gambaran yang pernah
dia peroleh semasa hidupnya. Memoria ini
bagaikan cahaya batin yang dapat menangkap sesuatu yang tersembunyi pada
manusia, pada gilirannya dapat mendatangkan stimulan manusia untuk berbuat.
Demikian pula Henri Bergson,
meski memilah ingatan ada dua kategori, yakni ingatan mekanis dan ingatan
murni, pada dasarnya ia hampir sama dengan Agustinus bahwa ingatan berfungsi
sebagai stimulan dan pemilah bagi kesadaran manusia. Hal yang sama juga
ditemukan dalam pemikiran Paolo Friere yang menekankan proses “mengingat”
realitas sosial dimasyarakat agar terbentuk kesadaran kritis. Dengan demikian,
sebagai pembentuk jati diri yang baru “mengingat”, sebagaimana ditegaskan
Adorno, adalah masalah cara atau perspektif agar dapat memaknai secara baru
masa lalu dengan lebih positif tentuya.
Mengingat tidak hanya
mempengaruhi perilaku pada level individu bahkan juga bisa beroperasi pada
wilayah publik. Adalah Bennedict Anderson,
seorang indosianis asal Australia, yang menyatakan bahwa sebuah bangsa dalam
terbentuk karena imajinasi masyarakatnya (imagine
community). Sebuah bangsa, bagi dia, adalah shared memory tentang jati diri mereka sendiri sehingga
memungkinkan mereka bersatu.
Karena bisa mempengaruhi ruang public,
maka ingatan terkadang dipolitisasi untuk tujuan-tujuan hegemonik penguasa.
Dengan mempermainkan ingatan publik penguasa berharap kuku kekuasaannya dapat
menancap lebih tajam. Orde baru, misalnya, ingatan publik dikontruksikan
sedemikian rupa untuk meligitimasi kepentingan-kepentingan kekuasaannya. Umpamanya,
monumen Pancasila sakti yang dibangun untuk mengenang Pahlawan Revolusi adalah
upaya membenarkan wacana yang dibangun Orde Baru bahwa dirinyalah yang membawa
perubahan dari penyelewengan Pancasila yang dilakukan oleh Rezim sebelumnya,
terkhusus oleh PKI. PKI dianggap tidak Pancasilais dan dianggap musuh bangsa.
Fakta sejarah bahwa pencetus Pancasila, Sukarno, yang terpengaruh oleh konsep
Marxisme yang nota bene menjadi
landasan utama ideologi PKI sama sekali diabaikan.
Kontruksi ingatan kolektif yang
demikian juga kita temukan di sejarah-sejarah yang ditulis dan diajarkan dalam
pendidikan kewargaan. Kita masih ingat bagaimana rezim Orde Baru menulis
sejarah Serangan 11 Maret, misalnya, yang menonjolkan peran tokoh utama Orde Baru
yang pada belakang hari mendapat protes dari para pelaku sejarah yang lain.
Kemudian kita tentunya masih ingat bagaimana penguasa Orde Baru, dengan dasar shared memory yang ia ciptakan tentang PKI,
memukul musuh-musuh politiknya dengan label komunis atau neo komunis sebagai
pembenar. Pukulan ini sangat efektif, kala itu, untuk menjinakkan kritisisme
yang tumbuh dalam masyarakat. Demikian itu adalah sedikit contoh kasus betapa
politik ingatan benar-benar dimanfaatkan oleh penguasa untuk kepentingan
dirinya. Dengan ingatan, publik dapat dibentuk/membentuk jati dirinya yang
baru.
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa ingatan tidak hanya punya pengaruh pada level personal-individual tetapi
juga bisa mempunyai dampak yang luar biasa di level publik atau masyarakat.
Fungsi ingatan ini adalah untuk membentuk jati diri baru demi masa depan yang
idealnya tentu diharapkan lebih baik. Ingatan memegang peranan penting dalam
bertindak dan berbuat pada masa kini dan masa depan, sebab ingatan akan
memberikan dampak berupa pelajaran berharga sebagai bahan pertimbangan dalam
memutuskan apa yang seharusnya dilakukan. Individu atau masyarakat dapat
menjadi eksistensi yang baru dan lebih baik setelah mengambil hikmah atau
pelajaran dari masa lalu, hal itu jika dia bisa menyikapi secara arif masa
lalu. Sebaliknya, individu atau masyarakat akan terbelenggu oleh masa lalu
ketika ia tidak bisa membebaskan diri dari bayang-bayang ingatan masa lalu atau
tidak bisa mengambil hikmah atau pelajaran demi masa depan yang lebih baik.[]
*Ahmad Atho’ Lukman Hakim
adalah pengajar di MAN 1 Gondanglegi Malang
Jawa Timur
0 komentar:
Post a Comment