Oleh: Muhammad Adib*
Pendahuluan
Sebelum masuk Islam, ‘Umar ibn al-Khaththâb adalah sosok yang sangat ditakuti. Wataknya yang jujur sekaligus keras, fisiknya yang kuat, “ilmu kanuragan”-nya yang tinggi, menjadikan kehadirannya sebagai momok yang menakutkan siapa saja. Bagi kaum muslim, kebencian ‘Umar terhadap Rasulullah saw. serta ajaran Islam membuat posisi mereka semakin tertekan. Di pihak lain, tidak seorang pun dari oran-orang kafir Makah yang berani membuat persoalan dengan Umar. Itulah sebabnya, begitu dia memeluk agama Islam, kaum muslimin, termasuk Rasulullah saw. sendiri, merasakan kebahagiaan yang sangat mendalam. Sebab, dengan begitu, Islam akan memperoleh tambahan kekuatan yang sangat berarti. Kalau dulu kaum muslimin ketakutan untuk menyatakan keislaman mereka akibat begitu gencarnya teror dan tekanan dari orang-orang kafir Makah, maka sejak keislaman ‘Umar, mereka mulai memiliki keberanian untuk melaksanakan ajaran agama Islam secara terang-terangan.[1] Tidak berlebihan jika suatu ketika ‘Abdullâh ibn Mas‘ûd berkomentar bahwa “islamnya ‘Umar adalah kejayaan, hijrahnya adalah pertolongan dan pemerintahannya adalah rahmat.”[2]
Pada kenyataannya, sejak masa Rasulullah saw. hingga menjabat sebagai khalifah pengganti Abû Bakr, ‘Umar memberikan banyak kontribusi yang sangat berarti bagi agama dan masyarakat. Seringkali Rasululah saw. meminta pendapatnya dalam menghadapi berbagai persoalan sosial kemasyarakatan. Banyak dari pendapatnya disetujui oleh Rasulullah saw., dan bahkan beberapa di antaranya ditanggapi langsung oleh wahyu Alquran.[3] Kejeniusan pikiran dan kecemerlangan gagasannya menempatkan posisinya pada jajaran teratas di kalangan para sahabat. Bahkan, suatu ketika, Rasulullah saw. memujinya sebagai orang yang “hati dan lisannya dijadikan oleh Allah swt. sebagai penyuara kebenaran.”[4]
Ketika menjabat sebagai khalifah pengganti Abû Bakr, ‘Umar menghadapi berbagai perkembangan sosial-politik yang begitu kompleks. Wilayah kekuasaan Islam semakin luas dan masyarakatnya semakin plural, sebagai konsekuensi logis dari berbagai upaya ekspansi wilayah yang berhasil dengan gemilang. Di sini, secara cemerlang, ‘Umar melakukan berbagai terobosan inovatif, yaitu dengan memformulasikan sistem administrasi pemerintahan yang modern; meliputi, antara lain, bidang politik, yurisdiksi, ekonomi dan kemiliteran. Dalam sejarah, ‘Umar dipandang sebagai peletak dasar pemerintahan modern dalam sejarah Islam.[5]
Administrasi Propinsi
Periode ‘Umar identik dengan masa keemasan perluasan wilayah Islam (the greatest conquest of Islam). Pada masa Abû Bakr, misi ekspansi Islam hanya mencapai sebagian wilayah Iraq dan Syria. Penyebabnya adalah karena, ketika itu, Abû Bakr terlalu disibukkan oleh konflik politik internal yang mengarah pada disintegrasi bangsa, terutama yang disulut oleh para pemberontak (ahl ar-riddah). Sementara ketika ‘Umar menjadi khalifah, gelombang ekspansi semakin meluas.[6] Wilayah kekuasaan Islam sudah meliputi Jazirah Arab, Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia dan Mesir. Konsekuensinya, berbagai persoalan sosial-politik semakin kompleks. Karena itu, ‘Umar segera membangun sebuah formula sistem administrasi pemenrintahan yang, sejumlah besar di antaranya, diadopsi dari sistem pemerintahan yang sudah berkembang di Kerajaan Persia.[7]
Dalam wilayah Islam yang sangat luas itu, ‘Umar merasa tidak mungkin bisa menjalankan roda pemerintahan secara langsung dari Madinah sebagai ibukota negara. Karena itu, dia segera membagi wilayah yang luas itu menjadi delapan propinsi (wilâyah), yaitu Makah, Madinah, Syria, Jazirah, Bashrah, kufah, Mesir dan Palestina, yang masing-masing dipimpin oleh seorang gubernur sebagai wakil khalifah di tingkat daerah. Tiap probinsi memiliki ibukota serta dibagi menjadi beberapa kabupaten (iqlîm) yang masing-masing dikepalai oleh seorang amîr.[8]
Para gubernur ini diberi tugas dan wewenang yang, kurang-lebih, sama dengan yang dilakukan oleh khalifah, meliputi bidang politik, ekonomi, sosial, peradilan pertahan dan keamanan. Bahkan seorang gubernur juga bisa bertindak sebagai panglima tertingga militer daerah dan melakukan ekspansi wilayah.[9] Namun, sebagaimana dinyatakan oleh Sulayman Muhammad ath-Thamâwî, sistem pemerintahan yang dijalankan oleh ‘Umar masih bersifat sentralistik (markaziyah). Semuanya harus berada dalam pangawasan, dan tiap daerah harus melaporkan serta mempertanggungjawabkan segala program kerjanya kepada pemerintah pusat di Madinah. Mengapa harus bersifat sentralistik? Sebab, menurut Ath-Thamâwî, kondisi saat itu tidak memungkinkan bagi ‘Umar untuk menerapkan sistem desentralisasi kekuasaan (lâ markaziyah) atau otonomi daerah. Simak pernyataan Ath-Thamâwî berikut ini:[10]
ولقد فرضت ظروفُ الدولة الإسلامية في عهد عمر أسلوب المركزية في الحكم، بل إن عمر قد سلك أسلوباً مركزيا متطرفا لانكاد نجد مثالا في التاريخ. ولقد لاحظ الكتّاب هذه الخاصّية في أسلوب عمر في القيادة وأخذوها عليه. ولكننا نجد أنه لم يكن أمام عمر وسيلة أخرى غيرها، بل لا نبالغ إذا قلنا إنه لولا تركيز السلطات في يد الخليفة وهيمنته التامّة على أطراف الدولة، فما آستطاع عمر ولا المسلمون أن يحققوا ما حققوا من معجزات في هذا الزمن القصير
Saat itu, wewenang ‘Umar tidak hanya terbatas pada wilayah administratif-birokratis, namun juga merambah kepada pengawasan aspek moral para pejabat bawahannya. Dalam aspek administrative, seperti yang dijelaskan oleh M. A. Shaban, ‘Umar berupaya untuk mengoptimalkan kinerja para gubernur di daerah-daerah, meskipun masih tetap berada dalam pengawasan pemerintah pusat. Untuk itu, dalam memilih dan mengangkat seorang gubernur, ‘Umar menetapkan criteria bahwa orang tersebut harus memiliki jiwa kepemimpinan yang selaras dengan ajaran Islam. Hanya saja, ketika mengangkat ‘Ammâr ibn Yasîr sebagai gubernur Kufah dengan alasan bahwa ia adalah orang punya dedikasi yang tinggi terhadap Islam, ‘Umar tidak mempertimbangkan bahwa ‘Ammâr masih “awam” dalam penjalankan roda pemerintahan (novice in the art of government). Seharusnya, ‘Umar memilih orang yang punya pengalaman politik, seperti ketika mengangkat Al-Mughîrah ibn Syu‘bah sebagai kepala daerah Tsaqîf, meskipun, sayangnya, orang yang tersebut terakhir ini tidak begitu bagus reputasi keagamaannya. Simak penjelasan Shaban berikut ini:
If ‘Umar had difficulty in establishing control over the governors in the provinces, it was in fact equally difficult for the provincial governors to assert their power. ‘Umar attempted to enforce both the governor’s power and his own by initiating what can best be described as Islamic leadership. This involved appointing men whose distinction stemmed from their devotion to Islam, men of the caliber of ‘Ammâr b. Yâsir whom ‘Umar appointed governor of Kûfa. However, the attempt failed, for ‘Ammâr was clearly a novice in the art of government. ‘Umar had to fall back upon seasoned politicians, like al-Mughîra b. Syu‘ba of Thaqîf, despite his shaky reputation as a good practicing Muslim.[11]
Sementara dalam aspek moral, ‘Umar tergolong sangat ketat mengawasi perilaku para pejabat bawahannya. Jika ada yang menyalahgunakan wewenannya, maka ‘Umar segera mengingatkannya bahkan tidak segan-segan member sanksi yang relatif cukup berat. Salah satu langkah ‘Umar, dalam hal control moral ini, adalah instruksinya agar setiap gubernur dan amîr harus melaporkan kekayaannya secara berjangka. Jika ternyata kekayaan tersebut melebihi kadar tertentu, maka sisanya akan disita oleh Negara. Sebagai contoh, ‘Umar pernah menyita kekayaan gubernur Mesir, ‘Amr ibn ‘Âsh, yang melebihi kadar tertentu.[12] Sebuah fakta yang menunjukkan bahwa ‘Umar adalah pertama dalam sejarah Islam yang menetapkan peraturan audit kekayaan para pejabat. Menyinggung wewenang ‘Umar ini, G. E. Von Grunebaum menyatakan:
‘Umar did more than any other chaliph to formulate a system of government; it might be described as an Arab-Muslim theocracy. It was conducted from Medina, which was its moral and administrative centre, but it allowed considerable independence to the provincial authorities.[13]
Bidang Ekonomi
Selain politik, ‘Umar juga, bisa dikatakan, adalah orang yang mula-mula menyusun sebuah formula sistem yang maju dan teroganisir. Ada dua lembaga yang dilakukan oleh ‘Umar dalam hal ini: (1) Departemen Keuangan (Bayt al-Mâl), dan (2) Distribusi kelebihan Pendapatan Negara.
a. Departemen Keuangan (Bayt al-Mâl)
pada masa sebelum ‘Umar, Bayt al-Mâl, hanya sekedar berfungsi sebagai pusat pendistribusian pendapatan Negara. Itupun dilakukan secara langsung. Artinya, seluruh harta yang dikuasai langsung dibagi-bagikan kepada yang berhak. Sementara ketika ‘Umar berkuasa, pemasukan Negara semakin banyak akibat semakin luasnya wilayah yang berhasil dikuasai oleh Negara. Dibentuknya sistem pemerintahan yang terorganisir juga menuntut pengaturan keuangan yang lebih baik. Atas dasar ini, ‘Umar segera mendirikan lembaga yang disebut Bayt al-Mâl atau kas Negara yang berada di bawah pengawasan pejabat keuangan yagn disebut Shâhib Bayt al-Mâl. Selain di Madinah sebagai pusat pemerintahan dengan ‘Abd Allâh bin Arqam sebagai pejabat pengawasnya, di propinsi-propinsi juga didirikan lembaga yang sama di bawa pengawasan pemerintah daerah.[14]
Adapun yang menjadi sumber pemasukan Bayt al-Mâl adalah (1) zakat, (2) jizyah, pajak yang diwajibkan kepada kaum non musilm yang dilindungi oleh Negara, (3) kharaj, pajak tanah, (4) khums, bagian seperlima dari harta rampasan perang (ghanîmah) untuk kas negara, (5) fay’, keuntungan material dari penaklukan wilayah yang tanpa melalui peperangan, dan (6) ‘usyr, pajak yang diwajibkan kepada orang Islam yang memiliki tanah yang luas. Seluruh pemasukan kekayaan Negara itu disimpan dalam Bayt al-Mâl dan kemudian dibelanjakan untuk berbagai keperluan negara dan masyarakat.[15]
b. Distribusi Kelebihan Pendapatan Negara.
Setelah berbagai keperluan negara dan kepentingan perang telah terpenuhi, maka sisanya dibagikan kepada kaum muslimin. Di mana Abû Bakr, distribusi kelebihan pendapatan negara, sebenarnya, sudah dilakukan. Namun, ada perbedaan operasional dengan masa ‘Umar. Di masa Abû Bakr, seluruh lapisan masyarakat , tanpa melihat perbedaan status agama, sosial dan strata prestasi tertentu, mendapat jatah yang sama. Namun, periode selanjutnya, ‘Umar membuat tiga strata yang masing-masing memperoleh jumlah jatah yang berbeda, yaitu: (1) orang-orang yang memeluk Islam sebelum penaklukan Makah, (2) orang-oran yang memeluk Islam pasca penaklukan Makah, dan (3) kaum muslimin secara umum.[16]
Dengan stratifikasi seperti ini, maka sensus penduduk pun menjadi precondition yang sangat penting. Dan sensus yang dilakukan pada masa ‘Umar ini adalah sensus pertama yang tercatat dalam sejarah. Hasilnya:
- Para janda Rasulullah saw., seperti ‘Â’isyah dan Hafshah, menempati posisi tertinggi, dengan penerimaan santunan sebesar 12.000 dirham per tahun.
- Bekas tentara perang Badr memperoleh 5.000 dirham pertahun
- Kelompok muhâjirîn dan Anshâr yang memeluk Islam sebelum perang Badr namun tidak ikut berperang mendapat 4.000 dirham per tahun. Sedangkan anak-anak mereka memperoleh jatah 2.000 dirham per tahun. Sementara penduduk Makah yang lain masing-masing menerima 800 dirham pertahun.
- Kaum muslimin lainnya menerima antara 400-600 dirham, atau 200-300 dirham setiap tahun. Sementara anak-anak yang masih menyusu masing-masing menerima 100 dirham per tahun.[17]
Data-data ini juga bisa kita dapatkan dari penjelasan Philip K. Hitty berikut:
In order to accomplish the distribution, a census became necessary, the first census recorded in history for the distribution of state revenue. ‘Â’isyah headed the list with a pension of 12,000 dirhams a year. After the Ahl al-Bayt (Prophet’s family), came the Emigrants and Supporters, each with a subsidy according to his precedence in the profession of the new faith. About 5000 or 4000 dirhams per annum was the average allotment to each person in the category. At the bottom, came the mass of Arabian tribes arranged in the register according to military service and knowledge of the Koran. The minimum for an ordinary warrior was 500-600 dirhams; even women, children and clients were included in the register and received annuities ranging from 200 to 600 dirhams.[18]
Pembenahan Bidang Peradilan
Menurut sebuah riwayat, pada masa Abû Bakr, rurusan peradilan diserahkan kepada ‘Umar selama lebih-kurang dua tahun. Sepanjang dua tahun itu, tidak terjadi pengajuan gugatan kepada pengadilan, mengingat sosok ‘Umar yang keras dan berwibawa dan karakteristik pribadi kaum Muslimin pada umumnya yang relatif tidak suka melakukan gugat-menggugat di antara mereka.[19]
Namun, setelah—pada masa ‘Umar—wilayah Islam semakin luas, masyarakat semakin plural dan persoalan sosial semakin kompleks, maka tidak mungkin segala prosedur peradilan hanya ditangani oleh satu orang. Menyadari hal ini, pertama-tama, ‘Umar segera memisahkan antara kekuasaan peradilan (lembaga yudikatif) dan kekuasaan pemerintahan (lembaga eksekutif). Pemisahan ini ditandai dengan pelimpahan tugas secara langsung kepada beberapa orang sebagai hakim (qâdhî) di berbagai daerah, seperti Abû ad-Dardâ’ di Makah, Syurayh ibn al-Hârits al-Kindî di Kufah, Abû Mûsâ al-Âsy‘arî di Bashrah, Qays ibn Abî al-‘Âsh as-Sahmî di Mesir dan ‘Ubâdah ibn ash-Shâmit di Palestina.[20]
Namun, pemisahan kekuasaan ini nampaknya tidak bersifat mutlak. Pada kenyataan, ‘Umar masih sering terlibat dalam berbagai persoalan peradilan. Pemisahan tersebut sifatnya hanya delegation of authority di daerah-daerah. Sementara di wilayah pusat, peran ‘Umar dalam urusan peradilan masih sangat besar. Misalnya, ‘Umar tidak memberlakukan talak tiga dalam satu majlis sebagai talak bâ‘in, dan sebagainya. Semuanya menjadi bukti bahwa pemisahan kekuasaan peradilan dari kekuasaan pemerintah hanya berlaku di daerah-daerah, sementara di pusat, peran ‘Umar maish sangat menentukan.
Bidang kemiliteran.
Bertambah luasnya wilayah kekuasaan Islam menuntuk diadakannya peningkatan efisiensi dan efektivitas, termasuk, bidang kemiliteran. Untuk itu, ‘Umar menformulasikan sistem organisasi pertahanan dan keamanan yang disebut Dîwân al-Jaysh (Departemen Ketentaraan). Tugasnya adalah mendaftarkan semua personil melitier dengan menytratifikasi mereka ke dalam kategori: (1) tentara perofesional yang ditempatkan di pos-pos pertahanan di daerah-daerah, dan (2) tentara cadangan, yang masing-masing diberi gaji/tunjangan yang proposional.[21]
Untuk merealisasikan semua programnya, departemen ini memberlakukan peraturan yang khusus. Sebagaimana dipaparkan oleh Philip K. Hitty, ‘Umar tidak memperbolehkan para entara itu mendapatkan tanah di negeri-negeri yang telah ditaklukkan, sebab hal itu akan menyebabkan kekuatan militer menjadi lemah dan pemasukan kas negara menjadi berkurang. Urusan pengolahan tanah diserahkan sepenuhnya kepada penduduk setempat di bawah pengawasan pemerintah daerah. Bahkan, ‘Umar juga melaragn mereka tinggal bersama penduduk kota, melainkan harus tetap tinggal di pos-pos pertahanan. Hitty menerangkan:
With this is view the Arabian Moslems were not to hold or cultivate landed property outside the peninsula. In the peninsula itself the native who owned conquerors in Syria first left in camps: al-Jâbiyah, Hims, ‘Amwâs, Tabariyah (for the Jordan district) and al-Ludd (Lydda) and later al-Ramlah for the Filastîn (Palestine) district. In Egypt they settled in al-Fustat and the Alexandria camp. In al-‘Irâq the newly built al-Kufah and al-Basrah served as headquarters. In the conquered territories the subject peoples were left in their professions and the cultivation of the soil, occupying an inferior status and regarded as a kind of reserve for the benefit of Moslems.[22]
Kesimpulan
Dalam masa pemerintahannya yang relatif singkat itu, ‘Umar ibn al-Khaththâb telah melakukan banyak terobosan inovatif, termasuk yang berkaitan dengan administrasi pemerintahan. Semua itu dilakukannya dalam rangka menjawab perkembangan yang semakin cepan dan kompleks, seiring dengan semakin luasnya wilayah Islam dan semakin pluralnya sosio-budaya masyarakat. Yang menarik, kebanyakan dari terobosan-terobosannya itu merupakan hasil dari kreativitas pemikirannya, bukan dari tuntunan tekstual dari Nabi saw. Bahkan, beberapa di antaranya justru berlawanan dengan kebijakan-kebijakan peiode sebelumnya. Sudah pasti, semua harus dipahami sebagai langkah-langkah antisipasi dalam menghadapi kondisi waktu itu, terlepas dari ketepatan dan kesalahannya.
Daftar Acuan:
[1] Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Al-Ishâbah fî Tamyîz ash-Shahâbah (Beirut: Dâr al-Fikr, 1978), IV: 588; Muhammad al-Khudharî Bîk, Muhâdharât Târîkh al-Umam al-Islâmiyah (Mesir: al-Maktabah at-Tijâriyah al-Kubrâ, 1969), I: 198.
[2] Jalâl ad-Dîn as-Suyûthî, Târîkh al-Khulafâ’, (Bairut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1408/1988), I: 90-91).
[3] Misalnya, ketika istri-istri Rasulullah saw. tengah melakukan aksi boikot akibat perasaan cemburu (ghîrah) terhadap beliau. ‘Umar segera mendatangi mereka dan member nasihat-nasihat. Tidak lama kemudian, surat Al-Ahzâb: 30-32 turun dengan redaksi yang, kurang-lebih, sama dengan redaksi nasihat ‘Umar tadi. Lihat: As-Suyûthî, Târîkh al-Khulafâ’, hlm. 96.
[4] Ahmad ibn Hambal, Musnad al-Imâm Ahmad (Bairut: Dâr al-Fikr, 1978), II: 401.
[5] G.E. von Grunebaun, Classical Islam: A History 600 A.D.-1258 A.D., I (Chicago: Aldine Publishing Company, 1970), hlm. 55.
[6] Dalam ungkapan Philip K. Hitty, pada masa Abû Bakr, ekspansi Islam mulai menampakkan pergerakannya; pada masa ‘Umar, mencapai masa kejayaannya; sedangkan pada masa ‘Ali, terjadi kemacetan akibat adanya konflik politik internal. Simak pernyataan Hitty berikut:
The conquest of the world receiving its impulse under Abu Bakr, reached its highwater mark under ‘Umar and came to a temporary stanstull under ‘Ali, whose caliphate was too clouded with internal disturbances to admit of further expansion
Lihat: Philip K. Hitty, History of the Arabs from the Earliest Times to the Present, edisi X (London: The Macmilan Press Ltd., 1970), hlm. 175.
[7] Pengadopsian ini diindikasikan secara kuat oleh, antara lain, pemakaian kata “dîwân” sebagai penyebutan istilah “departemen” yang dibentuk oleh ‘Umar. Kata “dîwân” berasal dari bahasa Persia yang artinya adalah “buku (daftar)” atau “alat penyimpan data (sijl).” Berkaitan dengan ini, Philip K. Hitty menyatakan:
This institution of the Dîwân (whence Fr. Douane, hor customhouse), or public registers of receipts and expenditures, with which ‘Umar was credited was word itself (from Pers. Diwan) indicates.”
Lihat: Philip K. Hitty, History of Arabs, hlm. 172. Lihat juga: Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, IV (Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 37.
[8] Sulayman Muhammad ath-Thamâwî, ‘Umar ibn al-Khaththâb wa ‘Ushûl as-Siyâsah wa al-Idârah al-Hadâsah: Dirâsah Muqârinah, II (Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabî, 1976) hlm. 314-315.
[9] Ibid.
[10] Ath-Thamâwî, ‘Umar ibn al-Khaththâb, hlm. 288.
[11] M. A. Shaban, Islamic History: A New Interpretation Part I (A.D. 600-750/A.H. 132), I (Melbourne: Cambridge University Press, 1971), hlm. 58.
[12] K. Ali, Studies in Islamic History (Delhi: Idarah-I Adabiyati, 1980), hlm. 143-144.
[13] G. E. Von Grunebaum, Classical Islam, hlm. 55.
[14] K. Ali, Studies in Islamic History, hlm. 143.
[15] Ath-Thanâwî, ‘Umar ibn al-Khaththâb, hlm. 171-177.
[16] Khuda Bakhsh, Politic in Islam (Delhi: Idarah-I Adabaiyati, 1981), hlm. 19.
[17] Ath-Thanâwî, ‘Umar ibn al-Khaththâb, hlm. 180-184.
[18] Philip K. Hitty, History of Arabs, hlm. 172.
[19] Ath-Thanâwî, ‘Umar ibn al-Khaththâb, hlm. 324.
[20] Muhammad al-Khudharî Bîk, Muhâdharât Târîkh al-Umam al-Islâmiyah, II: 8-9.
[21] Zarkasyi A. S. dkk., Umar Ibnul Khattab dan Ayat al-Qur’an Tentang Rajam, (Yogyakarta: Lembaga Riset dan Survey IAIN Sunan Kalijaga, 1986), hlm. 37-38.
[22] Philip K. Hitty, History of Arabs, hlm. 169-170.
0 komentar:
Post a Comment