Wednesday, August 15, 2012

Kumandang Sunyi

4:14 AM


Oleh: Anis Samara*


Setiap hari, ya hampir setiap hari aku ditemani kesunyian. Sunyi yang begitu membuatku merasa bosan tinggal di rumah ini. Entah salah siapa sebenarnya ini. Atau kah salah ibuku yang hanya punya tiga anak saja atau salah ayahku yang selalu pergi meninggalkan rumah ini. Memang, bilangan “tiga” tidak terlalu sedikit jika benar-benar diperhitungkan. Tapi sebentar, aku merasa tidak punya “siapa-siapa” yang, setidaknya, “selalu” mengajakku mengobrol ringan, bercakap-cakap di ruang keluarga atau, sesekali hang out ke luar rumah meninggalkan kepengapan akan sunyinya rumah ini. Rumah yang aku tinggali sejak aku lulus dari SMA. Yah, karena sewaktu SMP ibu memasukkan aku ke sebuah sekolah berbasis asrama di suatu daerah tidak jauh dari tempat tinggal keluargaku. Hanya butuh satu sampai satu setengah jam menempuh jarak dari rumahku menuju asramaku. Tidak tanggung-tanggung, aku disuruh ibu untuk menamatkan sekolah berpayung asrama sampai enam tahun. Genap ketika aku lulus SMA, aku baru benar-benar pulang ke rumah dan tinggal bersama ibu.

Untung saja—aku bilang “untung” karena aku masih bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Kini aku kuliah di salah satu universitas favorit di kota Yogyakarta, sebuah kota yang tidak asing lagi dengan sebutan “Kota Pelajar”. Tentu saja, karena setahuku justru pelajar dan mahaiswa dari luar kotalah yang menempuh pendidikan dan menuntut ilmu di kota ini. Aku juga pernah membaca sebuah artikel di internet bahwa salah satu alasan mengapa kota Yogyakarta disebut sebagai “Kota Pelajar” karena memang tidak bisa dipungkiri bahwa banyak dari pelajar dan mahasiswa yang menggali ilmu di sini justru dari luar kota. Dan itu artinya bahwa memang, bisa jadi, mereka yang memutuskan kota Yogyakarta sebagai tujuan bersekolah ataupun kuliah meyakini bahwa kota Yogyakarta ialah kota ilmu. Aku pun turut senang bisa kuliah di sini. Dan aku bangga karena aku bisa dikatakan sebagai tuan rumah.
Tentang kesunyianku, aku punya satu kakak dan satu adik. Mereka laki-laki semua. Hanya aku satu-satunya anak perempuan yang ada di keluarga sederhana ini. Semenjak SMP, aku dan kakakku, yang biasa aku panggil Rian, memang tidak begitu akrab. Bahkan, sejujurnya, aku dan dia sering sekali bertengkar hanya sebab-musabab perkara sepele. Itu pun menjadi wajar bagiku dan dia. Entah aku sendiri juga tidak tahu kenapa aku dan dia seakan-akan terkesan saling berjauh-jauhan. Adikku, Vran. Ahh, dulu ketika aku hidup berlantaikan sahaja di asrama, aku sering merindukannya. Bagiku dialah yang “lumayan” mengerti aku dibanding Rian kakakku. Meskipun usia Vran dengan aku selisih sembilan tahun, tapi aku merasa ada kecocokan di antara aku dan dia. Terkadang aku juga tidak tega jika melihat dia menangis meraung-raung di depanku karena ulah kakakku. Pernah suatu kali, Vran dipukul kepalanya dengan tangan kerasnya. Perbuatan siapa lagi kalau bukan Rian. Huh! Aku pernah bergumam sendiri, kenapa dia begitu keras dan sangat sedikit berperasaan. Bahkan terhadap adik kandungnya sendiri.

***
“Bagaiimana kuliahnya, Nduk?”

Sering sekali ayahku menanyaiku pertanyaan senada dengan kalimat itu. Bahkan selama setahun, yang berarti dua belas bulan. Bayangkan, dua belas bulan bisa lebih dari dua belas kali bertanya seperti itu padaku. Jika satu bulan satu pertanyaan, prediksiku tidak jauh melenceng, kan? Ayahku sibuk sekali. Sangat sibuk. Aku sedih. Tapi, di sisi lain, aku juga tidak sanggup mengatakan bahwa aku sedih.

“Lancar Yah.”

Jika aku sedang mood, aku jawab panjang-lebar pertanyaan ayah. Tapi sepertinya kali ini aku sedikit malas berkata-kata. Aku sering kasihan dengan ayah. Tapi aku tidak ingin ada orang yang mengasihani ayah. Apapun alasannya. Aku tahu ayahku mampu dengan segala usahanya menghidupi kami. Termasuk membiayai sekolah Vran dan juga SPP kuliahku. Untuk Rian, kini dia merantau di Jakarta. Katanya ingin mengadu nasib seperti kisah Malin Kundang. Hanya saja semoga kakakku, Rian, tidak durhaka kepada ayah dan ibuku. Dan semoga, ketika Rian pulang ke rumah membawa sebongkah uang untuk dikasihkan kepada ibu yang setia mengirimkan doa dalam sunyi berbalut kelam sebab kegundahan. Semoga! Entah, doa ibu dikirim ke patal langit dengan cara seperti apa. Aku juga kurang tahu. Jujur saja.

“Kuliah baik-baik, Nduk. Ayah sudah lelah mencari nafkah. Jangan disia-siakan. Sinau le mempeng, nduk cah ayu.”

Ayah selalu bilang begitu. Seakan-akan aku sudah hafal dengan apa-apa yang diucapkan dan juga menjadi pesan untukku itu. Setelah barang sejenak menanyakan tentang bagaimana kuliahku, ayah pun menyambungnya dengan menasihatiku agar kuliah baik-baik. Aku tidak pernah menyalahkan sikap ayah yang bisa aku nilai sok menanyaiku dan mengingatkanku untuk kuliah dengan baik, mendapat nilai yang baik, lulus tepat waktu, tidak pacaran dulu, atau apalah yang sekiranya di mata orang tua perilaku anaknya yang aku sebutkan tadi ideal untuk dilakukan. Tapi ayah, tahukah kamu, aku tidak pernah merasa puas dengan itu semua. Entah ayah, aku yang tidak tahu bagaimana cara mengeja balas budi ayah atau memang aku yang keterlaluan?

“Hum, nggeh, Ayah. Mbak akan sungguh-sungguh kuliah. Lulus tepat waktu.”

Tidak, tidak juga dengan ekspresi marah aku menanggapi nasihat ayah. Ahh, atau lebih tepatnya respek terhadap nasihat ayah. Aku hanya bosan saja, ayah. Bosan dengan kesunyian yang aku sendiri tidak tahu kenapa aku merasa begitu sunyi tinggal di rumah ini. Bukan, bukan karena ibu pendiam atau tidak pernah mengajakku berbincang-bincang apapun yang pantas untuk diperbincangkan. Di ruang keluarga, mungkin. Itu semua bukanlah yang aku maksudkan ayah. Nyatanya ibu masih memperhatikanku. Sekali-dua kali masih sering bertanya “Sudah makan kah?!” di setiap hari-hariku. Vran, jika dia merasa bosan bermain game dia juga mengajakku gojek ayah. Atau ayah kan juga sering menelepon rumah, maksudku “orang yang tinggal di rumah”, jika ayah merasa ada luang waktu. Ahh, tapi akan aku jelaskan ayah kesunyian yang mengusik episode hari-hariku tanpa ayah tahu. Bahkan, ibu pun tidak aku kasih tahu. Ayah kan tahu sendiri bahwa aku lebih dekat dengan ayah ketimbang ibu. Katanya sih memang begitu. Anak perempuan akan lebih menyifati dan cenderung dekat dengan ayahnya ketimbang ibunya. Begitu pun sebaliknya. Tapi aku juga ingat ibu pernah bilang, ada sifat ibu yang mendarah-daging di diriku. Meskipun tidak dominan.

***
Aku sering berpikir dalam diam, ya tentu saja ditemani sunyiku dalam sendiri: apakah hidup hanya begini? Menjalani hari-hari yang terus berganti tanpa sesuatu yang bisa aku petik nanti. Bukankah benar pepatah bahwa hidup hanyalah mampir. Hanya mampir. Tapi aku masih belum tahu apa jawaban dari tanyaku: mengapa ayah tidak pernah mengajariku bagaimana cara agar aku banyak-banyak mengumpulkan bekal untuk kehidupan nanti yang kekal? Tidak, aku tidak menyalahkan ayah seratus persen. Karena ibu juga yang telah melahirkanku tidak begitu peduli dengan kedewasaanku menghimpun bekal untuk masa mendatang barangkali. Entah lah, aku juga tidak tahu bagaimana cara yang baik untuk mengungkapkan kesunyian apa yang aku rasakan dan risaukan ini. Tapi yang jelas, dalam hidupku seakan-akan aku hanya mendengar kumandang-kumandang sunyi yang aku sendiri tidak tahu apa maknanya. Aku salat, ibuku pun kadang-kadang salat. Tapi sayangnya, ayah tidak pernah. Eits! Maksudnya sangat jarang menjadi imam dalam salat di rumah kami ini. Padahal, jika pun aku harus jujur untuk mengatakan semua yang aku rasakan secara terang-terangan, maka pertanyaan ayah dan juga nasihat ayah tentang seluk-beluk dunia perkuliahanku aku namai kumandang sunyi. Aku tidak menjadi “ramai” dengan tanya dan juga nasihat ayah itu. Apalagi aku lantas menggebu-gebu sendika dawuh atas tanya dan juga nasihat ayah itu. Ahh, tidak! aku justru heran, kenapa hanya pertanyaan dan nasihat itu yang ayah sematkan dalam ingatku.

Ya, aku kuliah. Aku tahu, Ayah. Tetapi aku lebih suka jika Ayah bertanya padaku tentang bagaimana ibadahku dan juga nasihat tentang ibadah. Biarlah kuliahku yang hanya untuk dunia aku jadikan wasilah untuk meraih apa-apa yang diinginkan oleh Tuhan menciptaku, pun mencipta kita semua. Sejatinya hidup tidak hanya kuliah, lalu nikah dan, kata Ayah, mendapat kerja dengan penghasilan meriah. Bukan, Ayah! Aku tidak peduli itu semua. Yeah, tetap peduli sih sebetulnya, tetapi akan lebih baik jika tidak sampai sembilan puluh sembilan persen. Aku juga tidak tahu, Ayah. Karena Ayah terlalu sibuk, yang aku bilang sibuk dengan urusan dunia, Ayah jadi lupa hakikat Tuhan mencipta. Ya, aku sudah punya niat baik untuk mengingatkan Ayah, tapi nanti jika ayah telah pulang ke rumah. Akan aku siapkan senyumku yang sumringah, Ayah, untuk menyambut pijak kakimu di pekarangan rumah. Ayah, cepatlah pulang. Jangan lupa telepon aku, dengan senang hati aku akan menjemput Ayah di terminal. Memang ini kebiasaanku yang aku nikmati, Ayah. Meski Ayah tidak terlalu tahu soal apa sebenarnya yang aku inginkan.

***

“Aku tidak ingin anak-anak kita merasakan kesunyian yang pernah aku rasakan bertahun-tahun, Mas. Dan sebelum semuanya terkesan terlambat, jadilah ayah yang baik bagi anak-anak kita, Mas. Kumandangkan azan dan mari kita tegakkan salat berjamaah dengan khidmat. Maka sunyi akan pergi.”

Aku menitikkan kristal kesedihan, pun kepedihan yang aku rasakan. Rasanya sesak sekali menahan “sesuatu” yang begitu sulit untuk dijabarkan dengan lantunan kata-kata. Laki-laki yang duduk tepat di hadapanku, Mas Mawaidi. Dia suamiku. Aku tahu sudut matanya juga telah menggenangkan air mata. Mungkin sebentar lagi juga akan meleleh perlahan. Aku juga sangat tahu dia laki-laki yang baik. Hatinya begitu mudah trenyuh saat tahu jika aku menangis. Apalagi di hadapannya. Dia mengaku mendadak sangat lemah jika menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri aku sedang menangis. Aku memilihnya bukan karena dia kaya, tampan, ataupun seorang wirausahawan. Tapi aku memilihnya karena ia setia mengabdi-menghamba kepada Tuhan sang pencipta. Satu lagi yang pasti, aku hanya belajar dari pengalaman kumandang sunyiku di masa remaja, aku tidak ingin anak-anakku merasakan “sunyi” yang sama sepertiku dulu. Dan aku tahu, Mas Mawaidilah orang yang tepat. Tentang cerita masa lalu, ayahku belum sampai ke rumah telah pergi waktu itu. Kabar pilu. Dan itu artinya aku belum sempat menatihnya untuk mempersiapkan bekal terbaik. Ibu, aku telah membuatkan rumah yang nyaman untuknya. Dekat dengan asrama puteri sebuah pondok pesantren peninggalan mendiang mertuaku, ayah Mas Mawaidi. Vran kini menyelesaikan studi di sebuah perguruan tinggi negeri pilihannya. Dan Rian, kakakku, semoga dia menjadi suami yang baik bagi istrinya dan ayah yang baik bagi anak-anaknya.[]


@Jogja/10 Juli 2012; Menyambut ulang tahun ke-20.



*Bernama asli Anis Yuliana. Mahasiswi jurusan Tafsir-Hadits UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kini aktif di komunitas Matapena Yogyakarta dan LPM Humaniush.

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top