Oleh: Abdul Rahman Wahid
Bukan rahasia umum lagi bahwa jasa besar Gus Dur adalah
mengukuhkan panji-panji pluralisme. Sebab itu, pernyataan bahwa Gus Dur adalah
pejuang pluralisme merupakan sebuah realitas yang tidak terbantahkan lagi.
Gus Dur berada di barisan terdepan dalam memperkuat pluralisme
di bangsa ini. Istimewanya, pluralisme yang dikembangkan Gus Dur tidak hanya
pada tataran pemikiran, melainkan menjadi sebuah tindakan sosial-politik.
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang didirikan Gus Dur secara eksplisit
menjadikan kebangsaan sebagai pijakan utamanya. Padahal, partai tersebut
didukung sepenuhnya oleh basis kalangan muslim tradisional. Gus Dur telah mampu
menggabungkan antara pemikiran dan tindakan pluralisme.
Pluralisme pertama-tama dimulai dari kesadaran tentang
pentingnya perbedaan dan keragaman. Sebab perbedaan merupakan fitrah yang harus
dirayakan dan dirangkai menjadi kekuatan untuk membangun harmoni di dalam
kehidupan sosial. Adapun anggapan bahwa pluralisme akan menjadi sinkretisme
merupakan pandangan yang cenderung mengada-ada. Kenyataannya, pluralisme dan
sinkretisme sangat tidak identik.
Kerukunan
Beragama dan Interaksi Sosial
Semenjak berdirinya komunitas Kristen di Mojowarno tahun
1845 dan berdirinya Pondok Pesantren Tebuireng Jombang yang usianya sama-sama
lebih dari satu abad yang lalu, ternyata sentral agama Kristen Mojowarno dan
Islam Tebuireng yang letaknya bisa dikatakan berdampingan, tidak pernah terjadi
gesekan atau konflik apapun dari perbedaan agama tersebut. Mereka hidup dengan
penuh ketenangan dan kedamaian selayaknya saudara. Secara tidak langsung kedua
institusi agama ini telah menunjukkan sikap toleransi yang sangat luar biasa.
Di dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara kedua institusi agama tersebut saling berbaur dan guyub.
Interaksi sosial yang damai, sejak dalam kegiatan
sosial kemasyarakatan maupun kegiatan sosial ekonomi, diaplikasikan dengan
penuh rasa persaudaraan yang sama sekali tidak ada diskriminasi keyakinan.
Kebersamaan keduanya terasa kental, kerukunan yang terjadi
dalam interaksi sosial antara Kristen Mojowarno dan Islam Tebuireng, sudah
menjadi bukti konkrit perjuangan Gus Dus yang populer
dengan sebutan Tokoh Plurarisme.
Tradisi atau budaya yang berbeda diintegrasikan dengan
melibatkan keduanya. Ketika tradisi itu berkaitan dengan sosial, keduanya
melaksanakan ritual secara bersamaan dan d isitu Tokoh Kristen dan Ulama Islam bergantian
dalam memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tatkala tradisi tersebut
hanya bersifat individu, dalam artian tradisi Islam atau tradisi Kristen saja, merekapun akan ikut serta dalam perayaan tersebut sebagai
bentuk toleransi antar beragama dan solidaritas sebagai bangsa Indonesia.
Maka dari itu, tidak berlebihan jika Desa Mojowarno dan Desa
Tebuireng disebut sebagai Desa Pancasila karena bhineka tunggal ika yang ada di dalam keduanya
atau bahkan bisa disebut sebagai Desa pluralis. Pemeluk agama yang tidak
tunggal, tempat ibadah yang juga bermacam-macam, serta budaya agama dari
masing-masing hidup dan berkembang tanpa ada gesekan-gesekan dari lintas agama.
Kegiatan sosial kemasyarakatan yang diadakan desa, berjalan semarak tanpa
melihat perbedaan.
Konsep pluralisme yang dibawa Gus Dur
seirama dengan ajaran yang ada pada agama Islam dan agama Kristen. Sekaligus di dalamnya terkandung sebuah ajaran agar supaya umat Kristen dan
umat Islam untuk saling mengasihi antar sesama, seperti halnya
mereka mengasihi diri sendiri. Karena semua sama posisinya sebagai
makhluk ciptaan Tuhan.
Apresiasi sebagai bentuk rasa bangga dengan apa yang telah
dilakukan oleh Gus Dur, kasih sayang Gus Dur, serta pembelaan Gus Dur yang
tidak dibatasi dengan perbedaan. Yang akhirnya mereka menyebut Gus Dur dengan
sebutan Ulama seluruh umat.
Betapa hebatnya Gus Dur ketika menjadi saksi ahli di PN
(Pengadilan Negeri) mengenai sepasang pemeluk konghucu. Betapa indahnya
pembelaan Gus Dur terhadap kelompok lemah Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI).
Betapa gagahnya Gus Dur tatkala mencabut diskriminasi dengan melontarkan
pencabutan Tap MPRS No. XXV 1996. Semua yang beliau lakukan terhadap agama
lain, perlu digaris bawahi kalau pembelaan Gus Dur bukan dalam dogma, melainkan
hak-hak mereka sebagai warga Indonesia dengan satu Ideologi, Pancasila.
Gus Dur meninggalkan kita di tengah keprihatinan yang
ditimbulkan kecenderungan kuasa untuk merobohkan tiang demokrasi yang sejak
lama ia perjuangkan. Rule of law menjadi sekadar rule by law,
dengan berbagai aturan dibuat demi melegitimasikan kepentingan kuasa dalam
kemasan pencitraan taat hukum. Pelarangan buku dan ”pemanggilan” media
dilakukan. Korupsi politik demi melestarikan kekuasaan merebak dengan mengancam
perhatian kuasa dalam mengemban tugas pelayanan dan penyejahteraan.
Kehilangan harus menjadi pemicu bagi kebutuhan. Ibarat
perahu Indonesia terancam tenggelam oleh ketiadaan nahkoda kepemimpinan yang
kuat, visioner, dan pengayom. Tanpa keteguhan untuk mempertahankan nilai
tradisi luhur jati diri bangsa, pemimpin kita mudah menyerah pada dikte kepentingan
dan falsafah lain. Tanpa ketinggian dan keluasan visi, kepemimpinan
terperangkap dalam ritualisme pencitraan dan pragmatisme jangka pendek, tak
memiliki daya antisipatif dalam merespon perkembangan global. Tanpa kesiapan
menjadi pengayom, kepemimpinan menjadikan kemajemukan sebagai alat manipulasi
politik, melupakan kemungkinan konvergensinya bagi usaha emansipasi dan
kemajuan bangsa.
Betapa indahnya bangsa ini jika kita bisa meneladani
perjuangan Gus Dur yang sudah melaksanakan tindakan-tindakan nyata, yang
perjalanannya begitu tidak mudah. Berbagai rintangan dan
halangan beliau lewati dengan penuh tanggung jawab hingga akhirnya beliau disebut
sebagai Bapak Pluralisme.[]
Gambar: facebook.com/wargaKBGD?ref=stream&hc_location=stream
Abdul Rahman Wahid
adalah mahasiswa Fakultas Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
0 komentar:
Post a Comment