Untuk beberapa tahun mendatang, tampaknya teman-teman alumni
PPRU I yang sedang kuliah di Yogyakarta bisa tersenyum lega, sebab ada
kemungkinan besar tahun ini dan beberapa tahun berikutnya tidak akan ada lagi
mahasiswa Yogyakarta yang alumnus PPRU I. Tak mungkin saya lupa jika pada
tahun-tahun sebelumnya, saya selalu mendapat pertanyaan bernada kurang senang
dari mereka, apakah akan ada lagi alumnus PPRU 1 yang melanjutkan studi ke
Yogyakarta. Setiap kali saya jawab ada, respon mereka selalu raut tampang kecewa.
Ya, teman-teman kita itu boleh senang tahun 2013 ini sebab
PPRU I membuat kebijakan baru terkait lulusan sekolah MA/SMK di Desa Ganjaran. Kebijakan
itu bisa diringkas menjadi kira-kira sebagai berikut: (1) tidak mengutus Guru
Tugas untuk tahun ini; (2) mengabdi di pesantren selama 1 tahun; (3) harus
melanjutkan sekolah Madrasah Diniyah, dianjurkan hingga tuntas jenjang takhassus;
(4) tidak diperkenankan kuliah kecuali di STAI Al-Qolam; dan (5) diperkenankan
melanjutkan kuliah di selain STAI Al-Qolam jika mendapat beasiswa. Rasa senang
teman-teman itu akan mekar berkat kebijakan nomor 4 dan 5 ini.
Latar belakang kemunculan kebijakan ini barangkali perlu
dijelaskan barang selintas kilas. Pertama, tentu saja minimnya jumlah
pengurus pesantren. Kondisi ini telah membuat para pengurus yang tersisa agak
kewalahan, meski perlu disyukuri bahwa semua kegiatan yang diperlukan tetap
terlaksana sebagaimana seharusnya, bahkan terdapat beberapa kegiatan yang
terbilang baru dan kreatif. Sungguhpun dengan sumber daya yang terbatas, penanganan
kegiatan pesantren tetap bisa terkendali. Dengan kebijakan di atas, dalam
beberapa tahun mendatang keadaan minimnya sumber daya ini diharapkan bisa diatasi.
Kedua, kecenderungan santri yang studi di pesantren
secara kilat. Hanya selama 3 tahun mereka menikmati semilir angin kehidupan
pesantren, mereka sudah boyong dan terjun di masyarakat yang lebih luas. Durasi
3 tahun ini tampaknya tidak memadai bagi standar sistem pendidikan pesantren
untuk menanamkan nilai, memperluas cakrawala pengetahuan dan membentuk karakter
yang mapan sebagaimana yang pesantren idealkan. Keputusan untuk mengeluarkan kebijakan
di atas adalah sebentuk ikhtiar dari para pemangku jabatan PPRU I untuk mengambil
langkah strategis ke arah tujuan yang dimaksudkan.
Selain dua hal di atas barangkali masih ada lagi latar
belakang kemunculan kebijakan tersebut, namun saya melihat bahwa dua ini saja
yang paling penting dan strategis.
Nah, dari kebijakan nomor 4 dan 5-lah para alumni PPRU I
yang sedang kuliah di Yogyakarta menikmati kebahagiaan yang sentosa. Apa pasal?
Sebetulnya, ini berkaitan dengan status mereka yang berubah menjadi senior
apabila terdapat alumnus sealmamater menjadi mahasiswa baru di Yogyakarta. Hanya
saja, pada awalnya saya agak heran kenapa mereka merasa keberatan menjadi
senior di Yogyakarta, padahal sewaktu di PPRU I kebanyakan mereka pernah
menjadi senior dan menjalani status itu dalam waktu yang tidak sebentar.
Kurang lebih, justru karena pengalaman pernah menjadi senior
itulah kenapa mereka enggan mengulanginya lagi di Yogyakarta. Dalam benak
mereka, hanya orang-orang yang tertutup hatinya yang bisa menikmati status
sebagai senior. Bukan apa-apa, menjadi senior itu dituntut menjadi teladan dan
panutan bagi adik-adiknya. Tuntutan macam begini ini tentu membawa beban
psikologis. Selama mereka menjadi senior di pesantren dulu, selama itu pula
mereka memikul beban psikologis siang-malam. Menjadi senior sama saja dengan
menanggung derita. Tepat ketika mereka melanjutkan studi ke Yogyakarta, untuk
pertama kalinya beban itu jatuh dari punggung mereka dan untuk pertama kali
pula mereka bisa menghirup udara lega.
Pada saat mereka mendengar akan ada adik-adik mereka di
pesantren dulu mau melanjutkan studi ke Yogyakarta, sontak ingatan mengenai
pengalaman traumatik itu muncul kembali dengan sangat jelas seperti sebuah
gambar televisi di depan mata mereka. Tidak, tidak, tidak! Ini tidak boleh
terjadi! Tidak boleh ada yang merampas rasa lapang di dada ini. Mereka langsung
mengelak sejak dalam pikiran, langsung protes sejak di alam bawah sadar.
Itu di satu sisi. Di sisi yang lain, sebetulnya masih ada
sisa-sisa senioritas dalam jiwa mereka setelah lama menyandang status itu di
pesantren dulu. Sisa-sisa itu tampak di kala terbersit ekspresi tidak rela jika
adik-adik mereka tercebur ke alam Yogyakarta yang serba ra nggenah. Bukannya melanjutkan studi baik-baik, ntar
adik-adik santri calon mahasiswa baru itu malah berubah wujud menjadi begundal.
Sebagai mantan senior di pesantren dan calon senior lagi di Yogyakarta,
teman-teman itu amat menyayangkan jika kekhawatiran itu menjadi nyata.
Memori traumatik dan rasa khawatir itu tak daya mereka
bendung. Nasi sudah jadi bubur, tetap saja mereka akan menjadi senior bagi
calon mahasiswa baru sesama lulusan PPRU I, sebab saya mendengar kabar bahwa
akan ada lagi beberapa calon mahasiswa baru di Yogyakarta tahun 2013 ini. Kebijakan
baru di atas berlaku untuk lulusan tahun ini, sementara yang lulusan
tahun-tahun sebelumnya masih banyak berseliweran di luar sana. Bisa dibilang, adik-adik
calon mahasiswa baru ini telah mengutuk angkatan sebelum-sebelumnya menjadi
senior lagi.
Lagian, kekhawatiran bahwa calon mahasiswa baru akan menjadi
begundal itu kurang didukung alasan kuat jika kita memperhatikan bagaimana
mahasiswa-mahasiswa Yogyakarta alumni PPRU I ini menjalani kehidupan
sehari-hari. Tepat sekali, keseharian mereka adalah para begundal yang
meresahkan. Mereka adalah para siborokokok modern yang lebih berbahaya
ketimbang jaman Si Kabayan. Merekalah para kurawa modern yang layak dibasmi
persis seperti di jaman Pandawa. Calon mahasiswa baru menjadi begundal baru
hanya tinggal menunggu waktu. Fantadzir as-sâ‘ah![]
wah , perlu dijelaskan nh keseharian begundal dan borokokok sperti apa ..
ReplyDeletexD
wah, susah arep jelasine, cak :p
ReplyDelete