Wednesday, January 2, 2013

Untukmu Yang Lalu

4:10 PM


Oleh: Abdur Rohim*

“Apa yang tidak bisa dirubah?” Tanyaku.
“Masa lalu,” jawabmu.

Bertalu-talu genderang masa lalu menghentak-hentakkan gendang telingaku. Memerahkan mataku. Mengalirkan air mataku. Membiaskan kerinduan pada jiwaku.

Dulu, saat pertama kali aku melihatmu, kau menghunuskan senyum tepat dijantungku. Detik itu juga aku tersungkur di hadapanmu. Dari dadaku yang terkoyak oleh senyummu, meloncatlah hatiku di depanmu, di antara ke dua kakimu. Kau membungkuk, lalu kau memungutnya, membersihkan debu-debu yang mengotorinya, kemudian dengan kedua tanganmu kau menyerahkannya kembali padaku.

“Tanpa hati ini kau akan mati,” katamu kala itu.

“Hanya tubuhku yang akan mati, tapi bersamamu hati ini akan abadi.” Kau tersipu dengan jawabanku, tampak pipimu merona, dadaku sesak dibuatnya.

Dan, tanpa kuduga kau merobek dadamu, tak ada darah, tak ada luka. Kau juga mengambil hatimu. Dengan tangan kananmu kau menyodorkan hatimu pada mukaku. Ternyata kau juga ingin aku memiliki hatimu.

“Tidak, tanpa hatimu kau akan mati”

“Hanya tubuhku yang akan mati, tapi bersamamu hati ini akan abadi.” Katamu, mengembalikan jawabanku yang lalu.

“Kenapa kau meniru perkataanku?” Aku mengerutkan dahi sambil melihat pada kedua bola matamu ada diriku di sana.

“Biar kau juga merasakan apa yang aku rasakan,” jawabmu sambil mengulum senyum.

“Kau ingin aku memiliki hatimu, aku tak mau. Pun sebaliknya demikian. Lantas apa yang harus kita lakukan dengan hati ini?” Tanyaku lagi.

Tak ada suara, tak ada kata. Kau membisu. Sepertinya ada banyak hal yang ingin kau sampaikan dengan diam.

Di tangan kananmu kau genggam hatimu, di tangan kirimu kau genggam hatiku. Kau menimbangnya. Apakah kau mengukur berat-ringan kedua hati itu? Jika iya, tentulah hatiku yang jauh lebih berat dari hatimu. Aku yakin itu. Bukan karena secara ukuran hatiku yang lebih besar dari hatimu, bukan pula karena usia hatiku lebih dulu lahir di dunia. Bukan, bukan karena itu. Tapi perasaan yang terkandung di dalamnya. Perasaan yang tak akan musnah tergerus masa. Perasaan yang tak akan mati oleh sepi dan sunyi. Ya, itu adalah rasaku padamu. Rasa cintaku untukmu.

Entah apa yang ada di kepalamu saat itu, kau meletakkan kedua hati itu di tanah, kau memandangi keduanya, lalu kau mengambil belati yang terselip di pinggangmu dan tanpa keraguan kau membelah hatiku. Ada pedih dan perih yang menjalar ke urat nadi. Atas nama cinta aku yakinkan diriku bahwa aku tak akan apa-apa. Setelah menyayat-nyayat hatiku hingga terbelah dua, kemudian kau merobek hatimu sendiri hingga juga menjadi dua bagian.

Ah, bodohnya aku, baru kusadari inisiatifmu itu, setelah aku melihat kau menyatukan bagian hatiku dengan hatimu. Kau menjahitkan separuh hatimu dengan separuh hatiku menggunakan benang-benang cinta yang kau ambil dari rambutmu.

“Dengan begini kita akan sama-sama memiliki.” Ucapmu sambil menyerahkan hatiku yang telah bersatu dengan hatimu. Aku tak mungkin menolaknya. Aku menerima hatiku yang diulurkan tanganmu, lalu aku memasukkannya ke dalam dada. Di tempatnya semula.

“Aku akan menjaganya, selamanya.” Kataku tanpa bahasa.

 Waktu menderu dan terus berlalu, detik demi detik berputar pada alismu yang lentik. Hatiku bersama hatimu telah merasakan hangatnya senja tanpa nestapa. Hingga malam durjana itu datang menerpa. Dengan berlinang air mata kau katakan bahwa cinta telah ternoda. Aku tak kuat menahan marah, kecewa dan derita, kurobek dada, kukeluarkan isinya. Dengan paksa aku mengoyaknya, membuat jahitan-jahitan yang terbuat dari rambutmu terputus tanpa rupa. Tak kuasa aku menahan sakitnya hingga jiwaku mati tanpa  rasa.

“Kau busuk, sebusuk hatimu, sebusuk malam yang telah kau lalui bersama lelaki itu, pergi kau dari mataku, ambil kembali hatimu…!”  

“Ma...ma...mafkan aku.” Katamu penuh penyesalan. Dari balik air mataku, masih sempat kulihat kau memungut hatimu yang telah kulempar ke tanah. Dengan erat kau mendekapnya. Kekecewaan telah mendorongku untuk tidak menghiraukanmu. Aku berjalan meninggalkanmu. Membiarkanmu sendiri bersama sepi.

***

“Apa yang tidak bisa dirubah?” Tanyamu.
“Masa lalu,” jawabku.

Tiap malam sebelum mimpi datang bertemu, masa lalu tentangmu selalu bergelantungan di kelopak mataku. dadaku seperti disayat sembilu. Aku pun hanya bisa menikmati luka yang berhulu dari rindu.

Dulu, saat pertama kali aku melihatmu, pandangan matamu telah mengirimkan seribu anak panah untuk merajam seluruh jiwaku. Dadaku sesak, tenggorokanku tercekat, tubuhku lemah tak berdaya, tak ada kata tak ada suara. Aku  hanya bisa membalas seranganmu dengan seuntai senyum yang telah kubidikkan tepat ke jantungmu. kau pun tersungkur di hadapanku dengan dada yang terkoyak. Dari sana, meloncatlah hatimu di hadapanku. Di antara kedua kakiku. Aku membungkuk, memungutnya, membersihkan debu-debu yang mengotorinya. Kemudian dengan kedua tanganku, kuserahkan kembali pemiliknya.

“Tanpa hati ini kau akan mati,” kataku kala itu.

“Hanya tubuhku yang akan mati, tapi bersamamu hati ini akan abadi.” Jawabmu penuh rayu. Aku pun tersipu. Lalu aku bercermin pada matamu kudapati di sana pipiku sedang merona.

Sungguh, rasanya tidak adil jika hanya aku yang memiliki hatimu, kuambil belati yang terselip di pinggangku (sebuah pusaka warisan keluarga yang harus selalu kubawa) lalu kutancapkan pada dada hingga terbelah sedemikian rupa. kurogohkan tanganku ke dalamnya, kuambil bagian terpenting di dalamnya, hatiku, kuserahkan padamu. Aku ingin kita saling memiliki, ucapku dalam hati.

“Tidak, tanpa hatimu kau akan mati,” katamu mengulang kataku. Memang, tanpa hati manusia akan mati.

“Hanya tubuhku yang akan mati, tapi bersamamu hati ini akan abadi.” Kataku juga mengulang katamu. Kau tersipu dengan jawabanku, saat tersipu wajahmu jadi lucu. Membuatku tersenyum penuh rindu. 

“Kenapa kau meniru perkataanku?”

“Biar kau juga merasakan apa yang aku rasakan,” lagi-lagi hanya senyumku yang bisa menafsirkannya.

“Kau ingin aku memiliki hatimu, aku tak mau. Pun sebaliknya demikian. Lantas apa yang harus kita lakukan dengan hati ini?” Tanyamu bimbang dan aku terdiam.

Tangan kananku menggenggam hatiku dan tangan kiriku menggenggam hatimu. Lalu aku menimbang keduanya. tidak ada perbedaan yang berarti di antara keduanya (meskipun secara ukuran berbeda), Sama-sama berat dalam ukuran perasaan juga sama-sama ringan  dalam ukuran yang demikian. Bukankah tidak ada ukuran pasti untuk perasaan?

Dengan hanya menyentuhnya aku sudah bisa merasakan getaran-getaran cinta yang tersimpan dalam hatimu. Aku berbunga-bunga merasakan sensasinya.

Tentang kita, tentang hati kita, aku menemukan cara untuk menyatukannya. Mula-mula aku meletakkan keduanya di tanah. Memandanginya. Kuambil belati, tanpa keraguan kuiriskan pada salah satunya—yaitu pada hatimu—hingga terbelah menjadi dua. Lalu, setelah aku selesai membelah hatimu, aku mengiriskan belatiku pada hatiku sendiri hingga juga terbelah menjadi dua. Ada pedih dan perih yang menjalar ke urat nadi. Ah, betapa sakit rasanya. Apakah kau juga merasakan apa yang aku rasakan?

Sementara kau memandangku dengan wajah kebingungan, Aku tetap meneruskan inisiatifku menyatukan hati kita.  Ada empat keping hati dari dua hati kita yang terbelah, lalu aku menjahitkan separuh hatimu dengan separuh hatiku menggunakan benang-benang cinta yang aku ambil dari rambutku.

“Dengan begini kita akan sama-sama memiliki.” Ucapku sambil menyerahkan hatimu yang telah bersatu dengan hatiku. Kali itu kau menerimanya dengan senyum ketulusan.

“Aku akan menjaganya, selamanya.” Katamu tanpa bahasa.

Pagi demi pagi telah kita lalui untuk saling mengisi, siang demi siang telah kita jalani dengan penuh kasih sayang, senja demi senja telah kita habiskan bersama aurora cinta, Juga malam demi malam telah kita susuri menafsirkan gemintang pada langit yang kelam.

Kukumpulkan serpihan-sepihan keberanianku untuk menguakkan kejujuranku padamu namun bayangan-bayangan ketakutan telah menyergapku terlebih dulu. Aku takut kejujuranku akan mengecewakanmu, menyakitimu, lalu kau akan meninggalkanku. Pada kalimat terakhir itulah aku meletakkan ketakutanku yang paling besar.

Bukankah cinta butuh kejujuran? Bukankah cinta itu buta, tidak mengenal rupa, warna bahkan noda? 

Jika kau memang cinta, maka kau akan menerima aku apa adanya, seutuhnya. Ada kekuatan maha besar yang mendorongku, akhirnya aku berhasil menepiskan semua bayangan yang menakutiku. Dengan terbata-terbata dan berlinang air mata aku mengatakannya, bahwa tubuhku pernah ‘bermalam’ pada tubuh lelaki lain.

“Kau busuk, sebusuk hatimu, sebusuk malam yang telah kau lalui bersama lelaki itu, pergi kau dari mataku, ambil kembali hatimu...!” Umpatmu penuh amarah sambil melemparkan separuh hatiku.

Kenyataan tidak sesuai harapan, harusnya aku menyadari ada aksi pasti ada reaksi, ternyata aku belum siap dengan konsekuensi.

“Ma...ma...mafkan aku.” ucapku penuh sesal. Tapi apalah arti sesal? Sesal tidak bisa mengobati, sesal tidak bisa membuatnya kembali. Kau cemburu pada masa lalu, apalah dayaku. Seperti kataku, bahwa yang tidak bisa dirubah di dunia ini hanyalah masa lalu.

Aku memungut hatiku yang telah kau lempar ke tanah. Dengan erat aku mendekapnya. Dari balik air mataku kulihat kau meninggalkanku, membiarkanku bersama sepi.

Yogyakarta 01 januari 2013 

*Abdur Rohim adalah mahasiswa Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 
Saat ini sedang bergiat di berbagai forum sastra.

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top