Oleh: Abdur Rohim*
“Apa yang tidak bisa dirubah?” Tanyaku.
“Masa lalu,” jawabmu.
Bertalu-talu genderang masa lalu menghentak-hentakkan gendang
telingaku. Memerahkan mataku. Mengalirkan air mataku. Membiaskan kerinduan pada
jiwaku.
Dulu, saat
pertama kali aku melihatmu, kau menghunuskan senyum tepat dijantungku. Detik
itu juga aku tersungkur di hadapanmu. Dari dadaku yang terkoyak oleh senyummu,
meloncatlah hatiku di depanmu, di antara ke dua kakimu. Kau membungkuk, lalu
kau memungutnya, membersihkan debu-debu yang mengotorinya, kemudian dengan kedua
tanganmu kau menyerahkannya kembali padaku.
“Tanpa hati ini
kau akan mati,” katamu kala itu.
“Hanya tubuhku
yang akan mati, tapi bersamamu hati ini akan abadi.” Kau tersipu dengan
jawabanku, tampak pipimu merona, dadaku sesak dibuatnya.
Dan, tanpa
kuduga kau merobek dadamu, tak ada darah, tak ada luka. Kau juga mengambil
hatimu. Dengan tangan kananmu kau menyodorkan hatimu pada mukaku. Ternyata kau juga
ingin aku memiliki hatimu.
“Tidak, tanpa
hatimu kau akan mati”
“Hanya tubuhku
yang akan mati, tapi bersamamu hati ini akan abadi.” Katamu, mengembalikan
jawabanku yang lalu.
“Kenapa kau
meniru perkataanku?” Aku mengerutkan dahi sambil melihat pada kedua bola matamu
ada diriku di sana.
“Biar kau juga
merasakan apa yang aku rasakan,” jawabmu sambil mengulum senyum.
“Kau ingin aku
memiliki hatimu, aku tak mau. Pun sebaliknya demikian. Lantas apa yang harus
kita lakukan dengan hati ini?” Tanyaku lagi.
Tak ada suara,
tak ada kata. Kau membisu. Sepertinya ada banyak hal yang ingin kau sampaikan
dengan diam.
Di tangan
kananmu kau genggam hatimu, di tangan kirimu kau genggam hatiku. Kau
menimbangnya. Apakah kau mengukur berat-ringan kedua hati itu? Jika iya,
tentulah hatiku yang jauh lebih berat dari hatimu. Aku yakin itu. Bukan karena
secara ukuran hatiku yang lebih besar dari hatimu, bukan pula karena usia
hatiku lebih dulu lahir di dunia. Bukan, bukan karena itu. Tapi perasaan yang
terkandung di dalamnya. Perasaan yang tak akan musnah tergerus masa. Perasaan
yang tak akan mati oleh sepi dan sunyi. Ya, itu adalah rasaku padamu. Rasa
cintaku untukmu.
Entah apa yang ada
di kepalamu saat itu, kau meletakkan kedua hati itu di tanah, kau memandangi
keduanya, lalu kau mengambil belati yang terselip di pinggangmu dan tanpa
keraguan kau membelah hatiku. Ada pedih dan perih yang menjalar ke urat nadi.
Atas nama cinta aku yakinkan diriku bahwa aku tak akan apa-apa. Setelah
menyayat-nyayat hatiku hingga terbelah dua, kemudian kau merobek hatimu sendiri
hingga juga menjadi dua bagian.
Ah, bodohnya
aku, baru kusadari inisiatifmu itu, setelah aku melihat kau menyatukan bagian
hatiku dengan hatimu. Kau menjahitkan separuh hatimu dengan separuh hatiku
menggunakan benang-benang cinta yang kau ambil dari rambutmu.
“Dengan begini kita
akan sama-sama memiliki.” Ucapmu sambil menyerahkan hatiku yang telah bersatu
dengan hatimu. Aku tak mungkin menolaknya. Aku menerima hatiku yang diulurkan
tanganmu, lalu aku memasukkannya ke dalam dada. Di tempatnya semula.
“Aku akan
menjaganya, selamanya.” Kataku tanpa bahasa.
Waktu menderu dan terus berlalu, detik demi
detik berputar pada alismu yang lentik. Hatiku bersama hatimu telah merasakan
hangatnya senja tanpa nestapa. Hingga malam durjana itu datang menerpa. Dengan
berlinang air mata kau katakan bahwa cinta telah ternoda. Aku tak kuat menahan marah,
kecewa dan derita, kurobek dada, kukeluarkan isinya. Dengan paksa aku mengoyaknya,
membuat jahitan-jahitan yang terbuat dari rambutmu terputus tanpa rupa. Tak kuasa
aku menahan sakitnya hingga jiwaku mati tanpa rasa.
“Kau busuk,
sebusuk hatimu, sebusuk malam yang telah kau lalui bersama lelaki itu, pergi
kau dari mataku, ambil kembali hatimu…!”
“Ma...ma...mafkan
aku.” Katamu penuh penyesalan. Dari balik air mataku, masih sempat kulihat kau
memungut hatimu yang telah kulempar ke tanah. Dengan erat kau mendekapnya. Kekecewaan
telah mendorongku untuk tidak menghiraukanmu. Aku berjalan meninggalkanmu.
Membiarkanmu sendiri bersama sepi.
***
“Apa yang tidak
bisa dirubah?” Tanyamu.
“Masa lalu,”
jawabku.
Tiap malam
sebelum mimpi datang bertemu, masa lalu tentangmu selalu bergelantungan di kelopak
mataku. dadaku seperti disayat sembilu. Aku pun hanya bisa menikmati luka yang
berhulu dari rindu.
Dulu, saat
pertama kali aku melihatmu, pandangan matamu telah mengirimkan seribu anak
panah untuk merajam seluruh jiwaku. Dadaku sesak, tenggorokanku tercekat, tubuhku
lemah tak berdaya, tak ada kata tak ada suara. Aku hanya bisa membalas seranganmu dengan seuntai
senyum yang telah kubidikkan tepat ke jantungmu. kau pun tersungkur di hadapanku
dengan dada yang terkoyak. Dari sana, meloncatlah hatimu di hadapanku. Di
antara kedua kakiku. Aku membungkuk, memungutnya, membersihkan debu-debu yang
mengotorinya. Kemudian dengan kedua tanganku, kuserahkan kembali pemiliknya.
“Tanpa hati ini
kau akan mati,” kataku kala itu.
“Hanya tubuhku
yang akan mati, tapi bersamamu hati ini akan abadi.” Jawabmu penuh rayu. Aku
pun tersipu. Lalu aku bercermin pada matamu kudapati di sana pipiku sedang
merona.
Sungguh, rasanya tidak adil jika hanya aku
yang memiliki hatimu, kuambil belati yang terselip di pinggangku (sebuah pusaka
warisan keluarga yang harus selalu kubawa) lalu kutancapkan pada dada hingga
terbelah sedemikian rupa. kurogohkan tanganku ke dalamnya, kuambil bagian
terpenting di dalamnya, hatiku, kuserahkan padamu. Aku ingin kita saling
memiliki, ucapku dalam hati.
“Tidak, tanpa
hatimu kau akan mati,” katamu mengulang kataku. Memang, tanpa hati manusia akan
mati.
“Hanya tubuhku
yang akan mati, tapi bersamamu hati ini akan abadi.” Kataku juga mengulang
katamu. Kau tersipu dengan jawabanku, saat tersipu wajahmu jadi lucu. Membuatku
tersenyum penuh rindu.
“Kenapa kau
meniru perkataanku?”
“Biar kau juga
merasakan apa yang aku rasakan,” lagi-lagi hanya senyumku yang bisa menafsirkannya.
“Kau ingin aku
memiliki hatimu, aku tak mau. Pun sebaliknya demikian. Lantas apa yang harus
kita lakukan dengan hati ini?” Tanyamu bimbang dan aku terdiam.
Tangan kananku
menggenggam hatiku dan tangan kiriku menggenggam hatimu. Lalu aku menimbang
keduanya. tidak ada perbedaan yang berarti di antara keduanya (meskipun secara
ukuran berbeda), Sama-sama berat dalam ukuran perasaan juga sama-sama
ringan dalam ukuran yang demikian. Bukankah
tidak ada ukuran pasti untuk perasaan?
Dengan hanya
menyentuhnya aku sudah bisa merasakan getaran-getaran cinta yang tersimpan
dalam hatimu. Aku berbunga-bunga merasakan sensasinya.
Tentang kita,
tentang hati kita, aku menemukan cara untuk menyatukannya. Mula-mula aku
meletakkan keduanya di tanah. Memandanginya. Kuambil belati, tanpa keraguan kuiriskan
pada salah satunya—yaitu pada hatimu—hingga terbelah menjadi dua. Lalu, setelah
aku selesai membelah hatimu, aku mengiriskan belatiku pada hatiku sendiri
hingga juga terbelah menjadi dua. Ada pedih dan perih yang menjalar ke urat
nadi. Ah, betapa sakit rasanya. Apakah kau juga merasakan apa yang aku rasakan?
Sementara kau
memandangku dengan wajah kebingungan, Aku tetap meneruskan inisiatifku
menyatukan hati kita. Ada empat keping
hati dari dua hati kita yang terbelah, lalu aku menjahitkan separuh hatimu
dengan separuh hatiku menggunakan benang-benang cinta yang aku ambil dari
rambutku.
“Dengan begini
kita akan sama-sama memiliki.” Ucapku sambil menyerahkan hatimu yang telah
bersatu dengan hatiku. Kali itu kau menerimanya dengan senyum ketulusan.
“Aku akan
menjaganya, selamanya.” Katamu tanpa bahasa.
Pagi demi pagi
telah kita lalui untuk saling mengisi, siang demi siang telah kita jalani
dengan penuh kasih sayang, senja demi senja telah kita habiskan bersama aurora
cinta, Juga malam demi malam telah kita susuri menafsirkan gemintang pada
langit yang kelam.
Kukumpulkan
serpihan-sepihan keberanianku untuk menguakkan kejujuranku padamu namun
bayangan-bayangan ketakutan telah menyergapku terlebih dulu. Aku takut
kejujuranku akan mengecewakanmu, menyakitimu, lalu kau akan meninggalkanku.
Pada kalimat terakhir itulah aku meletakkan ketakutanku yang paling besar.
Bukankah cinta
butuh kejujuran? Bukankah cinta itu buta, tidak mengenal rupa, warna bahkan
noda?
Jika kau memang
cinta, maka kau akan menerima aku apa adanya, seutuhnya. Ada kekuatan maha
besar yang mendorongku, akhirnya aku berhasil menepiskan semua bayangan yang
menakutiku. Dengan terbata-terbata dan berlinang air mata aku mengatakannya,
bahwa tubuhku pernah ‘bermalam’ pada tubuh lelaki lain.
“Kau busuk,
sebusuk hatimu, sebusuk malam yang telah kau lalui bersama lelaki itu, pergi
kau dari mataku, ambil kembali hatimu...!” Umpatmu penuh amarah sambil
melemparkan separuh hatiku.
Kenyataan tidak
sesuai harapan, harusnya aku menyadari ada aksi pasti ada reaksi, ternyata aku
belum siap dengan konsekuensi.
“Ma...ma...mafkan
aku.” ucapku penuh sesal. Tapi apalah arti sesal? Sesal tidak bisa mengobati,
sesal tidak bisa membuatnya kembali. Kau cemburu pada masa lalu, apalah dayaku.
Seperti kataku, bahwa yang tidak bisa dirubah di dunia ini hanyalah masa lalu.
Aku memungut
hatiku yang telah kau lempar ke tanah. Dengan erat aku mendekapnya. Dari balik
air mataku kulihat kau meninggalkanku, membiarkanku bersama sepi.
Yogyakarta
01 januari 2013
*Abdur Rohim adalah mahasiswa Perbandingan Mazhab, Fakultas Syariah
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Saat ini sedang bergiat di berbagai forum sastra.
0 komentar:
Post a Comment