Oleh: Halimah Sa'diyah
Saya rogoh saku celana,
dengan diam-diam berdoa semoga ada sisa uang untuk menggandakan sebuah tulisan
teman berjudul “Min adz-Dhulumât ilâ an-Nûr”. Gambar Tuanku Imam Bonjol muncul
bersahaja pada lembar terakhir uang yang saya punya. Mata saya memayar angka di
sudut kiri bagian atas ‘5000’. Tiba-tiba saja saya teringat pada seorang teman
yang sekitar setahun silam meminta ditraktir secangkir kopi sebagai imbalan karena
saya paksa untuk memberi bocoran pengetahuan lanjutan akibat ketidakpuasan
ceramah dosen di kelas. Dengan sisa uang bergambar Tuanku Imam Bonjol itulah,
dia, dengan senyum kemenangan menyeret saya ke salah-satu warung kopi di kota
ini. Tak apalah dia pesan kopasus dan saya es teh saja. Kasir itu bilang, “lima
ribu”. Pas. Masih sempat saya pandangi Tuanku Imam Bonjol saat sudah beralih ke
tangan kasir itu. Saya bayangkan beliau melambaikan tangan pada saya. Dengan
agak lesu saya cari di meja mana teman saya tadi berada.
Teman perempuan saya yang brai
sekali dengan kopi ini membuat saya hanya bisa manggut-manggut di atas
gelas es teh. Dia bercerita, bahwa pengetahuan yang digunakannya di kelas tadi,
sebagai alat menangkis argumen teman-teman lelaki dan dosen lelaki itu baru
diketahuinya semalam saat mengikuti acara bedah bukunya Pak Hersri Setiawan (salah-seorang
tapol di pulau buruh) yang berjudul “Awan Theklek Mbengi Lemek”. Katanya,
maksud kalimat bahasa Jawa ini adalah perempuan itu kalau siang hari jadi alas
kaki dan malam hari jadi alas tidur. Dari
mimik mukanya, saya menangkap ketidaksenangan teman saya ini dengan apa yang
baru saja diucapkannya.
Teman saya melanjutkan
ceritanya lagi bahwa dalam buku tersebut Pak Hersri menyatakan kata ‘cewek’ itu
berasal dari bahasa Betawi ‘ngewe’. Sedangkan ‘ngewe sendiri’, teman saya itu
melanjutkan, ditengarai oleh Pak Hersri berasal dari bahasa Sunda ‘awewe’ yang
berarti perempuan.
Lalu, raut muka teman saya
ini berubah kurang sedap lagi seperti tadi sebelum bibirnya kembali bersuara.
Namun, kata Pak Hersri, lanjutnya waktu itu, berasosiasi dengan bahasa Jawa madon
yang berarti ‘bermain perempuan’.
Oalah,
mungkin saya mulai sedikit paham, mengapa teman perempuan saya yang satu ini
tidak suka dipanggil ‘cewek’ dan lebih suka dijuluki ‘perempuan’—kata ‘empu’
yang mendapatkan afiks ‘per’ dan ‘an’ ini bermakna kurang lebih ‘pangkal
kehidupan’—daripada dijuluki ‘wanita’, sebuah kata yang dijiplak dari panggung
ketoprak ‘wani-ditata’. Artinya sanggup diatur. Oleh siapa? Mungkin laki-laki. Dalam
batin, saya bertanya-tanya sendiri sekaligus saya jawab sendiri karena saya
lihat teman perempuan saya ini sedang semangat bercerita. Tak enak rasanya
untuk mengacungkan tangan dan bilang ‘intrupsi’. Apalagi saya sadari ini warung
kopi. Apa jadinya semisal saya tiba-tiba bertingkah sekaku itu?
“Nggilani!” Kata
teman saya tiba-tiba. “Apanya?” Jawab saya polos namun lebih terkesan bodoh.
Dengan sorot mata tambah semangat, teman saya ini menjawab “Ya itu tadi, jika
ada satu jenis manusia memandang satu jenis manusia lain sebagai mainan.
Mempermainkan sesamanya. Kasar secara sosial
dan menjijikkan secara moral”. Saya manggut-manggut, meski waktu itu sebenarnya
kurang paham dengan apa yang dikatakannya.
Pak Hersri juga mengatakan
bahwa sikap mempermainkan sesamanya itu berarti mengangkat dirinya sebagai orang
dan memerosotkan pihak lain, penjelasan teman saya ini berlanjut. Padahal,
menurut teman saya pribadi, saat memerosotkan pihak lain itu sekaligus dia
telah memerosotkan dirinya sendiri. Lagi-lagi saya manggut-manggut supaya
terkesan paham dan setuju.
Sebelum teman saya ini
melanjutkan lagi dan berarti akan semakin banyak yang tidak saya pahami, waktu
itu iseng-iseng saya tanyakan bagaimana halnya dengan Pak Hersri itu sendiri
sebagai seorang penulis buku itu. Mata hitam teman saya ini lalu menyalak di
bawah payung bulu matanya yang lebat dan panjang. Katanya, Pak Hersri ini sosok
ketersediaan makhluk Tuhan yang langka. Waktu itu, istrinya yang juga hadir
pada acara bedah bukunya Pak Hersri berkesempatan menjawab pertanyaan peserta
tentang Pak Hersri. Menurut cerita teman saya, istri Pak Hersri itu begitu
jujur dan sangat telanjang menceritakan suaminya dan keluarganya ini. Dalam
keluarga, Pak Hersri melakukan apa yang terkadang dilakukan istrinya dan
begitupula sebaliknya. Hal yang mengesankan teman saya ini adalah saat istri
pak Hersri mengatakan bahwa Pak Hersri tidak merasa statusnya sebagai suami, sebagai
manusia, atau juga sebagai hamba Allah lantas merosot saat mencuci pakaian
dalam istrinya. Karena yang terjadi selama ini, para istri juga tidak merasa
dan tidak dianggap merosot saat mencuci pakaian dalam suaminya.
Di atas gelas es teh kosong
ini, masih saja saya pandangi teman perempuan ini. Entah bingung karena perbincangan yang mulanya adalah
etimologi cewek kok akhirnya menjurus ke pakaian dalam, atau saya, kala itu sedang
dalam keadaan terkesan juga mendengar cerita keluarga Pak Hersri dari teman
saya. Perempuan ini.
Gendeng, 17 Desember 2012
*Halimah Sa'diyah
adalah mahasiswa di Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
0 komentar:
Post a Comment