Sunday, December 30, 2012

Cewek

1:10 PM


Oleh: Halimah Sa'diyah

Saya rogoh saku celana, dengan diam-diam berdoa semoga ada sisa uang untuk menggandakan sebuah tulisan teman berjudul “Min adz-Dhulumât ilâ an-Nûr”. Gambar Tuanku Imam Bonjol muncul bersahaja pada lembar terakhir uang yang saya punya. Mata saya memayar angka di sudut kiri bagian atas ‘5000’. Tiba-tiba saja saya teringat pada seorang teman yang sekitar setahun silam meminta ditraktir secangkir kopi sebagai imbalan karena saya paksa untuk memberi bocoran pengetahuan lanjutan akibat ketidakpuasan ceramah dosen di kelas. Dengan sisa uang bergambar Tuanku Imam Bonjol itulah, dia, dengan senyum kemenangan menyeret saya ke salah-satu warung kopi di kota ini. Tak apalah dia pesan kopasus dan saya es teh saja. Kasir itu bilang, “lima ribu”. Pas. Masih sempat saya pandangi Tuanku Imam Bonjol saat sudah beralih ke tangan kasir itu. Saya bayangkan beliau melambaikan tangan pada saya. Dengan agak lesu saya cari di meja mana teman saya tadi berada.

Teman perempuan saya yang brai sekali dengan kopi ini membuat saya hanya bisa manggut-manggut di atas gelas es teh. Dia bercerita, bahwa pengetahuan yang digunakannya di kelas tadi, sebagai alat menangkis argumen teman-teman lelaki dan dosen lelaki itu baru diketahuinya semalam saat mengikuti acara bedah bukunya Pak Hersri Setiawan (salah-seorang tapol di pulau buruh) yang berjudul “Awan Theklek Mbengi Lemek”. Katanya, maksud kalimat bahasa Jawa ini adalah perempuan itu kalau siang hari jadi alas kaki dan malam hari jadi alas tidur.  Dari mimik mukanya, saya menangkap ketidaksenangan teman saya ini dengan apa yang baru saja diucapkannya.

Teman saya melanjutkan ceritanya lagi bahwa dalam buku tersebut Pak Hersri menyatakan kata ‘cewek’ itu berasal dari bahasa Betawi ‘ngewe’. Sedangkan ‘ngewe sendiri’, teman saya itu melanjutkan, ditengarai oleh Pak Hersri berasal dari bahasa Sunda ‘awewe’ yang berarti perempuan. 

Lalu, raut muka teman saya ini berubah kurang sedap lagi seperti tadi sebelum bibirnya kembali bersuara. Namun, kata Pak Hersri, lanjutnya waktu itu, berasosiasi dengan bahasa Jawa madon yang berarti ‘bermain perempuan’.

Oalah, mungkin saya mulai sedikit paham, mengapa teman perempuan saya yang satu ini tidak suka dipanggil ‘cewek’ dan lebih suka dijuluki ‘perempuan’—kata ‘empu’ yang mendapatkan afiks ‘per’ dan ‘an’ ini bermakna kurang lebih ‘pangkal kehidupan’—daripada dijuluki ‘wanita’, sebuah kata yang dijiplak dari panggung ketoprak ‘wani-ditata’. Artinya sanggup diatur. Oleh siapa? Mungkin laki-laki. Dalam batin, saya bertanya-tanya sendiri sekaligus saya jawab sendiri karena saya lihat teman perempuan saya ini sedang semangat bercerita. Tak enak rasanya untuk mengacungkan tangan dan bilang ‘intrupsi’. Apalagi saya sadari ini warung kopi. Apa jadinya semisal saya tiba-tiba bertingkah sekaku itu?

“Nggilani!” Kata teman saya tiba-tiba. “Apanya?” Jawab saya polos namun lebih terkesan bodoh. Dengan sorot mata tambah semangat, teman saya ini menjawab “Ya itu tadi, jika ada satu jenis manusia memandang satu jenis manusia lain sebagai mainan. Mempermainkan sesamanya.  Kasar secara sosial dan menjijikkan secara moral”. Saya manggut-manggut, meski waktu itu sebenarnya kurang paham dengan apa yang dikatakannya.

Pak Hersri juga mengatakan bahwa sikap mempermainkan sesamanya itu berarti mengangkat dirinya sebagai orang dan memerosotkan pihak lain, penjelasan teman saya ini berlanjut. Padahal, menurut teman saya pribadi, saat memerosotkan pihak lain itu sekaligus dia telah memerosotkan dirinya sendiri. Lagi-lagi saya manggut-manggut supaya terkesan paham dan setuju.

Sebelum teman saya ini melanjutkan lagi dan berarti akan semakin banyak yang tidak saya pahami, waktu itu iseng-iseng saya tanyakan bagaimana halnya dengan Pak Hersri itu sendiri sebagai seorang penulis buku itu. Mata hitam teman saya ini lalu menyalak di bawah payung bulu matanya yang lebat dan panjang. Katanya, Pak Hersri ini sosok ketersediaan makhluk Tuhan yang langka. Waktu itu, istrinya yang juga hadir pada acara bedah bukunya Pak Hersri berkesempatan menjawab pertanyaan peserta tentang Pak Hersri. Menurut cerita teman saya, istri Pak Hersri itu begitu jujur dan sangat telanjang menceritakan suaminya dan keluarganya ini. Dalam keluarga, Pak Hersri melakukan apa yang terkadang dilakukan istrinya dan begitupula sebaliknya. Hal yang mengesankan teman saya ini adalah saat istri pak Hersri mengatakan bahwa Pak Hersri tidak merasa statusnya sebagai suami, sebagai manusia, atau juga sebagai hamba Allah lantas merosot saat mencuci pakaian dalam istrinya. Karena yang terjadi selama ini, para istri juga tidak merasa dan tidak dianggap merosot saat mencuci pakaian dalam suaminya.

Di atas gelas es teh kosong ini, masih saja saya pandangi teman perempuan ini. Entah  bingung karena perbincangan yang mulanya adalah etimologi cewek kok akhirnya menjurus ke pakaian dalam, atau saya, kala itu sedang dalam keadaan terkesan juga mendengar cerita keluarga Pak Hersri dari teman saya. Perempuan ini.
Gendeng, 17 Desember 2012

*Halimah Sa'diyah
adalah mahasiswa di Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top