Oleh: Halimah Sa'diyah*
Namaku Kartini, tapi
aku tidak ingin menjadi Kartini, Mak!
Tak ada cahaya dalam kehidupanku, semuanya
terselubung kegelapan. Sejak kecil sampai
dewasa aku tidak pernah boleh melakukan apa yang sebenarnya ingin sekali
aku lakukan, memilih yang sebenarnya ingin sekali aku pilih. Selalu saja aku
melakukan yang tak kusuka. Sepertinya aku lahir bukan untuk bertemu
pilihan-pilihan tapi sebaliknya, yang
dipilihkan!
Setelah puas menangis sesenggukan di kamar,
dari jendela kamar ini aku seolah melihat diriku kembali di masa silam. Kartini
kecil di bawah pohon jambu bersama dua kakak lelakinya yang girang berlarian
memainkan pistol-pistolan yang sengaja dibuatkan bapak dari batang pohon pisang
untuk bang Ali dan bang Haji. Kedua abangku ini berlarian begitu gembira
memainkan pistol mainan itu. Bersembunyi di balik pohon-pohon mangga, pohon
jati, pohon bambu, dan kadang menyembulkan kepala, mengangkat pistolnya seolah
tentara atau polisi yang menemukan orang jahat dan akan meringkusnya. Keren
sekali. Aku juga ingin seperti bang Ali dan Bang Haji bermain polisi-polisian
dan menangkap orang jahat. Siapa tahu ketika besar nanti aku juga bisa berbuat
baik seperti itu. Seperti kata ustaz Ansori sewaktu mengaji di langgar, bahwa
menjadi orang baik itu disayang Allah dan akan bersama-Nya nanti di Surga. Tapi
bapak dan mamak selalu saja melarangku untuk ikut bermain bersama bang Ali dan
bang Haji. Bapak selalu saja mendelikkan
matanya saat aku juga minta dibuatkan pistol mainan dari batang pohon pisang
itu, seperti pistol yang telah dibuatkan bapak pada bang Ali dan bang Haji.
Saat itu aku berlari ke dapur, mencari mamak,
berniat untuk mengadu. Menyedekapkan tubuhku pada daster yang dipakainya. Aroma
bawang menyeruak ke hidungku, tidak seperti bapak yang selalu wangi sabun
kodok. Dengan tangannya yang tidak bersih karena bersentuhan dengan pantat
tungku, mamak membelaiku, mencium pipiku dengan kasih. Tapi aku tidak suka
jawaban mamak yang seakan membela dan membenarkan bapak. Saat kutanyakan
kenapa, mamak selalu bilang "karena Kartini perempuan". Aku tidak
mengerti. Saat kutanya lagi kenapa kalau perempuan? Lagi-lagi aku semakin tidak
mengerti maksud jawaban mamak, "perempuan cantik tidak boleh banyak
bertanya". Akh! Aku tidak suka disebut cantik kalau memang harus seperti
itu. Sejak saat itu, aku jadi mulai malas bertanya. Aku sedih. Seolah semuanya
tidak ada yang berpihak padaku. Aku iri melihat bang Ali dan bang Haji yang
bisa berlari-larian memainkan pistol mainan yang dibuatkan bapak. Sambil
sesekali memandangi mereka bermain, dari jendela kamarku ini aku melampiaskan
kemarahan dengan mencongkeli mata boneka
jelek ini.
Aku menoleh ke ranjangku di samping kiri
jendela ini, boneka itu sudah tak bermata dan bagian hidungnya sudah berlubang.
Di luar sana beberapa daun jambu yang sudah kering berguguran digoyang angin.
Sampai umur 22 tahun ini pun aku tidak bisa
bertanya kenapa besok aku harus menikah dengan lelaki kenalan bapak. Cepat
sekali. Aneh sekali. Kenapa aku harus menikah dengan orang yang tak kukenal?!
Kenapa aku harus menikah dengan seseorang karena dia hanya kenalan bapak?
Kenapa bapak dan mamak tidak pernah bertanya padaku? Kenapa bapak dan mamak
justru datang kepadaku seolah hanya memberi tahu keputusan yang bukan
keputusanku?! Beberapa daun pohon jambu berguguran lagi digoyang angin seakan
hidupku yang gugur satu demi satu. Besok
pagi, adalah awal kegelapan. Kuhabiskan senja ini di atas ranjang bersama air
mata.
Fajar memang mengusir gelap. Fajar memang
menjemput cahaya. Fajar pun yang menjelma isyarat pada ayam jantan agar segera
berkokok menembus langit. Menembus kegelisahan semua perempuan mayapada. Menembus
sukma-sukma perempuan yang menjadi sisa kepemilikannya. Sukma yang tak bisa
dirajah oleh siapa pun termasuk sukmaku yang yang terbungkus wadag yang masih
saja terbaring di atas ranjang. Telah kuputuskan kejadian hari ini sebagai
kejadian yang kubuat sendiri, atas kehendakku!.
"Ayu tenan", aku tahu Mak
Sam yang dimintai mamak untuk mengurusi padusanku sebelum dirias, berusaha
merayuku, seperti yang diminta mamak. Agar aku tersenyum dan pura-pura
berbahagia. Sambil mengguyurkan air yang diambil dari genthong yang
ditaburi kembang, Mak Sam terus saja memuji-mujiku. Oh tidak, tubuhku!
Soal merias, Mak Sam memang dikenal sebagai
perempuan terampil di kampung ini. Di depan cermin besar di kamarku ini aku
melihat diriku telah disulapnya. Wajahku, pakaianku, dan konde yang berdiri
sejajar ditusukkannya pada rambutku yang lebat. "Cah ayu, ayu tenan",
katanya sambil mesam-mesem, puas pada pekerjaannya sendiri.
Mamak sudah berdiri di depan pintu kayu
kamarku yang berukir indah, tersenyum melihatku. Aku benci pada mamak. Dia
mendekatiku yang masih duduk mematung di depan cermin, membelai pipiku.
Gumpalan di hati yang sudah lama beronggok menyesakkan dada seakan mencuat.
Menjalari peredaran darah sampai ke tangan. Tanganku bergetar, dan tak kusangka
tangan ini mengibas tangan mamak yang membelai pipiku. Mamak tersentak aku pun
juga. Mata kami saling memandang. Aku tahu tahu mamak pasti melihat bintang
merah menyala di mataku. Kucopoti kondeku dan berkata lirih tapi tajam tepat di
depan muka mamak. "Namaku Kartini, Mak, tapi aku tidak ingin menjadi
Kartini." Mamak kembali tersentak begitu pula Mak Sam. Kulemparkan konde sampai
terpelanting ke depan pintu. Kuangkat jarekku tinggi-tinggi dan melompat
keluar lewat jendela. Aku berlari melewati pohon-pohon. Pohon jambu, pohon bambu,
pohon mangga dengan pistol mainan dari batang pisang. Berlari seperti bang Ali
dan bang Haji. Tidak! Lebih dari itu aku berlari menjauhi kegelapan. Masih kudengar
mamak berteriak-teriak memanggil namaku. Kartini!
*Halimah Sa'diyah
adalah mahasiswa di Fakultas Adab
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
0 komentar:
Post a Comment