Friday, February 6, 2015

Himura Kenshin dan Proyeksi Manusia

7:01 PM

[sumber]

Oleh: Muhammad Hilal

Untuk bisa menikmati film Rurouni Kenshin seri the movie (3 sekuel) ini, penonton perlu tahu barang sedikit sejarah jepang pra kekaisaran Meiji. Saya merasa beruntung sudah membaca novelnya Eiji Yoshikawa, Taiko, beberapa tahun lalu. Meski Taiko bercerita soal peristiwa sejarah jauh sebelum Restorasi Meiji, yakni ketika Jepang dikuasai oleh para samurai, namun dari novel itu saya tahu bahwa masa keemasana samurai berakhir pada masa Kaisar Meiji beberapa abad kemudian.

Berbekal sedikit pengetahuan tersebut, saya menonton film ini dengan sedikit gambaran yang cukup gamblang tentang latar ceritanya. Biar bagaimana, Era Meiji adalah sejarah yang menentukan dalam sejarah Jepang. Membikin cerita kepahlawanan Samurai di Era Meiji adalah gagasan cerdas, sebab masa samurai berakhir justru di masa kekaisaran Meiji ini. Sebuah kontradiksi yang sangat memukau!

Selain latar cerita yang menarik, film ini juga mengangkat tokoh-tokoh yang digambarkan punya peran dan terlibat langsung dalam proses sejarah penting itu. Era Meiji adalah transisi menuju Era Baru—begitu mereka menyebutnya. Sebuah fase sejarah yang menghantarkan negara itu menjadi seperti sekarang ini, diperhitungkan di mana-mana, dalam hampir segala aspeknya.

Namun sejarah selalu memakan korban. Perubahan selalu memerlukan tumbal agar ia bisa melunasi tujuannya. Tak terkecuali perubahan yang dicita-citakan oleh Kaisar Meiji ini. Nah, para tokoh utama dalam film ini adalah mereka yang merasakan pahitnya perjuangan menuju perubahan itu.

Himura Kenshin dulu adalah seorang samurai pro perubahan. Perannya adalah memburu para samurai yang menentang kebijakan Kaisar Meiji tersebut. Saking banyaknya dia membunuh para samurai, dia merasa sangat kesepian, terkucil dan sendirian. Setiap kali dia melihat korbannya ditangisi oleh keluarganya, perasaan-perasaan itu menggerogotinya. Akhirnya dia memutuskan uzlah, menghilang dari keramaian, dan berhenti membunuh untuk selamanya.

Shishio Makoto juga pemburu. Dia menggantikan peran Himura Kenshin setelah orang itu menghilang. Sepak terjangnya tak kalah ganas ketimbang pendahulunya. Namun, peran pentingnya sebagai pendukung Era Baru tak dianggap. Dia malah hendak dibunuh dan dibakar. Beruntung, dia berhasil bertahan hidup meski sekujur tubuhnya menderita luka bakar berkepanjangan. Di kemudian hari, dia berencana menghancurkan pemerintah yang dulu dia bela dan menjadi lawan Himura Kenshin.

Saito Hajime, polisi yang selalu menghisap sigaret itu, adalah aparat yang dulunya adalah anggota Shinsengumi, sebuah kesatuan polisi yang bertugas menjaga penguasa Shogun. Dalam beberapa kesempatan dia berduel dengan Himura Kenshin. Belakangan, peran asli Saito ketahuan. Dia adalah agen mata-mata yang mengabdi kepada pemerintahan Meiji. Sejak itu, dia kerap membantu Himura Kenshin dalam aksi-aksinya.

Kamiya Kaoru, perempuan yang kelak menikah dengan Himura Kenshin, adalah juga korban dari sejarah masanya. Ayahnya, yang memimpin sebuah sanggar Hojo, meninggal terbunuh oleh seseorang yang mengaku sebagai Hitokiri Battosai, julukan lawas Himura Kenshin.

Sagara Sanosuke, sahabat Himura Kenshin, dulu adalah anggota Tentara Sekiho. Kelompok tentara ini dihancurkan oleh pemerintah Meiji. Akibatnya, dia putus asa dan kemudian menjadi petarung jalanan untuk mendapatkan uang. Sejak bersahabat dengan Himura Kenshin, dia mulai mendapatkan semangat hidupnya dan bertarung untuk membela orang-orang kecil.

Nah, begitulah keterkaian tokoh-tokoh di film ini dengan jaman di mana mereka hidup. Bisa dibilang, mereka adalah para korban dari peristiwa besar Restorasi itu. Mereka menjalani sebuah lakon hidup sembari menanggung beban masa lalu yang tidak ringan.

Hanya saja, yang membuat film ini semakin menarik ditonton: pertarungan yang terjadi di antara para jagoan samurai adalah orang-orang yang memilih jalan hidup yang berbeda. Jalan hidup itu harus mereka pilih terkait masa lalu mereka di masa transisi menuju Jepang modern.

Di satu sisi, terdapat beberapa korban yang telah mengalami transformasi diri semacam Himura Kenshin yang tetap mempertahankan Era Baru sembari yang mengupayakan pencegahan korban lebih banyak lagi. Orang-orang ini memilih bertahan dalam duka dan nestapanya di gempur Era Baru. Vitalitas dan Kehendak Hidupnya tetap mereka jaga agar upaya meminimalisir korban bisa dilakukan.

Di sisi yang berlawanan, terdapat orang-orang semacam Shishio yang mampu bertahan dari gempuran Era Baru, namun memilih jalan hidup menentangnya habis-habisan. Bahkan dia berupaya menghentikan jalan Era Baru dengan berencana mengambil alih pemerintahan Kaisar. Jalan ini harus dia ambil karena masa depan yang dijanjikan oleh rezim pemerintahan tak bisa dia harapkan akan terwujud. Bagaimana mungkin dia bisa berharap pada pemerintahan yang telah mencampakkannya padahal dulu dia membelanya habis-habisan?

Pergulatan antara tokoh yang menyambut perubahan meski menanggung beban masa lalu dengan para tokoh penentang rezim pengusung Era Baru menjadi daya tarik tersendiri dari film ini. Kita tak bisa membayangkan bahwa tokoh semacam Himura Kenshin, Shishio, atau lain-lainnya pernah ada dalam sejarah. Namun, pada saat yang sama, kita tak bisa mengelak dari kenyataan sejarah bahwa peristiwa Restorasi Meiji adalah nyata. Itulah menariknya cerita film ini, fiksi dan fakta bergumul menjadi cerita yang sangat menarik.
Kita juga disajikan cerita di mana para tokohnya orang-orang yang mengalami sendiri pedihnya sebuah perubahan besar. Seolah-olah, kita dikasih sebuah kenyataan bahwa Bangsa Jepang di Era Restorasi itu sedang mengalami keterbelahan batin. Beban psikologis yang harus ditanggung Bangsa Jepang tidaklah ringan. Building the New Era is much harder work than destroying the old one, demikian dikutip dalam film itu.

Saya percaya, sebuah film tidak sekadar sajian realitas imajitif terhadap penonton semata, namun lebih dari itu merupakan proyeksi terhadap realitas yang dibayangkan akan terwujud. Secara lamat-lamat saya juga menangkap hal ini dalam film ini. Himura Kenshin adalah manusia imajinatif yang diharapkan menjadi manusia Jepang masa depan. Dia memiliki segalanya. Dia hanya tidak beruntung berhadapan dengan sebuah jaman yang memporak-porandakan masyarakatnya.

Namun yang membedakan Himura Kenshin dari lainnya adalah semangatnya untuk bertahan hidup. Sesakit apapun luka batin yang diderita, sedalam berat apapun beban psikologis yang harus dipikul, kehendak untuk tetap hidup harus tetap dijaga. Sebab hanya dengan semangat itulah masa depan bisa diraih. Itulah yang dilakukan Himura Kenshin.
Kebalikan dari Himura Kenshin berarti adalah mereka yang diproyeksikan tidak mewujud. Masa depan tidak mungkin diserahkan kepada mereka yang pandangan dan sikap hidupnya seperti Shishio. Sosok-sosok seperti itu adalah—meminjam istilahnya Metallica—unforgiven.[]

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top