Monday, February 9, 2015

Hidup yang Mengalir

7:43 AM

[sumber]

Oleh: Irham Thoriq 

Harapan kerapkali datang dari arah tidak terduga. Kali ini saya menemukannya dari Slamet Thohari, seorang dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) Universitas Brawijaya. Di sebuah siang, saya mewawancarainya untuk tulisan feature di Radar Malang.

Dari puluhan orang yang pernah saya wawancarai untuk tulisan feature, menurut saya Slamet yang paling menginspirasi. Ini karena Slamet masuk kategori orang biasa tapi sudah melakukan hal-hal luar biasa.

Bahkan, karena sangat menginspirasi, di awal-awal wawancara saya yakin kalau inspirasi dari Slamet melebihi inspirasi dari kisah Ikal, tokoh utama dalam novel Laskar Pelangi yang laris manis itu.

Kita tahu, Ikal yang katanya diambil dari kisah hidup Andrea Hirata sang penulis novel, menginspirasi karena dia adalah anak kuli timah dengan gaji pas-pasan, tapi berhasil kuliah di Sorbonne, Prancis. Selain cerita itu, dalam novel ini menurut saya hanya berisi adegan-adegan yang kurang “nyastra”.

Sama halnya dengan Ikal, Slamet juga berhasil kuliah di luar negeri. Bukan di Sorbonne, tapi di University of Hawaii, Amerika Serikat. Slamet juga berasal dari keluarga tidak mampu, ayahnya meninggal saat dia baru berumur sepuluh tahun, dan ibunya hanya penjual kue kecil-kecilan.

Dan yang menurut saya Slamet melebihi Ikal karena Slamet mempunyai keterbatasan lain yang tidak dimiliki Ikal. Slamet adalah Difabel yang hanya bisa berjalan dengan kaki kanannya. Sedangkan kaki kirinya mengecil akibat polio yang dia derita saat berumur dua tahun. Sampai sekarang, Slamet tidak bisa berjalan tanpa bantuan tongkat ketiak.

Karena sejumlah hal yang memilukan itu, saat Slamet kuliah S1 di Universitas Gadjah Mada (UGM), Slamet harus banting tulang mencari hidup sendiri. Dia aktif di berbagai LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), juga membantu penelitian para dosennya.

Beberapa tahun setelah lulus kuliah, Slamet mendapatkan beasiswa S2 dari Ford Foundation untuk kuliah di Department of Sociology Disability Fakulty University of Hawaii. Jurusan yang saya kira cocok dengan kondisi yang dialaminya.

Saat wawancara, saya begitu antusias mungkin karena kisahnya yang menginspirasi. Saya pun menggiring dengan pertanyaan heroik yang cenderung dibesar-besarkan. Mula-mula, saya bertanya apa cita-citanya sehingga dia begitu semangat menuntut ilmu, sampai ke Paman Sam pula.

Dengan nada kalem, Slamet mengatakan kalau tidak terbersit sedikitpun untuk kuliah di luar negeri.”Dulu saya ingin jadi penulis,” kata dia.”Tapi kalau sekarang saya ingin uang yang banyak,” imbuhnya lantas tertawa terbahak-bahak. Kutipan yang terakhir ini, dia larang untuk dituliskan di koran. Mungkin, saat ditulis di Blog dia tidak akan mempermasalahkan.

Menjawab pertanyaan yang sedemikian singkat itu, pancingan saya rupanya kurang berhasil. Saya gagal mendapatkan jawaban heroik sebagaimana Ikal bercita-cita kuliah sampai ke Prancis saat dia masih kecil, meski hidup orang tuanya pas-pasan.

Saat saya mencoba memancing dengan sebuah pertanyaan lain, lagi-lagi jawaban heroik gagal saya dapatkan. Menurut dia, dalam hidupnya, dia tidak pernah melakukan rencana-rencana untuk melakukan tindakan besar. ”Hidup saya mengalir saja,” katanya. ”Dia anti tesis dari cerita Laskar Pelangi, yang penuh cita-cita dan harapan,” kata salah seorang temannya yang menemani Slamet wawancara.

Rupanya, teman Slamet ini paham kalau saya sedang memancing Slamet dengan pertanyaan heroik. Apalagi, beberapa kali saya menyebut kata “Laskar Pelangi” untuk melambangkan kisah Slamet yang seperti Ikal dalam Novel tersebut.

Tidak hanya itu, dari wawancara dan obrolan ngalor-ngidul yang kurang lebih satu jam itu, saya semakin berkesimpulan kalau hidup Slamet memang mengalir. Saat pertama kali masuk Malang, Slamet tidak pernah membayangkan menjadi dosen. Dirinya ketika itu hanya berkeinginan mendirikan LSM tentang Difabilitas. ”Kenapa tidak di Jogja, karena di Jogja sudah banyak LSM semacam ini, dan di Malang Jarang,” kata dia.

Pada akhirnya, LSM tersebut gagal berdiri karena teman-temannya di Malang memilih bekerja di luar kota. Slamet pun lantas mendapat tawaran menjadi dosen, dan dia terima tawaran itu. Sampai sekarang, melalui Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD) Slamet membimbing para Mahasiswa Difabel yang kuliah di UB.

Sebenarnya, cerita soal Ikal dan Slamet hanya bermuara tentang satu kata yakni ‘cita-cita’. Saat masih kecil, saat ditanya tentang cita-cita, mungkin hampir semua anak-anak memunyai cita-cita menekuni profesi “bergengsi” seperti menjadi dokter, guru, pilot, astronot atau yang lain. 

Lantas cita-cita itu berubah saat kita beranjak dewasa, kita tidak lagi bercita-cita menjadi pilot saat kita hanya diterima di kampus agama. Impian menjadi dokter seolah sudah tertutup saat kita sekolah di Madrasah jurusan Bahasa. Saat kecil, saya bercita-cita menjadi guru, ketika Madrasah Aliyah (MA) saya sempat ingin menjadi wartawan, berubah lagi saat kuliah saya ingin menjadi pengusaha, saat menulis catatan ini saya tidak lagi memiliki cita-cita. Mengalir sajalah…[]

Diterbitkan oleh

Buletin Amanaha Online. Pondok Pesantren Raudlatul Ulum I. Ganjaran Gondanglegi Malang Jawa Timur. Menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top