Showing posts with label Irham Thariq. Show all posts
Showing posts with label Irham Thariq. Show all posts

Thursday, October 6, 2016

Seandainya Saya Anies Baswedan

anies_baswedan

Oleh: Irham Thoriq

Sekitar tiga tahun lalu, dalam sebuah perjalanan ke Papua Barat, seorang dosen Universitas Negeri Malang (UM) ngerasani Anies Baswedan. Dia beranggapan kalau program Indonesia Mengajar hanya dijadikan ajang pecitraan Anies.

Dia lalu menggerutu kalau program yang dia ikut urus yakni Program Sarjana Mengajar di daerah Terdepan, Terluar, Tertinggal (SM3T) kalah pamor dengan Indonesia mengajar. Padahal, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendibud) sudah mengucurkan ratusan miliar untuk mengirim sarjana ke tapal batas untuk program SM3T.

Tapi tetap saja, yang lebih dikenal Indonesia Mengajar-nya Anies Baswedan. Sedangkan SM3T tidak banyak orang yang tahu. Saya yang ketika itu liputan, baru tahu program SM3T ketika dosen ini menjelaskan di perjalanan. Lalu, percakapan tentang Anies Baswedan hilang begitu saja. Setelah itu kita fokus pada medan curam, jalan bergerojal dan hutan yang lebat untuk sampai ke Papua Barat, tempat peserta SM3T mengajar.

Anies Baswedan beberapa tahun belakangan memang menjadi akademisi yang amat terkenal. Mula-mula dia menjadi rektor termuda pada usia 38 tahun di Universitas Paramadina. Kampus yang tidak lebih besar dari Universitas Islam Malang (Unisma) ini terkenal saya kira selain pengaruh Nurcholish Madjid sebagai pendiri, juga karena Anies.

Lalu dia mendirikan Indonesia Mengajar. Sebuah program mulia yang disokong banyak perusahaan besar. Nama Anies kian melambung hingga dia menjadi peserta konvensi calon Presiden Partai Demokrat. Saya kira, dia satu-satunya peserta konvensi dari unsur dosen. Kau tahu, amat sulit dosen yang jumlahnya ratusan ribu se-Indonesia untuk bisa eksis di dunia perpolitikan, bukan? Selain jarang dosen yang terkenal, butuh beratus-ratus tahun dosen mengumpulkan uang dari gaji mereka untuk bisa ‘membeli’ kendaraan politik. Tapi Anies mendobrak ketidakmungkinan itu meski akhirnya dia gagal di konvensi.

Setelah beberapa bulan lalu Anies diberhentikan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), lantas orang bertanya-tanya. Kemanakah karir orang yang sedari muda karier-nya menjulang ini. Dari media, saya baca Anies masih belum kembali ke kampus untuk menjadi dosen.
Saya kira masa ketika Anies diberhentikan dari menteri adalah masa yang sulit baginya. Nama Anies sudah terlanjur terkenal, cita-citanya sudah terlanjur tinggi, dan sejak muda kariernya bagus. Maka ketika hanya kembali ke kampus menjadi dosen mungkin banyak orang yang akan bertanya-tanya. Anies sendiri saya kira juga akan heran terhadap dirinya sendiri, kok bisa kariernya seperti roller coaster: habis menukik lalu menghujam kebawah.

Ditengah kegalauan inilah, Anies lantas menerima tawaran menjadi calon Gubenur DKI Jakarta. Anies menolak menjadi Wakil Gubenur mendampingi Sandiaga Uno. Saya menebak alasannya sama kenapa dia menolak menjadi wakil, yakni karena namanya sudah terlanjur terkenal dan cita-cita sudah amat tinggi.

Pada Pilkada DKI inilah setidaknya kita bisa bercermin kalau politik ternyata menjadi muara dari aneka macam profesi. Anies yang berangkat dari akademisi, pada muaranya menjadi politisi. Dia sempat menjadi bakal calon presiden, dan menjadi calon gubenur.

Karena memilih jalan politik, maka Anies harus berdamai dengan rival-rival politiknya di Pilpres 2014. Kita tahu, pada Pilpres lalu Anies menjadi juru bicara Jokowi dan Jusuf Kalla, dan kini Anies bergabung dengan Prabowo yang waktu itu menjadi lawan Jokowi.

Lalu, Agus Harimurti Yudhoyono yang diprediksi mempunyai karir militer bagus, juga bermuara pada politik. Dan juga wakil Agus, Sylviana Murni yang birokrat dan juga profesor, petualangan hidupnya juga berakhir di politik. Karena semuanya berakhir di politik, entah ini patut kita syukuri atau tidak, atau ini menunjukan kalau orang semakin tak percaya dengan politikus didikan partai politik.

Pada pilkada ini kita semakin yakin kalau politik boleh tidak masuk akal. Sebenarnya bergabungnya Ahok yang dielu-elukan sebagai Gubenur bersih, agak sedikit tidak masuk akal berkoalisi dengan partai yang dipimpin ‘papa minta saham’. Sebelumya, Ahok mundur dari Gerindra karena partai ini mendukung pilkada tidak langsung. Dan celakanya, seperti masuk ke dalam jurang, Ahok masuk ke jurang yang lebih busuk. Karena mendukung pilkada tidak langsung lebih mulia dibanding meminta saham ke perusahaan asing.

Tapi itulah politik, boleh tidak masuk akal. Anies bergabung dengan Prabowo juga tidak masuk akal. Anies yang ikut Pilkada setelah sebelumnya nyalon presiden juga sedikit tidak masuk akal. Yang masuk akal saya kira cuman satu, yakni PKS tidak berkoalisi dengan Ahok.

Lalu, bagaimana kalau kita menjadi Anies Baswedan? apakah tawaran menjadi calon gubenur akan diterima? atau tetap konsisten menjadi akademisi?

Saya kira kalau semua diantara kita diberi kepercayaan menjadi Anies Baswedan, kita akan sulit. Tawaran dari partai politik terlalu menggiurkan karena menjadi Gubenur DKI sebagaimana kata Ahok, jabatannya setara dengan menteri. Bedanya, Gubenur tidak bisa di reshuffle, sedangkan menteri bisa.

Sedangkan menjadi akademisi sudah tidak lagi menggiurkan. Gajinya sedikit, jangkauannya terlampau kecil. Hanya satu kelas, atau satu kampus. Padahal, sebagaimana ungkapan Anies di mana-mana, kita harus Melunasi Janji Kemerdekaan.

Karena kemerdekaan itu membentang dari Sabang sampai Meraoke, maka sulit melunasinya jika hanya berkutat di kampus. Mau tidak mau Anies harus jadi Presiden, sebagaimana Jokowi, peluang menjadi Presiden itu terbuka ketika jadi Gubenur DKI Jakarta.

Karena jadi Presiden harus melalui partai politik, maka Anies harus bergabung dengan partai politik, menjadi ketua umum parpol, atau mendirikan partai politik. Dan untuk menggapai itu semua, tentu kita harus ‘berdamai’ dengan kekuatan-kekuatan jahat yang ada di partai politik.


Lantas kenapa sulit sekali menjadi Anies Baswedan. Anda atau mungkin saya akan sulit jika diamanahi menjadi Anies Baswedan. Saya pikir-pikir, masalah dari sulitnya menjadi Anies itu hanya dua yakni karena dia terlanjur terkenal dan cita-citanya juga terlanjur tinggi.[]

Wednesday, August 24, 2016

Hikayat Para Pencuri Buku


Oleh: Irham Thoriq*

Seorang pustakawan militan dari Malang berulang kali menentang. Dia tidak setuju dengan anggapan banyak orang, yang belakangan mungkin sudah dianggap sebagai kebenaran. Anggapan itu memang pahit. Terlampau pahit.

Anggapan itu adalah bangsa kita dicap sebagai bangsa yang minat bacanya rendah. Lalu, anggapan itu diperkuat hasil survey yang menyatakan kalau minat baca kita peringkat kedua terbawah dari total 61 negara yang diteliti. Sudah 71 tahun merdeka, tapi kita secara tak sadar  mengamini hal itu.

Pustakawan ini mengatakan kalau anggapan ini salah. Masyarakat kita sebenarnya tidak malas membaca, tapi bacaan yang tidak ada. Mau beli buku tidak punya uang, mau pinjam ke perpustakaan kota, terlampau jauh. Karena inilah, pustakawan ini memimpikan suatu saat bisa membangun seribu perpustakaan di desa-desa. Agar buku tak lagi jauh dari orang-orang kampung.

Jika buku dekat dengan masyarakat, mau tidak mau masyarakat akan membaca. Minimal membaca buku resep masakan, minimal membaca kiat sukses membeli rumah tanpa uang muka, minimal membaca buku kiat sukses menjadi pembawa acara, minimal lagi membaca judul buku.

Saya kira, kesalahan pembuat kebijakan di negeri ini adalah kurangnya upaya mendekatkan buku kepada masyarakat. Lalu, masyarakat tidak mencintai buku. Kau tahu, buku pelajaran saat kita kecil terlalu banyak hafalan. Orang disuruh menghafal tokoh-tokoh, rumus-rumus, sejarah dan lain-lain.

Pelajar tidak diajari bagaimana mencintai dan menikmati buku serta pengetahuan. Mungkin karena ini, setelah lepas dari sekolah atau kuliah, orang menjadi jauh dari buku. Meninggalkan buku, meninggalkan pengetahuan. Atas semua itu, jawababannya hanya satu: karena kita tidak pernah diajari bagaimana cara mencintai buku dan mencintai pengetahuan.

Hal inilah mungkin yang tidak dialami sastrawan Chairil Anwar, sastrawan angkatan 45 yang hanya berusia 26 tahun tapi saja-sajaknya masih hidup hingga kini. Meski tidak pernah sekolah tinggi, tapi Chairil sangat mencintai buku dan pengetahuan.”Kata mama saya, ayah mending besok tidak makan daripada besok tidak beli buku,” kata Evawani Alissa, anak satu-satunya Chairil Anwar dalam sebuah diskusi yang diadakan Tempo baru-baru ini yang tayangannya saya lihat melalui Youtube.

Sejak itu, saya baru tahu kalau Chairil Anwar memang maniak buku. Bahkan, ada cerita tersohor tentang Chairil Anwar dan sastrawan Asrul Sani. Suatu hari, Chairil dan Asrul mengunjungi toko buku yang cukup terkenal di Jakarta waktu itu, namanya Van Dorp.

Di toko buku ini Chairil dibuat ngiler dengan buku berjudul Also sparch Zarahustra karya filsuf  Fredrich Nietzsche. Mereka lantas mencuri buku ini. Chairil mempunyai pembenaran kenapa dia menucuri buku di toko buku milik belanda tersebut.”Bangsa mereka juga merampok kekayaan negeri ini,” kata Chairil.

Tapi menurut saya apa yang dinyatakan Chairil ini hanya pembenaran saja. Dari cerita teman-temannya, Chairil yang hidup susah di Jakarta memang sering mencuri. Bahkan teman-temannya pernah iuran menebus Chairil, setelah ‘si binatang jalang’ ditangkap polisi karena ketahuan mencuri seprai.

Chairil mencuri buku mungkin karena kehausannya terhadap ilmu pengetahuan. Sebagai penyair, Chairil juga butuh bahan untuk mengarang puisi yang bertenaga. Dia tidak mungkin membuat puisi hanya berbekal imajinasi dan angan-angan kosong.

Perihal mencuri buku, saya kira setiap zaman selalu mempunyai pencuri bukunya masing-masing. Di Perpustakaan Kota Malang sebagaimana diberitakan Jawa Pos Radar Malang,ada 4.725 buku buku hilang atau bahasa halusnya belum kembali selama bertahun-tahun. Dan ironisnya, yang banyak buku hilang adalah buku bertema kedokteran.

Mungkin mahasiswa kedokteran yang pinjam dan tidak dikembalikan itu kepalanya sedang pening. Dia bingung karena dituntut segera menyelesaikan kuliah oleh orang tua, buku di kampus tidak tersedia, mengurus kartu perpustakaan Kota Malang sulit bagi orang luar kota, maka lahirlah ide mencuri. Dalam hati mungkin mereka bergumam: nanti kalau saya sudah jadi dokter akan saya kembalikan bukunya.

Atau mungkin mahasiswa tersebut tidak niat mencuri. Tapi buku yang mereka pinjam di perpustakaan dicuri teman. Lalu, mahasiswa ini takut mau melaporkan karena sudah terlanjur lama buku menghilang. Ini jugalah yang dirasakan seorang teman ketika menghilangkan buku di perpustakaan kampus. Karena buku hilang dan denda di sistem peminjaman berjalan terus, teman saya ini disuruh bayar hampir sejuta. Untung, dia dapat diskon dengan membayar Rp.300 ribu di penghujung kuliah. Jika tidak membayar, tidak bisa ikut yudisium yang itu sama saja artinya tidak bisa lulus.

Seorang ilmuan barat David J Leiberman juga pernah menulis tentang cerita pencurian buku. Menurut dia, sebodoh-bodohnya orang itu adalah orang yang meminjam buku tapi buku tersebut dikembalikan.

Lalu, berdosakah orang yang mencuri buku? Saya kira tulisan ini tidak hendak membahas halal dan haram, karena sudah ada lembaga yang memiliki kewenangan memberi fatwa. Maka saya turunkan lagi pertanyaannya, boleh tidak mencuri buku?

Atas pertanyaan itu saya kira jawabannya boleh. Kita perlu mencuri buku dari seorang kutu buku yang setelah dibaca buku tersebut diendapkan saja di bawah kolong kamar tidur. Kita juga perlu mencuri buku dari orang-orang yang hanya senang membeli buku tapi tidak pernah berhasil menuntaskan membaca buku yang mereka beli. Lalu, Anda masuk kriteria yang mana ya?

Buku hasil curian itu bisa kita buat perpustakaan gratis. Hitung-hitung, dengan mencuri buku dan membuat perpustakaan gratis, kita sudah menyebarkan ilmu Tuhan. Bukankah itu pahala, bukan malah berdosa.

Seorang pustakawan yang ceritanya saya sebut di atas juga pernah memberi tip dan trik cara mencuri buku di perpustakaan. Caranya, sobek sampul depan dan belakang. Jika di dalam buku masih ada penanda yang dikhawatirkan pintu perpustakaan berbunyi ketika kita keluar, maka lembaran itu jangan lupa disobek.

Karena kita hanya akan jadi bahan tertawaan semut ketika kita mencuri buku, lalu pintu berbunyi dan kita masuk penjara karena buku yang tak seberapa harganya. Padahal niat kita mulia, yakni demi literasi. Jangan lupa, kita mencuri buku karena alasan keadilan sosial juga yakni agar buku-buku tidak hanya dinikmati orang kuliahan dan orang gedongan saja.

Lalu bagaimana kalau kita tertangkap beneran? Semoga saja para penggiat literasi bisa bersatu dan berdemontrasi di depan kantor polisi sambil menenteng poster bertuliskan: Hentikan Kriminalisasi kepada Pejuang Literasi.[]

Penulis tinggal di www.irhamthoriq.com
- Sumber gambar: Admirable sentiment

Saturday, May 21, 2016

Bersama Para Penggerak Buku


Oleh: Irham Thoriq

Ini semacam cinta yang keras kepala. Kalau bukan karena kecintaan mereka pada buku, dan juga kepedulian agar semua orang bisa baca buku gratis, mungkin mereka sudah meninggalkan kegiatan ’setengah gila’ ini. Mereka tidak dibayar. Dan juga tak terlalu berharap pada bantuan pemerintah. Umumnya berada di pelosok kelurahan dan desa.

Mereka adalah relawan pengelola taman baca yang ada di Malang Raya. Pada peringatan Hari Buku Nasional pada Selasa 17 Mei lalu, sekitar 30 pustakawan berkumpul di Perpustakaan Anak Bangsa, di Desa Sukopuro, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang. Yang mengumpulkan adalah dedengkot perpustakaan gratis di Malang: Eko Cahyono.

Pria 36 tahun ini sudah 18 tahun mendirikan dan mengelola perpustakaan gratis. Bukunya sudah ribuan. Di kalangan pustakawan di Indonesia, nama Eko sudah sangat dikenal. Dia beberapa kali tampil di Kick Andy, dan mendapatkan penghargaan dari program ini.

Saya yang hadir dalam pertemuan ini, merasa terharu pada keikhlasan dan semangat mereka mengembangkan perpustakaan gratis. Apa yang mereka lakuan seolah menjadi ’lilin’ di tengah lesunya minat baca di Indonesia. Berdasarkan data Central Connecticut State University yang dirilis April lalu, peringkat literasi Indonesia berada di urutan kedua dari bawah. Dari 61 negara yang di-ranking, Indonesia peringkat 60. Angka yang miris bukan? 

Dalam pertemuan di ruang perpustakaan yang luasnya sekitar separo lapangan futsal ini, saya duduk di sebelah mahasiswi Strata Dua (S-2) Universitas Negeri Malang. Dia mengelola perpustakaan gratis di Dusun Pandanrejo, Desa Sukopuro. Dari perpustakaan Eko, jaraknya hanya sekitar 15 menit.
Perempuan ini sangat bersemangat ketika membicarakan buku dan juga perpustakaan. Dia datang pagi sekali. Sekitar setengah delapan, padahal acara baru dimulai jam sebelas. Kepada para pustakawan lain, dia juga bertanya-tanya cara mendapatkan buku gratis. ”Koleksi perpustakaan saya hanya sekitar seratus buku,” kata Yuyum, panggilan perempuan itu.

Ketika seorang pustakawan lain memberi informasi kalau ada pengajuan buku gratis, dia langsung membuka website yang memuat informasi tersebut.

Saat saya tanyakan motivasinya mendirikan perpustakaan gratis, dia menjawab sederhana. ”Anak-anak di kampung saya sedikit sekali yang sekolah, dan juga banyak premannya,” kata dia. ”Makanya sejak SMA saya pinjamkan buku-buku saya ke anak-anak sekitar,” tambahnya.

Rupanya, sedikitnya buku yang dia miliki bukan satu-satunya masalah. Menurut dia, masalah paling utama adalah mendatangkan anak-anak dan juga orang dewasa ke perpustakaannya. ”Agar banyak yang datang, saya adakan kegiatan seperti lomba-lomba,” imbuhnya.

Ada lagi seorang perempuan bernama Sri Mulyani. Umur perempuan yang tinggal di daerah Gadang, Kota Malang ini kira-kira sudah kepala lima. Dia membuka perpustakaan gratis di perumahannya. Awalnya, perpustakaan itu dikelola oleh pendidikan anak usia dini (PAUD). Tapi belakangan karena sudah tidak ada yang mengelola lagi, dia kelola sendiri. ”Bukunya masih sedikit,” kata dia.
Dia lantas bertanya-tanya dengan pemuda yang ada di sampingnya. Namanya Ragil, mahasiswa Universitas Brawijaya (UB) yang juga pendiri komunitas Gubuk Cerita. Komunitas ini mempunyai sekitar seribu tiga ratus judul buku. Perpustakaannya beda dengan biasanya, yakni meminjamkan buku dengan sistem delivery order.

Ketika ada orang yang mau pinjam, tinggal mengirim pesan singkat. Buku diantar, si peminjam meninggalkan KTP. Dan setelah baca buku, relawan Gubuk Cerita mengambil. ”Saya bisa pinjam ya Mas, untuk perpustakaan saya yang bukunya masih sedikit,” kata perempuan ini. Ragil manggut-manggut.

Sedangkan Eko, si tuan rumah terlihat sibuk dalam acara itu. Dia hilir mudik, sesekali memberi pengarahan. ”Kalau Anda mengelola perpustakaan, Anda sendiri harus suka baca buku,” kata Eko. ”Anda pernah baca Laskar Pelangi, novel Ronggeng Dukuh Paruk, harus pernah karena ini novel ini sangat berpengaruh di Indonesia,” kata dia.

Karena inilah, Eko meminta para pustakawan untuk sering berkunjung ke toko buku dan juga perpustakaan Kota Malang. ”Karena Anda harus tahu buku yang update, dan biasanya itu dibutuhkan warga, semisal sekarang sedang booming novel Ayat-Ayat dengan Cinta 2. Anda harus punya agar orang yang ingin baca buku ini ke perpusatakaan Anda,” kata dia.

Siang mulai beranjak pergi. Pertemuan tersebut ditutup dengan deklarasi Forum Taman Baca Masyarakat Malang Raya dan makan nasi jagung bersama. Eko berharap, forum ini bisa mempercepat perkembangan perpustakaan-perpustakaan gratis yang ada di kelurahan dan di desa-desa. ”Saya yakin, dengan adanya forum ini, taman baca Anda bisa berkembang lebih pesat daripada ketika saya mengembangkan perpustakaan saya ini dulu,” kata Eko.

Keyakinan agar perpustakaan gratis ini berkembang cepat memang perlu terus dikumandangkan. Sebagaimana buku The Secret yang dikutip Eko dalam pertemuan itu bahwa semesta akan mendukung mewujudkan apa yang kita yakini. Eko ingin perpustakaannya menjadi besar, punya buku banyak, dan rak yang bagus. Menurut Eko, itu semua terwujud karena keyakinan dalam buku tersebut yang dia pegang. Ya ya, mewujudkan cinta yang keras kepala memang butuh keyakinan yang berlipat-lipat. []


Tulisan ini terbit pertama kali di Radar Malang edisi 19 Mei 2016
Sumber gambar:
Book by Sam

Tuesday, May 10, 2016

Seandainya Rangga Menikah Dengan Gadis Desa di AADC 2


Oleh: Irham Thoriq

Di tengah hingar bingar film Ada Apa dengan Cinta (AADC) 2, kita mungkin lupa membiji dua hal. Kenapa film ini kembali dibuat setelah 14 tahun film pertama berlalu? Dan kenapa Rangga ingin kembali kepada Cinta setelah sekian lama berpisah?

Pertanyaan pertama mungkin bisa dijawab mudah saja oleh penggarap film yakni karena di sinilah hukum bisnis berlaku. Film pertama yang sukses, pada film kedua tentu kesuksesan sudah menanti, entah seperti apa kualitas film kedua. Mungkin alasan ini jugalah yang membuat Habiburrahman El Shirazy mengeluarkan novel Ayat-Ayat Cinta 2, setelah novel pertamanya sukses di pasaran.

Bagi genarasi 1990-an kebawah, AADC 2 memang seolah memanggil-manggil kenangan yang mengendap 14 tahun lamanya. Ketika film ini memanggil kenangan yang mengendap itu, dengan mudah kita tergugah serta bernostalgia. Hingga akhirnya, AADC 2 memecahkan rekor dan film ini kini bersaing dengan film Holywood Civil War.

Nah, untuk menjawab pertanyaan kedua ini kita harus sedikit berimajinasi karena Rangga dan Cinta adalah tokoh rekaan. Cerita ini tidak diambil dari kisah heroik sepasang pemuda, tidak pula diambil dari kisah negeri seribu satu malam yang penuh dengan keajaiban.

Mari kita berandai-andai Rangga dan Cinta tidak pernah bertemu lagi. Dan menurut saya banyak alasan untuk bisa mewujudkan hal tersebut. Dalam film AADC 2, Rangga digambarkan sebagai pemuda sukses yang menjadi pemilik sebuah kafe di New York, Amerika Serikat. Tentu mendirikan cafe di New York butuh modal yang besar, bukan? Apalagi jika dibandingkan mendirikan cafe di Zimbabwe atau di Madagaskar.

Sedangkan Cinta pada awal-awal cerita AADC 2 sudah bertunangan dengan pengusaha muda yang tajir. Di sinilah sebenarnya kisah Cinta hampir mirip dengan kehidupan asli pemerannya Dian Sastrowardoyo. Pada kehidupan nyata, Dian Sastro mempunyai suami pengusaha muda tajir.

Sebenarnya, agar film ini mendekati dengan kenyataan, Cinta baiknya menikah dengan pemuda tajir itu. Tidak malah menyusul Rangga ke New York, mereka lalu balikan dan berciuman di sebuah taman.

Lalu Rangga sama siapa? Dengan uang yang melimpah di New York, sebenarnya mudah saja bagi Rangga mencari paras perempuan yang sama manisnya dan aduhainya dengan Cinta. Dia bisa berkenalan dengan bule yang menyeruput kopi di kafenya, jalan-jalan menikmati sego angkringan di New York, lalu jadian. Dengan demikian, Rangga bisa melakukan hal lebih dengan apa yang dilakukan dengan Cinta selama ini yakni mereka berdua hanya bisa berciuman.

Atau kalau tidak terbiasa dengan perempuan berkulit putih langsat, Rangga bisa memilih gadis desa di ujung Jawa Tengah yang berkulit sawo matang. Dengan uang yang melimpah, tentu akan sulit sekali gadis desa itu menolak Rangga.

Tapi ini film yang ditunggu penggemarnya 14 tahun, masa ceritanya  memilukan?

Pertanyaan ini biar saja dijawab oleh penggarap film. Tapi, mungkin karena alasan ini jugalah kisah ini berakhir dengan happy ending. Menurut saya karena Happy Ending inilah yang membuat AADC 2 kalah heroik dengan AADC pertama. Ketika saya melihat AADC pertama saat masih SMP, saya tiba-tiba ingin segera SMA. Sedangkan ketika baru-baru ini kembali melihat AADC, saya malah ingin kembali SMA. Tapi, ketika sudah melihat AADC-2, saya tidak ingin menjadi tua sebagaimana Dian Sastro dan Nicholas Saputra (Rangga) yang kini sudah berumur. Perasaan subjektif inilah yang membuat saya menilai kalau AADC pertama lebih bagus dari AADC-2.

Selanjutnya, jika boleh mereka-reka lagi kenapa dalam AADC-2 Rangga begitu ngebet balikan sama Cinta dan kenapa Cinta begitu mudahnya luluh?  Menurut saya karena Rangga sudah lama jomblo.
Pada suatu scane di AADC 2, ketika Cinta bertanya apakah Rangga selama berpisah dengan Cinta pernah pacaran. ”Masa selama itu tidak pernah pacaran,” kata Cinta bertanya. Wajah Ragga tiba-tiba nanar, dan dia menjawab pernah pacaran tapi sudah putus dua tahun lalu.

Nahlo, sebelum Rangga memutuskan terbang dari New York ke Jakarta lalu Jogjakarta untuk menemui Cinta dan Ibunya, Rangga sudah jomblo dua tahun. Saya malah menebak-nebak kalau selama dua tahun itulah sebenarnya Rangga mengalami masa-masa galau.

Rangga galau karena setelah putus dengan pacar terakhirnya, dia menembaki banyak bule tapi celakanya Rangga ditolak terus. Dia juga ingin balikan kepada mantan pacar terakhirnya, tapi apa daya si pacar ternyata sudah menikah dengan bule yang lebih perkasa dari Rangga.

Hingga pada akhirnya Rangga menggunakan line, mungkin sebelumnya dia pakai Whatsapp. Dan di line dia bertemu dengan nama Cinta, dan setelah dilihat foto profilenya, ternyata Cinta yang sudah berpisah dengannya bertahun-tahun. Hanya saja, wajah Cinta kali ini lebih putih, dan tidak ada keriputan meski Rangga sudah tidak bertemu empat belas tahun lamanya.

Karena kegelisan jomblo selama dua tahun inilah lantas Rangga menambahkan Cinta lalu berkomunikasi, bertemu secara tidak sengaja disebuah pameran di Jogjakarta, jalan seharian penuh, dan berciuma di akhir pertemuan itu. Lalu, setelah beberapa hari Cinta menyusul Rangga ke New York, dan lagi-lagi mereka berciuman. Ah, kisah asmara memang sesederhana itu ternyata.

Di tengah kesederhanaan cerita yang ada di AADC, sebenarnya Rangga ingin memberi pelajaran kepada para jomblo kalau jalan selalu terbuka jika kita punya kemauan. Meski kemauannya itu adalah balikan dengan mantan yang sudah bertahun-tahun dilupakan. Andai saja, Cinta tidak dengan mudahnya menerima Rangga dan terus menyueki Rangga, ada baiknya judul film ini berubah menjadi: Ada Apa dengan Jomblo? Dan yang paling pas berduet dengan Rangga adalah orang-orang jomblo disekitar kita.[]


Penulis tinggal di www.irhamthoriq.com
Sumber gambar:

Monday, May 2, 2016

Eka Kurniawan


Oleh: Irham Thoriq

Suatu ketika Eka Kurniawan membaca sebuah koran lokal. Eka mendapati berita yang menurutnya menarik. Berita tersebut tentang tempat penitipan sepeda motor, di tempat itu banyak sepeda motor yang ditinggal pemiliknya bertahun-tahun.”Bahkan ada yang dua tahun, tidak tahu kemana itu pemiliknya,” kata Eka ketika mengisi kuliah tamu di Universitas Negeri Malang (UM), Kamis (21/4) lalu.

Eka melanjutkan, ketika membaca koran dia senang membaca berita kecil yang ada di halaman dalam. ”Kalau berita utama tentang Jokowi atau Ahok, mendengarkan obrolan tetangga juga bisa,” kata Eka disambut tawa para audiens.

Eka hendak menjelaskan kalau cerita memang bisa dilahirkan dari kejadian sehari-hari yang sederhana. Dari hal kecil itu, ketika diramu bisa menjadi cerita yang menarik. ”Berita seperti penitipan sepeda motor itu kan menimbulkan pertanyaan kemana orangnya, dari situ bisa kita dalami untuk menjadi cerita,” imbuhnya.

Lalu Eka bercerita tentang buku kumpulan cerita pendeknya berjudul Corat-Coret di Toilet. Eka memberi judul salah satu cerita pendeknya seperti itu karena terinspirasi dari banyaknya corat-coret di toilet umum. Dan yang membuatnya tertarik, corat-coret itu menyambung satu sama lain, padahal yang buat bukan satu orang.

Guru Besar Universitas Negeri Malang (UM) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd., yang menjadi moderator bertanya, kenapa dia selalu mengambil cerita-cerita sederhana dengan latar Indonesia. Padahal, Eka beberapa kali pernah ke luar negeri, di antaranya ketika dia menjadi salah satu penulis yang dibawa pemerintah dalam Frankfurt Book Fair. Saat itu, Indonesia menjadi tamu kehormatan.

Eka menjawab kalau dia ingin mengenalkan Indonesia dan juga kehidupan orang-orangnya. ”Itu saja mungkin alasannya kenapa saya bercerita dengan latar Indonesia.”

****

Saya membaca karya-karya Eka Kurniawan baru-baru saja, meski dia sudah menerbitkan novel pertamanya berjudul Cantik Itu Luka pada 2002 silam. Dari karya-karyanya, saya menyimpulkan kalau cerita Eka memang bermula dari hal-hal sederhana. Novel O yang sedang saya baca misalnya, hanya bercerita tentang monyet yang menjadi tokoh utama.

Monyet itu bernama O. Dia harus bersusah payah meladeni kemauan sang pawang monyet untuk berakrobat di Jalanan Jakarta. Uang hasil jerih payah O itu lalu dibuat mabuk-mabukan oleh sang pawang.

Meski tokoh utamanya adalah Monyet, Novel O sebenarnya bukan melulu cerita tentang fabel. Membaca novel ini saya justru sadar kalau hewan kadang lebih manusiawi daripada manusia. O, meski selalu dipecuti oleh pawangnya, pada momen-momen tertentu O merasa kasihan dengan pawangnya. Semisal ketika sang pawang tiba-tiba diam, atau ketika teler habis menenggak minuman keras.

Pada salah satu gumamnya, O mengatakan kalau kehidupan Jakarta sangat keras. Orang hidup hanya untuk saling memakan satu sama lain. Dan itu menurut saya sangat manusia sekali. Jakarta memang keras, dan karena kekerasan itu orang terbiasa berlaku tidak manusiawi. Saling memakan dan menerkam satu sama lain.

Karena novel yang memukau itu, ketika tahu Eka Kurniawan menghadiri dua acara di Malang, saya usahakan untuk datang ke dua acara tersebut. Di sela-sela acara, saya membeli novelnya yang lain berjudul Seperti Rindu, Dendam Harus Dibayar Tuntas. Lagi-lagi, ceritanya sederhana. Pada pembuka novel ini, Eka menulis tentang seseorang yang tidak bisa ngaceng atau kemaluannya tidak bisa berdiri. ”Hanya orang yang enggak bisa ngaceng, bisa berkelahi tanpa takut mati,” kata Iwan Angsa sekali waktu perihal Ajo Kawir. Begitu pembuka itu, yang memikat dan tentu saja memancing rasa penasaran.

***

Nama Eka Kurniawan belakang memang menjadi buah bibir. Pada Maret lalu, Eka mendapatkan penghargaan World Reader’s Award yang disponsori oleh Hong Kong Science and Technology Parks Corporation. Sebelumnya, dia masuk nominasi The Man Booker International Prize. Dalam nominasi ini, Eka bersaing dengan penulis kenamaan di dunia, salah satunya sastrawan asal Turki yang pernah meraih nobel sastra, Orhan Pamuk.

Karena inilah, ketika pada kuliah tamu tersebut saya diberi kesempatan bertanya, saya menyatakan kalau tahun ini adalah tahun Eka. Lantaran, tahun lalu nama penulis yang ramai dibicarakan adalah Laksmi Pamuntjak dan Leila S Chudori. Keduanya menjadi bintang dalam Frankfurt Book Fair 2015 karena buku keduanya membahas isu kesewenang-wenangan negara terhadap PKI (Partai Komunis Indonesia). Isu ini sedang hangat di Jerman, karena negara ini pernah punya sejarah kelam yang sama.

Waktu itu saya bertanya tentang proses Eka dalam melakukan riset sebelum menulis. Dia menjawab, dari kisah sederhana itu biasanya dia kembangkan sendiri. Dalam novel O misalnya, dia tertarik setelah anaknya suka pertunjukan topeng monyet. Dari situlah lantas dia kembangkan menjadi cerita.

Eka juga mengatakan kalau dalam menulis sebenarnya kita hanya mengembangkan apa yang pernah kita lihat, kita alami dan juga yang pernah kita baca. Karena inilah, untuk menghasilkan karya bagus orang harus banyak membaca, juga harus mengasah rasa keingin tahuan.

Karena inilah, Eka menyampaikan kalau dia lebih banyak membaca daripada menulis. Dia membaca setiap hari, tapi tidak menulis setiap hari.”Tidak mungkin saya menulis tiap hari, saya menulis kalau perlu menulis saja,” kata dia.”Ketika kuliah, saya sering bolos hanya untuk baca novel,” imbuhnya, kali ini disambut ger-geran para peserta.

Penulis tinggal di www.irhamthoriq.com

Sumber gambar:

Saturday, April 23, 2016

Menulis Dengan Sederhana


Oleh: Irham Thoriq

Nulis Itu ya Nulis Saja
~Pramoedya Ananta Toer

Pernyataan Pram ini menurut saya ada benarnya, tapi juga ada kurang tepatnya. Untuk bisa menulis kita memang hanya butuh kemauan untuk terus menulis. Kurang tepatnya jika kita hanya menulis tanpa dibarengi dengan kecakapan membaca.

Ya, selain terus menerus menulis, yang dibutuhkan penulis hanyalah terus menerus membaca. Meminjam istilah Zen RS, penulis yang baik selalu lebih banyak membacanya daripada menulisnya. Dengan banyak membaca buku kita bisa berimajinasi, memperkaya diksi, memperbanyak refrensi dan yang paling penting kita tidak hanya bergumam dalam tulisan kita.

Banyak membaca diperlukan untuk aneka macam tulisan seperti menulis esai, opini, fiksi, dan juga menulis berita. Kenapa menulis berita butuh membaca? Karena tugas sejatinya wartawan adalah bercerita kepada para pembacanya. Cerita yang baik hanya bisa didapat jika kita menuliskannya dengan memikat.

Fakta menarik akan sangat membosankan jika ditulis dengan cara serampangan. Oleh karenanya, selain harus cakap mencari data, wartawan yang baik selalu akan meningkatkan kualitas tulisannya.
Lalu, bagaimana menulis yang baik? Menurut saya (dalam hal ini Anda bisa beda pendapat), menulis yang baik adalah menulis dengan sederhana. Hanya dengan menulis sederhana para pembaca bisa mudah memahami gagasan apa yang ingin kita sampaikan.

Selain itu, menulis sederhana berarti kita tidak berlebihan dalam menggunakan kata-kata. Penyair kenamaan Sitor Situmorang pernah mengatakan kalau kata-kata bagaikan peluru, kita harus hemat menggunakannya. Dengan kehidupan yang berjalan begitu cepat, mungkin orang tidak punya waktu banyak untuk membaca tulisan, apalagi tulisan yang boros kata dan berbelit-belit.

Untuk bisa hemat kata-kata, kita harus menjadi editor dalam tulisan kita sendiri. Caranya dengan membaca berulang-ulang tulisan kita lalu membuang kata-kata yang dianggap tidak perlu. Untuk mengetahui kata yang tak perlu prinsipnya sederhana, jika kata itu dibuang tidak mengubah makna, maka kata-kata itu sudah layak dibuang.

Menulis Berita 
Sebagaimana saya singgung di atas, penulis berita atau wartawan itu adalah pencerita bagi pembacanya. Tugas pencerita adalah tidak membuat bosan orang yang membaca dan yang mendengarkan cerita. Jika orang sudah berhenti membaca pada paragraf pertama, bisa ditebak kalau berita yang ditulis membosankan.

Karena hal inilah dalam berita ada yang disebut lead. Umumnya lead berada pada paragraf pertama. Arti dari lead adalah kail. Jika kita memancing kita membutuhkan kail agar ikan tertarik pada kail kita, memakannya dan pada akhirnya terjebak pada pancing kita.

Begitu juga dengan menulis, pada paragraf pertama dalam berita harus semenarik mungkin. Jika kita menulis suatu acara atau peristiwa, pilihlah hal paling menarik dari berbagai fakta yang ada dan tulis pada paragraf pertama sehingga pembaca ingin terus membaca berita hingga tuntas.

Jenis Berita
Secara umum ada dua jenis berita yang biasa digunakan media massa. Pertama adalah berita keras atau hardnews dan yang kedua adalah feature atau berita yang berkisah. Kapan kita menggunakan berita jenis hardnews dan feature? jawabannya sesuai dengan materi berita cocoknya dibuat hardnews atau feature.

Pada media online dan media harian kita lebih banyak menemukan berita jenis hardnews. Kenapa? Karena berita jenis ini simpel dan mendahulukan yang penting di awal tulisan. Rumusnya sangat klasik yakni rumus piramida terbalik, yakni menempatkan yang penting di atas, semakin kebawah semakin tidak penting.

Rumus klasik lainnya dari hardnews adalah berita harus menjawab enam pertanyaan, yakni 5 W dan 1 H. Atau dalam bahasa Indonesianya enam yang harus dijawab itu adalah apa, siapa, di mana, kapan, kenapa dan bagaimana. Jika sudah bisa menjawab enam pertanyaan tersebut, maka berita sudah bisa dikatakan hardnews. Oleh karenanya, pada media online kita kerap mendapati berita hanya tiga larik yang sudah menjawab enam pertanyaan tersebut.

Pada berita jenis ini, lead berada pada paragraf pertama. Jika kita mendapati fakta kalau seorang kecelakaan dan ternyata itu adalah anak bupati, maka yang dijadikan lead dan juga judul berita adalah anak bupati yang kecelakaan. Kronologi tentang kecelakaan bisa ditaruh di bagian bawah.

Sedangkan jenis berita kedua adalah feature atau berita yang berkisah. Biasanya feature berkisah tetang kehidupan seseorang. Feature yang menarik tidak akan jauh dari dua rumus ini, yakni orang yang from hero to zero atau from zero to hero. Orang yang awalnya miskin sekali lalu sukses menjadi dokter atau presiden, kisahnya selalu menarik.

Atau seorang siswa jawara olimpiade tingkat nasional, setelah dicek ternyata dia adalah anak sopir angkot. Sebaiknya, berita jenis ini yang ditonjolkan anak sopir angkot dan juga prestasinya. Tidak melulu soal prestasinya.

Hal menarik lain soal kenestapaan seseorang yang sebelumnya menjadi hero. Seperti contoh ada Mantan Bupati yang ketika pensiun memilih berkebun. Ini bisa jadi feature menarik meski semisal Mantan Bupati tersebut hanya hobi berkebun, bukan karena tidak punya uang untuk beli sayur-sayuran di Pasar.

Pada berita jenis ini yang paling penting adalah penggambaran. Karena berita dalam jenis ini adalah ceritanya, maka biasanya hal penting tidak ada di depan melainkan ada di tengah atau di akhir berita. Pada awal berita umumnya berupa deskripsi terhadap orang atau pristiwa yang kita tulis dalam bentuk feature-nya.

Oleh karenanya, dalam feature ada istilahnya super lead. Selain untuk memancing pembacanya, super lead ini juga berisi tentang inti dalam tulisan tersebut. Sehingga, orang bisa tertarik membaca diskripsi hingga inti dari berita.

Untuk mempermudah menggambarkan, berikut saya tuliskan beberapa contoh deskripsi dalam features yang ada dalam buku berjudul "Seandainya Saya Wartawan Tempo". Pada contoh pertama ini bermula dari seorang wartawan yang merasa ingin tahu tentang kebiasaan pengamen yang banyak kita temui di jalanan.

Mungkin orang biasa menganggap biasa pengamen tersebut dan kadang kita tidak memperdulikannya. Seorang wartawan yang jeli bisa membuat feature menarik dari berbagai kisah mereka. Contohnya yang ada dalam buku tersebut seperti ini:
Nama saya Buyung. Tak seorangpun pernah menanyakan asal-usul saya.
Cita-cita saya hanya sanya satu menjadi penyanyi, enggak usah terkenal, tapi didengar. Saya tak pernah sekolah, saya tak bisa membaca dan menulis, tapi kalau ngitung-ngitung, bisa. Ayah saya kuli bangunan di Medan. Empat tahun lalu saya lari ke Jakarta.
Dari deskripsi memikat itu, bisa ditulis artikel panjang. Pada akhirnya cerita ini dimuat di rubrik selingan di Majalah Tempo edisi 6 Mei 1989 dengan judul: Bocah-Bocah Turun ke Jalan.

Ada lagi deskripsi yang bunyinya seperti ini:
Laksana tarian perli langit, asap membumbung di atas Hotel Bali Beach yang membara terpanggang api (Tempo, 30 Januari 1993, Akhir Legenda dan Sejumlah Misteri Bali).
Bola mata juani berkaca-kaca ketika mengintip kemenakannya, Soleka, yang sedang mandi sore itu. Dari balik pagar sumur yang jarang, ia melihat kain basahan Soleka sering tersibak (Tempo, 2 Januari 1993, Kasmaran Laut di Sarang Elang)
Dari berbagai contoh itu, kita bisa menyimpulkan kalau tulisan ini enak dibaca karena tidak boros menggunakan kata-kata. Kalimat disusun secara ketat, sehingga pembaca tidak bosan membacanya.

Hitam-Putih Media
Saya tidak ingin berpanjang-panjang membahas soal ini. Karena mungkin semua sudah tahu kalau sangat jarang kita mendapati media yang independen. Terlebih, pasca pemilu 2014 yang dua stasiun televisi seperti berlomba-lomba memihak dua calon presiden berbeda.

Tapi, saya yang bekerja di media menganggap kalau masih ada media yang lurus. Ya, meskipun melenceng tidak terlalu parah. Lalu, kenapa media sulit independen seratus persen? Menurut saya jawabannya karena tiga hal, yakni karena bisnis, politik dan juga faktor subjektivitas media.

Saya ingin membahas faktor subjektifitas media. Menurut saya karena media merupakan produk kreatif manusia, maka bisa saja media memihak berdasarkan prinsip dan visi media tersebut. Media toleran misalnya, akan sulit memuat pernyataan-pernyataan tokoh ekstremis yang itu bisa menghasut orang ikut pada ajaran mereka.

Belum lagi ada subjektivitas wartawan yang menganggap berita A penting serta menarik dan menganggap berita B tidak penting. Karena ada subjektivitas itu selalu akan ada keberpihakan di media. Atau mungkin tidak hanya di media, dalam hidup kita saja sebenarnya kita sudah memihak ketika memutuskan beragama, mempunyai istri yang satu agama, sampai ketika ikut organisasi tertentu. Hal tersebut menurut saya pilihan yang berpihak, yang juga tidak bisa dihindari oleh wartawan dan pekerja media.

Tapi, dari keberpihakan itu menurut saya kita punya hati nurani yang layak kita bela. Hati nurani bagaikan wasit kita mau berpihak ke mana sebaiknya mengikuti kata hati nutani kita.

Tulisan ini disampaikan dalam diskusi bersama Gubuk Tulis, 13 April 2016.

Penulis tinggal di www.irhamthoriq.com
[sumber gambar: di sini]

Tuesday, April 19, 2016

Negeri Para Penyalak


Oleh: Irham Thoriq

Sekali waktu kita perlu belajar kepada anjing yang tidak suka menyalak. Dan bercermin kepada anjing yang sabar.

Ironi itu datang dari seorang siswi SMA di Medan. Mula-mula dia memarahi Polwan Ipda Perida yang menghentikan mobilnya saat dia merayakan selesainya Ujian Nasional (UN) Rabu, 6 April lalu. Dia marah-marah dan mengancam melaporkan Ipda Perida kepada Inspektur Jendral (Pol) Irman Depari yang dia sebut sebagai ayahnya.

Tidak lama berselang, Irman membantah kalau siswi tersebut adalah anaknya. Irman tidak mempunyai anak perempuan. Dia hanya mengakui kalau siswi tersebut adalah keponakannya.

Semenjak itulah, penduduk dunia maya ngamuk. Di banyak media sosial, siswi ini di bully habis-habisan. Bahkan, bully tersebut sempat menjadi trandingtopic di twitter. Media online, koran dan juga televisi banyak memberitakan kejadian itu. Sebagian besar beritanya menyudutkan siswi tersebut.

Setelah hujatan datang dari berbagai penjuru mata angin, ayah kandung siswi tersebut yakni Makmur Depari Sembiring jatuh sakit lalu meninggal dunia tiga jam setelah dibawa ke rumah sakit. Siswi yang menjadi korban bully shock. Dia juga harus kehilangan ayah kandungnya yang bukan jenderal.

Kisah siswi ini mungkin hanya sedikit kisah dari bully yang sering terjadi di media sosial. Kau tahu, adanya media sosial membuat semua orang seolah mempunyai panggung untuk melakukan apa saja dan menulis apa saja.

Orang yang sehari-hari kita kenal penyabar, bisa terlihat garang di media sosial. Pendiam yang hanya bicara seperlunya di dunia nyata, bisa menyalak sesuka hati di dunia virtual. Sebaliknya, orang yang dungu kadang terlihat pandai, dan orang yang pandai sekali waktu bisa terlihat bebal.

Dari aneka macam kebiasaan di media sosial itu, yang paling saya khawatirkan adalah kebiasaan menyalak para pengguna media sosial. Orang dengan mudah menyalak sesuka hati mereka, meski informasi yang mereka terima belum tentu benar.

Para penyalak itu juga dengan mudah menghujat pada suatu kasus, lalu menghujat di kasus lain dalam waktu berdekatan. Mereka menebar kebencian sama sekali tanpa beban, berpindah-pindah tanpa menghiraukan dampak dari komentar yang mereka tulis.

Meminjam bahasa hewan, mereka menggonggong di banyak tempat tanpa peduli gonggongan mereka ada yang memperhatikan. Atau, mereka menyalak lalu beberapa menit kemudian lupa terhadap yang mereka tulis. Sedangkan korban dari gonggongan tersebut harus membaca berulang-ulang dan merasa sakit hati, sedangkan yang berkomentar sudah lupa dia habis menulis apa.

Para penyalak itu biasanya disebut haters. Umumnya, mereka tidak mempertimbangkan sisi manusiawi sebelum berkomentar. Dalam kasus siswi di Medan misalnya, mereka tidak mempertimbangkan labil-nya psikis siswi yang masih remaja. Mereka tidak berpikir positif semisal, siswi itu mungkin keceplosan atau sedang euforia setelah Ujian Nasional selesai.

Perihal menjadi korban haters, saya pernah menjadi korban yang membuat kepala pening ketika membaca komentar-komentar para haters. Ketika itu, dua wartawan tempat saya bekerja menjadi korban perampasan oleh anggota TNI AU dari Lanud Abdul Rachman Shaleh yang bermarkas di Pakis, Kabupaten Malang. Kamera dan kartu identitas wartawan tersebut dirampas dengan alasan mereka mengambil foto dengan drone saat pesawat TNI AU jatuh di Blimbing, Kota Malang.

Berita tentang perampasan itu lantas di upload oleh seseorang di grup salah satu komunitas di Malang. Entah kenapa, anggota grup ini lantas menyalahkan wartawan yang menjadi korban perampasan. Mereka membela TNI AU yang menurut mereka sedang berduka.

Keesokan harinya saya mengupload berita lanjutan tentang wartawan yang menjadi korban perampasan. Kalau tidak salah berita itu tentang Komandan Lanud Abdul Rachman Shaleh yang bersedia meminta maaf kepada dua wartawan itu. Lagi-lagi, anggota grup melakukan bully habis-habisan dan menganggap permintaan maaf komandan tersebut sebagai tindakan kesatria.

Beberapa hari berselang, wartawan dari media lain mengupload tentang rilis Indonesia Corruption Watch (ICW) yang menyebut banyak oknum TNI yang menjadi beking perusahaan multinasional. Lagi-lagi, hal tersebut menjadi korban bully kebanyakan anggota grup. Bahkan, seorang anggota grup berkomentar kalau wajar TNI menjadi beking perusahaan, karena hanya mereka yang bisa. Menurut dia, membekingi perusahaan tidak bisa dilakukan oleh orang sipil. Tentu saja, menurut saya komentar tersebut menyalahi akal sehat, karena yang namanya pembekingan tentu tindakan terlarang.

Kembali pada kasus siswi di Medan, yang membuat saya miris dalam kasus ini karena banyak media mainstream khususnya media online yang larut pada kelakuan para haters. Pada kasus tersebut, saya beberapa kali menemukan media online yang memuat bully para nitizen. Jadilah, media online itu ikut merayakan bully yang dilakukan kepada siswi tersebut.

Media juga lupa terhadap Kode Etik Jurnalistik. Pada pasal lima kode etik dijelaskan kalau wartawan tidak boleh menyebut dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan tidak menyebutkan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan.

Pada poin selanjutnya dijelaskan kalau identitas adalah semua data dan informasi yang menyangkut diri seseorang yang memudahkan orang lain untuk melacak. Selanjutnya, yang disebut anak-anak adalah seorang yang berusia 16 tahun dan belum menikah. Karena alasan inilah saya tidak menyebut nama siswi itu dalam tulisan ini.

Saya lantas iseng-iseng mencari berita di dua media online. Di satu media online, saya menemukan 29 berita soal kasus ini. Semua berita menulis nama lengkap siswi tersebut, dan sebagian besar ada fotonya yang tidak diblur.

Pada media online satu lagi saya menemukan 20 berita. Semuanya disebut nama lengkap dan ada foto siswi tersebut. Dari sekian foto, hanya empat foto yang di blur. Selebihnya, foto-foto siswi tersebut dipajang apa adanya.

Mungkin media bisa membela diri karena kemungkinan siswi tersebut berumur di atas 16 tahun. Sehingga tidak jadi soal jika menyebut nama lengkap dan menampilkan foto tanpa di blur. Pembelaan tersebut tentu saja bisa dilakukan, meski dalam banyak berita saya tak menemukan umur siswi tersebut dicantumkan sehingga tidak diketahui berapa umur siswi itu.

Selain itu, jika mengacu pasal satu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 ahun 2002 tentang Perlindungan anak, pada pasal tersebut dijelaskan kalau yang disebut anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun.

Pada kasus ini, saya berdiskusi singkat dengan seorang wartawa senior. Dia menjelasan kalau Undang-Undang Perkawinan dan Undang-Undang Perlindungan Anak bisa dijadikan acuan untuk kita memberi inisial kepada anak-anak yang bermasalah dengan hukum. Soal ini saya setuju, toh etika dan menjaga masa depan anak jauh lebih penting daripada sebuah klik di media online.

Setelah panjang lebar, lalu apa hubungannya dengan manusia yang harus belajar kepada anjing yang tidak suka menyalak. Kalimat itu saya jadikan pengantar karena baru-baru ini saya sedang membaca novel terbaru karya Eka Kurniawan berjudul O.

Novel ini bercerita tetang tokoh utama O yang merupakan monyet. Selain monyet, ada juga tokoh bernama kirik yang tak lain adalah anjing kecil. O dan Kirik harus bersabar melayani sikap semena-mena manusia. Keduanya juga tidak sering menyalak menghadapi kelakuan manusia yang bebal. Pada sikap itu, kita sebenarnya bisa bercermin.[]


Penulis adalah wartawan, tinggal di www.irhamthoriq.com

sumber gambar:
Old Mary full of grease
by Carlos Gutierrez

Tuesday, March 1, 2016

Bisakah Media Bebas Nilai?


Oleh: Irham Thoriq

Apa hubungan antara jurnalisme dan filsafat? Sebagai induk segala ilmu, filsafat tentu berkaitan dengan apapun termasuk dengan jurnalisme. Salah satunya tentang proses mencari kebenaran, fisafat dan jurnalisme sejatinya adalah ikhtiar terus menerus untuk mencari kebenaran.

Jika filsuf mencari kebenarannya mungkin dengan merenung, wartawan mencarinya dengan mencari data lalu memverifikasinya dan setelah itu merangkai fakta-fakta itu. Karena tidak ada kebenaran yang hakiki, dalam proses mencari kebenaran itu bisa diibaratkan kita sedang mengetuk-ketuk pintu. Kita harus terus mengetuk pintu agar kita semakin dekat dengan kebenaran.

Mula-mula saya ibaratkan jurnalisme dengan filsafat karena dalam proses mencari kebenaran itu biasanya kita dipenuhi dengan aneka macam kepentingan. Oleh karenanya, dalam judul saya ajukan pertanyaan mendasar; Bisakah media bebas nilai?

Bebas nilai yang dimaksud adalah bebas dari kepentingan atau tidak ada nilai­nilai yang diperjuangkan wartawan ketika menulis berita. Jika itu pertanyaannya, maka jawabannya tentu tidak ada yang bebas nilai. Tidak hanya media sebenarnya, hidup kita pun sebenarnya tidak ada yang bebas nilai.

Dalam kehidupan kita banyak yang memengaruhi, mulai dari orang tua kita, tetangga, teman, kerabat dan juga agama kita. Karena yang memengaruhi inilah, segala sikap kita sejatinya selalu penuh dengan kepentingan atau tidak ada yang bebas nilai.

Begitu juga dengan media, karena tidak ada yang bebas nilai maka produk yang ada di media adalah produk yang subjektif. Tidak ada yang objektif. Kenapa tidak ada yang objektif ? karena serangkaian proses kerja jurnalistik itu hasil dari aneka macam subjektivitas.

Mari kita runut dari awal. Ketika pagi hari wartawan mencari berita di lapangan, tentu saja wartawan akan mencari data yang sesuai dengan ‘selera’ media tempat mereka bekerja. Jika kita bekerja di media khusus ekonomi, tentu wartawan itu tidak akan mengambil kejadian sebesar apapun tentang krimanilitas.

Selain itu ketika ada undangan peliputan, bisa saja wartawan itu tidak mau datang karena menganggap acaranya tidak menarik. Itulah keputusan subjektif wartawan yang memilah mana yang menarik dan tidak menarik.

Setelah itu subjektivitas selanjutnya ada dalam rapat redaksi yang dilakukan redaktur. Untuk media massa seperti koran yang terbit harian, biasanya ada rapat redaksi pada sore hari atau sebelum redaktur mengedit berita. Saat inilah redaktur memilih berita mana yang akan dibuat halaman utama dan berita mana yang akan dijadikan berita utama atau Headline.

Tentu saja pemilihan itu adalah subjektivitas redaktur meskipun setiap media memunyai ukuran mana yang penting dan yang menarik. Tidak berhenti di situ, subjektivitas itu masih berlanjut di pagi hari selanjutnya ketika koran tiba di tangan pembaca. Para pembaca memilih mana yang hendak mereka baca dan yang tidak. Nah, di situlah pembaca juga memunyai subjektivitas.

Dari contoh-contoh itu, saya hendak mengatakan kalau dalam hidup ini sebenarnya tidak ada yang bebas nilai. Kalau kita ikut Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) tentu kita akan membela PMII. Jika kita Islam, kita lebih memunyai kecenderungan membela Islam daripada agama lain.

Hati Nurani
Lalu bagaimana jika semuanya sudah tidak ada yang bebas nilai. Kita sebenarnya memunyai satu pegangan yakni hati nurani. Dari hati kecil kita itulah kita bisa menilai mana yang sebaiknya kita bela dan mana sebaiknya kita tinggalkan. Hati nurani adalah penilai di tengah subjektivitas itu.

Oleh karenanya, subjektivitas yang dilakukan wartawan, filsuf atau aktivis sebaiknya berdasarkan hati nurani. Untuk media misalnya, subjektivitas yang dipilih itu bukan berdasarkan uang, kepentingan media atau kepentingan pemilik media.

Apakah bisa? Tentu bisa, meski itu sangat sulit. Sebagai entitas bisnis yang harus menggaji karyawan dan menutupi biaya operasional, media harus menjaring iklan dari penguasa dan pengusaha. Nah, karena berbenturan dengan iklan inilah atau kepentingan pemilik media.

Pada pemilu 2014 lalu, misalnya, bagi kalangan wartawan pemilu tersebut menjadi momen turunnya kepercayaan masyarakat terhadap televisi. Kita tahu, dua stasiun televisi yang pemiliknya sama-sama memimpin partai politik dengan terang-benderang mendukung calon presiden dengan membabi-buta. Atas fenomena tersebut tentu masyarakat dan juga wartawan banyak yang prihatin. Tapi mau bagaimana lagi kita bukan pemilik media.

Peran Aktivis PMII
Di tengah subjektivitas itu, sebagai aktivis kita harus tetap mewarnai wacana publik atau kalau perlu menguasainya. Sebagai aktivis kita harus bisa menganalisa dan memproduksi wacana. Apa yang diperjuangkan PMII harus diproduksi dalam bentuk wacana agar bisa diketahui dan memberi manfaat banyak orang.

Media untuk memproduksi wacana itu bisa dengan membuat buletin, mengaktifkan website dan lain-lain. Jika hal tersebut tak dilakukan aktivis PMII, bisa jadi aktivis PMII hanya menjadi penonton bukan pelaku.


Artikel ini disampaikan dalam Pelatihan Kader Dasar (PKD) Komisariat Ibnu Rusyd atau PMII Universitas Kanjuruhan Malang (Unikama) Cabang Kota Malang, Sabtu 21 Februari 2016.

sumber gambar:
Powered by Blogger.

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top