Showing posts with label Muhammad Mahrus. Show all posts
Showing posts with label Muhammad Mahrus. Show all posts

Thursday, October 16, 2014

Kopi Tahlil dan Kopi Jitu

[sumber]
Oleh: Muhammad Mahrus*

Sepakat atau tidak, Indonesia merupakan salah satu dari empat negara penghasil kopi terbesar di dunia. Dewasa ini, ekspor kopi Indonesia mampu mengalahkan Brasil sebagai salah satu saingan beratnya. Terlepas dari jenis dan berbagai tingkat kualitasnya, rupanya kopi Indonesia adalah kopi yang paling dicari di Eropa, Amerika, dan sebagian di Timur Tengah. Di Mesir, beberapa hari yang lalu digelar Workshop Kopi Indonesia dalam Indonesian Expo 2014. Workshop bertajuk “Indonesian Coffee Culture: Beyond Tradition and Economical Values” itu membuka mata warga Mesir bahwa sebagian besar kopi yang mereka konsumsi dalam setiap harinya adalah kopi Indonesia.

Anggapan warga Mesir selama ini, barangkali, karena memang kopi Brasil telah lebih dulu mendapat brand di hati masyarakat sana. Kemudian para pelaku industri kopi di sana tidak mau kehilangan pasar tersebut. Sialnya, para eksportir kopi di Mesir juga mendatangkan kopi dari negara-negara yang juga bukan penghasil kopi seperti Jerman, Italia, Swiss, Belanda, dan Inggris. Sementara negara-negara tersebut juga banyak mendatangkan kopi dari Indonesia. Coba pikir!

***

Di Cepu, dikenal dengan kopi Kothok-nya yang khas. Di Blora ada kopi santan. Keduanya memiliki karakter dan cita rasa yang unik dan pastinya istimewa. Secara geografis kedua daerah itu bukan termasuk penghasil kopi terbaik, tapi memiliki cara tersendiri untuk menikmati kopi. Seperti halnya di dua daerah tersebut, hampir setiap kota dan kabupaten memiliki caranya sendiri untuk menikmati kopi. Dalam kesempatan yang lain, kita akan membahasnya satu per satu.

Kali ini, saya ingin mengeksplorasi cara menikmati kopi di sebuah kota yang dikenal dengan industri batiknya: Pekalongan. Jika berkunjung ke sana, akan rugi sekiranya kita tidak menyempatkan waktu menikmati kopi Tahlil. Iya, Tahlil! Bagi Anda yang belum sempat menganal istilah ini tidak mengapa. Saya akan mencoba menguraikannya barang sebentar.

Tahlil adalah sebuah upacara keagamaan dalam Islam yang kerap kali dilakukan dengan motif-motif tertentu. Adakalanya motif tersebut berupa hajat hidup dari aspek spiritual maupun aspek sosial masyarakat. Yang saya maksud aspek spiritual masyarakat di sini adalah motif yang berkaitan dengan kepentingan pribadi si penyelenggara seperti selamatan kematian anggota keluarga, syukuran pernikahan, syukuran sunatan, menempati rumah baru, tolak bala, dan sebagainya. Sedangkan motif dari aspek sosial kaprah dilakukan dalam rangkaian upacara-upacara adat seperti merti dusun, sedekah bumi, sedekah laut, tirakatan malam 17-an, atau sekadar upacara rutin mingguan per RT dan seterusnya. Prinsipnya, baik motif spiritual maupun sosial, Tahlil dilakukan untuk memohon petunjuk dan pertolongan dari Tuhan dalam bentuk zikir dan membaca doa bersama. Karenanya, meminjam istilah Durkheim, Tahlil adalah sebuah fakta sosial yang turut serta membentuk solidaritas masyarakat untuk menjadi lebih baik.

Pada mulanya, tahlilan dan ngopi adalah dua aktivitas dengan motif yang berbeda. Saya katakan berbeda karena memang tidak sama. Tahlilan itu tahlilan. Ngopi itu ya ngopi. Jika Anda merasa tidak perlu penjelasan saya ini, lebih baik Anda mengabaikan. Walaupun Anda sudah terlanjur membaca. Ah, sudahlah. Abaikan. Abaikan. Abaikan. Tapi harus saya sampaikan juga, bahwa dalam tulisan ini, barangkali Anda akan mendapati banyak istilah pinjaman yang saya pakai. Karenanya saya mengharapkan permakluman. Apa pasal? Pikirkan sendiri.

Dalam bahasa agama (Islam), sesekali kita akan berjumpa dengan konsep ‘amal. Terjemahan bebasnya, seringkali diartikan dengan perbuatan. Sampai di sini saya kira ‘amal mengalami sedikit reduksi atas substansi pengertiannya. Tapi biarlah, demi kepentingan pemahaman yang sederhana, perbuatan saja sudah cukup. Akan tetapi dalam kaca mata filsafat dan sosiologi, ‘amal, masing-masing berarti action dan sebuah tindakan sosial yang menjadi wujud atau eksternalisasi dari sebuah motif tertentu. Nah, ini menunjukkan betapa sebuah tindakan sosial itu berangkat dari beragam motif yang, sampai pada satu titik tertentu, akhirnya motif-motif itu dipertemukan. Sehingga, terbentuklah sebuah sistem solidaritas dalam masyarakat. Agaknya, di sinilah konteks tahlil itu ada.

Sebagaimana tahlil, demikian pula dengan ngopi. Mereka yang berduyun-duyun ke sebuah tempat ngopi, dari yang sederhana sampai serbaguna, tentunya berangkat dengan motif-motif yang tak sama. Seiring dengan pertemuan itu, mereka didorong untuk menciptakan sebuah sistem solidaritas dalam tindakan tersebut. Lantas, solidaritas yang bagaimana? Sampai di sini, saya kira baik Durkheim maupun Auguste Comte, akan menggolongkan ngopi ke dalam solidaritas sosial organik sementara tahlilan ke dalam solidaritas sosial mekanik. Sayangnya, kita tidak dapat menyimak secara langsung pendapat mereka berdua untuk kedua hal ini.

Uniknya, tahlilan dan ngopi ini melebur dalam satu fakta sosial dan lahirlah apa yang ingin saya sampaikan di sini: Kopi Tahlil. Iya, kopi dan tahlilan. Kabarnya, istilah ini muncul karena setiapkali digelar acara tahlil, kopi menjadi menu hidangan wajib. Kira-kira, lâ tahlîlâ illâ bi al-qahwah, tidak ada tahlilan kecuali dengan kopi. Saya curiga, fakta sosial seperti ini hanya bisa terjadi di Indonesia. Di negara-negara Amerika, Timur Tengah, dan Eropa sekalipun, termasuk di Perancis di mana Durkheim dibesarkan dengan aliran sosiologi fungsionalismenya, paling-paling ngopi sebagai solidaritas sosial organik, melebur dengan solidaritas organik yang lain. Atau sebuah solidaritas mekanik yang satu dengan solidaritas mekanik yang lain.

Saya membayangkan, seandainya Durkheim semasa hidupnya pernah berkunjung ke Pekalongan dan mendapati suguhan Kopi Tahlil, pasti dia akan mengupayakan sebuah bentuk ketiga dari dua solidaritas sosial itu. Misalnya, solidaritas sosial tahlili, atau solidaritas sosial alternatif, atau apa saja yang penting dapat membedakan antara solidaritas sosial organik dan mekanik sekaligus memberikan benang merah di antara kedua wilayah yang tak bertuan tersebut, di mana solidaritas sosial organik terbangun atas kebutuhan individu yang berbeda-beda. Umumnya dalam hal pekerjaan. Solidaritas inilah yang mendorong masyarakat melahirkan konsensus representatif, yakni ikatan solidaritas yang dibangun berdasarkan representasi dari masing-masing tugas dan pekerjaan setiap individu. Kebutuhan representasi ini sampai mencakup spesifikasi pekerjaan sesuai dengan bidang dan keahliannya.

Berbeda dengan solidaritas sosial mekanik. Solidaritas ini berangkat dari homogenitas pekerjaan masyarakat tanpa mementingkan keahlian setiap individu. Menurut Durkheim, solidaritas ini hanya ada dalam kalangan masyarakat tradisional dengan ikatan emosionalnya yang kuat. Solidaritas ini melahirkan sebuah peleburan sosial yang disebutnya dengan konsensus sosial, yakni ikatan solidaritas yang dibangun berdasarkan ikatan sosial masyarakatnya. Dalam tahlilan, kita akan mendapati seorang yang setiap harinya bekerja sebagai buruh tani, kuli pasar, tukang parkir, tukang bangunan, dan sebagainya, menjadi pemimpin zikir dan doa bersama.

Sayangnya, Durkheim tidak pernah berkunjung ke Pekalongan sampai tutup usianya. Jika saja pernah, barangkali dia pun tak sempat merumuskan konsep bunuh diri terkait solidaritas sosial bagi masyarakat modern. Tidak ada bunuh diri; tidak ada bunuh diri anomik, fatalistik, dan altruistik. Tidak ada solidaritas masyarakat organik. Tidak ada masyarakat modern. Tidak ada sosiologi fungsionalisme. Tidak ada Durkheim. Ah... tahlilan. Ah... illallah. Ah... illahllah. Ah... illallah.

***
Dalam pembukuan tahun 2013 UN Trade Statistic, ekspor kopi Indonesia ke Jerman mencapai angka 145,87 juta dollar, Itali 87,8 juta dollar AS, Swiss 10,5 juta dollar, dan Korea Selatan 6 juta dollar. Khusus ke Mesir, data dari KBRI tahun 2013 menunjukkan angka ekspor hingga 35,89 juta dollas AS. Pada saat yang sama, tingkat konsumsi kopi masyarakat Indonesia sendiri dewasa ini mencapai 180.000 ton per hari. Data ini diolah berdasarkan struktur industri kopi dalam negeri yang pada awal tahun 1990-an masih sampai pada angka 120.000 ton per hari. Jadi, ada peningkatan daya konsumsi rata-rata sebanyak 2.500 ton per tahun. Sialnya, para petani kopi sendiri, khususnya di Jawa masih banyak yang mewarisi cara lama. Yakni kopi jitu: kopi siji jagung pitu. Ah... Illallah.[]

Jogjakarta, 16 Oktober 2014

Muhammad Mahrus
Siapalah aku. 
Aku hanya penulis lepas yang belum pernah sekalipun ke Pekalongan dan merasakan secara langsung Kopi Tahlil.

Wednesday, September 25, 2013

The Javanese Mind


(Sebuah Telaah atas Pola Pikir dan Kisah Manusia Nusantara dalam Arus Balik)[i]



Oleh: Muhammad Mahrus[ii]


“Ha! Mengantuk kalian terayun oleh keenakan-keenakan masa lalu. Kalian, orang-orang yang telah kehilangan harga diri dan tak punya cipta. Segala keenakan dan kebanggaan itu bukan hak kalian. Bahkan membiakkan pohon kelapa pun kalian tak mampu!”[iii]


Semacam Abstraksi

Kiranya, penggalan dialog dalam karya monumental Pramoedya Ananta Toer di atas merupakan salah satu narasi atas pengetahuan penulis terhadap pola pikir masyarakat Nusantara pada kurun waktu abad ke-16 (hingga sekarang). Ketika itu, masyarakat Nusantara sedang dalam situasi yang berat. Simbol kejayaan Nusantara hampir menjadi dongeng dan legenda semata. Bahkan tanpa ruh yang mampu menghasilkan horison baru. Sementara, Nusantara juga sedang dalam kungkungan lingkaran setan yang entah sampai kapan bermuara.


Barangkali, Pram memang hanya seorang anak bangsa yang berani mengajarkan pada generasi setelahnya agar lebih peka terhadap kompleksitas tantangan dan kemungkinan harapan. Dia mengajarkan pada kita bagaimana mengenali diri, pun betapa mahal harga diri. Dia juga mengajari kita tentang bagaimana seharusnya menghadapi masa depan, baik dengan tangis maupun canda tawa. Dia meyakinkan kita bahwa kita adalah manusia, penanggung jawab penuh atas diri dan bangsanya. Sedangkan sejarah, sebagaimana air, tenang-menghanyutkan, beriak dan bergelombang, berarus dan berpetaka. Tetapi, air adalah air, air adalah kehidupan.
Dalam sejarah Nusantara, sayangnya tidak cukup tua peradaban Nusantara yang (ter)sampai(kan) pada kita. Jika pun ada, sejarah peradaban Nusantara kebanyakan dilihat dari teori evolusi yang lahir dari peradaban di luar Nusantara. Alurnya pun terpotong-potong seakan memang tidak ada bagian penting selain yang telah disajikan. Sehingga, kita menjadi generasi yang a historis terhadap sejarah peradaban kita sendiri.


Lintasan sejarah Nusantara rupanya banyak yang terekam baik dalam pengetahuan Pram. Lika-liku pergolakan, kemunafikan, kearifan, dan kebesarannya juga tidak luput dari perhatiannya. Pram melihat Nusantara sebagai bangsa dengan peradaban yang sangat tinggi, tinggi sekali. Genap dengan falsafah dan estetika yang terkandung di dalamnya. Khusus dalam periode sejarah arus balik, Pram menceritakan sejarah Nusantara (dengan suka-dukanya) sebagai bangsa yang pernah besar dengan kekuatan armada laut; di mana periode sejarah ini adalah penggalan sejarah bangsa yang dibangun oleh Majapahit; meliputi alasan-alasan kebesarannya berikut implikasi pasca keruntuhannya.



Tak dapat dipungkiri, bahwa akal sejarah masyarakat Nusantara seakan berjalan tanpa alur. Di dalamnya juga terdapat berbagai macam konstruksi—yang seringkali kita sebut sebagai kolonialisme-imperialisme—pengetahuan. Mulai dari aspek sosial, politik, ekonomi, budaya, serta keyakinan dan agama. Dengannya, kita semakin jauh dari bentuk masyarakat Jawa yang berkarakter, asli (pure form).



Nusantara; Arus Balik

Indonesia dikenal sebagai bangsa yang luas wilayahnya lebih didominasi lautan. Dalam sejarah Nusantara, Majapahit adalah kerajaan besar di antara peradaban-peradaban besar di dunia. Majapahit adalah simbol kejayaan Nusantara dengan segenap suka-dukanya. Majapahit adalah cikal bakal Indonesia, meski Indonesia tak sebagaimana Majapahit.



Sebagai negara maritim, negara dengan kekayaan bahari, tanah subur Nusantara yang dikenal dengan Indonesia, seharusnya kita menjadi negara yang makmur nan perkasa. Didukung dengan kekayaan alam yang melimpah ruah, genap dengan falsafah dan estetika serta kebudayaannya yang beragam; Indonesia adalah surga dunia. Karenanya bangsa dan negara-negara menjadi iri dengan kekayaan yang dimiliki Indonesia.



Sewaktu Majapahit masih ada, masyarakat Nusantara tidak begitu khawatir  dengan benturan peradaban yang terjadi dalam berbagai bentuk. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, Majapahit sampai pada puncak kehancurannya. Sayangnya, masyarakatnya terlena dalam riak gelombang keruntuhan peradabannya sendiri; antara sadar dan tidak. Bangkitnya Demak pun ternyata bukan jawaban atas fakta tersebut.



Secara simbolik, runtuhnya Majapahit adalah terbukanya jalan atas sebuah arus dahsyat dari negeri Atas Angin di Utara yang kemudian menghancurkan Nusantara (ini) di Selatan. Arus itulah yang tak mampu dibendung anak-anak bangsa meskipun kesadaran akan eksistensinya masih melekat. Sejak itu pula sebenarnya arus itu membawa segala-galanya ke Nusantara, termasuk kekacauan dan segala atribut keburukannya. Arus balik: serangan balik yang mendorong masyarakat Nusantara hingga pada titik nadir yang tak dapat diprediksi batas akhirnya. Arus balik tidak hanya mewujud dalam gelombang besar. Ia bisa merupa sebagai gemericik dan riak gelombang yang sederhana. Tapi hantamannya terasa ketika arus tersebut telah membawa peradaban yang telah rapuh nan lapuk termakan usia. Dengan atau tanpa kesadaran dari peradaban itu sendiri.



Sebagaimana tersebut di atas, bahwa gelombang dahsyat ini menerjang segala aspek dalam tata peradaban Nusantara. Potensi kemakmuran dan kejayaan masyarakatnya terdorong ke sudut kegelapan dan kehancuran. Intregitas bangsa menjadi taruhan. Wawasan kebangsaan dan jati diri diperjualbelikan. Eksistensi seakan tak lagi penting dalam jiwa masyarakatnya yang semakin kerdil.



Mengapa arus balik? Benturan antarperadaban ini bermula dari jalur laut. Di mana sebagian tanda runtuhnya Majapahit adalah kekalahan pertempuran armada lautnya yang kemudian mendorong masyarakatnya ke daerah pedalaman. Pergeseran wilayah ini rupanya juga seiring dengan pola pikir yang semakin sempit. Sehingga membentuk mental-mental inferior atas kekuatan-kekuatan yang ada di luar. Saya menyebutnya, Mentalitas Inlander.[]





[i] Paper ini dipresentasikan dalam diskusi rutin Humaniora Park, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Fakultas Ilmu Sosial Humaniora Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, pada 29 November 2011.


[ii] Penulis novel MAFIA; Three in One, kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon Pembebasan Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.


[iii] Toer, Pramoedya, Ananta, ARUS BALIK, Hasta Mitra, Jakarta, Juli 2001, Cet. IV, hal. 6.

Friday, September 20, 2013

Raudlatul Ulum

Oleh: Muhammad Mahrus

desir angin kali ini
sayup-sayup mengantarku pada masa lalu
saat bersenda
bergumul bersama sembari melantunkan alfiyah
saat-saat di mana seakan tiada dosa

Raudlatul Ulum
aku rindu padamu

kuharap masih ada tempat untukku
karenamu aku berada di sini, kini
menjemput senjaku
yang pernah kau kenalkan padaku

Raudlatul Ulum
mawar yang kau tunjukkan padaku, dulu
kini sedang merekah bersama senja
saling menghiasi hari-hariku

Raudlatul Ulum
aku berharap bisa persembahkan mereka untukmu
suatu saat nanti, sebagai tanda baktiku padamu

Yogyakarta 2009
Pernah dipublikasikan di sini.
Muhammad Mahrus
adalah mahasiswa AF Ushuluddin
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta;
penulis novel Three in One.

Thursday, January 10, 2013

Pesantren dan Pop Culture


Oleh: Muhammad Mahrus*

Abstraksi
Diskursus tentang pesantren memang selalu menarik untuk dibahas. Terutama ketika pesantren dikaitkan dengan tema-tema tertentu yang seakan tidak ada sangkut pautnya dengan pesantren itu sendiri. Akan tetapi, begitulah pesantren. Sederhana dalam kompleksitas pergulatannya dengan sejarah perjalanan dunia. Karena pesantren sebagai subkultur. Meskipun istilah ini masih dalam upaya pengenalan identitas kultural oleh kalangan dari luar terhadap persantren.[1]

Untuk membaca pesantren, setidaknya terdapat tiga tipologi. Pertama, pesantren salaf/tradisional. Model pesantren ini merupakan model pesantren asli dalam arti metode dan cara pengajarannya masih seperti model pesantren awal. Berdiri atas dasar kepercayaan masyarakat terhadap kapasitas intelektual Kyai lalu dibangunlah pondokan-pondokan permanen sebagai tempat tinggal para santri. Cara mengajarnya juga khas dengan metode bandongan, wekton, dan sorogan. Dan sampai hari ini masih banyak pesantren yang menggunakan tipologi tersebut.

Kedua, pesantren khalaf/modern.[2] Pesantren model ini dimaksudkan sebagai jawaban ketika pesantren dituduh sebagai lembaga pendidikan yang kolot dan kaku. Pesantren ini mulai melakukan inovasi dalam metode belajarnya seperti memberlakukan sistem klasikal dalam kurikulum pendidikannya. Pesantren kedua ini biasanya berdiri atas inisiatif bersama di bawah yayasan-yayasan tertentu. Kemudian setelah berdiri bangunan-bangunan sebagai sarana pembelajaran dan tempat tinggal santri, dipilihlah seorang Kyai yang dianggap mampu untuk mengasuh pesantren tersebut. 

Sunday, December 16, 2012

Muhammad ibn Abdulwahhab; Pendiri Golongan Muwahhidin

[credit: here]
Oleh: Muhammad Mahrus*

Abstraksi
Dalam khazanah filsafat Islam, Ilmu Kalam disebut-sebut sebagai varian pertama yang banyak diminati oleh para pemikir muslim. Meskipun nuansa filsafat sudah mulai dirasakan dan dipakai oleh sebagian besar pemikir muslim pada waktu itu. Hal ini tampak pada hasil daripada pemikiran-pemikiran mereka yang cenderung rasional mengikuti jejak pemikiran Aristoteles. Terutama semenjak masa kepemimpinan khalifah al-Makmun dimana pemikir seperti al-Kindi sedang dalam masa produktifnya.[1]

Rasionalisasi atas agama (baca: Ilmu Kalam) yang dilakukan terhadap para pemikir muslim generasi awal tersebut menuai perdebatan panjang yang kemudian melahirkan pemikir-pemikir baru dengan varian pemikiran masing-masing. Belakangan kita menyebutnya dengan Filsafat Islam, Tasawuf, dan Hikmah. Rupanya empat tipoligi pemikiran inilah yang kemudian disepakati sebagai fase perkembangan pemikiran Islam tepat ketika Filsafat Barat sedang dalam masa kegelapan.

Dalam penelitian ini, obyek akan difokuskan pada varian pemikiran Islam pertama; Ilmu Kalam. Dengan mengambil seorang tokoh pemikir Islam generasi pertengahan yang corak pemikirannya dikenal dengan aliran Wahabiah; Muhammad Ibnu Abdul Wahab.[2] Wahabiah ternyata memiliki nama asli sebagai Golongan Muwahhidin (Unitarians). Meskipun demikian Wahabiah kemudian lebih dikenal karena istilah tersebut lebih banyak dipakai oleh para penulis-penulis Eropa. Sebagai sebuah sekte pemikiran Islam di bidang Ilmu Kalam, Wahabiah menganggap paham kelompoknya sebagai ahlussunnah dengan mengikuti jejak Nabi Muhammad Saw., dengan merujuk pada pemikiran Imam Ahmad Ibnu Hanbal setelah melalui penafsiran Ibnu Taimiah.[3]

Dalam sebuah artikel pendek yang ditulis oleh David Servetus, disebutkan bahwa Muhammad bin Abdul Wahab gemar berpindah-pindah tempat antar Negara karena dia memang seorang pedagang. Lalu pada tahun 1125 H., ia mulai terpengaruh dengan pemikiran Mr. Hempher.[4] Perkenalannya dengan orientalis Inggris tersebut menjadikan Muhammad bin Abdul Wahab keluar dari garis sunni Imam Ahmad bin Hanbal sebagaimana mestinya. Bahkan, ia juga menentang terhadap ajaran sunni Ahmad bin Hanbal yang dianut secara baik oleh keluarga besarnya. Hingga pada suatu kesempatan, kakaknya sendiri[5] menulis sebuah kitab yangberjudul As-Sawâ’iq al-Ilâhiyah fi al-Radd ‘alâ al-Wahâbiah sebagai bantahan terhadap ajaran adiknya tersebut. Kemudian diceritakan pula bahwa gurunya yang di Madinah, Syekh Muhammad Sulaiman al-Kurdi as-Syafi’i, menulis surat teguran dan nasehat kepadanya. Berikut adalah isi dari surat tersebut yang dikutip oleh David Servetus:[6]

"Wahai Ibn Abdul Wahab, aku menasehatimu karena Allah. Tahanlah lisanmu dari mengkafirkan kaum muslimin. Jika kau dengar seseorang meyakini bahwa orang yang ditawassuli bisa memberi manfaat tanpa kehendak Allah, maka ajarilah dia kebenaran dan terangkan dalilnya bahwa selain Allah tidak bisa memberi manfaat maupun madharrat. Kalau dia menentang bolehlah dia kau anggap kafir. Tapi tidak mungkin kau mengkafirkan as-sawâd al-A‘dham (kelompok mayoritas) di antara kaum muslimin, karena engkau menjauh dari kelompok terbesar. Orang yang menjauh dari kelompok terbesar lebih dekat dengan kekafiran. Sebab dia tidak mengikuti jalan muslimin."

Riwayat Hidup Muhammad bin Abdul Wahab
Muhammad bin Abdul Wahab hidup pada 1115 H/1703 M. Lahir di sebuah daerah sebelah Timur Kota Riyadh Saudi Arabia dengan nama lengkap Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad al-Masyaarif at-Tamimi al-Hambali an-Najdi. Dari nama lengkapnya itu pula diketahui silsilah keluarganya dan dengan gelarnya an-Najdi, menunjukkan desa kelahirannya yang dikenal dengan Nadjed.

Muhammad bin Abdul Wahab lahir dalam tradisi sunni pengikut Imam Ahmad bin Hanbal. Ayahnya seorang muslim sunni yang taat begitu juga keluarga besarnya yang lain. Seperti ditunjukkan oleh kakaknya, Sulaiman bin Abdul Wahab yang menjadi seorang ulama sunni terkemuka pengikut Imam Ahmad bin Hanbal.

Muhammad bin Abdul Wahab menempuh masa belajarnya di Madinah pada ulama-ulama besar seperti Syaikh Sulaiman al-Kurdi dan Syaikh Muhammad al-Khayyat as-Sindi. Setelah selesai, sambil berdagang ia pindah ke kota Bashrah dan menetap di sana selama empat tahun. Lalu, dalam masa lima tahun ia memilih tinggal di Baghdad. Pada tahun berikutnya ia tinggal di Kurdestan dan pindah lagi ke Hamzan selama dua tahun. Setelah itu ia memilih pergi ke Isfahan. Dalam bukunya, Pengantar Teologi Islam, A. Hanafi tidak menyebutkan berapa tahun Muhammad bin Abdul Wahab menetap di Isfahan. Tetapi setelah itu dia pindah lagi ke kota Qumm dan Kairo dengan membawa ajaran Imam Ahmad bin Hanbal.[7] Perlawatan panjang yang dilakukan Muhammad bin Abdul Wahab rupanya mempertemukan dirinya dengan tafsir-tafsir Ibnu Taimiyah atas ajaran Imam Ahmad bin Hanbal yang dianggap menyimpang. Selain itu, Muhammad bin Abdul Wahab juga terispirasi dengan gerakan Mr. Hempher yang tengah bertugas menjadi mata-mata Inggris dalam kepentingan kolonialisme. Hempher sendiri, dengan baju orientalisnya melihat potensi besar terhadap ajaran Islam yang dikembangkan dan diajarkan Muhammad bin Abdul Wahab.

Dalam catatan A. Hanafi yang merujuk pada Shorter enc[yclopedia]. of Islam : 618, Muhammad bin Abdul Wahab pulang ke ‘Ujainah. Di kampung halamannya, ia melakukan banyak perenungan dan orientasi, lalu mulai mengajarkan paham-pahamnya yang dituangkan dalam salah satu karyanya yang berjudul Kitabu al-Tauhid. Sebuah kitab yang tebalnya 88 halaman cetakan Makkah. Dengan gerakannya tesebut, meski tidak sedikit orang-orang yang menentangnya, ternyata ajarannya juga banyak yang mengikuti. Perlawanan datang dari banyak kelompok seperti yang ditunjukkan oleh kakaknya sendiri, Sulaiman bin Abdul Wahab. Seorang tokoh terkemuka pengikut ajaran sunni Imam Ahmad bin Hanbal.

Ketika situasi semakin memanas, akhirnya Muhammad bin Abdul Wahab diusir dari ‘Ujainah. Penolakan atas dirinya mengantarkan dia dan keluarganya pindah ke Dar’iah. Di sana dia diterima oleh Muhammad bin Sa’ud yang belakangan menjadi raja Saudi Arabia. Muhammad bin Sa’ud begitu tertarik dengan paham yang dibawa Muhammad bin Abdul Wahab. Bersama Muhammad bin Sa’ud, mereka kemudian menyebarkan ajaran-ajaran Wahabiah.[8]

Propaganda ajaran Wahabi ini mengusung gagasan yang cukup menarik. Karenanya dengan mudah banyak masyarakat Arab yang kemudian tertarik dengan ajaran-ajaran Muhammad bin Abdul Wahab. Gagasan yang paling sederhana tetapi berbobot adalah upaya memerangi syirik, penyembahan berhala, pengkultusan kubur dan membersihkan bid’ad – khurafat.[9]

Merujuk pada catatan kaki Syaikh Idahram dalam bukunya Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, tentang upaya purifikasi yang dilakukan golongan Muwahhidîn ini salah kaprah dan dapat dibilang keluar dari ajaran Islam sendiri. Bahwa:[10]

“Persis seperti ungkapan Sayyidina Ali yang terkenal ketika menumpas kaum Khawarij, ‘Qaul al-haqq yurâdu bihi al-bâthil (kalimat yang benar tapi digunakan untuk kebathilan).’ Para Sahabat Rasulullah Saw., imam – imam madzahab, ulama – ulama Salaf, dan umat Islam yang tidak sejalan dengan mereka dikafirkan, bahkan tak segan mereka musnahkan…”

Pandangan Muhammad bin Abdul Wahab tentang Ahlussunnah wal Jama’ah
Mengawali diskursus ini, kita perlu sedikit mengulas tentang gerakan aliran Wahabi. Sebagaimana telah disinggung pada bagian sebelumnya, propaganda yang dilakukan Muhammad bin Abdul Wahab adalah klaim atas ajaran Rasulullah yang murni. Paham ini yang disebut dengan ahlussunnah. Muhammad bin Abdul Wahab mengusung gerakan Muwahhidin atau Wahabi yang banyak diserap dari pemikiran kontroversial Ibnu Taimiyah. Bahkan, menurut A. Hanafi, ketertarikan Muhammad bin Abdul Wahab terhadap pemikiran Ibnu Taimiyah tidak berhenti di pemikiran, sebagaimana diketahui bahwa dengan gerakan Muwahhidin ajaran Wahabi direalisasikan dalam tindakan praktis.

Sementara, merujuk pada pendapat Syaikh Idahram, gerakan Wahabi belakangan menemui jalan buntu. Hal ini disadari para pengikutnya lantaran nama aliran Wahabi yang dinisbatkan pada nama pendirinya mendapat pertentangan keras dari banyak kelompok. Karenanya belakangan nama aliran ini menggunakan istilah Salafi dengan maksud mengadopsi istilah bagi generasi umat pilihan menurut Rasulullah Saw.[11]

Bahkan terkadang mereka juga mengatasnamakan kelompok ahlussunnah meski tanpa menggunakan kelanjutannya; wal jama’ah. Dikatakan pula bahwa mereka risih dengan istilah di belakang ahlussunnah tersebut. Karenanya, masih menurut Syaikh Idahram, beberapa ulama’ menambahkan sitilah ­as-Shalih di belakang istilah Salaf untuk membedakan antara kelompok Salaf yang sebenarnya dengan kelompok Salaf yang muncul dalam bentuk gerakan Wahabi. Karenanya pula, kini kini kita dapat mengenalinya kembali tanpa harus ada kerancuan antar dua kelompok yang berbeda itu. Dimana kelompok pertama disebut dengan as-Salafu al-Shalih dan yang kedua dicukupkan sebagai Salafi Wahabi.

Konsep Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab

Prinsip dari aliran ini adalah pemurnian aqidah. Sementara, pokok-pokok aqidah yang diajarkan Muhammad nin Abdul Wahab tidak jauh berbeda dengan aqidah yang diajarkan Ibnu Taimiyah. Menurut A. Hanafi, yang membedakan Muhammad bin Abdul Wahab dengan Ibnu Taimiyah ada pada pelaksanaan ajaran yang dilakukan Muhammad bin Abdul Wahab. sementara Ibnu Taimiyah lebih mengedepankan dialektika dan penulisan atas pemikiran-pemikirannya yang kontroversial itu.[12]

Secara umum, bangunan aqidah yang ditawarkan Muhammad bin Abdul Wahab terbagi menjadi dua bidang. Yakni bidang tauhid (pemurnian/purifikasi) dan bidang bid’ah. Dalam Kitab at-Tauhid yang ditulisnya, Muhammad bin Abdul Wahab mendokumentasikan buah pemikirannya dengan cara yang amat sederhana. Syaikh Idahram menyebutnya sebagai karya yang lebih mirip buku saku dan jauh ketika dibandingkan dengan karya-karya ulama lain di luar golongan Wahabi. Akan tetapi, terlepas dari pedebatan tersebut, Muhammad bin Abdil Wahab telah merumuskan konsep pemikiran Wahabi di bidang aqidah dengan poin-poin sebagai berikut:

1.  Penyembahan kepada selain Tuhan adalah salah, dan siapa yang berbuat demikian ia dibunuh.
2. Orang yang mencari ampunan Tuhan dengan mengunjungi kuburan orang-orang saleh, termasuk golongan orang musyrikin.
3. Termasuk dalam perbuatan musyrik memberikan pengantar kata dalam shalat terhadap nama nabi-nabi atau wali atau malaikat (seperti sayyidina Muhammad).
4. Termasuk kufur memberikan suatu ilmu yang tidak didasarkan atas Al-Qur’an dan As-Sunnah, atau ilmu yang bersumber pada akal pikiran semata-mata.
5. Termasuk kufur dan ilhad juga mengingkari qadar dalam semua penafsiran Al-Qur’an dengan jalan ta’wil.
6. Dilarang memaki buah tasbih dan dalam mengucapkan nama-nama Tuhan dan do’a-do’a (wirid) cukup dengan menghitung keratin jari.
7. Sumber syari’at Islam dalam soal halal dan haram hanya Al-Qur’an semata-mata dan sumber lain sesudahnya ialah As-Sunnah Rasulullah. Perkataan ulama mutakallimin dan fuqaha tentang haram dan halal tidak menjadi pegangan selama tidak didasarkan atas kedua sumber tersebut.
8. Pintu ijtihad tetap terbuka dan siapapun juga boleh melakukan ijtihad, asal sudah memenuhi syarat-syaratnya.[13]

Sementara poin-poin bid’ah dalam konsep Wahabi Muhammad bin Abdil Wahab antara lain:

1.       Berkumpul bersama-sama dalam mau’idan.
2.       Orang wanita mengiringi jenazah.
3.       Mengadakan halaqah (pertemuan) zikir.

Dalam pelaksanaan ajaran-ajarannya, kelompok Wahabi melakukan perampasan pada buku-buku yang berisi tawassulat seperti Dalaailu Khairat dan semacamnya. Termasuk dalam bid’ah, menurut konsep Muhammda bin Abdul Wahab adalah perbuatan keseharian seperti merokok, minum kopi, memakai pakaian sutera bagi orang laki-laki, mengambil gambar (foto), mewarnai kuku jempol, memakai cincin dan sejumlah aktifitas keseharian lain yang disebut A. Hanafi dengan sesuatu yang tidak mengandung atau menghasilkan paham keberhasilan.[14]

Wahabi dalam Sejarah Pemikiran Islam
Paham Wahabi belakangan mulai menyebut dirinya dengan aliran Salafi. Sebagaimana pembahasan sebelumnya, aliran ini perlu dibedakan dengan as-Salafu as-Shalih yang murni merupakan generasi pendahulu yang meneruskan ajaran Rasulullah Saw. Sementara pemurnian yang dilakukan kelompok Salafi Wahabi merupakan kedok semata karena mereka mulai tersudutkan dengan nama Wahabi yang sudah melekat erat dengan nama pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahab. selain itu, hamppir semua gerakan propagandanya muali terpatahkan dalam banyak hal.

Sebanarnya pula, nama baru yang mereka pakai tersebut, meski dengan dalih tetap memegang haluan ahlussunnah, baru digunakan ketika paham tersebut diekspor ke luar Saudi Arabia. Rupanya mereka sadar bahwa nama Wahabi sudah tidak banyak membawa keberuntungan. Karenanya mereka perlu merancang strategi baru ketika ingin mendakwahkan pahamnya ke luar Jazirah Arab.

Sambutan baik didapatkan Wahabi dari Muhammad Nashiruddin al-Albani.[15] Dengan strategi barunya, kelompok Salafi palsu ini,[16] benar-benar merasa perlu mengganti nama aliran mereka karena telah mengalami banyak kegagalan. Hal ini seperti yang diungkapkan Prof. Dr. Sa’id Ramadhan al-Buthi dalam bukunya, As-Salâfiyah Marhalah Zamâniyah Mubârakah Lâ Madzhab Islâmî.[17]

Padahal, istilah Salafi sendiri baru muncul pertama kali di Mesir dalam gerakan Pan Islamisme pada akhir abad ke-19 yang digawangi Jamaluddin al-Afgani dan muridnya, Muhammad Abduh. Gerakan pembaruan Islam (al-Ishlah ad-Dini) tersebut dilakukan dalam rangkan membendung pengaruh sekularisme, penjajahan, dan hegemoni Barat atas dunia Islam. Dalam konteks menumbuhkan patriotism itulah Muhammad Abduh mengenalkan Salafi.

Sebelumnya, istilah Salafi bahkan tidak pernah dipakai oleh para pendahulu yang sesungguhnya. Disebutkan bahwa para ulama’ Salaf dan Mujtahid (Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Tsauri, dan sebagainya) tidak pernah menyebut dirinya sebagai kelompok Salafi. Termasuk para Imam ahli hadits, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi, dan seterusnya juga tidak ada yang menyebut dirinya sebagai Salafi.

Bahwa Nabi memang pernah bersabda tentang tata cara salam kepada ahli kubur dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Thabrani:

“Assalâmu’alaikum yâ ahla al-qubûr yaghfirullâhu lanâ wa lakum antum salafunâ wa nahnu bi al-atsar.” (HR. Tirmidzi dan Thabrani).
Kata salafunâ dipakai untuk menyebut para pendahulu.

Penyebaran Aliran Wahabi
Sepertinya, representasi dari penyebaran aliran Wahabi ini ada di trilogi Salafi Wahabi karya Syaikh Idahram. Dengan tuntas rekam jejak gerakan dan penyebaran aliran Wahabi didedah secara ilmiah. Hingga pola masuknya sekte sempalan ini ke Indonesia juga dikupas habis. Akan tetapi untuk penyebaran ke bumi Nusantara ini akan diuraikan pada sub bab berikutnya.

Dalam bukunya yang pertama, Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, Syaikh Idahram mengisi lembaran-lembaran tulisannya dengan bukti-bukti otentik genap dengan referensinya. Kemudian pada buku kedua, Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya Ulama Klasik, disusul buku ketiga dengan judul Ulama Sejagad Menggugat Salafi Wahabi.

Merujuk pada buku tersebut, metode dakwah aliran ini tergolong kasar. Bahwa, demi kepentingan dakwah mereka menempuh cara-cara yang bahkan tidak ilmiah dan manusiawi. Pada awal kemunculannya, dengan paham-paham aqidah yang ditawarkan Muhammad bin Abdul Wahab, mereka melakukan pembantaian terhadap orang-orang Islam Makkah yang tidak mau mengikuti paham ini. Hal ini ditunjukkan dengan maklumat langsung dari sang pendiri dalam sebuah karyanya, Ad-Durar as-Saniyah, Muhammad bin Abdul Wahab menulis:[18]

“Wa mâ ahsana mâ qâlahu wâhid min al-bawâdiy, lamma qadam ‘alainâ wa sami’a syai’ min al-Islâm, qâla: Asyhadu annanâ kuffâr – ya’nî huwa wa jamî‘ al-bawâdiy –, wa asyhadu anna al-muthawwi‘ al-ladzî yusammînî Islâm annahû kâfirun.”
[Betapa indahnya apa yang diucapkan oleh salah seorang Badui ketika dating kepada kami dan mendengar sedikit tentang Islam. Si Badui itu berkata,’aku bersaksi bahwa kami adalah orang-orang kafir – yakni dirinya dan semua orang-orang Badui –, dan aku bersaksi bahwa guru yang berkata bahwa kamia dalah orang Islam, juga kafir.’”]

Demikian adalah satu bentuk pola menyebaran aqidah Wahabi. Yakni dengan mewajibkan pengikutnya agas bersaksi atas kekafiran Umat Islam. Kedua, paham ini mengharuskan pengikutnya melakukan hijrah ke desa kelahiran Muhammad bin Abdul Wahab, Najd. Kemudian para pangikut Wahabi haram bershalawat kepada Nabi Muhammad Saw. Lalu, Wahabi juga melakukan penafsiran-penafsiran terhadap Al-Qur’an dan melakukan ijtihad. Termasuk, hasil dari penafsiran-penafsirannya tersebut, pengikut Wahabi menyamakan orang-orang Muslim Arab lainnya dengan orang-orang kafir.[19]

Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya pada bab kedua, bahwa jika Ibnu Taimiyah lebih cenderung pada teori dan dinamika pemikiran, Muhammad bin Abdul Wahab merelaisasikannya dalam bentuk tindakan. Karenanya pula, belakangan pengikut aliran ini terpecah menjadi dua kelompok besar. Yakni Salafi Yamani dan Salafi Harakah. Akan tetapi pembahasan ini juga akan dijelaskan pada sub bab berikutnya.

Adapun pola pertama penyebaran aqidah Wahabi ini dapat dikategorika ke dalam upaya penafsiran terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tentu dengan metode dan tujuan-kepentingan mereka sendiri. Pola berikutnya, masih merujuk pada Syaikh Idahram, adalah dengan melakukan pemalsuan terhadap kitab-kitab karya ulama klasik. Beberapa bentuk pemalsuan ini antara lain adalah dengan mengotak-atik naskah asli pengarang dengan merubah atau menghapus gagasan-gagasan yang tidak sejalan dengan pemikiran mereka. Semisal karya Syaikh Imam Nawawi ad-Damaskusi, al-Adzkar, tentang anjuran ziarah ke makam Rasulullah bagi para jama’ah haji. Dalam karya besar itu, para pengikut wahabi merubah redaksi fi qabri Rasuulillah shallallahu alaihi wa wasallama wa adzkaarihaa menjadi masjidi Rasulillahi shallallahu alaihi wa sallama. Berikut adalah redaksi lengkap yang dikutip Syaikh Idahram:[20]

“Fashl fî ziyârah qabr Rasûlilllâh shallallâh ‘alaihi wa sallama wa adzkârihâ: I’lam annahû yanbaghî likuli hâjj an yatawajjaha ilâ ziyârah Rasûlillâh shallallâh ‘alaihi wa sallama sawâ’ kâna dzâlika thariqahû aw lam yakun fa inna ziyâratah shallallâh ‘alaih wa sallama min ahammi al-qurabât wa arbâh al-masâ’î wa afdhal ath-thalabât, fa idzâ tawajjaha li az-ziyârah aktsir min al-shalâh wa as-salâm ‘alaihi shallallâhu ‘alaihi wa sallama fî tharîqih. Fa idzaa waqa‘ basharahû ‘alâ asyjâri al-Madînah…”
[Pasal tentang ziarah ke makam Rasulullah Saw. dan dzikir-dzikirnya: ketahuilah bahwa sudah seyogianya bagi setiap orang yang menunaikan ibadah haji untuk menziarahi (makam) Rasulullah Saw., baik kota Madinah itu sebagai jalan yang dilaluinya untuk (menuju kota/negerinya) atau bukan. Karena, menziarahi beliau Saw. termasuk ibadah taqarrub yang paling penting, usaha yang paling menguntungkan (bagi setiap hamba untuk kebaikannya) dan perintah yang paling afdhal. Jika ia sedang menuju (Madinah) untuk berziarah, hendaklah ia memperbanyak membaca shalawat dan salam untuk beliau Saw. di perjalanannya. Dan apabila ia telah menyaksikan pohon-pohon kota suci Madinah…]

Demikian karena ziarah merupakan sesuatu yang diharamkan dalam ajaran Wahabi, terkait dengan kepentingan tersebut maka tangan-tangan kreatif pengikut Wahabi ini merubah redaksi Imam Nawawi ini menjadi sebagai berikut:

“Fashl fii ziyaarati masjidi Rasûlilllâh shallallâh ‘alaih wa sallam: I‘lam annahû yastajîbu man arâda ziyârah masjid Rasûlillâh shallâllah ‘alaihi wa sallam an yuktsir min ash-shalâh ‘alaihi shallallâhu ‘alaihi wa sallama fî tharîqih. Fa idzaa waqa’a basharahu ‘alâ asyjâri al-Madînah…”
[Pasal tentang ziarah ke masjid Rasulullah Saw.: ketahuilah bahwa, sudah seyogiyanya bagi orang yang ingin menziarahi masjid Rasulillah Saw. untuk memperbanyak shalawat kepada beliau Saw. di perjalanannya. Dan apabila telah menyaksikan pohon-pohoan kota suci Madinah…]

Pola kedua gerakan penyebaran aliran ini tentu tidak berhenti sampai di sini. Perihal pemalsuan kitab-kitab dilakukan terhadap sejumlah ulama lain seperi as-Syaikh al-Muhaddits Abdullah al-Harari al-Habasyi dengan menebar fitnah bahwa Syaikh Abdullah adalah penyebar aliran baru, al-Ahbasy. Senyatanya, yang difitnah jelas-jelas adalah pengikut Asy’ari yang taat. Atau intimidasi dalam bentuk paling ekstrem dengan melakukan penculikan terhadap penulis Târikh ‘Alî Sa‘ûd, Nashir as-Sa’id dari Lebanon.[21]

Masuknya Wahabisme ke Indonesia
Setelah berdirinya kerajaan Saudi, ditandai dengan pengukuhan Ibnu Saud sebagai emir dan Muhammad bin Abdul Wahab bebagai imam urusan agama pada 1744 M., secara resmi paham Wahabiah dipakai oleh kerajaan Saudi. Sementara keberadaan baitulllah di kota Makkah ternyata cukup menguntungkan dalam penyebaran paham ini ke seluruh dunia. Lewat jama’ah-jama’ah haji yang dating dari berbagai pelosok negeri, dengan cepat paham ini tersebar.

Di daratan Nusantara, ulama-ulama dari daerah Sumatera Barat disebut-sebut sebagai pembawa paham ini. Pada awal abad ke-19, paham ini mulai tumbuh dan berkembang lewat gerakan pembaruan yang dikomandoi oleh Tuanku Imam Bonjol. Hampir bersamaan dengan gerakan Pan Islamisme yang terjadi di Mesir oleh Jamluddin al-Afghani dan mudridnya, Muhammad Abduh. Masing-masing membawahi gerakan pembaruan Islam. Di satu sisi, Wahabi mulai menyebut dirinya dengan istilah Salafi. Sekali lagi, menurut A. Hanafi dan Syaikh Idahram, perubahan nama yang mereka lakukan adalah dalam rangka strategi dakwah baru. Setidaknya, dari dua tokoh ini dapat diketahui bahwa perubahan Wahabi ke Salafi seiring dengan ekspansi ke luar Jazirah Arab.

Pada kurun waktu 1803 – 1832 M., di Nusantara sedang bergejolak peristiwa perang Padri dengan semangat purifikasi ajaran agama. Meskipun pada satu sisi gerakan kaum Paderi ini adalah bentuk perlawanan terhadap kolonialisme, akan tetapi spirit perjuangan mereka kemudian menjadi perpanjangan tangan kelompok Wahabi dengan nama Salafi di Nusantara. Melanjutkan semangat gerakan kaum Padri di Sumatera, spirit serupa mulai bercokolan di tanah air. Organisasi-organisasi pembaruan seperti al-Irsyad, Persis, dan Muhammadiyah juga tampil dengan semangat serupa.

Di satu sisi, problem yang dihadapi di Nusantara adalah menghadapi kelompok masyarakat yang menjadi generasi penganut Hindu-Budha yang telah memeluk agama Islam. Mereka khawatir adanya percampuran antara kebudayaan Hindu-Buddha dengan ajaran Islam. Karenanya dengan semangat purifikasi itulah organisasi-organisasi pembaharu Islam hadir di tengah-tengah masyarakat. Akan tetapi, gerakan kaum Salafi di Nusantara (sampai kemudian merdeka) tidak seekstrem yang dilakukan kelompok Salafi di Jazirah Arab. Terutama ketika masih masa hidupnya Muhammad bin Abdul Wahab. Salafi di Indonesia hanya memiliki kesamaan spirit dalam memurnikan ajaran Islam.

Baru ketika di Indonesia sedang terjadi internasionalisasi besar-besaran, sekitar tahun 1970-an, banyak bercokolan organisasi-organisasi Islam. Memasuki tahun 80-an, organisasi-organisasi dari luar negeri semisal Tarbiyah (Ikhwanul Muslimin), Jama’ah Tabligh, Hizbut Tahrir, Jama’ah Islamiyah mulai berkembang. Pun masing-masing mulai mendapatkan simpati. Pada puncaknya, tahun 1995 seiring dengan terbitnya Majalah Salafi Ja’far Umar Thalib secara resmi membawa gerakan Salafi ke Indonesia.[22]

Sebagaimana dijelaskan sedikit di sub bab sebelumnya, bahwa aliran Salafi yang berkembang secara umum terbagi menjadi dua. Salafi Yamani[23] dan Salafi Harakah. Salafi Yamani di bawah panji Ja’far Umar Thalib sebagai panglima Laskar Jihad. Meskipun awalnya dia adalah pengikut kelompok Salafi Harakah, belakangan ia pindah dan tampil sebagai ujung tombak Salafi Yamani. Salah satu bentuk gerakannya di Indonesia adalah monopoli gerakan Salafi. Karenanya tidak hanya organisasi-organisasi senior Salafi di Indonesia saja yang diserang. Bahkan sesama organisasi Salafi di luar paham Yamani tidak luput dari gerakannya.

Kesimpulan
Jika dipetakan secara sederhana, secara umum keseluruhan aliran dalam Islam adalah upaya menerjemahkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Paling tidak kesemuanya juga mengatasnamakan dirinya sebagai ahlussunnah. Berkiblat pada ajaran-ajaran ulama Salaf (as-Salafu as-Shalih) yang memiliki legalitas intelektual secara tidak langsung dari Rasulullah Saw. Kemudian melakukan pengajaran dan propaganda pada masyarakatnya masing-masing. Sampai pada fase ini pula, perbedaan bermunculan mengakibatkan perpecahan-perpecahan dalam memahami dua sumber agama tersebut.

Barangkali, di satu sisi, ikhtilâfu ummatî rahmah yang pernah disabdakan Rasulullah Saw. itu bakal menemukan tujuannya. Akan tetapi fase perdebatan yang sudah berlangsung lebih dari 10 abad yang lalu itu benar-benar harus dilalui. Entah sampai kapan pula perdebatan ini akan berlangsung. Barangkali pula, ketika sampai pada waktunya, Islam benar-benar akan menunjukkan kejayaannya tanpa adanya perbedaan apapun antar masing-masing pemeluknya. Atau justru inilah rahmat yang dimaksudkan Rasulullah Saw. Yakni ketika umatnya benar-benar berlomba menjadi yang paling benar di atas yang lain.

Dengan adanya aliran Wahabi atau Salafi ini, setidaknya generasi hari ini dapat belajar sesuatu dari banyaknya aliran pemikiran dalam Islam. Setidaknya juga, adanya fenomena gerakan-gerakan Salafi hari ini dapat dibaca sebagai bahan pengayaan ilmu pengetahuan. Bagi kalangan non pengikut aliran Salafi, tidak kemudian memandangnya dengan sebelah mata. Pun bagi penganutnya, tidak kemudian menganggap kelompoknyalah yang paling berhak atas kebenaran agama. Barangkali ini yang paling penting di antara kemungkinan manfaat yang tersebut di atas. Wallâhu A‘lam bi ash-Shawâbi.

Kritik atas Aliran Wahabi
Ketika A. Hanafi secara halus mengkritik Wahabi dengan menggambarkan perasaan sebagian besar kaum muslimin,[24] Syaikh Idahram sebaliknya. Dengan mengutarakan pendapat-pendapat para cendekiawan muslim sejagad di antara pitutur-pututurnya sendiri, dalam buku ketiganya Syaikh Idahram membongkar kesalahan-kesalahan atau penyimpangan yang dilakukan kelompok Salafi Wahabi ini.

Pada kesempatan ini, penyusun hanya akan memaparkan beberapa realitas parsial saja. Pertama, dalam perubahan redaksi karangan Imam Nawawi ad-Dimasqi, Al-Adzkâr, kelompok paham Wahabi tampak tidak begitu konsisten dengan ajarannya sendiri. Menurut penyusun, di dalam serangkaian kalimat tersebut terdapat kalimat aktsir min ash-shalâh wa as-salâm ‘alaihi. Dalam bentuk yang sudah dirubah, kata min as-shalâh masih ditetapkan. Padahal dalam salah satu ajaran Muhammad bin Abdul Wahab, para pengikut Wahabi diharamkam membaca shalawat kepada Rasulullah Saw.[25]

Kedua, merujuk pada pengantar dari KH. Mundzir Tamam, M.A. (Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Prov. DKI Jakarta) dalam buku ketiga trilogi Salafi Wahabi, kesalahan paling fatal yang dilakukan kelompok Salafi Wahabi antara lain: cara memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah yang tekstual dan literal. Sehingga membuat dua sumber hukum Islam tersebut menjadi jumûd. Mereka tidak tau (atau  bahkan tidak mau tau) bahwa Al-Qur’an banyak mengandung makna majâzî. Dengan mengesampingkan makna majâzî Al-Qur’an, secara tidak langsung menreka menunjukkan kebebalannya dalam berfikir, karena dengan sesuatu yang metaforis akal akan bekerja sesuai dengan kondratnya.

Kesalahan berikutnya, masih menurut KH. Mundzir Tamam, M.A., mereka melupakan 3 pilar penting dalam ajaran agama. Iman, Islam, dan Ihsan. Di mana tasawuf, ejawantah dari konsep ihsan, dipahami secara tidak akurat. Sekali lagi karena mereka terlalu tekstual dalam membaca dan belajar sesuatu. Sehingga mereka tak ubahnya robot yang tidak dapat berfikir selain apa yang sudah diprogramkan sebelumnya. Dan tentunya masih banyak lagi persoalan-persoalan yang dapat diuraikan dalam kesempatan lain.

Penutup
Satu hal yang paling tidak disukai oleh penyusun adalah mengakhiri tulisan. Begitu pula ketika penyusunan penelitian ini sampai pada bagian ini. Penutup. Karenanya susah sekali menyusunan kalimat-kalimat penutup. Terutama tentang tema yang begitu manarik ini. Meskipun tema tentang Wahabisme merupakan satu tema yang seringkali hanya menjadi pergunjingan sepihak dari kelompok-kelompok anti Wahabi. Lebih spesifik lagi, Wahabi atau Salafi yang berkembang di Indonesia.

Karena juga, barangkali, Wahabi yang berkembang di Indonesia semakin tidak jelas epistemologi keilmuannya. Justru, jika memang benar adanya, ketidakjelasan epistemologi keilmuan seperti itu hari ini lahir dalam produk-produk pengetahuan instan. Di lapangan, tradisi intelektual dan iklim ilmiah semakin tergusur dari rumahnya. Tergantikan dengan tradisi-tradisi baru yang kompatibel dengan keilmuan-keilmuan instan. Lantas apa jadinya ketika dua realitas itu bertemu selain penyatuan pengetahuan yang tidak ilmiah?

Sungguh penyusunan penelitian ini tidak dimaksudkan untuk justifikasi serta monopoli kebenaran dari sebuah ideologi. Bagaimanapun, sebuah paham keaagamaan butuh apresiasi dan kritik. Karenanya inilah yang harus diketahui oleh kalangan intelektual dan akademisi sebagai sebuah fakta keilmuan modern, sehingga dapat disikapi secara professional, proporsional, dan bijaksana. Tidak dengan pemaksaan kebenaran atas paham tertentu dalam bentuk tindakan ekstrem irasional.

Akhirnya, semoga penyusunan penelitian ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca pada umumnya. Akan tetapi, penyusun juga berharap dapat mengambil hikmah dari penggarapan penelitian ini. Tidak lupa, penyusun juga menghaturkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmat-Nya dari secercah pengetahuan-Nya yang agung.

Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.[]

Yogyakarta, 12-12-12
*Muhammad Mahrus adalah mahasiswa jurusan Aqidan dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sekarang sedang berjuang menyelesaikan skripsinya.



[1] Amroeni Drajat, Suhrawardi, Kritik Falsafah Peripatetik, (Yogyakarta: LKiS, 2006), hal. 111.

[2] Muhammad bin Abdul Wahab bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad al-Masyaarif at-Tamimi al-Hanbali an-Najdi (1115-1201 H/1703-1787 M) lahir di sebuah daerah sebelah Timur Saudi Arabia bernama ‘Ujainah. Tepatnya di sebuah desa bernama Nadjed. Abdil Wahab dikenal sebagai pelajar yang suka melawat antar Negara. Setelah belajar pada Sulaiman al-Kurdi dan Muhammad al-Khayyat as-Sindi di Madinah ia pindah ke Bashrah selama empat tahun. Kemudian lima tahun di Baghdad, satu tahun di Kurdestan, dua tahun di Hamzan, lalu pindah ke Isfahan. Ketika pindah lagi ke kota Qumm dan Kairo, ia sudah menjadi seorang penyebar aliran Ahmad bin Hanbal.
[3] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Jakarta: PT. Pustaka Al-Husna Baru), 2003, hlm. 189.
[4] Seorang orientalis Inggris yang bekerja sebagai mata-mata di Timur Tengah. Ketika itu Inggris memang sedang gencar-gencarnya mendirikan paham-paham baru dalam Islam demi kepentingan kolonialisme. Termasuk ketika Muhammad bin Abdil Wahab datang, paham baru tersebut juga dijadikan sebagai alat pemecah dalam Islam.
[5]  Sulaiman bin Abdul Wahab. Seorang ulama besar pengikut Imam Hanbali.
[6] Anonim, http://www.akhirzaman.info/islam/saudi-dan-wahhabi/1780-sejarah-wahhabi.html diakses pada 19 November 2012.
[7] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru), 2003, hlm. 189.
[8] Ibid. hlm. 190.
[9] Syaikh Idahram,  Sejarah Berdarah Sekte Salafi-Wahabi, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren), 2011, Cet. II, hlm. 28.
[10] Ibid. hlm.28.
[11] Perubahan nama dari Wahabi ke Salafi merupakan strategi dakwah yang sengaja dilakukan karena Wahabi sudah mulai tercium sebagai gerakan pemecah persatuan umat Islam. Dengan nama barunya, mereka merujuk pada tiga generasi yang menurut Rasulullah Saw, melalui haditsnya yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim; “Sebaik-baik manusia adalah (yang hidup) di masaku, kemudian yang mengikuti mereka (tabi’in), kemudian yang mengikuti mereka (tabi’it tabi’in). (HR. Bukhari dan Muslim). Lihat Syaikh Idahram, Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren), Cet. II., hlm. 23-25.
[12] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru), 2003, hlm. 190.
[13] Data ini sepenuhnya diambil dari buku A. Hanafi yang mengutip pada Shorter Enc. of Islam : 69 dan Islam Bilaa Madzaahib. Lihat A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Jakarta: Pustaka Al-husna Baru), 2003, hal. 191.
[14] Ibid. hlm. 191-192.
[15] Muhammad Nasiruddin al-Albani, seorang yang  dipandang kelompok Wahabi senagai seorang ahli hadits.
[16] Dalam catatan kaki Syaikh Idahram, kelompok Salafi Palsu atau Mutamaslif itu dijelaskan oleh Hasan Ibnu Ali as-Segaf, at-Tauhid bi Man ‘Addad at-Tauhid, Dar Iman an-Nawawi, cet. ke-2, Amman, Yordania 1413 H., hlm. 27.
[17] Lihat Syaikh Idahram, Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren), cet. ke-2, 2011, hlm. 27. Penulis juga menambahkan catatan penting kaitannya dengan perubahan strategi dakwah Salafi Wahabi ini. Bahwa apa yang dilakukan Salafi Wahabi dengan merubah nama alirannya adalah termasuk kedok yang menyimpan borok dan kebobrokan Wahabi. Disebutkan pula beberapa nama ulama’ yang berhasil menbongkar penyimpangan tersebut, antara lain: al-‘Allamah al-Kautsari, al-‘Allamah al-Qusyairi, Mufti Mesir: Syaikh Prof. Dr. Ali Jum’ah, al-Muhaddits Sayyid Muhammad al-‘Alawi al-Maliki, Syaikh Hasan Ibnu Ali Assegaf, Syaikh Ahmad al-Ghimari, Syaikh Abdullah al-Harari, dan lain-lain.
[18] Catatan tersebut diawali dengan pengakuan Syaikh Ahmad Zaini Dahlan yang dituangkan dalam kutabnya, Khulashah al-Kalam fi Bayan Umara al-Balad al-Haram, yang mengatakan “Jika orang yang masuk Islam itu setuju dengan kesaksian seperti itu, Syaikh menerima keislamannya. Namun jika tidak, Syaikh memerintahakn (para pengkutnya) untuk membunuhnya. Mereka yang secara terang-terangan telah mengkafirkan umat Islam. Lihat: Syaikh Idahram, Ulama’ Sejagad Menggugat Salafi Wahabi, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren), Cet. ke-6, 2011, hlm. 104-106.
[19] Ibid, hlm. 98-109.
[20] Lihat: Syaikh Idahram, Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya Ulama Klasik, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren), cet. ke-7, 2011, hlm. 51-54
[21] Ibid, hlm. 47.
[22] Ibid, hlm. 39-46
[23] Salafi Yamani adalah kelompok Wahabi yang berkembang di Yaman dan bergerak di luar jalur politik. Di Indonesia, Salafi Yamani inilah yang dibawa oleh Ja’far Umar Thalib.
[24] A. Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna Baru), 2003, hlm. 194-195.
[25] Syaikh Idahram, Mereka Memalsukan Kitab-Kitab Karya Ulama Klasik, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren), cet. ke-7, 2011, hlm. 53-54. Lihat pula pada buku ketiga, Ulama Sejagad Menggugat Salafi Wahabi, Bagian Pertama tentang Kerancuan dan Penyimpangan Muhammad bin Abdul Wahab (Pendiri Salafi Wahabi) poin kedua; Mengharamkan Shalawat Kepada Nabi Saw. Pada bagian ini Syaikh Idahram mengutip secara langsung pendapat dari seorang Mufti di Mesir yang memaparkan pendapat Muhammad bin Abdul Wahab mengenai larangan bershalawat kepada Rasulullah Saw. dalan ajarannya.
Powered by Blogger.

 

© 2016 Amanah Online. All rights resevered. Designed by Templateism

Back To Top